• Tidak ada hasil yang ditemukan

penutup yang berisikan kesimpulan, saran dan kata penutup. 3.Bagian akhir

20

Bagian akhir termuat lampiran, daftar rujukan, riwayat hidup penulis.

21 BAB II

KAJIAN PUSTAKA A. Penegasan Arti Keluarga

1. Pengertian Keluarga

Pengertian keluarga dapat ditinjau dari dimensi hubungan darah dan hubungan sosial, sebagaimana berikut:

a. Keluarga dalam dimensi hubungan darah merupakan suatu kesatuan sosial yang diikat oleh hubungan darah antara satu dengan lainnya. Berdasarkan dimensi hubungan darah ini, keluarga dapat dibedakan menjadi keluarga besar dan keluarga inti.

b. Keluarga dalam dimensi hubungan sosial, keluarga merupakan suatu kesatuan sosial yang diikat oleh adanya saling berhubungan atau interaksi dan saling mempengaruhi antara satu dengan lainnya, walaupun diantara mereka tidak terdapat hubungan darah. Keluarga berdasarkan dimensi hubungan sosial ini dinamakan keluarga psikologis dan keluarga pedagogis (Sochib, 1998: 17).

David mengutip pendapat dari (Sochib, 1998: 20) mengkategorikan keluarga dalam pengertian sebagai keluarga seimbang, keluarga kuasa, keluarga protektif, keluarga kacau dan keluarga simbiotis:

a. Keluarga seimbang adalah keluarga yang ditandai oleh keharmonisan hubungan (relasi) antara ayah dengan ibu, ayah dengan anak, serta ibu

22

dengan anak. Dalam keluarga ini orang tua bertanggungjawab dan dapat dipercaya.

b. Keluarga kuasa lebih menekankan kekuasaan daripada relasi. Pada keluarga ini anak merasa seakan-akan ayah dan ibu mempunyai buku peraturan, ketetapan, ditambah daftar pekerjaan yang tidak pernah habis.

c. Keluarga protektif lebih menekankan pada tugas dan saling menyadari perasaan satu sama lain. Dalam keluarga ini ketidakcocokan sangat dihindari, karena lebih menyukai suasana kedamaian.

d. Keluarga kacau adalah keluarga kurang teratur dan selalu mendua. Dalam keluarga ini cenderung timbul konflik (masalah) dan kurang peka memenuhi kebutuhan anak-anak. Anak sering diabaikan dan diperlakukan secara kejam, karena kesenjangan hubungan antara mereka dengan orang tua. Orang tua sering berperilaku kasar terhadap anak. Hampir sepanjang waktu mereka dimarahi atau ditekan.

e. Keluarga simbiotis dicirikan oleh orientasi dan perhatian keluarga yang kuat, bahkan hampir seluruhnya terpusat pada anak-anak. Keluarga ini berlebihan dalam melakukan relasi. Orang tua banyak menghabiskan waktu untuk memikirkan dan memenuhi keinginan anak-anaknya. Dalam kesehariannya, dinamika keluarga ditandai oleh rutinitas kerja.

Dalam pengertian psikologis, keluarga adalah sekumpulan orang yang hidup bersama dalam tempat tinggal bersama dan masing-masing anggota merasakan adanya pertautan batin, sehingga terjadi saling

23

mempengaruhi, saling memperhatikan, dan saling menyerahkan diri. Sedangkan dalam pengertian pedagogis, keluarga adalah “satu”

persekutuan hidup yang dijalin oleh kasih sayang antara pasangan dua jenis manusia yang dikukuhkan dengan pernikahan yang bermaksud untuk saling menyempurnakan diri (Sochib, 1998: 17).

Menurut WJS. Poerwadarminta (1984: 471), keluarga adalah sebagai sanak keluarga, kaum kerabat. Sedangkan Abu Ahmadi (1985: 75) berpendapat bahwa, keluarga adalah sebuah group yang terbentuk dari perhubungan laki-laki dan wanita. Perhubungan mana sedikit banyak berlangsung lama untuk menciptakan dan membesarkan (mengasuh) anak-anak. Keluarga di sini merupakan satu kesatuan sosial yang terdiri dari suami, istri, dan anak-anak yang belum dewasa.

Dari beberapa pendapat di atas dapat di simpulkan bahwa keluarga adalah sekumpulan orang yang hidup bersama dalam suatu tempat tinggal yang biasa di sebut dengan sanak keluarga, kaum kerabat, group yang antara lain mempunyai ikatan batin sehingga saling mempengaruhi, saling memperhatikan, dan saling menyerahkan diri.

2. Macam Kondisi Keluarga

Banyak sekali kondisi-kondisi keluarga yang justru menjadi hazard

(hancur) bagi setiap anggota keluarga yang dan tentunya beresiko bagi tergangunya mental bagi para anggotanya.

Kondisi-kondisi keluarga yang dapat menjadi hazard (hancur) diantaranya adalah :

24

a. Keluarga yang Tidak Fungsional

Keluarga yang tidak berfungsi menunjuk pada keadaan keluarga tetap utuh (intake) terdiri dari kedua orang tua dari anak-anaknya. Mereka masih menetap dalam satu rumah. Jadi strukturnya tidak mengalami perubahan, hanya fungsional yang tidak berjalan. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa keluarga yang utuh tetapi tidak fungsional lebih berakibat buruk pada anak (Notosoedirjo, 2001: 23). b. Perceraian dan perpisahan

Perceraian dan perpisahan karena berbagai sebab antara anak dengan orang menjadi faktor yang sangat berpengaruh bagi pembentukan perilaku dan kepribadian anak. Kesimpulan umum dapat dipetik bahwa perceraian dan perpisahan dapat berakibat buruk bagi perkembangan kepribadian anak (Notosoedirjo, 2001: 122).

c. Perlakuan dan Pengasuhan

Perlakuan orang tua kepada anak berkaitan dengan apa yang dilakukan orang tua atau anggota keluarga lain kepada anak. Apakah dibiarkan (meghlect) diperlakukan secara kasar (violence) atau dimanfaatkan secara salah (abuse), atau diperlakukan secara penuh toleransi dan menciptakan iklim yang sehat. Semunaya mempengaruhi perkembangan anak dan mungkin juga berpengaruh pada anggota keluarga secara keseluruhan. Tindakan keluarga yang membiarkan anak diperlukan secara kasar atau diperlakukan yang semestinya tidak perlu, akan mempengaruhi perkembangan mental anak.

25

Kondisi keluarga yang “sehat” dapat meningkatkan kesehatan mental

anak dan anggota keluarga lainnya. Sebaliknya, kondisi keluarga yang tidak kondusif dapat berakibat gangguan mental bagi anak, diantaranya adalah gangguan tingkah laku, kecemasan, minder, sedih, takut, bimbang, sulit dan beberapa gangguan mental lainnyan (Notosoedirjo, 2001: 123).

3. Arti Keluarga Bagi Anak

Keluarga mempunyai arti yang penting bagi anak kehidupan keluarga tidak hanya berfungsi memberikan jaminan makan kepad anak, dengan demikian hanya meperhatikan perkembangan fisik anak, melainkan juga memegang fungsi lain yang penting bagi perkembangan mental anak, diantaranya adalah :

a. Sosiologi Anak

Anak bersosialisasi yaitu belajar dalam pergaulan, pertama-tama dilakukan dalam keluarga. (Notosoedirjo, 2001: 198) Mengingat pentingya peran keluarga bagi penyelesaian berbagai masalah yang dihadapi anak, maka keluarga perlu menyediakan waktu untuk berkumpul sambil minum dan makan bersama-sama yang disebut

family lable talk.

Jadi family table talk mempunyai peranan yang penting karena dia tidak hanya memberikan kesempatan kepada anak untuk mengeluarkan keluhan-keluhannya juga memberikan bimbingan.

26

b. Tata Cara Kehidupan Keluarga

Tata cara kehidupan keluarga akan memberikan suatu sikap serta perkembangan kepribadian anak yang tertentu pula. Kita akan meninjau tiga jenis tata cara kehidupan keluarga, yaitu:

1) Tata cara kehidupan keluarga yang demokratis

Tata cara kehidupan keluarga yang demokratis itu membuat anak mudah bergaul, aktif dn ramah tamah. Hal ini bukan berarti bahwa anak bebas melakukan segala-galanya tanpa bimbingan dari keluarganya (orang tua).

2) Tata cara kehidupan keluarga yang membiarkan

Keluarga yang sering membiarkan tindakan anak akan membuat anak tidak aktif dalam kehidupan sosial dan dapat dikatakan anak menarik diri dari kehidupan sosial. Hal ini anak mengalami banyak frustasi dan mempunyai kecenderungan untuk mudah membenci orang lain.

3) Tata cara kehidupan keluarga yang otoriter

Anak yang dibesarkan dalam keluarga yang otoriter ini biasanya akan bersifat tenang, tidak melawan, tidak agresif dan mempunyai tingkah laku yang baik. Anak akan selalu berusaha menyesuaikan pendiriannya dengan kehendak orang lain (yang berkuasa, orang tua).

27

Dengan demikian kreatifitas anak akan berkurang, daya fantasinya juga kurang. Hal ini mengurangi kemampuan anak untuk berfikir abstrak (Notosoedirjo, 2001: 201).

Dari tiga jenis tata cara kehidupan di atas Baldwin mengatakan bahwa lingkungan keluarga yang demokratis merupakan tata cara yang terbaik untuk memberikan kemampuan penyesuaian diri.

Namun demikian tata cara susunan keluarga ini kenyatannya tidak terbagi secara tajam berdasarkan ciri-ciri keluarga, yaitu tata cara kehidupan keluarga yang demokratis, membiarkan dan tata cara kehidupan keluarga yang otoriter.

4. Kewajiban Orang Tua Terhadap Anak

Mengenai kewajiban seorang ayah dan ibu terhadap anak sudah diatur dalam Al-Qur‟an surat Al-Baqarah: 233 yang berbunyi :

َّمِتُي ْنَأ َداَرَأ ْهَمِل ۖ ِهْيَلِماَك ِهْيَل َُْح َّهٌَُد َلَ ََْأ َهْعِض ْرُي ُتاَدِلاَُْلاََ

ۚ ِفَُرْعَمْلاِب َّهٍُُتَُْسِكََ َّهٍُُق ْزِر ًَُل ِدُُل َُْمْلا ىَلَعََ ۚ َةَعاَضَّرلا

ٌدُُل َُْم َلَََ اٌَِدَلَُِب ٌةَدِلاََ َّراَضُت َلَ ۚ اٍََعْسَُ َّلَِإ ٌسْفَو ُفَّلَكُت َلَ

ْهَع الَا َصِف اَداَرَأ ْنِإَف ۗ َكِل ََٰذ ُلْثِم ِثِراَُْلا ىَلَعََ ۚ ِيِدَلَُِب ًَُل

ْنَأ ْمُتْدَرَأ ْنِإََ ۗ اَمٍِْيَلَع َحاَىُج َلََف ٍرَُاَشَتََ اَمٍُْىِم ٍضاَرَت

ْمُتْيَتآ اَم ْمُتْمَّلَس اَذِإ ْمُكْيَلَع َحاَىُج َلََف ْمُكَد َلَ ََْأ اُُعِض ْرَتْسَت

ٌري ِصَب َنُُلَمْعَت اَمِب َ َّاللَّ َّنَأ اُُمَل ْعاََ َ َّاللَّ اُُقَّتاََ ۗ ِفَُرْعَمْلاِب

28

Artinya : “Para ibu hendaklah menyusukan anak-anak selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan

cara yang ma‟ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan, karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu, apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah

Maha Melihat apa yang kamu kerjakan” (Departemen Agama, 1989: 57). Kewajiban ayah terhadap anak, yaitu antara lain:

a. Mencukupi kebutuhan ekonomi, baik pangan maupun sandang,

perumahan dan kesehatan.

b. Mendidik anak secara benar dan baik. c. Mengasuh anak-anak.

d. Menentukan masa depan anak (Djaelani, 1995: 208). 5. Hak-Hak Anak

Hak adalah sesuatu yang harus diterima. Seorang anak mempunyai hak dari orang tuanya, diantaranya sebagai berikut :

a. Hak anak dalam nasab. Hak anak untuk ditetapkan atau diakui dalam susunan nasab bukanlah hak dia sendiri sebagai satu-satunya hak yang harus dimiliki (Shafiyarrahman, 2003: 47).

b. Hak mendapatkan makanan dan minuman yang dapat menumbuhkan daging dan menguatkan tulang, yakni hak untuk disusui.

c. Hak mendapatkan nama yang pantas hingga dia bisa dipanggil berbeda

dengan orang lain. Syari‟at Islam menganjurkan bahwa memberi nama

29

d. Hak untuk ditebus dengan menyembelih kambing pada hari ketujuh dari kelahirannya, dalam ilmu fiqih disebut aqiqah. (Shafiyarrahman, 2003:64)

e. Hak untuk dihilangkan penyakitnya, seperti dikhitan, dicukur dan

selalu dijaga kebersihannya. Syari‟at Islam mengajak pada kebersihan,

maka tidaklah aneh bila menghilangkan kotoran dan penyakit dari anak itu merupakan suatu kewajiban (Shafiyarrahman, 2003: 70).

f. Hak untuk diasuh, dirawat dalam arti dilindungi dan dijaga. Dalam hal ini lebih dikenal dengan sebutan hadhanah. Syariat Islam telah memberi perlindungan terhadap keluarga dan meresmikan jalan yang lurus agar kejernihan itu tetap langgeng dan berlanjutlah kelembutan dan kasih sayang, hingga anak-anak hidup dalam pemeliharaan ayah dan ibu dengan penghidupan yang mulia, jauh dari kekurangan dan ketidaklurusan (Shafiyarrahman, 2003: 91).

g. Hak untuk diberi nafkah hingga dewasa dan mampu mendapatkan rizki sendiri (Shafiyarrahman, 2003: 97).

h. Hak untuk mendapatkan pengajaran, pendidikan dan budi pekerti yang luhur. Hal ini merupakan fase sendiri dan penyempurna terhadap

kesiapan anak untuk mengarungi samudera kehidupan

30 B.BrokenHome

1. Pengertian Broken Home

Broken home berasal dari dua kata yaitu broken dan home. Broken

berasal dari kata break yang berarti keretakan, sedangkan home

mempunyai arti rumah atau rumah tangga (Shadily, 1996: 81).

Jadi broken home adalah keluarga atau rumah tangga yang retak. Hal ini dapat disebut juga dengan istilah konflik atau krisis rumah tangga. Diantara krisis yang terjadi dalam rumah tangga adalah :

a. Ketegangan hubungan atau konflik suami istri. b. Konflik orang tua dengan anak

c. Konflik dengan mertua.

d. Bahkan konflik sesama anak (Takariawan, 1997: 183).

Ketegangan suami istri merupakan krisis yang amat mendasar dan harus segera mendapat penyelesaian, dan mengupayakan pencegahan sebelum terjadinya konflik.

Menurut David, keluarga retak atau broken home dinamakan dengan istilah keluarga kacau. Keluarga kacau adalah keluarga kurang teratur dan selalu mendua. Dalam keluarga ini cenderung timbul konflik (masalah), dan kurang peka memenuhi kebutuhan anak-anak. Anak sering diabaikan dan diperlakukan secara tidak wajar atau kejam, karena kesenjangan hubungan antara mereka dengan orang tua. Keluarga kacau selalu tidak rukun. Orang tua sering berperilaku kasar terhadap relasi (anak). Orang tua menggambarkan kemarahan satu sama lain dan hanya ada sedikit relasi

31

antara orang tua dengan anak-anaknya. Anak terasa terancam dan tidak disayang. Hampir sepanjang waktu mereka dimarahi atau ditekan. Anak-anak mendapatkan kesan bahwa mereka tidak diinginkan keluarga. Dinamika keluarga dalam hanyak hal sering menimbulkan kontradiksi, karena pada hakekatnya tidak ada keluarga. Rumah hanya sebagai terminal dan tempat berteduh oleh individu-individu.

Adakalanya suami terlalu sibuk dengan berbagai urusan di luar rumah dan tidak mau memberikan empati (perhatian) terhadap kesibukan istri. Suami hanya ingin memberikan hak-hak istri berupa pemenuhan materi dan kebutuhan biologis. Namun lebih dari itu, istri memerlukan perhatian, kasih sayang dan kemesraan hubungan.

Adakalanya istri menuntut, istri menjadi uring-uringan dan bersikap tidak hormat lagi kepada suami, yang kemudian memiliki sikap

“permusuhan” secara diam-diam atau tertampakkan (Shohib, 1998: 20). Berbagai ketegangan dalam hidup suami istri, bisa jadi termasuk bagian dari bumbu kehidupan rumah tangga. Tetapi bila bumbu itu berlebihan, akan mengakibatkan masakan menjadi tidak enak atau bisa menjadi racun yang membunuh, artinya jika ketegangan itu berlebihan bisa mengakibatkan hancurnya sebuah keluarga.

Pendapat lain mengenai pengertian broken home yaitu menurut Chaplin (2004:71), mengungkapkan bahwa broken home adalah

“keluarga atau rumah tangga tanpa hadirnya salah seorang dari kedua

32

meninggalkan keluarga dan lain-lain”. Kondisi keluarga yang kurang

memberikan peran dalam kehidupan remaja sebagaimana mestinya ini berakibat kurang baik pula bagi pertumbuhan dan perkembangannya.

Sedangkan menurut Pujosuwarno (1993:7) broken home adalah

“keretakan di dalam keluarga yang berarti rusaknya hubungan satu dengan yang lain di antara anggota keluarga tersebut”.

Dapat disimpulkan bahwa keluarga broken home yaitu keluarga yang tidak harmonis. Dimana di dalam sebuah keluarga orang tua yang sibuk dengan pekerjaannya sehingga anak merasa kurang mendapatkan perhatian, juga kurang adanya komunikasi antara anggota keluarga satu dengan keluarga lainnya, sehingga keadaan tersebut membuat keluarga menjadi tidak hangat.

2. Faktor-faktor Penyebab Terjadinya Broken Home

Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya pertikaian dalam keluarga yang berakhir dengan perceraian. Faktor-faktor ini antara lain: persoaalan ekonomi, perbedaan usia yang besar, keinginan memperoleh anak putra (putri) dan persoalan prinsip hidup yang berbeda. Faktor lainnya merupakan berupa perbedaan penkanan dan cara mendidik anak, juga dukungan sosial dari pihak luar, tetangga, sanak saudara, sahabat, dan situasi masyarakat yang keruh dan meruntuhkan kehidupan rumah tangga (Dagun, 2013: 114).

33

a. Terjadinya Perceraian

Faktor yang menjadi penyebab perceraian adalah pertama adanya disorientasi tujuan suami istri dalam membangun mahligai rumah tangga; dan faktor kedewasaan yang mencakup intelektualitas, emosionalitas, kedua, kemampuan mengelola dan mengatasi berbagai masalah keluarga: ketiga, pengaruh perubahan dan norma yang berkembang di masyarakat.

b. Ketidakdewasaan Sikap Orang Tua

Ketidakdewasaan sikap orang tua salah satunya dilihat dari sikap egoisme dan egosentrisme. Egoisme adalah suatu sifat buruk manusia yang mementingkan dirinya sendiri. Sedangkan egosentrisme adalah sikap yang menjadikan dirinya pusat perhatian yang diusahakan oleh seseorang dengan segala cara. Egoisme orang tua akan berdampak kepada anaknya, yaitu timbul sifat membandel, sulit di suruh dan suka bertengkar dengan saudaranya. Adapun sikap membandel adalah aplikasi dari rasa marah terhadap orang tua yang egosentrisme. Seharusnya orang tua memberi contoh yang baik seperti suka bekerjasama, saling membantu, bersahabat dan ramah. Sifat-sifat ini adalah lawan dari egoisme dan egosentrisme.

c. Orang Tua yang Kurang Memiliki Rasa Tanggungjawab

Tidak bertanggungjawabnya ornag tua salah satunya masalah kesibukan. Kesibukan adalah satu kata yang telah melekat pada masyarakat modern di kota-kota. Kesibukannya terfokus pada pencarian

34

materi yaitu harta dan uang. Mengapa demikian? Karena filsafat hidup mereka mengatakan uang adalah harga diri, dan waktu adalah uang. Jika telah kaya berarti suatu keberhasilan, suatu kesuksesan. Di samping itu kesuksesan lain adalah jabatan tinggi.

d. Jauh dari Tuhan

Segala sesuatu perilaku manusia disebabkan karena dia jauh dari Tuhan. Sebab, Tuhan mengajarkan agar manusia berbuat baik. Jika keluarga jauh dari Tuhan dan mengutamakan materi dunia semata maka kehancuran dalam keluarga itu akan terjadi. Karena dari keluarga tersebut akan lahir anak-anak yang tidak taat kepada Tuhan dan kedua orang tuanya.

e. Adanya Masalah Ekonomi

Dalam suatu keluarga mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan rumah tangga. Istri banyak menuntut hal-hal diluar makan dan minum. Padahal dengan penghasilan suami sebagai buruh lepas, hanya dapat memberikan makan dan rumah petak tempat berlindung yang sewanya terjangkau. Karena suami tidak sanggup memenuhi tuntutan istri dan anak-anaknya akan kebutuhan-kebutuhan yang disebutkan tadi, maka timbullah pertengkaran suami-istri yang sering menjurus ke arah perceraian.

f. Kehilangan Kehangatan Didalam Keluarga

Antara orang tua dan anak kurang atau putus komunikasi diantara anggota keluarga menyebabkan hilangnya kehangatan di dalam

35

keluarga antara orang tua dan anak. Faktor kesibukan biasanya sering dianggap penyebab utama dari kurangnya komunikasi. Dimana ayah dan ibu bekerja dari pagi hingga sore hari, mereka tidak punya waktu untuk makan siang bersama, shalat berjamaah di rumah dimana ayah menjadi imam, sedang anggota yang lain menjadi jamaah. Dan anak-anak akan mengungkapkan pengalaman perasaan dan pemikiran-pemikiran tentang kebaikan keluarga termasuk kritik terhadap orang tua mereka. Yang sering terjadi adalah kedua orang tua pulang hampir malam karena jalanan macet, badan capek, sampai di rumah mata mengantuk dan tertidur. Tentu orang tidak mempunyai kesempatan untuk berdiskusi dengan anak-anaknya.

g. Adanya Masalah Pendidikan

Masalah pendidikan sering menjadi penyebab terjadinya broken home. Jika pendidikan agak lumayan pada suami istri maka wawasan tentang kehidupan keluarga dapat dipahami oleh mereka. Sebaliknya pada suami istri yang pendidikannya rendah sering tidak dapat memahami lika-liku keluarga. Karena itu sering salah menyalahkan bila terjadi persoalan di keluarga. Akibatnya selalu terjadi pertengkaran yang mungkin akan menimbulkan perceraian. Jika pendidikan agama ada atau lumayan mungkin sekali kelemahan dibanding pendidikan akan di atasi. Artinya suami istri akan dapat mengekang nafsu masing-masing sehingga pertengkaran dapat dihindari.

36

3. Realita Remaja yang Mengalami Broken Home

Beberapa penyebab broken home yang paling sering terjadi adalah kurangnya komunikasi antar keluarga sehingga menyebabkan adanya jarak dianatara mereka. Jarak tersebut semakin terasa ketika rasa ketidakpercayaan dan komitmen awal pernikahan mulai terkikis. Seiring berjalannya waktu, hal ini berkembang menjadi sebuah perselisihan dan ketidakharmonisan yang memuncak. Penyebab kedua yang sering menyebabkan terjadinya broken home adalah masalah ekonomi yang berujung pada kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Kedua penyebab tersebut paling banyak menghasilkan keluarga-keluarga broken home yang berakhir pada perceraian atau pertengkaran tanpa akhir.

Sebagai korban, tentunya anak-anak akan merasakan hal-hal yang tidak mengenakan. Perasaan ini timbul dan berkembang dalam diri si anak hingga ia beranjak dewasa. Pada fase remaja, dimana jiwa remaja sedang bergelora, perasaan ini bercampur aduk menjadi satu baik depresi, malu, sedih, kecewa, kesal, sakit hati, bingung, merasa terbuang, dll.

Cara para remaja menghilangkan kepenatan tersebut baik ke arah positif atau negatif ternyata bersifat relatif. Hal ini tergantung pada sikap dan perilaku remaja tersebut. Jika dia bisa mengarahkan ke arah positif, berarti dia berhasil mengurangi bahkan menghilangkan perasaan tersebut. Bila sebaliknya, berarti dia gagal. Cara-cara yang dilakukan untuk menghilangkan kepenatan tersebut pastinya akan melahirkan perubahan sikap dalam diri remaja yang mengalami broken home. Sebuah perubahan

37

yang akan membawa mereka merasa lebih baik dari sebelumnya, sementara atau selamanya.

4. Dampak Broken Home Terhadap Perkembangan Remaja

Kasus broken home sering dianggap suatu peristiwa tersendiri dan menegangkan dalam kehidupan keluarga. Tetapi, peristiwa ini sudah menjadi bagian kehidupan dalam masyarakat. Kita boleh mengatakan bahwa kasus itu bagian dari kehidupan masyarakat tetapi yang menjadi pokok masalah yang perlu di renungkan, bagaimana akibat dan pengaruhnya terhadap diri anak?

Peristiwa broken home dalam keluarga senantiasa membawa dampak yang mendalam. Kasus ini menimbulkan stres, tekanan, dan menimbulkan perubuhan fisik, dan mental.keadaan ini dialami oleh semua anggota keluarga, ayah, ibu dan anak (Dagun, 2013: 113).

Broken home dalam keluarga itu biasanya berawal dari suatu konflik antara anggota keluarga. Bila konflik ini sampai ketitik krisis maka peristiwa broken home berada diambang pintu. Peristiwa ini selalu mendatangkan ketidak tenangan berfikir dan ketegangan itu memakan banyak waktu lama. Pada saat kemlut ini biasanya masing-masing pihak menerima kenyataan baru seperti pindah rumah, tetangga baru, anggaran rumah baru. Acara kunjunganpun berubah. Seituasi rumah menjadi lain karena diatur oleh satu orang tua saja.

Beberapa diantara anak usia remaja dalam menghadapi situasi

38

mengungkapkan, “jika perceraian dalam keluarga itu terjadi saat anak

menginjak usia remaja, mereka mencari ketenangan, entah di tatangga, sahabat atau teman sekolah(Dagun, 2013: 116)

Diantara dampak negatif broken home terhadap perkembangan anak adalah:

a. Perkembangan Emosi

Emosi merupakan situasi psikologi yang merupakan

pengalaman subjektif yang dapat dilihat dari reaksi wajah dan tubuh. Perceraian adalah suatu hal yang harus dihindari, agar emosi anak tidak menjadi terganggu. Perceraian adalah suatu penderitaan atau pengalaman tramatis bagi anak.

b. Perkembangan Sosial Remaja

Tingkah laku sosial kelompok yang memungkinkan seseorang berpartisipasi secara efektif dalam kelompok atau masyarakat. Dampak keluarga Broken Home terhadap perkembangan sosial remaja adalah: ketegangan orang tua menyebabkan ketidakpercayaan diri terhadap kemampuan dan kedudukannya, dia merasa rendah diri menjadi takut

Dokumen terkait