• Tidak ada hasil yang ditemukan

17 BAB II

TRAKTAT ANTI RUDAL BALISTIK (ANTI BALLISTIC MISSILE TREATY)

Kesepakatan Traktat Anti Rudal Balistik yang melibatkan Amerika Serikat dan Uni Soviet merupakan langkah strategis dalam upaya pengendalian rudal ofensif oleh kedua negara. Salah satu tujuan dari dibentuknya kesepakatan tersebut secara teoretis memiliki 2 (dua) poin utama yaitu, untuk menstabilkan iklim militer serta mengurangi aktivitas militer jika terindikasi akan terjadinya peperangan antar kedua negara (Burns 2002: 80).

Pada dasarnya langkah yang diambil Amerika Serikat melalui Presiden Nixon dan Uni Soviet oleh Presiden Leonid Brezhnev terkait pembatasan senjata ofensif telah dimulai pada tahun 1969 di Helsinki, Finlandia yang dinamakan Strategic Arms Limitation Talks (SALT) (Smith 2000: 6). Pertemuan serta perundingan ini pertama kali diinisiasi oleh Amerika Serikat sebagai bentuk implementasi dari 2 (dua) poin penting yang ditetapkan Senat ketika menyetujui program Safeguard oleh pemerintah. Salah satu poin tersebut adalah mengharuskan pemerintah Amerika Serikat untuk segera mengadakan pertemuan dengan Uni Soviet dan membicarakan perihal pembatasan senjata ofensif (Smith 2000: 6).

Perundingan tersebut pada akhirnya berjalan dengan lancar yang secara resmi ditandatangani pada bulan November tahun 1969 dan kedua negara khususnya Uni Soviet berkomitmen untuk melanjutkan perundingan ke tahapan berikutnya (Kaplan, 2008: 11). Salah satu alasan Uni Soviet untuk berkomitmen dalam hal pembatasan senjata adalah dikarenakan Amerika Serikat mampu

18

menciptakan “Bargaining Chip” dengan Uni Soviet melalui teknologi Safeguard (Kaplan 2008: 12). Hal ini sebelumnya pernah ditekankan oleh Presiden Lyndon B. Johnson ketika mengajukan Safeguard sebagai bentuk posisi tawar kepada Uni Soviet untuk berunding terkait pembatasan senjata ofensif. Tidak hanya itu, Presiden Johnson dianggap oleh Uni Soviet sebagai tokoh yang mampu meyakinkan Soviet tentang bahaya senjata yang dilengkapi dengan hulu ledak nuklir (Salamah, 2008: 229).

A. Kompetisi Rudal Amerika Serikat dan Uni Soviet pada Perang Dingin Argumentasi yang dikemukakan oleh Rosenau (1976: 27-32) tentang konsep kebijakan luar negeri suatu negara khususnya Amerika Serikat menjelaskan bahwa, negara akan mampu berperang dalam segi finansial untuk memenuhi kebutuhan negaranya terkait pertahanan nasionalnya. Hal ini secara langsung dibuktikan oleh Amerika Serikat dengan mengeluarkan dana sekitar 70 juta dolar dalam kurun waktu 3 (tiga) dekade, yakni dimulai pada awal tahun 1960 sampai 1990 untuk pemenuhan kebutuhan keamanan nasionalnya (Payne 2000: 171).

Urgensi yang ditekankan Amerika Serikat dengan dana jutaan dolar tersebut adalah untuk penelitian serta pengembangan program pertahanan nasional Amerika Serikat bernama Ballistic Missile Defense (BMD) System (Payne 2000: 171). Payne (2000: 171) dalam tulisannya juga menjelaskan bahwa BMD merupakan sistem pertahanan negara yang terdiri dari perangkat rudal pencegat yang dilengkapi dengan sensor yang mampu menjangkau serta melindungi 50 (lima puluh) negara bagian di Amerika Serikat.

19

Sistem rudal pencegat ini juga turut serta melindungi wilayah perairan dan salju Amerika Serikat yakni Hawai dan Alaska (Neuneck dan Schaaf 2000: 3). Rudal pencegat yang dimiliki oleh Amerika Serikat tersebut difokuskan untuk menangkal setiap serangan rudal dengan kategori Intermediate Range Ballistic Missile (IRBM) yang berjarak 3.000-5.500km (Feickert 2004: 2-3).

Dalam perkembangannya, teknologi yang terafiliasi dalam sistem BMD meliputi kemampuan dalam mengidentifikasi setiap serangan yang datang, kemampuan dalam manajemen peperangan serta sistem utama yakni sistem navigasi rudal pencegat (Neuneck dan Schaaf 2000: 3-4). Secara historis, penerapan sistem pertahanan strategis Amerika Serikat yang dikenal dengan NMD telah dimulai pada tahun 1952, bersamaan dengan berlangsungnya babak baru perang dingin (Cold War). Pada saat itu, Amerika Serikat berhasil membangun pangkalan rudal di Fort Meade negara bagian Maryland untuk melindungi kota-kota utama Amerika Serikat serta wilayah industri dari serangan udara Uni Soviet (Baucom 2001: 15).

Proyek NMD Amerika Serikat selanjutnya dikembangkan pada tahun 1955 oleh The Army Commisioned Bell Telephone Laboratories yang merupakan lembaga penelitian yang membidangi keamanan udara Amerika Serikat (Baucom 1995: 33). Lembaga ini bekerjasama dengan The Western Electric Company untuk mempertimbangkan pembangunan Anti Ballistic Missile System (ABM). Perusahaan ini berhasil meneliti serta mengembangkan generasi pertama rudal non-nuklir berjenis NIKE I-Ajax Antiaircraft Surface to Air Missile (SAM) (Kaplan 2009: 2-3).

20

Pada tahun yang sama perusahaan ini juga berhasil mengembangkan rudal anti balistik generasi kedua yang kali ini terafiliasi dengan tenaga nuklir bernama NIKE I-Hercules dan difungsikan sebagai pencegat atas serangan rudal oleh Uni Soviet. Secara umum, generasi rudal pencegat yang dikembangkan oleh Amerika Serikat merupakan sistem pertahanan nasional terpadu. Sistem ini telah memiliki teknologi radar untuk melacak dan mengelola pertempuran yang disertai perangkat komunikasi yang bertujuan melindungi seluruh negara bagian dan kota-kota utama di Amerika Serikat (Kaplan 2009: 4).

Proyek rudal Amerika Serikat ini bukan satu-satunya yang berkembang pada Perang Dingin. Pada September 1955, Uni Soviet juga telah berhasil meluncurkan rudal balistik dengan kode SS-1B Scud A yang dioperasikan melalui perangkat kapal selam (Submarine) (Polmar 1994: 1). Rudal ini merupakan teknologi rudal balistik pertama yang dikembangkan oleh Uni Soviet dengan menggunakan perangkat nuklir sebagai zona pertahanan dan keamanan Uni Soviet sejak memulai konfrontasi dengan Amerika Serikat (Gansler 2010: 37).

Gambar II.A.1. U.S. NIKE Anti Ballistic Missile Program

Sumber: Kaplan, The U.S. Army’s First Anti Ballistic Missile, Missile Defense Agency, 2009

21

Secara praktis, rudal ini mampu mencegat rudal yang dikirim oleh Uni Soviet ke wilayah Amerika Serikat. Namun muncul perdebatan mengenai kinerja rudal tersebut dari para ilmuwan yang membidangi persenjataan strategis. Beberapa ilmuwan yang fokus terhadap perkembangan rudal Amerika Serikat menyatakan bahwa rudal berjenis NIKE (Ajax & Hercules) tidak mampu mencegat rudal lainnya yang menyerang teritorial Amerika Serikat. Hal ini dikarenakan kecepatan rudal pencegat diprediksi tidak akan mampu menjangkau rudal balistik yang menyerang wilayah Amerika Serikat. Akan tetapi, Bell Telephone Laboratories telah melakukan percobaan pada tahun 1956 dengan menempatkan sebanyak 50.000 rudal pencegat melalui percobaan komputer analog dengan rudal balistik sebagai targetnya (Boucom 1995: 33). Hasilnya, rudal ini mampu mencegat rudal yang menyerang wilayah Amerika Serikat dengan target ketinggian dan kecepatan rata-rata di udara 24.000 kaki per detik (Kaplan 2009: 4).

Fokus utama dalam memfungsikan rudal tersebut telah ditekankan oleh Menteri Pertahanan Amerika Serikat saat itu yakni Charles E. Wilson kepada angkatan darat dan angkatan udara. Wilson menegaskan pada bulan November 1956, bahwa angkatan darat fokus terhadap pengamanan wilayah geografis, kota-kota utama serta instalasi vital yang berhubungan dengan keamanan dan pertahanan Amerika Serikat. Sementara itu, angkatan udara fokus terhadap pengamanan wilayah kompleks industri dan pusat-pusat konsentrasi populasi penduduk Amerika Serikat (Kaplan 2009: 4-5).

22

Konsentrasi Amerika Serikat terhadap aspek pertahanan dan keamanan nasionalnya dilanjutkan pada tahun 1957 dengan mengembangkan rudal pencegat generasi ketiga. Proyek rudal generasi ketiga ini dikenal dengan model NIKE-II atau NIKE-ZEUS/A-B Model, setelah sebelumnya Amerika Serikat merilis NIKE-I/Ajax dan Hercules. Ditinjau dari segi teknologi, sistem rudal ini menggunakan hulu ledak nuklir sebagai pencegat yang kemampuannya melebihi teknologi rudal sebelumnya (Kaplan 2009: 5). Hal ini dikarenakan teknologi yang digunakan dalam rangkaian rudal ini mampu menjangkau atmosfir bumi (Zeus Exoatmospheric) untuk mencegat serangan rudal ke Amerika Serikat (Kaplan, 2009: 5).

Gambar II.A.2. U.S. NIKE-ZEUS Anti Ballistic Missile Program

Sumber: Kaplan, Missile Defense: The First Sixty Years, Missile Defense Agency, 2008

Namun tidak lama setelah Amerika Serikat merilis rangkaian rudal pencegat, Uni Soviet meluncurkan satelit Sputnik yang merupakan satelit ruang angkasa pertama di dunia (Kaplan 2009: 6). Peluncuran satelit Sputnik oleh Uni Soviet menandakan dimulainya era persenjataan rudal ofensif berjenis

23

Intercontinental Ballistic Missile (ICBM) (Boucom 2001: 14). Penerapan satelit Sputnik oleh Uni Soviet dibuktikan secara langsung dengan melakukan uji coba rudal balistik pertama yang menggunakan kategori ICBM yang memiliki jangkauan 5.500km+. Paska uji coba tersebut, Amerika Serikat memprediksi bahwa Uni Soviet akan memiliki lebih dari 500 perangkat rudal balistik dengan kategori ICBM dalam beberapa tahun kemudian (Gansler 2010: 37).

Paska uji coba rudal balistik dengan kode SS-1B Scud A yang berbasis kapal selam, serta peluncuran satelit Sputnik, Uni Soviet terus mengembangkan rudal balistik dengan kapasitas ICBM. Hal ini dibuktikan kembali oleh Uni Soviet dengan meluncurkan dua rudal ICBM dengan kode SS-9 dan SS-10 (Steury 1996: 191).

Adanya persaingan senjata nuklir dalam bentuk rudal balistik yang dihadapi kedua negara dipicu oleh konsep Nuclear Detterence yang diterapkan oleh Amerika Serikat, namun hal ini tidak berlaku bagi politik luar negeri Uni Soviet secara umum. Konsep Nuclear Detterence merupakan konsep yang digunakan Amerika Serikat dengan argumentasi bahwa musuh dapat dicegah untuk menggunakan senjata nuklir dengan cara mengembangkan senjata nuklir lainnya (Salamah 2008: 229).

Peniadaan konsep Nuclear Detterence dalam rencana kebijakan luar negeri Uni Soviet berdampak pada kelanjutan pengembangan rudal balistik yang tidak hanya terbatas pada segi kualitas, namun juga menyangkut kuantitas. Berikut ini tabel yang merilis jumlah rudal balistik kategori ICBM yang dimiliki Uni Soviet (Norris, Cochran 1997: 28);

24

Tabel II.A.1. USSR/Russian ICBM Forces, 1960-1996

Sumber: Norris dan Cochran, US-USSR/Russian Strategic Offensive Nuclear Forces 1945-1996, Natural Resources Defense Council, Inc, 1997 Perkembangan senjata ofensif Uni Soviet dengan melakukan uji coba rudal balistik berjenis ICBM tentunya menjadi ancaman serius bagi keamanan wilayah Amerika Serikat. Hal ini diperkuat dengan laporan yang dirilis oleh The Ford Foundation selaku badan konsultan keamanan nasional Amerika Serikat. Dalam laporan tersebut dinyatakan bahwa prioritas utama yang diperlukan Amerika Serikat saat ini adalah perlindungan terhadap keamanan nasional khususnya warga negara Amerika Serikat dari serangan Uni Soviet (Kaplan 2009: 7).

25

Oleh karena itu, badan ini merekomendasikan penangkal utama atas serangan Uni Soviet adalah penggunaan pesawat pembom atau Strategic Air Command (SAC) yang terafiliasi dengan rudal balistik berjenis Nike I-Hercules dan Nike I-Talos. Pesawat ini tentunya juga telah dilengkapi dengan sistem peringatan dini atas serangan rudal yang ditujukan ke Amerika Serikat (Kaplan 2009: 7).

Gambar II.A.3. U.S. Strategic Air Command (SAC) & U.S. Nike I-Hercules-Talos

Sumber: Kaplan, The U.S. Army’s First Anti Ballistic Missile, Missile Defense Agency, 2009

Perangkat pertahanan udara ini akan ditempatkan di wilayah-wilayah strategis yang menjadi pusat populasi penduduk dan pemerintahan di Amerika Serikat.

Respon Amerika Serikat terhadap peluncuran satelit Sputnik serta uji coba rangkaian rudal berjenis ICBM oleh Uni Soviet dilanjutkan dengan membentuk The Advance Research Projects Agency (ARPA) pada tahun 1958 (Gansler 2010: 37-38). Badan ini merupakan bagian dari misi strategis program pertahanan rudal yang diinisiasi pembentukannya oleh Menteri Pertahanan Amerika Serikat saat itu Neil H. McElroy serta menjadi tanggung jawab Angkatan Darat Amerika Serikat dalam pengoperasiannya (Kaplan 2009: 8).

26

ARPA secara umum bertugas meneliti serta mengembangkan sistem pertahanan rudal untuk menangkal ancaman rudal balistik yang dimiliki Uni Soviet. Secara spesifik ARPA bernaung pada Project Defender Program yang secara langsung mengeksplorasi serta mengujicoba teknologi rudal terbaru berjenis ICBM yang menghabiskan dana sebesar 200 juta dolar (Gansler 2010: 38).

ARPA berhasil mengembangkan teknologi rudal yang lebih maju dibandingkan produk-produk rudal sebelumnya yang dimiliki Amerika Serikat. Teknologi rudal balistik berjenis ICBM yang dimiliki Amerika Serikat mulai dilengkapi dengan sinar laser untuk mendeteksi serangan rudal musuh. Selain itu teknologi rudal terbaru yang dikembangkan ARPA adalah dengan merilis Ballistic Missile Boost Intercept (BAMBI). Teknologi ini merupakan perangkat rudal pencegat yang diluncurkan melalui satelit ruang angkasa atau dikenal dengan Space-Based Boost Intercept System. Tidak hanya itu, ARPA juga berhasil menguji serta mengembangkan sistem deteksi dan pelacakan melalui satelit yang ditempatkan pada rudal pencegat yang berbasis di darat/Ground-Based Interceptors (Gansler 2010: 38-39).

Ekspansi teknologi yang dilakukan Amerika Serikat melalui ARPA terkait inovasi rudal balistik tentunya telah berbasis hulu ledak nuklir. Selain itu, peningkatan sistem partikel cahaya dan sinar laser sebagai pendeteksi serangan musuh menjadi inovasi penting dalam teknologi rudal balistik Amerika Serikat untuk mengimbangi teknologi yang dimiliki Uni Soviet (Gansler 2010: 39).

ARPA berhasil merampungkan seluruh rangkaian teknologi yang terdapat pada rudal balistik pada tahun 1960. Keberhasilan ini diperkuat dengan rangkaian

27

uji coba untuk mengetahui kemampuan sistem elektronik melalui navigasi komputer yang berfungsi pada radar. Paska uji coba sistem komputer yang telah terafiliasi pada rudal balistik, maka pada tahun 1962 Amerika Serikat mulai mengujicoba secara keseluruhan kemampuan mencegat dari serangan rudal balistik berjenis ICBM yang bernama Minuteman I kepada publik (Gansler 2010: 39).

Percobaan ini dilakukan dengan menempatkan rudal pencegat Nike-Zeus yang diluncurkan dari wilayah Kwajalein, daerah di dekat Kepulauan Marshall (Marshall Island) yang merupakan wilayah Pasifik Selatan. Sementara itu, Minuteman I diluncurkan dari lokasi penempatan rudal di perairan Pasifik untuk selanjutnya dicegat oleh rudal Nike-Zeus, dan percobaan ini berhasil dicapai (Boucom 1995: 34).

Namun rangkaian uji coba tersebut tidak diiringi dengan proses penyebaran perangkat rudal pencegat berjenis ICBM di wilayah Amerika Serikat dan sekutunya. Hal ini dikarenakan Amerika Serikat mempertimbangkan atas 2 (dua) hal, yaitu menyangkut kekhawatiran mengenai efek dari ledakan yang disebabkan oleh hulu ledak nuklir, dan persoalan mengenai biaya produksi rudal yang cukup tinggi dalam neraca anggaran pemerintah Amerika Serikat (Gansler 2010: 40).

Kedua faktor yang dikemukakan di atas tidak menjadi halangan bagi Amerika Serikat untuk terus mengembangkan serta meningkatkan kualitas teknologi rudal balistik. Setahun berikutnya yakni pada 1963 di era pemerintahan Presiden John F. Kennedy, Amerika Serikat mulai mengembangkan rangkaian Anti Ballistic Missile (ABM) berikutnya bernama NIKE-X sebagai upaya

28

antisipasi serangan rudal balistik milik Uni Soviet (Smith, 2000: 3). Rangkaian rudal balistik ini memiliki 2 (dua) perangkat utama berhulu ledak nuklir yang bernama Spartan dan Sprint, Spartan merupakan rudal balistik ditujukan untuk mencegat serangan rudal balistik lain melalui jalur luar angkasa. Sementara Sprint ditujukan untuk mencegat serangan rudal yang diluncurkan melalui jalur udara (Gansler 2010: 40-41).

Setahun kemudian yakni pada tahun 1964, Uni Soviet secara langsung merespon pembangunan instalasi rudal balistik NIKE-X milik Amerika Serikat dengan menciptakan sistem anti rudal balistik bernama Galosh (Gansler 2010: 41). Berdasarkan informasi yang dirilis oleh Menteri Pertahanan saat itu Robert S. McNamara, bahwasanya Uni Soviet telah menempatkan perangkat anti rudal balistik tersebut di seluruh wilayah Moskow dan pernyataan ini juga secara langsung disampaikan dihadapan publik Amerika Serikat (Boucom 1995: 35).

Kondisi tersebut menginisiasi Amerika Serikat untuk menempatkan instalasi NIKE-X di 12 (dua belas) lokasi strategis pada tahun 1965. Hal ini tentunya bertujuan untuk mengantisipasi setiap ancaman serangan rudal dari Uni Soviet. Akan tetapi pada tahun yang sama, McNamara menghentikan program penyebaran instalasi rudal balistik tersebut dikarenakan hanya akan membuat Uni Soviet menciptakan lebih banyak rudal untuk disebarluaskan (Gansler 2010: 42).

Prediksi yang dikemukakan oleh McNamara tidak lantas membuat Uni Soviet mengurangi intensitas penyebaran sistem anti rudal balistik di negaranya. Pada tahun 1966 berdasarkan informasi yang dirilis dari pihak intelijen Amerika Serikat bahwa Uni Soviet telah menempatkan sistem anti rudal balistik Galosh ke seluruh kota yang ada di Uni Soviet (Boucom 1995: 35). Kebijakan yang

29

diterapkan oleh Uni Soviet tersebut tentunya memicu ketegangan yang berkelanjutan antar kedua negara. Amerika Serikat melalui Menteri Pertahanan McNamara (Gansler 2010: 43) menyatakan bahwa;

The U.S. reaction to the Soviet deployment of a ballistic missile defense system would not be the deployment of more U.S. defensive systems; instead, it would be the deployment of more and better offensive systems” Pernyataan McNamara tersebut menekankan bahwa Amerika Serikat tidak akan menyebarkan sistem anti rudal balistik yang bersifat defensif, melainkan sebagai sistem terpadu yang bersifat ofensif, yang kapan saja dapat menyerang Uni Soviet (Gansler 2010: 43).

Dalam hal ini, Amerika Serikat secara realistis menyadari bahwa semakin sulit untuk menghentikan intensitas penyebaran rudal balistik yang dimiliki Uni Soviet. Kesulitan ini tentunya dapat dilihat dari gagalnya Presiden Amerika Serikat saat itu Lyndon Baines Johnson dalam membentuk sebuah kesepakatan berupa perjanjian internasional yang berhubungan dengan pengendalian senjata ofensif dengan Uni Soviet (Kaplan 2008: 10). Oleh karena itu pada tahun 1967 Amerika Serikat melanjutkan program pengembangan sistem anti rudal balistik terbaru bernama Sentinel yang bertujuan untuk mengantisipasi serangan rudal ICBM yang dimiliki Uni Soviet (Smith 2000: 3-4).

Secara resmi, pembangunan instalasi serta penyebaran sistem anti rudal balistik Sentinel diumumkan oleh McNamara dengan menekankan pada 2 (dua) poin utama. Pertama, upaya pembangunan sistem anti rudal balistik jenis terbaru yakni Sentinel hanya akan meningkatkan rivalitas serta volume kepemilikan rudal ofensif antara Amerika Serikat dan Uni Soviet. Kedua, pada dasarnya yang diperlukan dalam sistem pertahanan dan keamanan nasional cukup bertumpu pada teknologi rudal yang telah ada tanpa harus membangun sebuah sistem anti rudal balistik yang baru (Smith 2000: 4).

30

Sentinel merupakan perangkat anti rudal balistik yang masih mengandalkan teknologi Sprint dan Spartan yang terdapat di dalam rudal NIKE-X. Teknologi ini terafiliasi dengan model baru dalam sistem kapal selam yang bernama Sea-Based Anti Ballistic Missile Intercept System (SABMIS) yang disebar di wilayah perairan pasifik barat dan atlantik utara (Kaplan 2008: 11). Perangkat Sentinel juga diterapkan pada pesawat tempur bernama Airborne Ballistic Missile Intercept System (ABMIS) yang bertujuan untuk menghadang lintasan rudal balistik Uni Soviet yang diluncurkan melalui kapal selam (Kaplan 2008: 11-12).

Gambar II.A.4. Sentinel Progam

Sumber: Kaplan, Kaplan, Missile Defense: The First Sixty Years, Missile Defense Agency, 2008

Namun pada awal tahun 1968 muncul perdebatan yang dikemukakan oleh Presiden Johnson tentang rencana pembangunan instalasi ICBM dari yang sebelumnya berbasis kapal selam juga akan dikembangkan ke basis darat/ Land-Based ICBM (Kaplan 2008: 12). Hal ini dikarenakan Presiden Lyndon B. Johnson memprediksi bahwa Uni Soviet akan mendominasi serta meningkatkan teknologi rudal dalam skala besar melalui jalur udara, darat serta laut.

31

Presiden Johnson juga menegaskan bahwa pembangunan instalasi ICBM dengan skala besar bertujuan untuk melindungi wilayah Amerika Serikat serta menjadi “Bargaining Chip” atau posisi tawar untuk menjalin kerjasama pengendalian senjata dengan Uni Soviet (Kaplan 2008: 13). Akan tetapi isu perdebatan mengenai rencana peningkatan teknologi pada rudal balistik pada akhirnya diselesaikan pada tahun 1969 ketika Presiden Lyndon B. Johnson digantikan oleh Presiden Richard M. Nixon. Hal ini berdasarkan keputusan Menteri Pertahanan Melvin Laird yang menghentikan penyebaran Sentinel secara luas untuk ditinjau oleh pemerintahan baru Amerika Serikat yang dipegang oleh Presiden Nixon (Boucom 1995: 35-36).

Hasil tinjauan atas kebijakan strategis Amerika Serikat terkait pertahanan dan keamanan secara langsung diumumkan oleh Presiden Nixon pada pertengahan tahun 1969. Presiden Nixon memutuskan untuk membentuk program pertahanan dan keamanan baru bagi Amerika Serikat bernama “Safeguard Program” (Kaplan 2008: 14). Safeguard merupakan bentuk reorientasi dari kebijakan pertahanan Amerika Serikat yang lebih memfokuskan perlindungan terhadap instalasi rudal ICBM Minuteman ketimbang perlindungan terhadap kota-kota strategis di Amerika Serikat (Gansler 2010: 43-44).

Apabila ditinjau dari segi teknologi, Safeguard masih mengandalkan kemampuan rudal Sentinel yang dibangun pada era Presiden Lyndon B. Johnson. Letak perbedaannya telah dijelaskan hanya pada wilayah perlindungan yang lebih cenderung fokus pada pengamanan instalasi rudal ICBM Minuteman (Boucom 1995: 36). Selain itu, Safeguard bertujuan untuk melindungi Pusat Komando Strategis Angkatan Udara (Strategic Air Command), serta perlindungan

32

menyeluruh terhadap Otoritas Komando Nasional (National Command Authority) yang berbasis di Washington, DC (Smith 2000: 4).

Dirilisnya Safeguard sebagai program pertahanan dan keamanan Amerika Serikat tentunya tidak lepas dari perdebatan-perdebatan yang mengemuka di publik Amerika Serikat. Beragam reaksi terjadi dalam menanggapi isu penyebaran Safeguard, diantaranya para ilmuwan melakukan aksi mogok, mengadakan pertemuan dengan berbagai elemen masyakarat serta aksi demonstrasi di pusat kota Washington sebagai bentuk protes atas keputusan pemerintah yang ingin membangun serta menyebarkan Safeguard (Gansler 2010: 44)

Bentuk protes juga berlangsung di Kongres Amerika Serikat pada saat melakukan voting untuk menyetujui kebijakan pemerintah dalam menyebarkan Safeguard. Kondisi ini mengakibatkan Kongres terpecah dikarenakan masalah tersebut. Hal ini terbukti dari hasil voting yang menunjukkan persentase 50/50. Akan tetapi jajak pendapat yang dilaksanakan oleh pemerintah menunjukkan hasil positif dengan mendapatkan dukungan masyarakat sebesar 84% yang sebelumnya hanya mendapat dukungan 47%, meskipun banyak di antara publik Amerika Serikat yang tidak peduli dengan persoalan ini (Gansler 2010: 45).

Sikap protes yang ditunjukkan oleh para pemangku kepentingan dalam kebijakan pertahanan Amerika Serikat cenderung dikarenakan kekhawatiran yang disebabkan kemajuan senjata nuklir yang dimiliki Amerika Serikat dan Uni Soviet. Kemajuan ini tentunya berdampak pada ancaman perang nuklir antar kedua negara yang pada akhirnya disimpulkan tidak ada satu pun yang akan menang selain kemungkinan untuk saling menghancurkan satu sama lain (Gansler 2010: 46).

33

Kontroversi serta berbagai perdebatan yang terjadi di Amerika Serikat pada akhirnya terselesaikan pada Agustus 1969 ketika Senat menyetujui program pemerintah untuk menyebarkan instalasi Safeguard (Smith 2004: 4-5). Keputusan Senat yang menyetujui program pemerintah tersebut tentunya tidak lepas dari kritik yang menekankan pada 2 (dua) poin utama; pertama, Amerika Serikat harus menyetujui untuk memulai pembicaraan dengan Uni Soviet terkait pengendalian serta pembatasan senjata ofensif. Kedua, Amerika Serikat harus tetap konsisten dengan sistem pertahanannya meskipun Uni Soviet telah mengurangi intensitas pembangunan senjata ofensif di negaranya (Smith 2000: 5-6).

Secara resmi pada tahun 1970, Amerika Serikat mulai menempatkan Safeguard di wilayah instalasi rudal ICBM Minuteman yang berlokasi di Grand Forks, North Dakota. Penyebaran ini tentunya sebagai “Bargaining Chip” Amerika Serikat terhadap Uni Soviet agar bersedia berunding mengenai rencana pengurangan senjata ofensif (Smith 2000: 6). Hal ini secara langsung direspon positif oleh kedua negara dengan mengadakan pertemuan bertajuk Strategic Arms

Dokumen terkait