• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengetahuan dan praktik tanam campuran petani di Desa Gurusinga yang ini menunjukkan bahwa satu petani dengan petani lain cenderung mempraktikkan pola tanam campuran dan pilihan jenis tanaman yang beragam. Perbedaan pilihan jenis tanaman dan pola tanam cenderung didasarkan pada pengalaman atau lebih tepatnya merupakan akumulasi pengetahuan petani dari satu periode tanam ke periode tanam lain.

22 Di desa Gurusinga juga terdapat beberapa bentuk hubungan sosial bersifat formal. Beberapa organisasi tersebut meliputi; organisasi keagamaan, organisasi kepemudaan ataupun organisasi sosial ekonomi Organisasi keagamaan berupa beberapa kelompok perkumpulan gereja, kelompok pengajian dan remaja mesjid. Sementara organisasi kepemudaan yang dimaksud adalah karang taruna. Organisasi sosial lainnya adalah kegiatan PKK, koperasi dan kelompok tani (tidak aktif) Menurut petani, pertemuan dalam kegiatan ini hanya membicarakan agenda rutin semata tanpa menyinggung kegiatan-kegiatan pertanian secara terfokus.

Sri Alem Sembiring: Pengetahuan & Strategi Petani Hortikultura:Kompetensinya dlm Peningkatan Pendapatan Petani , 2002 USU Repository©2006

Hasil dari percobaan dan akumulasi pengetahuan adalah klasifikasi tanaman berdasarkan banyak hal. Ini menunjukkan bahwa pengetahuan petani itu tidak statis. Berkembang sesuai dengan perkembangan situasi baru. Penyesuain ini selalu diupayakan petani demi mencapai harapan mereka dalam setiap periode tanam. Hasil dari apa yang mereka praktikkan adalah keragaman jenis tanaman dan pergantian jenis tanaman untuk setiap periode tanam. Fenomena ini searah dengan isu keragaman hayati (‘biodiversity’). Keragaman dan pergantian tanaman untuk setiap waktu tanam ini juga sangat menyumbang pada kelestarian kesuburan tanah. Kesuburan tanah yang tetap terpelihara sangat dibutuhkan petani bagi keberlanjutan sistem pertanian mereka.

Petani-petani di Gurusinga menyebutkan bahwa jika mereka menanam jenis tanaman yang sama (atau mencampur tanaman yang sama) di lahan yang sama untuk dua periode tanam berturut-turut, maka hasil panen cenderung berkurang dari segi kuantitas dan kualitas. Selain itu, serangan hama juga akan cenderung lebih mengganas. Pengalaman ini mengajarkan petani bahwa mereka harus mengeluarkan dana lebih besar untuk biaya penyemprotan pestisida bagi tanaman jika tidak mengganti jenis tanaman di ladang yang sama untuk dua waktu tanam berturut-turut. Selain itu, biaya pupuk juga lebih banyak karena menurut petani tanah telah berkurang kekuatannya. Salah Salah seorang petani memberi penjelasan sehubungan dengan hal ini, Ibu SG (45 th) mengatakan:

“Kalau tanamannya sama waktu panen semalam dan kita tanam lagi sama untuk sekarang, jadi tanaman yang sama itukan akan memakan zat tanah yang sama, jadi harus ditambah pupuk lebih banyak karena telah dimakan oleh tanaman yang sama sebelumnya, begitu juga hama dan penyakit yang sebelumnya ada akan lebih cepat berkembang karena tanamannya sama, karena tidak semua hama itu mati walau telah panen, entah kenapa begitu, kami tidak tahu….’.

Petani lain bernama Pak NJ (50 th), menjelaskan bagaimana beliau menjaga kualitas tanah ladangnya agar tanah tetap subur walaupun beliau tidak mengganti seluruh jenis tanamannya. Pak NJ tidak mengganti pilihan tanamannya karena beliau tidak mempunyai dana tambahan untuk membeli bibit baru. Sehingga beliau hanya memakai persediaan bibit yang ada:

Sri Alem Sembiring: Pengetahuan & Strategi Petani Hortikultura:Kompetensinya dlm Peningkatan Pendapatan Petani , 2002 USU Repository©2006

“Saya pernah tidak mengganti tanaman saya secara berturut-turut untuk tiga kali panen. Saya tanam kol (kubis, pen), sayur putih dan wortel, waktu itu saya buat tiga petak di ladang saya. Hasil bagus, tapi tidak terlalu banyak untung. Lalu saya tanam lagi yang sama, tapi posisinya saya ganti, ditukar petaknya, jadi zat tanahnya tetap bagus, tidak begitu juga dia hamanya, panennya juga bagus, saya ganti lagi ketiga kali petaknya, panennya bagus, barulah ada untung sedikit lebih banyak, pokoknya hindari tanaman yang sama di tanah yang sama itu saja, bisa juga kalau kol jadi akar lobak (‘Meloidogyne Spp’, pen) penyakitnya, begitulah yang kami alami,".

Penjelasan petani ini merupakan pengetahuan yang diperoleh dari pengalaman sebelumnya. Mereka melakukan upaya pergantian jenis tanaman demi menjaga kesuburan tanah dan sebagai upaya untuk meminimalisir serangan hama dan penyakit tanaman.

Pergantian tanaman di setiap waktu tanam yang dilakukan petani tidak semata hanya untuk alasan akan kuantitas dan kualitas hasil panen. Dalam konteks mikro, apa yang dilakukan. setiap petani di Desa Gurusinga ini telah melestarikan ekosistem ladang mereka masing-masing. Terjaganya kesuburan tanah dalam setiap petak ladang di satu desa akan menunjang stabilitas ekosistem di desa tersebut. Stabilitas ekosistem pada tingkat desa ini akan berimplikasi pada stabilitas ekosistem pada tingkat lokal.

Stabilitas ekosistem bagi petani sangat penting karena tidak hanya kesuburan tanah yang terjamin, melainkan siklus hidup organisme pengganggu tanaman (OPT) juga terputus dengan putusnya rantai makanan mereka yaitu tanaman yang sama di setiap waktu tanam dan di lokasi yang sama. Sebagaimana dijelaskan oleh Pak RS, seorang koordinator penyuluh lapangan di Tanah Karo;

"Sebenarnya kalau persoalan serangan hama secara ilmiah memang akan terkurangi dengan mengganti jenis tanaman untuk setiap masa tanam. Serangan hama juga akan berkurang jika tanaman yang ditanam beragam untuk satu ladang di saat bersamaan, Sebenarnya perkembangbiakan hama ataupun penyakit tanaman dapat ditekan dengan keragaman tanaman untuk satu ladang dan pergantian tanaman. Kesuburan tanaman juga terjaga, terutama didukung penggunaaan pupuk kandang dan kompos yang banyak dipakai petani hortikultura di Tanah Karo ini, walaupun mereka tidak menyadari secara penuh apa yang mereka praktekkan itu untuk kebaikan lingkungan mereka”.

Sri Alem Sembiring: Pengetahuan & Strategi Petani Hortikultura:Kompetensinya dlm Peningkatan Pendapatan Petani , 2002 USU Repository©2006

Pada satu sisi, apa yang dilakukan petani dengan keragaman tanaman dan pergantian jenis tanaman untuk setiap masa tanam ini sesuai dengan paradigma para petugas pertanian di Tanah Karo tentang kesuburan tanah dan perlindungan ekosistem. Tetapi di sisi lain, petani dan penyuluh lapangan cenderung berseberangan paradigma tentang teknik-teknik perawatan dan pemeliharaan tanaman karena berhubungan erat dengan fluktuasi harga tanaman yang sangat tinggi.

Sri Alem Sembiring: Pengetahuan & Strategi Petani Hortikultura:Kompetensinya dlm Peningkatan Pendapatan Petani , 2002 USU Repository©2006

BAB VII PENUTUP

Dalam kaitannya dengan konteks keragaman tanaman, apa yang dipraktikkan petani hortikultura di Gurusinga ini akan menyumbang pada lestarinya keragaman tanaman dari hasil budidaya petani. Kelestarian keragaman tanaman akan senantiasa terpelihara karena ada hal lain yang juga lestari (paling tidak dalam prediksi petani) yaitu ketidakpastian iklim atau perubahan cuaca tidak menentu, fluktuasi harga yang sangat tinggi, serangan hama dan penyakit yang sulit diprediksi dan diantisipasi dan juga perubahan kualitas permintaan ekspor dan lokal hasil pertanian.

Keseluruhan faktor ini akan mempengaruhi hasil panen dan penghasilan petani. Kekhawatiran akan jatuhnya harga dari beberapa jenis tanaman dan antisipasi serangan hama, petani akan cenderung tetap membudidayakan jenis tanaman yang beragam. Tindakan ini terutama ditujukan sebagai proteksi stabilitas hasil panen atau stabilitas penghasilan.

Pelestarian keragaman hayati ini menurut Cleveland (1993) dan Shand (1997) sangat diperlukan dalam jangka panjang untuk kehidupan di planet ini dan merupakan kunci mendasar bagi sistem pertanian yang berkelanjutan (‘sustainable agriculture’)22. Urgensi terhadap perlindungan keragaman hayati ini juga telah melahirkan sebuah konvensi keragaman biologi di Rio pada tahun 1992. Konvensi ini telah menetapkan bahwa langkah pertama yang perlu dikampanyekan untuk seluruh dunia adalah perlindungan terhadap perusakan keragaman.

22

Menurut Cleveland (1993) dan Shand (l997) dalam jangka panjang, keragaman hayati itu sangat diperlukan bagi persediaan makanan pada tingkat dunia bagi masa sekarang dan masa yang akan datang. Berfungsi juga sebagai sistem yang mendukung kehidupan di planet ini untuk kontribusi oksigen, mempertahankan kualitas atmosfer dan juga bagi alasan estetis.

Sri Alem Sembiring: Pengetahuan & Strategi Petani Hortikultura:Kompetensinya dlm Peningkatan Pendapatan Petani , 2002 USU Repository©2006

Perusakan keragaman ini merupakan ancaman terhadap pemusnahan beberapa spesies dan perusakan lingkungan, termasuk di dalamnya tumbuhan, hewan, ikan atau hutan. Akhirnya, hal itu akan menyebabkan kerusakan ekosistem pada tingkat dunia 23.

Kesadaran banyak pihak akan bencana yang dihadapi akibat hilangnya keragaman ini telah mencetuskan beberapa upaya-upaya ke arah konservasi keragaman hayati (‘biodiversity’). Salah satu elemen penting dari upaya ini adalah konservasi ‘biodirsity’ dalam habitatnya sendiri (‘in situ’), selain konservasi di luar habitatnya sendiri pada ‘gene bank’ secara ‘ex situ’. Konservasi keragaman tanaman dalam habitatnya sendiri akan melibatkan petani sebagai orang yang paling dekat dengan budidaya tanaman tersebut. Dengan demikian, perhatian akan lebih bermanfaat difokuskan kepada petani dan pengetahuan lokal mereka. Petani adalah aktor yang paling penting dalam upaya konservasi keragaman tanaman. Pengetahuan yang mereka miliki suatu kearifan pemanfaatan lahan merupakan memperhatikan kepentingan lingkungan, ekonomi dan stabilitas ekosistem ladang mereka. ***

23 Beberapa tulisan menyebutkan bahwa perusakan keragaman hayati itu berasal dari usaha modernisasi pertanian, komersialisasi, maupun intensifikasi produksi. Salah satu langkah konkritnya adalah digencarkannya Program Revolusi Hijau atau pertanian sistem monokultur dengan pengutamaan pada penggunaan teknologi tinggi, pasokan energi tinggi dan hasil yang tinggi. Program Revolusi Hijau ini tidak hanya mengancam hilangnya keragaman hayati (‘biodiversity’), tetapi juga ancaman terhadap hilangnya pengetahuan-pengetahuan tradisional petani, karena keduanya memiliki hubungan yang saling terkait. Lihat dalam Shand 1997 dan Cleveland 1993).

Sri Alem Sembiring: Pengetahuan & Strategi Petani Hortikultura:Kompetensinya dlm Peningkatan Pendapatan Petani , 2002 USU Repository©2006

Daftar Pustaka Adler, Patricia A dan Adler, Peter.

1994 "Observational Techniques" dalam Norman K. Denzin dan Yvonna S. Lincoln (eds) Handbook of Qualitative Research.California: Sage Publication, hal. 377-397.

Amanor, Kojo.

1993 "Introduvtion", dalam Walter de Boef, Kojo Amanor and Kate Wellard, with Anthony Bebbington (eds) Cultivating Knowledge: Genetic Diversity. Farmer Experimentation and Crop Research. London: Intermediate Technology Publication, hal. 17-19 .

Antweiler, C. and Mersman, C.

1996 "Local Knowledge and Cultural Skills as Resources for Sustainable Forest Development". Conference Room Papper for the third Session of the Intergovermental Panel on Forest (IPF) in September 1996 on IPF Programme element 1.3: Traditional Forest-related Knowledge. Eschborn-Germany, hal 1 - 45.

Atkinson,Paul dan Hemmersley, Martyn

1994 "Ethnography and Participant Observation", dalam Norman K. Denzin dan Yvonna S. Lincoln (eds) Handbook of Qualitative Research. London: Sage Publication, hal. 236-248. Aumeeruddy,Y.

1995 "Phythopractices: Indigenous Horticultural Approaches to Plant Cultivation and Improvement in Tropical Region", dalam D.M. Warren, L.J. Slikkerveer and D. Brokensha (eds) The Cultural Dimension of Development: Indigenous Knowledge System. London: Intermediate Technology Publication, ha1. 308-322.

Barth; F.

1987 Cosmologies in The Making: A Generative Approach to Cultural Variation in inner New Guinea. Cambridge: Cambridge University Press.

Bennagen; Ponciano L.

1996 "Consulting the Spirits, Working with Nature, Sharing with Others: an Overview of Indigenous Resource Management", dalam Ponciano L. Bennagen and Maria Lucia Lucas - Fernan (eds) Consulting the Spirits, Working with Nature, Sharing with Others: Indigenous Resource Management in the Philippines. Philippine: Sentro Para sa Ganap na Pamayanan, Inc., hal.1-22.

Bernard, H. Russel

1994 Research Methods in anthropology: Oualitative and Ouantitative Approach (second edition).California: Sage Publication.

Bogdan, Robert dan Taylor, Steven J.

1993 Kualitatif: Dasar-Dasar Penelitian (terjemahan). Surabaya: Usaha Nasional. 44

Sri Alem Sembiring: Pengetahuan & Strategi Petani Hortikultura:Kompetensinya dlm Peningkatan Pendapatan Petani , 2002 USU Repository©2006

Borofsky, R

1987 Making History: Pukapukan and Anthropological Construction of Knowledge. Cambridge: Cambridge University Press.

1994a "On The Knowledge and knowing of Cultural Activities" dalam R. Borofsky (ed) Assesing Cultural Anthropology. New York: McGraw-Hill, hal. 331-347.

1994b"The Cultural in Motion" dalam R. Borofsky (ed) Assesing Cultural Anthropology. New York: McGraw-Hill, hal. 313-319.

Cleveland, D.A.

1993 "Is Variety More than Spice of Life: Diversity, Stability, and Sustainable Agriculture", Culture and Agriculture: 2-7.

Fontana, Andrea dan Frey, James H.

1994 "lntervewing: The Art of Science" dalam Norman K. Denzin dan Yvonna S. Lincoln (eds) Handbook of Oualitative Research. California: Sage Publication, hal. 361-377.

Frake, Charles O.

1969 "The Ethnographic Study of Cognition Systems", dalam Stephen J. Tyler (ed) Cognitive Anthropology United States:Waveland Press, Inc., ha1.28-40.

Hobart, M.

1993 "Introduction: The Growth of Ignorance", dalam M. Hobart (ed) An Anthropological Critique of Development: The Growth of Ignorance. London: Routledge, hal 1-30.

Johnson, A.

1974 "Ethnoecology and Planting Practices in a Swidden Agricultural System". American Ethnologist 1:87-101.

Marzali, Amri.

1997 "Kata Pengantar" dalam James P.Spradley Metode Etnografi (terjemahan.). Yogya: Tiara Wacana Yogya, hal. xv-xxiv.

Millar, David.

1993 "Fanner Experimentation and The Cosmovision Paradigm" dalam Walter de Boef, Kojo and Kate Wellard, with Anthony Bebbington (eds) Cultivating _knowledge: Genetic Diversity, Farmer Experimentation and Crop Research. London: Intermediate Technology Publication, hal. 44-49.

Nizar, G. Singh.

1995 In Devence of Indigenous Knowledge and Biodiversity - a Conceptual Framework and Essential Elements of a Rights Regime". Papper. Third World Network, Penang Malaysia, hal. 1-21.

Shri Ahimsa Putra, Heddy.

1985 "Ethnosains dan Etnometodologi" dalam Majalah Ilmu-ilmu Sosial Indonesia, Agustus jilid XII, No.2, hal 103-133.

Sri Alem Sembiring: Pengetahuan & Strategi Petani Hortikultura:Kompetensinya dlm Peningkatan Pendapatan Petani , 2002 USU Repository©2006

Spradley, James P.

1980 Participant Observation. New York: Reinhart and Winston. 1993 Metode Etnografi (terjemahan). Yogya: Tiara Wacana Yogya.

Tyler, Stephen J.

1969 "Introduction", dalam Stephen J. Tyler (ed) Cognitive Anthropology. United States:Waveland Press, Inc., hal.25-28.

Winarto, Yunita.

1998 "Hama dan Musuh Alami, 'Obat dan Racun': Dinamika Pengetahuan Petani dalam Pengendalian Hama". Jurnal Antropologi Indonesia No.55 Th XII, hal 53-68.

Winarto, Yunita dan Choesin, Ezra M.

1998 "Pengetahuan Lokal dan Pembangunan". Jurnal Antropologi Indonesia No.55 Th XII, hal.iii-vii.

Dokumen terkait