Sri Alem Sembiring: Pengetahuan & Strategi Petani Hortikultura:Kompetensinya dlm Peningkatan Pendapatan Petani , 2002 USU Repository©2006
RINGKASAN
PENGETAHUAN DAN STRATEGI PETANI HORTIKULTURA:
KOMPETENSINYA DALAM PENINGKA TAN PENDAPATAN PETANI DAN STABILITAS EKOSISTEM LADANG
studi di Desa Gurusinga Kecamatan Berastagi Kabupaten Karo Propinsi Sumatera Utara
Oleh : Sri Alem Br.Sembiring dan Nita Savitri :2005:iv + 54 hal + 5 lamp
Kajian ini terarah pada pengetahwm dan strategi petani Karo penanam hortikuItura di Desa Gurusinga. Fokus kajian kepada sistem pengetahuan Iokal dalam pengolahan ladang dan strategi-strategi petani dalam mengembangkan pola tanam campuran dari budidaya hortikultura mereka. PeneIitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi, menggambarkan dan menjelaskan secara rinci bagaimana sistem klasifikasi petani atas tanaman dan segala haI yang berhubungan dengan cocok tanam. Penelitian juga merangkum bentuk pola tanam yang saat ini dikembangkan petani, dan menjelaskan keterkaitan sistem klasifikasi dengan bentuk pola tanam yang dipraktikkan petani.
Kajian ini menjadi penting dari sisi akademis karena studi-studi yang menekankan kepada kompleksitas sistem pengetahuan lokal yang dirangkai dengan lingkup sosial budaya dan sistem ekologi IokaI adaIah jenis kajian aktuaI saat ini. Bahkan untuk tingkat dunia menjadi sangat penting karena berhubungan dengan pemeIiharaan biodiversitas tanaman. Studi seperti ini juga merupakan masukan penting bagi pemerintah daerah, terutama untuk memahami potensi lokal yang dapat dijadikan penopang bagi sistem desentrasilasi untuk menghindari kebijakan lama yang sentralistik. Pemahaman akan potensi lokal sangat mendukung teriptanya pemerintahan Iokal yang kondusif
Penelitian dilakukan dengan metode utama dalam iImu antropologi untuk penelitian lapangan yaitu 'in depth interview' dan observasi partisipasi terbatas untuk perolehan data primer. Disamping beberapa metode lain untuk kelengkapan data sekunder.’Field work’ yang diIakukan secara kontiniu dan bertahap melahirkan beberapa data dan beberapa kesimpulan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengetahuan petani akan tanaman itu merupakan akumulasi pengalaman panjang dari pergulatan mereka dengan tanaman, tanah, hama dan penyakit, cuaca/iklim, pupuk dan pestisida, perkembangan harga yang terintegrasi dari satu periode tanam ke periode tanam lain. Proses panjang ini mencetuskan sistem klasifikasi tanaman yang sedemikian kompleks. Klasifikasi ini merupakan hasil dari prose belajar dengan lingkungan alam lokal.
Sri Alem Sembiring: Pengetahuan & Strategi Petani Hortikultura:Kompetensinya dlm Peningkatan Pendapatan Petani , 2002 USU Repository©2006
Tidak hanya lingkungan alam lokal yang terlibat, sisi sosial budaya juga terserap dalam pengetahuan dan praktik tanam campuran itu.Pola tanam apa yang mereka praktikkan pada periode kali ini tenyata juga merupakan hasil dari hubungan sosial dengan banyak agen dalam masyarakat petani. Peranan pertemanan, persabatan, hubungan kerabat menjadi penting sebagai salah satu akses untuk menentukan corak pola tanam strategi penanaman demi menjaga keberhasilan panen. Petani mengembangkan hubungan pinjam-meminjam beragam bentuk; bibit, pupuk-pestisida, tenaga kerja dan modifikasinya hanya atas dasar kepentingan dan saling percaya yang mengikat mereka masing-masing.Hubungan sosial ini menjadi penting mengingat tingginya kondisi ketidakpastian yang dihadapi petani. Ketidakpastian iklim/cuaca, serangan hama dan penyakit dan ketidakpastian harga merupakan 'momok' yang sangat meresahkan petani.
Apa yang dipraktikkan petani sebagai hasil pengalaman panjang dari sejumlah proses penanaman di ladang menunjukkan bahwa mereka belajar bagaimana mempertahankan kualitas hasil dan kualitas kesuburan tanah. Pengalaman keberhasilan dan kegagalan panen yang dialami petani dari masa ke masa dijadikan acuan untuk mempertahankan keberlanjutan sistem pertanian mereka. Apa yang dipraktikkan petani hortikultura di Desa Gurusinga ini searah dengan isu global yang menyuarakan 'sustainable agriculture' dengan penekanan pada keragaman 'biodiversity'. **
(Departemen Antropologi - Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Universitas Sumatera Utara, Medan)
Sri Alem Sembiring: Pengetahuan & Strategi Petani Hortikultura:Kompetensinya dlm Peningkatan Pendapatan Petani , 2002 USU Repository©2006
DAFTAR ISI
halaman
RINGKASAN i
KATAPENGANTAR iii
DAFTAR ISI iv
BAB I PENDAHULUAN BAB II RINCIAN MASALAH……… 5
BAB III TINJAUAN PUSTAKA………... 6
BAB IV TUJUAN DAN KONTRIBUSI PENELITIAN... 11
BAB V METODE PENELITIAN……… 12
BAB VI HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN………... 15
A. Gambaran Umum Desa Gurusinga 1. Lekasi dan Penduduk Gurusinga……… 15
2. Kondisi Lingkungan Alam dan Tata Ruang………... 20
B. Pengetahuan Petani dalam Pengeioiaan Ladang 1. Klasifikasi Tanaman Berdasarkan Usia Tanam………. 26
2. Klasifikasi Tanaman Berdasarkan Waktu Produktivitas... 26
3. Klasifikasi Tanaman Berdasarkan Perawatan Tanaman……… 27
4. Klasifikasi Tanaman Berdasarkan Ukuran Tinggi Tanaman………… 31
5. Klasifikasi Tanaman Berdasarkan Sumber Penyakit... 31
6. Klasifikasi Tanaman BerdasarkanTujuan dan Pemanfaatan………….. 33
7. KlasifikasiTanaman BerdasarkanSasaran Distribusi………... 34
8. Klasifikasi Tanaman Berdasarkan Fluktuasi Harga……… 35
C. Bentuk-Bentuk Praktik Tanam Campuran Petani 1. Pola Tanam Campur-campur...36
2. Pola Tanam Tumpang Tindih...37
3. Pola Tanam Tua Muda ……….38
4. Pola Tanam Rotasi atau Sada-Sada………..39
5. Pola Tanam Ragi-agi………40
D. Strategi Tanam untuk Peningkatan HasiI 1. Petani Lahan Tunggal……….41
2. Petani Lahan Multi……….44
E. Strategi Sosial Budaya Antisipasi Kondisi Ketidakpastian……….45
F. Signifikansi Bagi Stabilitas Ekosistem Ladang………...47
BAB VII PENUTUP……….. 50
DAFTAR PUSTAKA……… 52
Sri Alem Sembiring: Pengetahuan & Strategi Petani Hortikultura:Kompetensinya dlm Peningkatan Pendapatan Petani , 2002 USU Repository©2006
Daftar Lampiran
Lampiran 1 Lokasi Pemukiman Desa Gurusinga
Lampiran 2 Data Demografi Desa Gurusinga
A Tabel Distribusi Penduduk Menurut Mata Pencaharian
B. Tabel Distribusi Penduduk Menurut Pendidikan
C. Tabel Distribusi Penduduk Menurut Agama
D. Tabel Sarana dan Prasarana Desa
Lampiran 3 Jenis-jenis Tanaman Hortikultura yang Dibudidayakan Petani di Gurusinga
Lampiran 4 Jenis Hama dan Penyakit (Organisme Penganggu Tanaman) yang Menyerang
Tanaman Hortiku1tura
Lampiran 5 Lampiran Keterangan Informan dan Jumlah Ladang serta Pengelolaannya
Lampiran 6 Foto Ladang HortikuItura Petani
Sri Alem Sembiring: Pengetahuan & Strategi Petani Hortikultura:Kompetensinya dlm Peningkatan Pendapatan Petani , 2002 USU Repository©2006
BAB I
PENDAHULUAN
Penelitian ini akan mengkaji pengetahuan dan strategi petani Karo penanam
hortikultura yang tinggal di Desa Gurusinga, Kec. Berastagi, Kab.Karo, Sumatera Utara.
Bertani merupakan mata pencaharian utama untuk menghidupi keluarga dan sumber biaya
bagi pendidikan anak-anak mereka. Fokus kajian akan diarahkan pada sistem pengetahuan
petani dalam pengolahan lahan dan strategi-strategi petani dalam mengembangkan pola tanam
campuran dari budidaya hortikultura mereka.
Pengetahuan dan strategi petani itu perlu dicermati karena tingginya kondisi
ketidakpastian dari segi iklim, serangan hama dan tingginya fluktuasi harga pasar. Menurut
pengakuan petani Karo, kondisi ketidakpastian tersebut sangat meresahkan dan tidak dapat
diprediksi dan berimbas pada penghasilan mereka yang juga cenderung sangat berfluktuasi
(hasil wawancara dengan petani pada bulan Pebruari 2004). Masalah petani menjadi semakin
kompleks karena mereka juga dihadapkan pada tuntutan untuk tetap menjaga stabilitas
ekosistem ladang agar tetap dapat diusahakan secara berkelanjutan. Tuntutan keseimbangan
ekosistem ini menjadi Prioritas karena petani Karo di Desa Gurusinga tidak pernah
‘mengistirahatkan’ tanah ladang mereka. Tanah digunakan secara terus-menerus dari satu
waktu tanam ke waktu tanam berikutnya tanpa ada masa bera.
Petani-petani Karo di Desa Gurusinga menanam jenis tanaman hortikultura yang
mereka sebut dengan tanaman muda, yaitu jenis sayur-sayuran dengan usia panen antara 3
sampai 4 bulan. Jenis tanaman ini meliputi wortel, selada, saledri, daun bawang, kubis, kubis
bunga, brokoli, bit, buncis, andebi, cabai merah, paprika, rawit, kacang panjang, kacang kapri,
kacang jogo, kacang koro, ketumbar daun, kentang, ketna, lobak, pater seli, petsai, peleng,
tangho, terung, tomat (hasil pengamatan sementara dan wawancara penulis dengan petani
bulan Pebruari 2004).
Dari sisi ilmu Antropologi, apa yang dilakukan petani Karo di ladang-ladang
hortiku1tura mereka menjadi menarik untuk dikaji karena merupakan bahasan aktual yang
menekankan pada kompleksitas sistem pengetahuan lokal dengan memfokus pada
pengetahuan lokal sebagai sebuah proses, dimana studi-studi seperti ini berhubungan dengan
Sri Alem Sembiring: Pengetahuan & Strategi Petani Hortikultura:Kompetensinya dlm Peningkatan Pendapatan Petani , 2002 USU Repository©2006
pengetahuan pertanian yang diletakkan dalam lingkup sistem sosial budaya dengan sistem
ekologi dan dalam suatu konteks yang memandang bahwa pengetahuan pertanian itu
berkembang (Amanor 1993:17). Selain itu, Nizar (1995:3) juga menegaskan bahwa studi yang
menekankan pada hubungan antara pengetahuan lokal dan praktek-praktek yang dilakukan
petani dan pemeliharaan dari 'biodiversitas' tanaman adalah merupakan sesuatu yang penting
saat ini. Kepentingan ini juga dimaksudkan agar tidak terjadi seperti apa yang dikemukakan
oleh Hobart (1993:1) bahwa dalam penerapan pengetahuan ilmiah oleh para ahli ataupun
pembuat kebijakan yang ditujukan kepada petani seringkali terjadi diabaikannya pengetahuan
lokal dan kemampuan potensial mereka (petani) untuk berkembang (Winarto 1998). Winarto
dan Choesin (1988:iii) menegaskan "tidak dapat disangkal bahwa pelbagai proyek
pembangunan masih dirancang secara 'top down' tanpa melibatkan partisipasi penduduk
setempat, proyek-proyek pembangunau sering melibatkan asumsi bahwa pengetahuan
ilmiahlah yang lebih superior atau lebih 'benar' dari pada pengetahuan lokal.
Dari segi praktikal pada tingkat lokal, pembahasan mengenai pengetahuan lokal juga
menjadi penting dalam era otonomi daerah. Dengan adanya UU Otonomi Daerah NO.22 dan
25 Tahun 1999 membuat berbagai pihak mulai menyadari bahwa potensi-potensi lokal mutlak
perlu dikembangkan untuk mendukung sistem desentralisasi sebagai pengganti kebijakan lama
yang sentralistik. Potensi lokal ini meliputi aspek politik, ekonomi dan sosial budaya.
Pengembangan potensi lokal ini perlu diperhatikan untuk dapat mendukung sistem
pembangunan partisipatif yang merupakan kata kunci yang harus diterapkan pada setiap
wilayah sesuai tuntutan otonomi. Salah satu strategi penting adalah dengan melihat bagaimana
pengetahuan lokal (petani) itu dikembangkan masyarakat untuk mendukung sistem
perekonomian dan menjaga keseimbangan ekosistem ladang mereka.
Dari segi praktikal pada tingkat global, penelitian ini menjadi penting mengingat
bahwa petani yang menjadi subjek penelitian ini adalah pencocok tanam hortikultura yang
menekankan pada keragaman tanaman. Isu keragaman ini selaras dengan isu global untuk:
mempertahankan keragaman hayati (‘biodiversity’). Cleveland (1993) mengatakan bahwa
dalam jangka panjang, keragaman hayati itu sangat diperlukan bagi persediaan makanan pada
tingkat dunia bagi masa sekarang dan masa yang akan datang. Keragaman hayati juga
berfungsi sebagai sistem yang mendukung kehidupan di planet ini untuk kontribusi oksigen,
Sri Alem Sembiring: Pengetahuan & Strategi Petani Hortikultura:Kompetensinya dlm Peningkatan Pendapatan Petani , 2002 USU Repository©2006
mempertahankan Kualitas atmosfer dan ketersediaan air, dan merupakan Kunci yang
mendasar bagi sistem pertanian yang berkelanjutan (‘sustainable agriculture’).
Tanah Karo, khususnya Desa Gurusinga dipilih karena merupakan desa yang memiliki
areal perladangan terluas di Kec.Berastagi dibandingkan dengan desa lainnya yang juga
mengembangkan tanaman hortikultura. Kekhususan lain adalah di desa ini dikembangkan
beberapa variasi dari pola tanam campuran. Sementara, desa-desa lainnya hanya
mengembangkan satu atau dua pola tanam campuran saja (wawancara dengan petani pada
bulan Februari 2004). Mengapa petani di desa ini mengembangkan lebih banyak variasi pola
tanam campuran dibanding desa lainnya yang jaraknya relatif sangat dekat. Antara Desa Guru
Singa dengan beberapa desa lainnya hanya dibatasi oleh sebuah Sekolah Dasar Negeri atau
lahan pertanian, sebuah sungai atau hutan kecil sepanjang 0,5 m. Namun, desa tetangganya
hanya mengembangkan pola tanam campuran dengan hanya memilih tanaman yang menurut
klasifikasi mereka disebut tanaman capcai. Capcai ini hanya meliputi wortel, selada, dau
saledri, paterly, daun bawang. Sementara di Gurusinga membudidayakan tanaman bemsia
singkat yag sangat beragam. Selain itu, jika dilihat dari segi kondisi ekologi seperti tanah,
cuaca, flora dan fauna bahkan jenis hama yang menyerang tanaman cenderung berjenis sama
untuk beberapa desa lain di Kec.Berastagi. Mengapa hal ini dapat terjadi? Tulisan ini akan
mendeskripsikan dimensi sosial budaya dari pengetahuan pertanian petani Karo di Desa
Gurusinga.
Sri Alem Sembiring: Pengetahuan & Strategi Petani Hortikultura:Kompetensinya dlm Peningkatan Pendapatan Petani , 2002 USU Repository©2006
BAB II
RINCIAN MASALAH
Berdasarkan paparan kondisi empiris di atas, dapat dikemukakan bahwa masalah utama
penelitian ini adalah pada aspek pengetahuan dan strategi petani dalam mengolah lahan ladang
mereka. Apa yang mereka ketahui tentang tanaman dan pengolahan lahan, bagaimana susunan
sistem kategorisasi pengetahuan mereka. Variasi pola tanam campuran apa saja yang mereka
kembangkan, mengapa mereka mengganti variasi pola tanam campuran tersebut dari satu
waktu tanam ke waktu tanam lain dan mengapa jenis tanaman yang dipilih petani juga
cenderung berbeda dari setiap waktu tanam. Bagaimana keterkaitan pengetahuan dan strategi
pergantian pola tanam campuran iui dengan hasil panen atau pendapatan dan stabilitas
ekosistem ladang mereka. Apa saja kondisi ketidakpastian yang dihadapi petani, bagaimana
pengetahuan dan strategi petani ini berhubungan dengan kondisi ketidakpastian yang mereka
hadapi.
Sri Alem Sembiring: Pengetahuan & Strategi Petani Hortikultura:Kompetensinya dlm Peningkatan Pendapatan Petani , 2002 USU Repository©2006
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
Pertanian dalam penelitian ini dikonseptualisasikan sebagai produk dari kebudayaan,
dimana teknologi dan pengetahuan pertanian diletakkan dalam sistem sosial budaya dan
ekologi dimana pengetahuan itu dikembangkan (Amanor 1993: 1 7) atau dengan isti1ah Millar
(1993) bahwa tekno1ogi pengetahuan pertanian ini ada1ah merupakan pandangan yang
ho1istik dari pendukungnya dan didasarkan pada kerangka kerja dinamis dari interaksi yang
kontinu dengan lingkungan.
Dua i1muwan di atas mengisyaratkan bahwa pengetahuan itu tidak terlepas dari aspek
sosia1, ekonomi dan budaya dan bersifat dinamis. Aspek dinamis yang dimaksud selaras
dengan apa yang dikemukakan oleh Barth (1987) bahwa pengetahuan selalu dalam proses
pembuatan, ide-ide selalu direkonstruksi dan dievaluasi kembali (1ihat juga, Borofsky 1987;
1994a;1994b; Antwiler dan Mersman 1996:14)1.
Sedangkan pengertian kata ‘loka1’ yang dirujuk dalam penelitian ini mengikuti Antweiler dan Mersman (1996:5-17) yaitu sesuatu yang tidak dipahami dalam pengertian batas-batas wilayah (topografi) yang sempit yang mengarah kepada lokasi semata, tetapi lebih kepada suatu pengetahuan yang diintegrasikan secara budaya dan dihubungkan dengan lingkungan (secara ekologi) atau disebut ‘culturally situated’.2
1 Borofsky (1987) mengatakan bahwa pengetahuan itu selalu dalam proses kreasi dan modifikasi, reinterpretasi, evolusi dan rekonstruksi yang terus berlanjut. Sementara itu dalam tulisan lainnya, Borofsky (1994a;1994b) membedakan antara
‘knowledge’ dan ‘knowing’ dikatakannya bahwa orang memiliki lebih dari sekedar pengetahuan (‘knowledge’) yang formal dan mantap, tetapi mereka juga memiliki pengetahuan yang berproses (‘knowing’). Antweiler dan Mersman (1996:14) menegaskan bahwa pengetahuan individu itu senantiasa juga berubah melalui waktu dan bergantung pada situasi.
2 Menurut Antweiler dan Mersman (1996: 5-17), pengetahuan lokal itu memiliki karakteristik tersendiri, meliputi: (1) pengetahuan yang berdasarkan kenyataan, kemampuan ( capabilities), dan keahlian-keahlian (sebagai ‘procedural knowledge’), (2) disesuaikan dengan orientasi kehidupan yang nyata untuk persoalan-persoalan sehari-hari, bersifat fleksibel (mudah berubah), (3) bersifat empiris yang diperoleh berdasarkan observasi, uji coba (‘trial and error and natural experiment’), (4)memerlukan pembuktian dalam waktu yang lama, (5) muncul dalam konteks ekologi lokal (6) muncul dan ditransmisikan dalam lingkungan sosial lokal
Sri Alem Sembiring: Pengetahuan & Strategi Petani Hortikultura:Kompetensinya dlm Peningkatan Pendapatan Petani , 2002 USU Repository©2006
Aliran antropologi kognitif yang juga disebut sebagai etnografi baru memusatkan
perhatiannya pada pengetahuan-pengetahuan individu yang diaplikasikan dalam kehidupan
sehari -hari. Spradley (l997;xix-xx) mendefenisikan kebudayan sebagai sistem pengetahuan
yang diperoleh manusia melalui proses belajar yang mereka gunakan untuk
menginterpretasikan dunia sekeliling mereka dan sekaligus untuk menyusun srategi perilaku
dalam menghadapi dunia sekeliling mereka. Pengetahuan itu ada dalam pikiran (’mind’)
anggota masyarakat tersebut dan tugas peneliti adalah ‘mengorek’ pola yang ada dalam
pikiran manusia itu melalui ‘folk taxonomy’. Aliran antropologi kognitif ini berasumsi bahwa
setiap masyarakat mempunyai satu sistem yang unik dalam mempersepsikan dan
mengorganisasikan fenomena material, seperti benda-benda, kejadian, prilaku dan emosi.
Karena itu, objek kajian antropologi bukanlah fenomena material tersebut, tetapi tentang cara
fenomena material tersebut diorganisasikan dalam pikiran (‘mind’) manusia. Tugas seorang
etnografer adalah menemukan dan menggambarkan organisasi pikiran tersebut. Marzali (1997:
xx) menyebutkan bahwa cara yang paling tepat untuk memperoleh budaya tersebut adalah
melalui bahasa, atau lebih khusus lagi melalui daftar kata-kata yang ada dalam suatu bahasa.
Bahasa dan istilah-istilah (nama/sebutan) yang digunakan oleh petani Karo dalam hal ini
menjadi penting untuk ditelusuri. Penelusuran aspek bahasa ini untuk melihat bagaimana
mereka membuat sistem pengkategorisasian dalam pikiran mereka untuk menjelaskan sistem
pengetahuan mereka. Shri Ahimsa Putra (1985:107) mengatakan bahwa pembelian nama
merupakan proses penting dalam kehidupan manusia sebab melalui proses ini manusia dapat
‘menciptakan’ keteraturan dalam persepsinya atas
baik itu dalam bentuk formal, informal, maupun bersifat desentralisasi, (7) orientasinya holistik (berhubungan secara sistemik dengan daerah-daerah lain disekitarnya, (8)bersifat komprehensif, sistemik, memiliki metode, tetapi tidak dilakukan dengan sangat sadar, bersifat lisan ‘verbalised’), (9) diterima dan diketahui secara luas sebagai suatu kesepakatan, (10) pemanfaatannya secara lokal berlawanan dengan sumber-sumber eksternal (pengetahuan ilmiah) untuk sesuatu yang sifatnya pemecahan masalah.
Sri Alem Sembiring: Pengetahuan & Strategi Petani Hortikultura:Kompetensinya dlm Peningkatan Pendapatan Petani , 2002 USU Repository©2006
lingkungan. Dari nama dapat diketahui patokan apa yang dipakai oleh suatu masyarakat untuk
membuat klasifikasi, hal ini berarti kita juga dapat mengetahui 'pandangan hidup' pendukung
kebudayaan tersebut. Shri Ahimsa Putra (1985) menegaskan bahwa melalui bahasa inilah
berbagai pengetahuan baik yang tersembunyi (‘tacit’) maupun yang tidak (‘explicit’)
terungkap pada si peneliti.
Taylor (1969:6-8) memberikan suatu contoh bagaimana suatu masyarakat membentuk
suatu sistem kategorisasi dari peralatan rumah tangga. Taylor menyebutnya dengan ‘taxonomy
of filmitur’. Masyarakat tersebut membedakan penyebutan antara 'chair', ‘sofas’, ‘desks’, dan
‘tables’. ‘Tables’ ini dibedakan atas dua penyebutan lain, yaitu ‘end tables dan ‘dining tables’.
Semua istilah atau penyebutan ini dikategorikan dalam satu kelompok yang disebut
‘furniture’.
Frake (1969:28-41) menemukan bahwa orang Indian Brazil mengkategorikan makanan
dalam tiga kelompok yaitu; ‘sandwich, pie dan ice cream bar’. Masing-masing kelompok ini
terdiri dari beberapa bagian lain. ‘Sandwich’ terdiri dari ‘hamburger’ dan ‘ham sandwich ‘.
‘Pie’ terdiri dari ‘apple pie’ dan ‘cherry pie’. Sementara,' lce cream bar’ adalah makanan yang
disebut ‘Eskimo pie’.
Winarto (1998:53-97) menemukan bahwa petani di dua desa di Kec.Ciasem, Kab.
Subang, Jawa Barat mengkategorikan bahwa semua serangga itu adalah hama. Hama atau
hewan pengganggu tanaman dibedakan dalam tiga kelompok berdasarkan derajat kerusakan
yang ditimbulkannya pada padi; (1) hewan yang merusak padi (satoan nu ngarusak pare)
seperti tikus, wereng, walang sangit, lembing hitam dan ulat grayak,(2) hewan yang
mengganggu, tetapi tidak menimbulkan kerusakan yang parah (satoan nu ngeganggu, enteu
ngarusak pare) seperti ulat daun, belalang daun, kepiting, anjing tanah, sejenis nyamuk
(rembetung) dan (3) hewan yang tidak mengganggu dan tidak merusak padi (satoan nu enteu
ngarusak jeung enteu ngeganggu pare) seperti ulat, ikan, katak, belut, cacing tanah, dan
laba-laba.
Johnson (1974:87-101) menemukan bahwa petani di wilayah Timur Laut Brazil
dengan sistem pertanian tebang bakar (‘slash and burn agriculture’) memiliki dua kategori
utama untuk mengelompokkan tanah mereka, (1) tanah untuk bangunan rumah, terdiri dari
tanah liat, pasir, batu kerikil dan batu besar (‘rock’ ), (2) tanah untuk pertanian terdiri dari 15
Sri Alem Sembiring: Pengetahuan & Strategi Petani Hortikultura:Kompetensinya dlm Peningkatan Pendapatan Petani , 2002 USU Repository©2006
istilah penyebutan, seperti; ‘rocado novo, capoeira, capoeira velha, campestre, coroa, corgoo,
rio,mlagoa, baixo, brejo, vasante, lastro, quintal, salgada, sitio’. Seluruh jenis tanah pertanian
ini selanjutnya dibedakan juga atas dasar kesuburan dan kelembabannya. Johnson(1974) juga
melihat hubungan antara jenis tanah dengan jenis tanaman untuk melihat hubungan antara apa
yang mereka ketahui dan apa yang mereka lakukan dalam praktik pertanian mereka.
Mengenai strategi pola tanam campuran, beberapa studi menunjukkan bahwa petani
mampu mengolah sumber daya alam mereka dan mengembangkan strategi-strategi baru dan
percobaan-percobaan dalam bidang percampuran tanaman atau pola tanam. Aumeeruddy
(1995: 308-322) dengan studi ‘phytopracfices’(mempakan istilah yang digunakan untuk
menunjukkan suatu metode dari penduduk setempat dalam menanam hortikultura)
menunjukkan bahwa petani-petani di wilayah tropic (secara individu) melakukan percampuran
tanaman secara bersama-sama. Percampuran tanaman ini ditujukan untuk menjaga kualitas
kesuburan tanah, meningkatkan hasil masing-masing tanaman, pengembangbiakan tanaman,
ataupun mengantisipasi keadaan cuaca yang terlalu panas, sehingga percampuran itu terlihat
seperti hutan kebun. Sedangkan Bennagen (1996) telah membuktikan bahwa di beberapa
wilayah Philippina terdapat kearifan-kearifan tradisional petani dalam praktik-praktik
pengelolaan lingkungan. Beberapa dari praktik tersebut yang penting adalah praktik tanam
campuran dan pengaturan jarak tanam agar waktu tanam dan panen dari masing-maing
tanaman tidak serentak. Praktik seperti ini memberi banyak keuntungan bagi petani misalnya,
tanaman mereka terbebas dari hama dan penyakit, dan kestabilan hasil panen dalam situasi
iklim terburuk sekalipun.
Hasil kajian dari para ahli di atas dapat dijadikan sebagai arahan untuk
mengungkapkan pengetahuan petani Karo di Desa Gurusinga mengenai lingkungan alam
sekitamya yang berhubungan dengan praktik tanam campuran mereka; bagaimana mereka
membuat kategorisasi atas tanah, iklim, tanaman, hama, pupuk dan pestisida. Bagaimana
simpul-simpul pengetahuan ini berkaitan dengan strategi penanaman dan kondisi
ketidakpastian yang mereka hadapi. Apakah semua tindakan petani ini berkaitan dengan upaya
mereka menjaga keseimbangan ekosistem ladang atau apa yang mereka ketahui tentang
kelestarian lingkungan mereka.
Sri Alem Sembiring: Pengetahuan & Strategi Petani Hortikultura:Kompetensinya dlm Peningkatan Pendapatan Petani , 2002 USU Repository©2006
BAB IV
TUJlJAN DAN KONTRIBSI PENELITIAN
TUJUAN PENELITIAN
Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi sistem kategorisasi pengetahuan petani Karo
dalam mengolah lahan mereka dengan tanaman hortikultura. Dengan mendeskripsikan variasi
pola tanam campuran yang mereka kembangkan dan pengetahuan yang melatarbelakangi
tindakan itu dan mendeskripsikan keterkaitannya dengan kondisi ekologi, sosial dan budaya
setempat, maka hasil penelitian ini dapat digunakan berbagai pihak yang berkepentingan
terutama uutuk kemajuan teknologi dunia pertanian dan peningkatan pendapatan petani.
KONTRIBUSI PENELITIAN
Hasil penelitian ini akan memberi kontribusi dari segi teoritis, terutama untuk
perkembangan teori-teori Ilmu Antropologi kognitif dan studi-studi tentang pengetahuan lokal.
Dari segi praktis, hasil penelitian ini dapat memberi kontribusi yang berharga untuk
memperluas wawasan pembaca, para praktisi (LSM) atau pembuat kebijakan bahwa
petani-petani atau komunitas-komunitas lokal itu memiliki pengetahuan yang dinamis dan bersifat
kontekstual.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat sebagai informasi penting uutuk memudahkan
pembuat kebijakan dalam menerapkan suatu teknologi pertanian tertentu (baru) dengan tidak
mengabaikan kemampuan lokal petani. Deugan demikian, introdusir pengetahuan baru di
bidang teknologi pertanian dapat lebih aplikatif dan efisien bagi petani setempat. Sehingga
pembangunan partisipatif yang diharapkan berkembang pada era otonomi daerah dapat
benar-benar terlaksana dan berjalan beriringan dengan berkembangnya potensi-potensi lokal.
Sri Alem Sembiring: Pengetahuan & Strategi Petani Hortikultura:Kompetensinya dlm Peningkatan Pendapatan Petani , 2002 USU Repository©2006
BAB V
METODE PENELITIAN
Penelitian ini akan menggunakan metode pengumpulan data dengan teknik wawancara
mendalam (‘indeepth interview’), observasi partisipasi serta diskusi ke1ompok terfokus
(‘focus group discussion’). Tiga metode ini terutama digunakan untuk mengumpulkan data
primer di lapangan (‘field work’). Data sekunder dapat diperoleh dari Kantor kepala desa atau
kecamatan, dinas pertanian dan beberapa instansi terkait dan juga beberapa hasil penelitian
yang relevan dengan permasalahan penelitian.
Dalam melakukan wawancara mendalam, peneliti akan mempersiapkan topik-topik
wawancara sebagai pedoman atau petunjuk wawancara (‘interview guide’). Selama
wawancara berlangsung, peneliti senantiasa menjaga agar wawancara itu tetap pada fokus
masalah. Peneliti dapat melakukan ‘probing’ atau memotong pembicaraan atau penjelasan
ulang apabila si informan berbicara di luar konteks penelitian (lihat Bernard 1994:215-220).
Peneliti akan menggunakan catatan penelitian dan tape recorder dengan seijin informan.
Peneliti juga akan bersikap jujur tentang tujuan penelitian secara umum kepada informan.
Sikap jujur ini menurut Bogdan dan Taylor (1993:71-74) diperlukan dalam penelitian uutuk
mencegah timbulnya sikap curiga dan tidak terbukanya informan dalam memberikan
informasi.
Wawancara mendalam memiliki prinsip utama yaitu belajar dari masyarakat setempat
mengenai mereka, kebudayaan mereka, bahasa mereka, dan cara-cara hidup mereka (Spradley
1979:46; 1980;3). Wawancara mendalam ini oleh Fontana dan Frey (1994:355-366) disebut
juga ‘the open-ended ethnographic (in-depth) interview’ atau dengan istilah Bernard
(1994:209-215) sebagai ‘ethnographic interviewing’ yang merupakan wawancara yang
memberikan kesempatan atau kebebasan pada si informan untuk memberi penjelasan
mengenai apa yang mereka ketahui dan mereka anggap penting.
Sri Alem Sembiring: Pengetahuan & Strategi Petani Hortikultura:Kompetensinya dlm Peningkatan Pendapatan Petani , 2002 USU Repository©2006
Dengan kata lain pendekatan ‘emic view’ yang akan dikembangkan dalam penelitian ini.
Materi wawancara akan diarahkan anatara lain kepada apa yang mereka ketahui
tentang tanah, iklim, tanaman, hama, pupuk, harga hasil pertanian mereka, pestisida,
bagaimana mereka menyebutnya dalam bahasa mereka, mengapa penyebutan tersebut sebagai
pilihan mereka, apa dasar yang membedakan atan menghubungkan satu kelompok dengan
kelompok lainnya. Bagaimana cara petani menentukan strategi tanam mereka, apa tujuan
mereka memilih strategi tersebut, bagaimana hubungan Strategi ini dengan pengetahuan dan
ekosistem ladang, dan lain-lain.
Semua petani dapat dijadikan subjek untuk diwawancarai. Peneliti akan melakukan
model ‘snow ball’ dan juga melihat situasi perkembangan penelitian untuk menentukan
beberapa informan yang akan dipilih menjadi informan kunci (‘ key informant’) yang akan
diwawancarai secara lebih mendalam dibandingkan petani-petani lainnya. Hal ini dilakukan
untuk menghindari kesalahan atau bias dalam perolehan informasi dan penentuan informan
kunci.
Peneliti juga akan melakukan observasi partisipasi, dalam pengertian bahwa peneliti
tidak ikut terlibat secara aktif sebagai petani. Peneliti turut aktif dalam beberapa kegiatan yang
dilakukan petani yang tidak menganggu jalannya penelitian, seperti; turut serta dalam
beberapa pertemuan yang diadakan petani untuk membahas pertanian mereka, mengikuti
beberapa kegiatan sosial dan upacara ritual di desa, bersama-sama petani pergi ke ladang
untuk melakukan pengamatan langsung. Semua ini dilakukan tanpa menganggu jalannya
proses penelitian. Atkinson dan Hammersley (1994:248) menyebutkan bahwa sebaiknya
seluruh penelitian sosial mengambil bentuk observasi partisipasi, karena kita tidak dapat
mempelajari dunia mereka tanpa menjadi bagian dari mereka. Bernard (1994:136) menyebut
observasi partisipasi sebagai ‘ethnographic fieldwork’ yang merupakan fondasi dari
antropologi budaya. Jenis penelitian lapangan merupakan sesuatu yang mutlak, dekat dengan
masyarakat, membina ‘rapport’ atau hubungan yang baik dengan mereka, membina rasa
saling percaya, sehingga dapat melakukan pengamatan terlibat dan wawancara mendalam
dengan baik (lihat juga Bogdan dan Tylor 1993:87-98).
Sri Alem Sembiring: Pengetahuan & Strategi Petani Hortikultura:Kompetensinya dlm Peningkatan Pendapatan Petani , 2002 USU Repository©2006
Dalam penelitian ini, beberapa hal yang diamati antara lain; apa yang mereka lakukan dan
peralatan apa yang mereka gunakan dalam mengolah lahan, jenis sayuran apa yang mereka,
bagaimana mereka membuat percampuran tanaman, apa saja yang mereka kerjakan di ladang,
bagaimana mereka merawat tanah dan tanaman dengan pupuk dan pestisida, siapa melakukan
apa di antara anggota keluarga petani atau buruh tani yang mereka gunakan, dan lain-lain.
Peneliti juga akan mengamati tanaman apa saja yang dipanen dan apa tanaman pengganti
untuk waktu tanam berikutnya. Jadi , pengamatan tidak hanya sekedar melihat percampuran
tanaman, tetapi berusaha untuk menghubungkan pilihan tanaman pengganti dengan
pengetahuan petani tentang situasi kontekstual saat itu.
Diskusi kelompok terfokus (focus group discussion) dilakukan dengan tujuan untuk
berdiskusi bersama beberapa petani. Petani yang disertakan dalam FGD merupakan tokoh
adat, atau beberapa informan kunci lainnya yang memiliki pengetahuan mendalam tentang
kondisi lingkungan sosial, ekonomi dan budaya setempat. Pertanyaan yang diajukan atau
materi yang akan didiskusikan pada dasarnya tidak berbeda dengan wawancara mendalam.
Beberapa pertanyaan yang berbeda akan diajukan sesuai dengan perkembangan penelitian
selama di lapangan. Tujuan FGD adalah untuk melengkapi, memperjelas atau agar data yang
terkumpul lebih rinci untuk mendeskripsikan masalah penelitian ini.
Sri Alem Sembiring: Pengetahuan & Strategi Petani Hortikultura:Kompetensinya dlm Peningkatan Pendapatan Petani , 2002 USU Repository©2006
BAB VI
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Gambaran Umum Desa Gurusinga
Deskripsi berikut ini mengenai lokasi desa Gurusinga, keadaan lingkungan alam
penduduk dan tata ruang desa. Topik ini dimaksudkan untuk mendeskripsikan bahwa sarana
dan prasarana yang terdapat di desa ini sangat mendukung untuk kegiatan praktik tanam
campuran petani.
1. Lokasi dan Penduduk Desa Gurusinga
Desa Gurusinga secara administratif dibagi ke dalam empat dusun3. Desa ini
merupakan desa terluas kedua di wilayah kecamatan Berastagi, mencapai 600 ha, dan juga
memiliki areal perladangan terbesar mencapai 315 ha. Areal perladangan ini digunakan secara
efektif untuk penanaman hortikultura, khususnya sayur-sayuran. Pemanfaatan lahan lainnya
digunakan untuk pemukiman seluas 35 ha, tanah wakaf 3 ha, hutan lindung dan hutan
masyarakat 130 ha, rawa-rawa 30 ha, lain-lain 87 ha (BPS, 1997).
Desa ini diapit oleh beberapa desa di wilayah Kecamatan Berastagi dan desa-desa lain
di wilayah Kecamatan Simpang Empat. Di sebelah selatan berbatasan dengan Desa Lingga
Julu, di utara berbatasan dengan Desa Raya dan Desa Rumah Berastagi dan Desa Gundaling
II. Sementara di sebelah barat berbatasan dengan Desa Bulan Baru dan Desa Raja Payung, dan
di timur berbatasan dengan Desa Kaban.
Desa Gurusinga memiliki sarana jalan yang cukup baik. Sarana jalan ini
menghubungkan Desa Gurusinga dengan desa lainya, dan juga dengan ibu kota kecamatan dan
ibu kota kabupaten (lihat lampiran peta-l). Dari Ibu kota Propinsi Sumatera Utara, desa ini
dapat dicapai dalam waktu satu jam tiga puluh menit, dengan jarak berkisar 60 km. Sementara
dari ibu kota kabupaten di Kabanjahe, desa ini dapat dicapai dalam waktu lima belas sampai
dua puluh menit. Desa ini juga dapat dicapai dengan mudah dalam waktu yang cukup singkat
melalui dua jalur dari terminal di Ibu kota kecamatan di Berastagi.
3
Dusun I dan II terletak di Kuta atau Gurusinga, begitu sebutan yang digunakan penduduk untuk kompleks pemukiman yang terletak di desa ini. Dusun III disebut Korpri dan dusun IV disebut Tangkulen (lihat peta-l).
Sri Alem Sembiring: Pengetahuan & Strategi Petani Hortikultura:Kompetensinya dlm Peningkatan Pendapatan Petani , 2002 USU Repository©2006
Pada jalur pertama, bus akan melewati Desa Gundaling Dua untuk menuju dusun IV.
Perjalanan sekitar sepuluh menit dengan jarak berkisar 1 km. Penduduk Gurusinga yang
berdomisili di dusun IV tinggal terpisah dengan ke tiga dusun lainnya. Lokasi dusun ini
terletak di pinggir jalan umum antar kecamatan, penduduknya tinggal berdampingan, serta
dapat berinteraksi dengan penduduk dari desa lain setiap hari. Dusun ini lebih juga dekat ke
ibu kota kecamatan.
Transportasi umum dan truk pengangkut hasil ladang lebih lancar berhilir mudik
melewati dusun IV4. Di samping itu, mobilitas penduduknya juga cukup tinggi untuk ke
luar-masuk desa setiap saat. Hal ini memungkinkan setiap individu bertemu dan berbicara dengan
banyak orang. Petani dapat pergi ke kios untuk mencari informasi tentang harga pupuk dan
pestisida, ataupun berdiskusi tentang kebutuhan pestisida untuk tanaman mereka, atau ke pasar
untuk mencari informasi tentang perkembangan harga dan distribusi barang. Hal ini
merupakan salah satu sumber informasi yang penting bagi petani dalam hubungannya dengan
kegiatan perladangan. Terutama saat ini, petani sangat ‘gusar’ terhadap fluktuasi harga dan
tingginya harga-harga pupuk dan pestisida.
Jalur kedua menuju desa membutuhkan waktu sedikit lebih lama, berkisar 20menit,
dengan jarak berkisar 3-4 km dari terminal di Kecamatan Berastagi. Jalur ini akan melewati
jalan utama menuju kota kabupaten sebelum tiba di Gurusinga (lihat lampiran peta-l). Dari
terminal menuju Desa Gurusinga, bus terlebih dahulu akan melewati Desa Rumah Berastagi
dan Desa Raya yang terkenal dengan jenis cocok tanam capcai5. Kemudian, setelah melewati
kedua desa ini, bus akan membelok ke kanan memasuki Dusun III (Korpri) Desa Gurusinga.
Kemudian, bus akan berhenti tepat di tengah kuta (Dusun I dan II), karena tujuan bus dan
penumpang pada jalur ini hanyalah menuju Desa Gurusinga (lihat lampiran peta-1). Lalu lintas
bus dan truk pengangkut hasil ladang pada jalur ini juga sangat lancar dan tersedia setiap saat
dimulai pada pagi hari berkisar pukul 06.00 wib sampai berkisar pukul 18.00 atau 1900 wib
setiap harinya6 .
4 Di dusun IV ini terdapat 8 gudang penyimpanan dan gudang untuk memuat produk-produk hasil pertanian.
5 Capcai adalah penyebutan untuk sekelompok jenis tanaman yang berusia 3 bulan. Namun, beberapa dari jenis tanaman ini dapat dipanen dan laku di jual ke pasar walupun usianya masih sekitar dua bulan Tanaman tersebut antara lain adalah selada, daun bawang, daun saledri, daun ketumbar, sayur manis, ketna, dan bit.
6 Jalur kedua ini akan terlihat lebih sibuk dengan lalu lalangnya truk- truk ukuran sedang dan besar yang mengangkut hasil komoditi hortikultura dan buah - buahan (jeruk) dari desa lain. Hal ini disebabkan karena di Dusun III terdapat empat gudang bongkar muat hasil ladang dalam jumlah besar.
Sri Alem Sembiring: Pengetahuan & Strategi Petani Hortikultura:Kompetensinya dlm Peningkatan Pendapatan Petani , 2002 USU Repository©2006
Jalur alternatif menuju kuta (Dusun Idan II) dapat di tempuh melalui dusun IV, dengan
membelok ke kiri pada simpang Gurusinga, begitu penduduk menyebut nama persimpangan
jalan tersebut (lihat lampiran peta-l). Persimpangan ini berbatasan dengan Desa Raja Payung.
Melalui simpang ini, waktu tempuh berkisar 15 menit mencapai kuta (dusun I dan II) dan
Korpri (dusun III).
Kemudahan melakukan perjalanan dari dan ke desa ini juga disebabkan karena
beberapa penduduk desa memiliki sarana transportasi pribadi, seperti mobil dan sepeda motor.
Kemudahan untuk memperoleh informasi melalui media komunikasi juga telah dapat
dirasakan penduduk Gurusinga. Seluruh keluarga petani telah memiliki sebuah pesawat radio
tape. Sementara untuk kepemilikan pesawat televisi, hampir seluruh keluarga telah
memilikiya. Sarana informasi melalui media cetak, seperti koran lokal juga tersedia di
beberapa warung kopi. Di dusun I dan II terdapat 8 warung kopi, di Dusun II terdapat 3
warung kopi, dan di Dusun IV terdapat 2 warung kopi. Semua warung kopi ini berlangganan
koran setiap harinya. Warung kopi ini merupakan tempat bagi penduduk desa (khususnya pria)
untuk menghabiskan waktu luang mereka.
Penduduk Desa Gurusinga ini hampir seluruhnya orang Karo. Penduduk Desa
Gurusinga terdiri dari 465 kk, dan jumlah penduduk secara keseluruhan mencapai 2027 jiwa.
Terdapat juga orang Jawa dan Toba yang merupakan kelompok pendatang. Kelompok
pendatang ini tidak dihitung dalam data kependudukan desa. Mereka hanya diwajibkan untuk
melaporkan kedatangannya. Mereka tinggal di Gurusinga untuk sementara waktu, bekerja
sebagai buruh tani harian, dan dapat pergi kapan saja sesuka hati mereka.
Data kependudukan Desa Gurusinga berdasarkan mata pencaharian penduduknya
menunjukkan bahwa dari 465 kk yang ada di desa, terdapat 375 kk sebagai petani, 70 kk
pedagang dan 20 kk pegawai negeri (lihat lampiran 4). Beberapa dari keluarga pedagang dan
pegawai negeri juga melakukan kegiatan cocok tanam di ladang. Ladang tersebut merupakan
warisan dari orang tua mereka. Di samping itu, beberapa penduduk dari semua golongan mata
pencaharian ini juga melakukan usaha sampingan dengan beternak sapi, kerbau, ayam, itik
serati, bebek dan juga angsa, baik disekitar rumah atau di ladang mereka.
Sri Alem Sembiring: Pengetahuan & Strategi Petani Hortikultura:Kompetensinya dlm Peningkatan Pendapatan Petani , 2002 USU Repository©2006
Usaha sampingan ini tidak untuk dijual. Sapi atau kerbau merupakan investasi bagi petani,
dapat juga digunakan petani untuk menarik pedati ke dan dari ladang, sebagai alat transportasi
mereka atau untuk mengangkat pupuk dan hasil ladang. Sementara ternak lainnya untuk
dikonsumsi sendiri. Penduduk yang disebut pedagang adalah mereka yang membuka
usaha-usaha kedai kopi, kedai nasi, warung kelontong, penjual gorengan, pengusaha-usaha angkutan (bus),
pedagang perantara, serta pemilik kios pupuk dan pestisida. Sementara mereka yang disebut
pegawai adalah penduduk yang bekerja di kantor-kantor pemerintahan atau berprofesi sebagai
guru, baik di sekolah swasta ataupun negeri.
Data kependudukan lainnya menunjukkan bahwa sebahagian besar dari penduduk
dewasa (usia 50-60 tahun) memiliki pendidikan hanya tamat sekolah dasar (SD), yakni
berjumlah 615 orang. Penduduk yang tidak tamat SD berjumlah 345, dan jumlah ini hampir
sama banyak dengan penduduk yang memiliki pendidikan hanya sampai pada tingkat SLTP.
Sementara, penduduk yang mengenyam pendidikan sampai jenjang SLTA mencapai 200
orang, dan jenjang akademi mencapai 125 orang. Penduduk yang memiliki gelar sarjana juga
mencapai 98 orang. Selain itu juga terdapat beberapa kelompok anak-anak yang belum
mencapai usia sekolah sekitar 254 orang. Beberapa penduduk yang telah mengenyam
pendidikan hingga tingkat sarjana ini berasal dari lulusan Universitas Karo (UKA) yang
berada di ibu kota kabupaten di Kabanjahe.
Penduduk Gurusinga juga memeluk agama yang berbeda-beda. Pemeluk Kristen
Protestan memiliki jumlah terbesar, yaitu 1185 jiwa. Pemeluk agama Islam berjumlah 510
jiwa. Pemeluk agama Katolik berjumlah 230 jiwa, dan pemeluk aliran kepercayaan berjumlah
120 jiwa. Sehingga jumlah total penduduk desa ini adalah 2027 jiwa.
2. Kondisi Lingkungan Alam dan Tata Ruang Desa Gurusinga
Suhu udara dan letak ketinggian Tanah Karo7 secara umum sangat mendukung seluruh
desa di Kabupaten ini melakukan kegiatan cocok tanam. Desa Gurusinga sebagai salah satu
desa di Kecamatan Berastagi terletak pada ketinggian 1400 m dpl. Desa ini memiliki suhu
udara yang relatif sejuk, berkisar antara 16˚ – 27˚ C (BPS SUMUT 1997).
7 Tanah Karo secara umum berada pada ketinggian 140-1400 m di atas permukaan laut dengan suhu udara berkisar antara 15˚ C s/d 2S°C. Kelembapan udara sebesar 09,5%, tersebar antara 88% s/d 91 %. dan curah hujan rata-rata 1000-4000 mm/tahun (BPS SUMUT,1997). Secara khusus suhu udara di Gurusinga rata-rata 16˚-27˚C, dengan kelembapan rata-rata 82% dan curah hujan 2400-2800 mm/tahun (BPS SUMUT,1997).
Sri Alem Sembiring: Pengetahuan & Strategi Petani Hortikultura:Kompetensinya dlm Peningkatan Pendapatan Petani , 2002 USU Repository©2006
Mengenai keadaan tanah, menurut petani-petani di Gurusinga, tanah di desa ini
memiliki tiga variasi berdasarkan kesuburannya. Petani menggunakan kriteria warna dan
tekstur tanah. Pertama, tanah yang berwarna hitam pekat dan sangat gembur, mudah hancur,
dan berkesan basah. Kedua, berwama hitam kecoklatan sedikit berpasir dan berbatu, juga
sangat gembur. Ketiga, berwarna coklat kemerahan, terlihat banyak mengandung batu-batuan
kecil. Jenis ini terlihat seperti gumpalan-gumpalan kecil dan apabila basah terasa lengket
seperti tanah liat8.
Jenis tanah yang subur adalah jenis pertama dan kedua, dan terdapat di sekitar kaki
Bukit Deleng Kutu (lihat lampiran peta-3). Berdasarkan studinya di Tanah Karo, Kozok (1991:
21-26) menyebutkan bahwa jenis tanah ini adalah tanah ‘andoso!’, sangat subur dan terdapat
hampir di sebagian besar dataran tinggi Karo. Tanah ini mengandung unsur vulkanik dari
Bukit Barisan dan pengaruh keberadaan Gunung Sinabung dan Sibayak, ditemukan pada
wilayah yang berada di zona pegunungan. Sedangkan, jenis tanah ketiga disebut penduduk
kurang subur. Kozak (1991:21-26), menyebutnya dengan jenis tanah ‘podzol’, berwarna
abu-abu dan kemerahan, sangat asam dan mengandung sedikit material organik Sifat tanah ini
tidak sesuai uutuk penanaman hortikultura, khususnya sayur-sayuran. Namun, Kozok juga
melaporkan, bahwa jenis tanah ini masih dapat dijadikan subur dengan menambah pupuk
buatan.
Dalam mengolah jenis tanah yang kurang subur ini, petani Gurusinga menggunakan
taneh api, yaitu abu sisa pembakaran sampah ataupun kayu-kayu. Hasil dari tindakan petani
ini memperlihatkan perbaikan kesuburan lahan-lahan di sekitar Tangku!en (dusun IV), dan
perladangan menuju Tangku!en, dan kemudian lahan di Korpri (dusun III).
Sementara itu, mengenai ketersediaan air bagi penduduk desa, penduduk dapat
memperolehnya dari beberapa air pancuran yang bersumber dari mata air yang tersebar di
seluruh desa, menampung air hujan dalam bak di kamar mandi masing-masing penduduk, dan
juga dari air yang bersumber dari PDAM (Perusahaan Daerah Air Minum) di Kecamatan
Berastagi.
8 Menurut Lightfoot (199S:3S0), dari studi yang dilakukannya di Philipinajuga menemukan klasifikasi petani atas kesuburan tanah dengan rnenggunakankriteria \'iarna atau tekstur tanah, dan petani juga yakin bahwa tanah selalu dapat diremajakan kembali fungsinya.
Sri Alem Sembiring: Pengetahuan & Strategi Petani Hortikultura:Kompetensinya dlm Peningkatan Pendapatan Petani , 2002 USU Repository©2006
Dalam kaitannya dengan praktik tanam campuran, petani hanya mengharapkan
curahan dari air hujan. Di desa ini tidak ditemukan sumber mata air besar seperti sungai
ataupun irigasi yang mengalir di antara ladang-ladang petani. Menurut petani di Gurusinga,
mereka cenderung memanfaatkan air dari sumber mata air yang tersebar di beberapa tempat di
areal perladangan penduduk untuk kebutuhan-kebutuhan penyemaian benih, dan sangat jarang
(atau hampir tidak pernah) untuk menyiram tanaman mereka.
Penduduk menyebut sumber mata air ini dengan istilah tapin9. Mata air ini mengalir
melalui beberapa jurang-jurang kecil atau daerah rendah di beberapa lokasi perladangan.
Beberapa di antara aliran ini akan bertemu pada satu titik tertentu, dan menjadi sebuah sebuah
sungai kecil (di dasar jurang).
Terdapat juga suatu kolam air dengan ukuran luas 10 x 20 m, terletak di belakang kaki
bukit Deleng Kutu yang disebut cek dam si linur. Namun, lokasi sungai kecil dan cek dam ini
jauh dari lokasi areal perladangan penduduk. Batas antara lokasi perladangan dan cek dam ini
adalah hutan-hutan kecil di kaki bukit tersebut.
Berdasarkan keterangan seorang petugas dari Dinas Pertanian setempat (Pak Rs/ 45
tahun), kebutuhan air bagi tanaman penduduk di desa ini masih tercukupi dari curahan hari
hujan yang relatif tinggi setiap hari, sehingga dapat diandalkan untuk memenuhi kebutuhan air
bagi tanaman. Di samping itu, suhu udara yang relatif sejuk, dan pengembunan pada tanaman
sepanjang malam juga sangat mendukung bagi tumbuh kembang tanaman.
Keterangan Pak Rs ini sesuai dengan data dari Stasiun Klimatologi Kuta Gadung. Data
tersebut menunjukkan bahwa curahan hari hujan rata-rata tinggi setiap bulan. Jika dilihat dari
turunnya hujan setiap hari secara umum, maka daerah-daerah di wilayah Kecamatan Berastagi
hampir mendapat hujan setiap hari. Hujan tersebut dapat saja hanya gerimis dan berlangsung
beberapa jam. Di samping itu, suhu udara cenderung stabil dalam keadaan sejuk. Suhu
maksimum cenderung hanya berkisar 26,8˚C atau 26,3˚C untuk tahun 1998 hingga 2004.
Sementara, suhu minimum cenderung berkisar 19,2˚C untuk tahun 1998, dan 19,1˚C untuk
tahun 1999 hingga 2004 (Stasiun Klimatologi Kuta Gadung, Berastagi. Kab.Karo).
9 Tapin berarti air pancuran. Penduduk, membuat suatu kolam untuk menampung air dari sumber mata air, membuat pipa dari bambu untuk mengalirkan air. Air ini dapat digunakan untuk keperluan mandi dan mencuci pakaian. Sementara untuk keperluan memasak penduduk menggunakan saran air dari PAM (Perusahaan Daerah Air Mnum).
Sri Alem Sembiring: Pengetahuan & Strategi Petani Hortikultura:Kompetensinya dlm Peningkatan Pendapatan Petani , 2002 USU Repository©2006
Dengan kondisi lingkungan alam seperti ini, Desa Gurusinga sangat cocok bagi
kegiatan praktik tanam campuran petani. Namun menurut petani, mereka juga mengadapi
beberapa kendala. Menurut petani adakalanya hujan tidak ‘sampai’ ke desa mereka. Hujan
hanya terjadi di beberapa desa lainnya. Bahkan menurut penduduk, kadangkala hujan sering
disertai dengan tiupan angin kencang. Bahkan, pada saat-saat tertentu, cuaca dapat menjadi
sangat panas (menurut ukuran petani), terasa sangat kering, dan disertai dengan angin
kencang, lalu tiba-tiba mendung dan hujan gerimis. Adakalanya juga hujan disertai dengan
butiran-butiran es dengan diameter 1 cm hingga 2 cm. Penduduk menyebutnya dengan udan
batu (hujan batu). Terjadinya perubahan-perubahan cuaca ini tidak dapat diduga-duga.
Beberapa petani Gurusinga mengatakan bahwa mereka hanya hidup dari kegiatan
pertanian, sehingga keadaan iklim ini tidak membuat mereka berhenti atau mengurangi
kegiatan penanaman, atau beralih ke jenis pekerjaan lain. Menurut petani-petani di Gurusinga,
mereka hanya memiliki tanah sebagai modal yang paling berharga untuk mata pencaharian
mereka, dan hanya tahu mengenai kegiatan pertanian. Selain itu, kegiatan pertanian ini juga
telah mereka geluti sejak mereka kecil. Mengenai kegagalan dan keberhasilan, bagi petani itu
adalah resiko yang sudah biasa mereka hadapi. Petani-petani di Gurusinga ini mengolah lahan
pertanian mencapai 315 ha. Areal perladangan itu terbentang dari arah timur, barat, utara dan
selatan, dan terlihat seolah ‘memeluk’ kompleks pemukiman di desa ini.
Sebagai daerah pertanian, desa ini memiliki suatu pola tata ruang yang ‘menarik’, dari
segi komposisi rumah dan penataan perladangan. Apabila pengamatan dilakukan tepat pada
bagian tengah dari Dusun I dan II (kuta) , maka akan terlihat ‘wajah’ desa yang dihiasi
beberapa rumah adat tradisional Karo, lengkap dengan dua tanduk kepala kerbau pada dua sisi
atapnya10. Berdampingan dengan rumah adat, akan ditemukan beberapa rumah penduduk
bertingkat tiga dengan bangunan permanen dan lengkap dengan antena parabola. Pada
beberapa lokasi di tengah kuta, terlihat juga beberapa lumbung padi yang sudah berusia sama
dengan rumah adat tradisional. Berdampingan dengan rumah adat dan rumah bertipe
permanen (batu), diternukan juga beberapa bangunan rumah bertipe semi permanen (setengah
batu), dan rumah sederhana (kayu).
10
Saat ini terdapat tujuh rurnah adat yang masih berdiri, lima diantaranya masih dihuni, dan dua sisanya tidak layak dihuni. Menurut penduduk seternpat, usia rata-rata rumah adat ini tidak kurang dari 70 tahun.
Sri Alem Sembiring: Pengetahuan & Strategi Petani Hortikultura:Kompetensinya dlm Peningkatan Pendapatan Petani , 2002 USU Repository©2006
Komposisi rumah-rumah penduduk ini sangat padat dan tidak beraturan. Komposisi ini
menjadi menarik karena bentuk bangunan itu sangat kontras satu dengan lainnya, terdiri dari
berbagai tipe: model dan ukurannya juga beragam.
Jika berjalan ke arah luar pemukiman kuta, tepatnya ke arah timur, yaitu pada bagian
awal di luar kompleks perkampungan (Dusun I dan II), maka ke arah mata angin mana saja
pengamatan dilakukan (T-B-U-S), terlihat hutan-hutan kecil milik keluarga-keluarga petani
Gurusinga dengan bambu sebagai tanaman dominan. Menurut keterangan penduduk, bambu
ini sengaja dipelihara hingga berusia tua dengan dua tujuan utama. Pertama, sebagai tanaman
pelindung bagi tanaman mereka di ladang. Karena, bambu dapat menyerap air, dan dapat
menahan panasnya matahari bagi tanaman lain di bawahnya. Kedua, petani memanfaatkannya
untuk membuat keranjang bambu. Keranjang ini dapat dijual dan juga digunakan untuk
mengangkat hasil pertanian dari ladang ke pasar. Namun, beberapa penduduk juga hanya
memelihara bambu hingga berusia tua dan menjualnya kepada pembuat keranjang bambu.
Ditemukan juga hutan-hutan kecil milik desa yang disebut sebagai pulo-pulo kuta.
Hutan kecil ini sangat tinggi dan rimbun, ditumbuhi tanaman-tanaman kayu besar dan telah
berumur ratusan tahun dengan ukuran diameter 0,5 m sampai 1 m.
Melihat lebih jauh ke arah luar untuk mengetahui apa yang ada dibalik hutan-hutan
kecil ini, mulai terlihat areal perladangan petani-petani Gurusinga dengan berbagai ukuran,
bentuk dan ragam pola tanam dan varietas tanaman. Areal perladangan ini terlihat seperti
tertata rapi dengan komposisi bentuk dan warna tanaman yang sangat bervariasi.
Dengan mengalihkan pandangan lebih jauh ke sekeliling desa, terlihat sebuah bukit
dengan pepohonan tua dan sangat rimbun. Penduduk menyebutnya Deleng Kutu. Bukit ini
diyakini sebagai tempat keramat oleh seluruh penduduk. Tidak seorang pun dari penduduk
memanfaatkan bukit ini menjadi perladangan, atau menebang kayunya. Deleng Kutu
terpelihara hingga saat ini kelestariannya. Beberapa penduduk hanya memanfaatkan lokasi di
bawah kaki bukit untuk perladangan. Tanaman utama yang dipilih adalah jagung atau jeruk
yang dicampur dengan cabai dan beberapa tanaman usia muda (3 atau 4 bulan panen).
Sri Alem Sembiring: Pengetahuan & Strategi Petani Hortikultura:Kompetensinya dlm Peningkatan Pendapatan Petani , 2002 USU Repository©2006
B. Pengetahuan Petani dalam Pengelolaan Ladang
Jenis hortikultura yang mereka budidayakan di ladang adalah beragam jenis
sayur-sayuran untuk kebutuhan pasar. Praktik tanam campuran merupakan jenis cocok tanam yang
dipilih petani. Sebahagian kecil hasil ladang juga digunakan untuk kebutuhan subsistensi
selain untuk dijual ke pasar.
1. Klasifikasi Tanaman Berdasarkan Jenis Usia
Seluruh tanaman hortikultura (sayur-sayuran) yang dibudidayakan disebut petani
Gurusinga dengan tanamen muda, yaitu tanaman yang telah dapat memberi hasil pada usia
singkat sekitar tiga atau empat bulan. Selain itu, usia tanamen muda hanya berkisar tiga bulan
hingga satu tahun (jenis tanaman muda lihat lampiran 3).
Petani membedakan tanamen muda ini dengan tanamen tua, yaitu tanaman yang
memberi hasil dalam hitungan usia tahun, dan usia tanaman dapat mencapai lebih dari satu
tahun. Tanamen tua berorientasi pasar yang cenderung ditanam petani adalah jeruk.
2. KIasifikasi Tanaman Berdasarkan Waktu Produktivitas Tanaman
Tanamen muda ini berdasarkan waktu produktivitasnya dibedakan petani atas dua
kelompok; tanaman dengan waktu panen satu kali (sekali ku tiga) dan waktu panen lebih dari
satu kali (piga-piga kali ku tiga9)
Tanaman sekali ku tiga meliputi; kentang, kubis, petsai, wortel lobak, kacang jogo,
ketna, bit, selada, daun bawang dan peleng. Tanaman dengan waktu panen lebih dari satu kali
adalah; tomat, cabai merah, cabai rawit, buncis, arcis, patersly, saledri, ketumbar daun, terung,
kacang panjang, kacang koro, kubis bunga dan brokoli.
3. Klasifikasi Tanaman Berdasarkan Perawatan Tanaman
Petani Gurusinga membagi tanamen muda menjadi tiga kelompok berdasarkan perawatan
tanaman; tingkat kerumitan perawatan, modal perawatan dan keahlian perawatan tanaman.
9
Secara harafiah sekali ku tiga berarti hanya satu kali ke pasar. Sebutan ini untuk menyebut kelompok tanaman muda yang hanya panen satu kali dalam satu waktu tanam. Piga-piga kali ku tiga berarti beberapa kali ke pasar. Sebutan ini ditujukan bagi kelompok tanaman dengan masa panen beberapa kali dalam satu waktu tanam
Sri Alem Sembiring: Pengetahuan & Strategi Petani Hortikultura:Kompetensinya dlm Peningkatan Pendapatan Petani , 2002 USU Repository©2006
3.1. Kerumitan perawatan tanaman
Petani membagi tanamen muda atas dua kelompok, yaitu; tanamen capcai dan
tanamen muda biasa. Jenis capcai meliputi; wortel, bit, ketna, selada, daun bawang (bawang
daun), seledri, ketumbar daun, patersly dan sayur manis. Kelompok tanaman jenis ini
cenderung dipanen dalam bentuk daun, kecuali wortel dan bit (panen dalam bentuk umbi).
Selain jenis capcai semua jenis tanaman dikelompokkan sebagai tanamen muda biasa.
Secara umum, terdapat tiga perbedaan antara dua kelompok tanaman ini. Pertama,
kelompok capcai adalah tanaman yang sangat butuh air, harus disiram pada awal waktu tanam
dan juga pada perawatan selanjutnya apabila cuaca terlalu panas. Setelah dipanen dan sebelum
dijual ke pasar, tanaman capcai harus dicuci terlebih dahulu. Kelompok tanaman muda
lainnya tidak terlalu butuh air, tidak harus disiram pada awal tumbuhnya,cukup hanya air
hujan dan juga tidak perlu dicuci sebelum dijual ke pasar.
Kedua, kelompok capcai dapat dijual ke pasar walaupun usianya belum mencapai usia
panen (3-4 bulan). Petani tidak akan rugi karena kelompok ini tidak membutuhkan biaya yang
tinggi dalam perawatannya. Tanaman muda lainnya hanya dipanen apabila sudah cukup umur
atau mencapai 4 bulan. Harga akan murah jika dijual sebelum memasuki usia panen10. Ketiga,
beberapa kelompok capcai dapat dipanen dua kali dalam satu minggu secara rutin sampai
tanaman berusia kurang lebih enam bulan. Panen rutin ini untuk jenis daun, seperti daun
saledri, daun patersly, dan daun ketumbar. Helai demi helai daun dipetik dan menyisakan daun
muda (pucuk daun). Kelompok tanaman muda lainnya dipanen secara bersama sama.
Kalaupun ada jenis yang tidak dipanen lebih dari satu kali, pemanenan itu tidak memetik daun
helai demi helai setiap minggu.
10
Kategori harga jual murah dan mahal untuk diukur petani dengan membandingkannya terhadap biaya perawatan tanaman.
Sri Alem Sembiring: Pengetahuan & Strategi Petani Hortikultura:Kompetensinya dlm Peningkatan Pendapatan Petani , 2002 USU Repository©2006
3.2. Modal Perawatan Tanaman
Petani membagi dua kelompok tanaman untuk jenis ini; tanaman si megegeh modal
(tanaman bermodal besar) dan tanaman si sitik modal (tanaman muda bermodal kecil
Pengelompokan ini berhubungan dengan biaya pembelian pupuk dan pestisida untuk
perawatan tanaman hingga panen. Tanaman bermodal besar meliputi; tomat, kentang, cabai
merah, cabai paprika, kubis, kubis bunga dan brokoli. Tanaman bermodal kecil meliputi jenis
capcai; buncis, lobak, kacang jogo, kacang panjang, kacang koro, terung dan jenis petsai.
Pupuk yang digunakan adalah pupuk buatan pabrik (PUSRI); urea (disebut juga urea),
KCL (disebut paten kali ) dan SP-36 (disebut tripe!). ZA disebut penduduk dengan garam,SS
(disebut (amapos), BASF (disebut rustika). Petani juga menggunakan pupuk organik buatan
sendiri yang mereka sebut taneh gemuk. Pupuk buatan ini meliputi pupuk kandang dan pupuk
hijau atau kompos.
Pestisida disebut obat oleh Petani di Gurusinga dan juga petani lain di Tanah Karo.
Obat ini dapat dibeli di kios pupuk dan pestisida di Berastagi (ibu kota kecamatan) dan juga di
Kabanjahe (ibu kota kabupaten). Penyemprotan obat dilakukan secara rutin tanpa menunggu
serangan hama dan penyakit tanaman. Petani mengatakan bahwa tindakan ini dilakukan
sebagai antisipasi serangan hama dan penyakit yang tidak dapat diramalkan. Berdasarkan
pengalaman mereka, tanaman tidak akan berhasil dengan baik apabila tidak disemprot obat.
Menurut petani setiap bibit yang ditanam adalah modal yang harus dijaga dengan baik jika
tidak ingin rugi.
Petani juga mengatakan bahwa dosis obat yang digunakan cenderung lebih besar dari
yang tertera di kemasan. Berdasarkan pengalaman petani, hama dan penyakit cenderung
menyerang tanaman jika mereka mengikuti dosis di kemasan. Apabila penyakit sudah
menyerang, maka aturan dosis hama dilebihkan lagi untuk mengantisipasi peluasan serangan
hama dan penyakit. Petani lebih memilih melakukan antisipasi daripada menunggu hama dan
penyakit menyerang, karena menghentikan perluasan serangan, jauh lebih mahal daripada
mencegahnya.
Sri Alem Sembiring: Pengetahuan & Strategi Petani Hortikultura:Kompetensinya dlm Peningkatan Pendapatan Petani , 2002 USU Repository©2006
Karena mahalnya biaya perawatan tanaman, beberapa petani memanfaatkan ‘hubungan
baik’ mereka dengan pemilik toko pupuk dan pestisida. Hubungan atas dasar kepercayaan
yang diawali sebagai pembeli tetap berkembang menjadi hubungan pinjam meminjam pupuk,
pestisida dan bibit tanpa jaminan 11.
3.3. Keahlian Perawatan tanaman
Petani membagi tanaman muda menjadi dua bagian; tanaman top dan tanaman si
biasa. Tanaman top merupakan jenis tanaman muda yang sangat 'dikenal' petani; petani sangat
memahami perawatan tanaman dan se1a1u mendapat keuntungan apabila menanamnya, walau
dalam cuaca terburuk sekalipun. Si petani sangat ahli terhadap tanaman ini. "Sesekali kami
memang pernah rugi, tapi sedikit dan sangat jarang terjadi, paling kembali modal dan bagi
kami itu tidak termasuk merugi", demikian ungkap Pak Ginting yang memiJiki tanaman tomat
sebagai tanaman top12
Keahlian merawat tanaman top ini hanya beredar diantara kerabat dekat yang memiliki
hubungan baik. Keahlian yang tertutup peredarannya ini meliputi kiat-kiat khusus menyiasati
tanaman agar tumbuh dan panen melimpah ruah. Kiat-kiat tcrsebut berupa; teknik cara tanam,
dosis dan waktu pemberian pupuk dan penyemprotan pestisida, atau proses pembibitan yang
sempurna. Keahlian tanaman top ini bersifat sangat individual, merupakan identitas bagi
komunitas kerabat atau klen (marga) tertentu. Setiap individu atau kelompok marga tertentu
cenderung memiliki tanaman top yang berbeda. Petani punya sebutan untuk mereka dengan
keahlian khusus ini, seperti; petani yang memihki tanaman top kentang disebut perkentang.
Mereka dengan tanaman top cabai disebut percina (cina = cabai). Orang yang memiliki
tanaman top kubis disebut perkol (kol = kubis).
11 Petani memimjam pupuk dan pestisida atau juga bibit tanaman dan akan membayarnya pada saat panen. Harga pinjaman
dihitung jumlahnya sebesar harga barang pada saat petani akan membayar, jika petani merugi, mereka dapat terus berhutang dan membayarnya pada saat panen mendatang, Perjanjian yang diadakan hanya keterikatan pembelian kebutuhan pertanian harus dari toko yang sama. Petani mengatakan cara ini sebagai 'win' win solution' untuk petani dan pemilik took pupuk/pestisida.
12
Kembali modal bagi petani Gurusinga tidak dinilai sebagai kerugian, karena cenderung tidak menghitung biaya tenaga kerja dan waktu yang mereka keluarkan dalam merawat tanaman sebagai biaya produks.Petani akan menghitung tenaga kerja dan waktu sebagai modal apabila mereka menggunakan buruh tani untuk bekerja di ladangnya. Buruh tani ini harus diberi upah berkisar Rp.20.000-25.000 untuk satu hari kerja di ladang dengan tanamen muda dimulai pukul 09.00 - 11.00 WIB.
Sri Alem Sembiring: Pengetahuan & Strategi Petani Hortikultura:Kompetensinya dlm Peningkatan Pendapatan Petani , 2002 USU Repository©2006
Sedangkan tanaman si biasa adalah jenis tanaman muda lainnya yang bukan
merupakan tanaman top si petani. Petani tidak sangat ahli dalam merawat jenis tanam si biasa
ini. Petani tidak selalu untung apabila memilih tanaman si biasa baginya. "Jika untung bisa
untung besar, jika rugi bisa sangat buntung", begitulah penjelasan Pak Karo-Karo di
Gurusinga.
4. Klasifikasi Tanaman Berdasarkan Ukuran Tinggi Tanaman
Tinggi tanaman dari permukaan tanah merupakan dasar petani mengklasifikasikan
tanaman muda mereka. Petani menghubungkan tinggi tanaman itu dengan kerimbunan
cabang-cabang dan daun tanaman. Berdasarkan hal ini, petani membedakan tiga kelompok
tanaman muda; si nggedang melalau bulung (tanaman tinggi dan daun rimbun), si sedang
(tinggi tanaman sedang dan daun tidak rimbun),si gendek (tanaman pendek). Tanaman si
nggedang melala bulung adalah tanaman muda yang memiliki batang (seperti kayu) dengan
tinggi rata-rata mencapai pangkal paha orang dewasa (sekitar 1 m), memiliki beberapa cabang
dan daun rimbun 13. Cabai merah, cabai rawit, cabai paprika, tomat, arcis, kacang panjang,
kacang koro dan terung adalah contoh jenis ini. Hasil panen jenis ini dalam bentuk buah.
S'i sedang juga juga memihki batang tanaman dengan tinggi rata-rata hingga lutut
petani dewasa (dibawah 1 m), dengan beberapa cabang tanaman. Hasil panen juga dalam
bentuk buah, seperti; buncis dan kacang jogo. Sedangkan, Si gendek adalah tanaman yang
tidak memiliki batang tanaman (dalam bentuk kayu), hanya dalam bentuk daun dengan tinggi
tidak sampai ukuran lutut petani dewasa. Hasil tanaman dalam bentuk umbi dan daun, seperti;
kentang, wortel, lobak, bit, jenis capcai, jenis petsai, kubis, kubis bunga dan brokoli.
13. Petani menggunakan kriteria ukuran tinggi tanaman dengan membandingkan terhdap ukuran tinggi tubuh mereka
Sri Alem Sembiring: Pengetahuan & Strategi Petani Hortikultura:Kompetensinya dlm Peningkatan Pendapatan Petani , 2002 USU Repository©2006
5. Klasifikasi Tanaman Berdasarkan Sumber Penyakit
Klasifikasi ini berkaitan erat dengan kondisi iklim di Gurusinga. Berdasarkan sumber
penyakit, petani mengelompokkan tanaman muda ke dalam dua bagian; tanaman ‘sakit’
karena hawa (angin dan cuaca) dan karena tanah atau pinakit taneh.
Petani menjelaskan bahwa tanaman muda mereka dapat tumbuh tidak sempurna
disebabkan hawa yang tidak baik. Dalam musim hujan (banyak hujan) urat tanaman tidak
berjalan (September-Desember). Musim sedang atau tukar-tukar hawa akan banyak ulat-ulat
atau busuk daun/batang (Agustus-September). Pada musim ini, cuaca dapat berubah beberapa
kali dalam satu hari; panas, lalu turun hujan secara tiba atau mendung, atau gerimis
tiba-tiba diiringi angin kencang. Jika musim panas, maka semua zat tanah (unsur hara) akan
diserap panas matahari (Mei-Agustus). Musim yang baik adalah musim sedang, khususnya
Januari-April. Namun, mereka tidak mungkin hanya menanam pada bulan ini, karena mata
pencaharian utama dari pertanian.
Penyakit ada karena hawa tidak baik. Tanaman tidak tahan terhadap hawa itu. Mereka
menjelaskan apa itu hawa dengan menghubungkan suhu atau temperatur udara dengan
kecepatan atau arah angin.
Menurut petani, apabila mereka menyesuaikan jenis tanaman dengan kecenderungan
jenis iklim yang sesuai bagi pertumbuhan tanaman itu, temyata penyakit yang dihindarkan
juga menyerang tanaman. Sehingga, hasil yang diperoleh juga tidak sesuai dengan harapan
petani. Dengan pengalaman berulang-ulang seperti ini, petani cenderung menanam setiap jenis
tanaman dalam setiap kondisi iklim. Beberapa penyakit yang bersumber dari hawa antara lain;
bayungen ('pseudomonas Solanacearum’), cendol-cendol/nipe-nipe(‘Crocidolomiabinotalis’),
Kriting (‘’Spodoptera litura '). meseng pucuk (‘Antraknose’)14.
Penyakit tanaman juga disebabkan karena ‘penyakit tanah’. "Tanah kami
juga sudah ‘sakit’. Tanah yang ‘sakit’ ini menularkan penyakit pada tanaman. Petani tidak
tahu apa dan mengapa tanah mereka menjadi ‘sakit’.
14
Keterangan lebih lanjut dapat dilihat dalam Sembiring, Sri Alem (2000) Praktik Tanam Campuran: Kaiian Proses pengambilan Keputusan Petani dalam Memilih Jenis Tanaman Hortikultura di desa Gurusina. Kec. Berastagi Sumatera Utara. Thesis. Program Pascasarjana Program Studi Antropologi Universitas Indonesia.
Sri Alem Sembiring: Pengetahuan & Strategi Petani Hortikultura:Kompetensinya dlm Peningkatan Pendapatan Petani , 2002 USU Repository©2006
Penyakit tanah ini akan menyerang tanaman apabila petani menanam jenis tanaman yang sama
untuk dua waktu tanam secara berturut-turut pada lahan yang sama. Bagian tanaman yang
diserang cenderung adalah akar, umbi ataupun pangkal batang tanaman (1ihat lampiran 4).
Beberapa penyakit yang bersumber dari tanah antara lain; akar lobak atau nematoda bengkak
akar (‘Meiloidogyne Spp’), balagering atau penggerek umbi dan batang (‘Phthorimaea
Operculella Zeller’).
6. Klasifikasi Tanamaii Berdasarkan Tujuan Pemanfaatan Tanaman
Tanaman muda dibedakan atas dua kelompok; tanaman sampingan dan dayaan.
Tanaman sampingan adalah tanaman muda yang dibudidayakan hanya untuk sampingan atau
sekedar tambahan. Petani tidak mengharapkan keuntungan besar dari jenis ini. Beberapa
petani tidak menjual hasil tanaman sampingan, hanya untuk subsistensi. Beberapa contohnya
antara lain; jenis petsai, jenis capcai, buncis, kacang koro, terung dan cabai rawit15. Beberapa
jenis tanaman sampingan lainnya adalah tanaman obat dan juga beberapa bumbu dapur16.
Tanaman ini juga ditujukan sebagai ‘tumbal’ atau ‘sasaran’ dari penyakit yang akan
menyerang tanaman.
Harapan keuntungan utama petani berasal dari tanaman dayaan, yaitu tanaman yang
ditanam dengan tujuan utama untuk dijual ke pasar. Petani dapat menggolongkan seluruh jenis
tanaman muda sebagai tanaman dayaan selama mereka menanam tanaman tersebut untuk
tujuan dijual ke pasar, dan mempunyai harapan besar untuk mendapatkan keuntungan darinya.
15 Terdapat juga tanaman sampingan lain seperti; labu kuning, labu putih(walo), labu jipang dan daun singkong. Jenis tanaman
ini tidak disebut tanamen muda, walaupun telah menghasilkan dalam usia 4 bulan. Namun, usianya dapat mencapai lebih dari tiga tahun jika dirawat Petani Gurusinga menyebutnya dengan semuan-semuan juma (tanaman-tanaman ladang). Tanaman ini berkembang biak dengan cara menjalar.
16 Tanaman obat yang ditanam petani antara lain; tebu hitam, daun bangun-bangun, dan daun sirih. Sedangkan jenis bumbu
dapur antara lain; jahe, kunyit dan kencur, dan lengkuas.
Sri Alem Sembiring: Pengetahuan & Strategi Petani Hortikultura:Kompetensinya dlm Peningkatan Pendapatan Petani , 2002 USU Repository©2006