• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II

TINDAK PIDANA DAN SANKSI PIDANA MENURUT HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM

A. Ketentuan Hukum Pidana Islam Mengenai Tindak Pidana dan Sanksi Pidana 1.Pengertian Tindak Pidana dan Sanksi Pidana

Dalam ensiklopedi hukum Pidana Islam, tindak pidana (jarimah) diartikan sebagai perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh syarak yang diancam oleh Allah SWT dengan hukuman hudud atau ta’zir.8 Adapun menurut istilah syar’i, jinayah adalah perbuatan yang dilarang oleh syara, baik perkataan itu mengenai (merugikan) jiwa atau harta benda ataupun lain-lainya.9 Sulaiman Rasyid dalam bukunya Fiqih Islam memberikan pengertian jinayah adalah yang meliputi beberapa hukum, yaitu membunuh orang, melukai, memotong anggota badan, menghilangkan anggota badan, seperti salah satu panca indera.10

Para Fuqaha sering memakai kata-kata ”jinayah” ini untuk ”jarimah”, bahkan kebanyakan Fuqaha memakai kata-kata jinayah hanya untuk perbuatan yang mengenai jiwa orang atau anggota badan, seperti membunuh, melukai, memukul, menggugurkan kandungan dan sebagainya. Adapun yang dimaksud dengan jarimah adalah larangan-larangan syara yang diancam oleh Allah swt dengan hukuman had

8

Alie Yafie dkk, Ensiklopedi Hukum Pidana Islam, (t.tp: PT. Kharisma Ilmu, 2007), h. 87.

9

Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 2005), h. 1.

10

dan ta’zir. Kemudian Ahmad Hanafi mengkatagorikaan jarimah kepada tiga macam bentuk, yaitu:11

a. Jarimah Hudud

Jarimah Hudud, adalah jarimah yang diancamkan hukuman had yaitu hukuman yang telah ditentukan macam dan jumlahnya serta menjadi hak Tuhan. Dengan demikian, maka hukuman tersebut tidak mempunyai batas terendah atau batas tertinggi, dan pengertian hak Tuhan ialah bahwa hukuman tersebut tidak bisa dihapuskan baik oleh perorangan (yang menjadi korban jarimah), atau pun oleh masyarakat yang di wakili oleh negara (sultan).

b. Jarimah Qisas-diyat

Jarimah Qisas-diyat adalah perbuatan-perbuatan yang diancamkan dengan hukuman qisas atau hukuman diyat kepada pelakunya. Baik qisas maupun diyat adalah hukuman-hukuman yang telah ditentukan batasannya, dan tidak mempunyai batas terendah atau batas tertinggi, tetapi menjadi hak perseorangan, dengan pengertian bahwa si korban bisa memaafkan si pembuat dan apabila dimaafkan, maka hukuman tersebut menjadi hapus.

c. Jarimah Ta’zir

Jarimah Ta’zir, yaitu perbuatan-perbuatan yang diancamkan dengan satu atau beberapa hukuman Ta’zir. Pengertian ta’zir itu sendiri ialah memberikan pengajaran (at-ta’dib). Syara tidak menentukan macam-macamnya hukuman untuk tiap-tiap jarimah ta’zir, tetapi hanya menyebutkan sekumpulan hukuman, dari yang

11

ringannya sampai kepada yang seberat-beratnya hukuman. Dalam hal ini hakim diberikan kebebasan untuk memilih hukuman-hukuman mana yang sesuai dengan macam jarimah ta’zir serta keadaan si pembuat juga. Jadi hukuman ta’zir tidak mempunyai batas tertentu.

Sementara itu, hukum Islam memuat suatu aturan hukum yang sangat berat dan tegas, tetapi memiliki sesuatu keluwesan dalam menerapkan sanksi pidana terhadap pelaku kejahatan yang melanggar terhadap hak-hak masyarakat. Ketentuan tersebut menunjukan pada bagaimana hukum yang berlaku bagi pelaku kejahatan atau perbuatn yang dilakukan. Kata sanksi dalam pidana Islam disebut dengan istilah al-Uqubah yang berasal dari bahasa arab yang artinya adalah pembalasan dengan keburukan. Sedangkan Abdul Qadir’ Audah mendefinisikan sanksi atau hukuman adalah balasan yang telah ditentukan untuk kepentingan orang banyak atas perbuatannya melanggar perintah Allah SWT.12

Ahmad Fathi Bahasi sebagaimana dikutip oleh Ahmad Ratomi Zain dalam skripsinya memberikan definisi sanksi (uqubah), adalah balasan berbentuk ancaman yang ditetapkaan syar’i (Allah) untuk mencegah terhadap perbuatan-perbuatan yang dilarangnya dan perbuatan meninggalkan yang ia perintahkan.13 Menurut A. Djazuli bahwa maksud pokok Hukuman (sanksi) adalah untuk memelihara dan menciptakan

12

Abdul Qadir’ Audah , al-Tassyri’ al- Jinai al-Islami, (Bairut: Muassasah al- Risalah, 1992), Cet. Ke-II, Zuz I, h. 812.

13

Ahmad Ratomi Zain, Sanksi Atas Penyalagunaan Tanah Wakaf oleh Nazhir Dalam Perfektif Hukum Fiqh dan UU No. 41 Tahun 2004, Studi Kasus Masjid Jami’ Al-Wahab Kampung Cantiga Cipondo Tangerang, (Skripsi S1 Fakultas Syari’ah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008).

kemaslahatan manusia dan menjaga hal-hal dari mafsadat, serta memberi petunjuk dan pelajaran kepada manusia.14 Begitu juga menurut A. Hanafi, bahwa tujuan dari pada penjatuhan hukuman (sanksi) menurut syariat Islam adalah pencegahan (ar-radu waz-zajru) dan pengajaran serta pendididkan (al-islah wat taahdzib).15

Tujuan sanksi pidana adalah pencegahan, maka besarnya hukuman harus sedemikian rupa yang cukup mewujudkan tujuan tersebut, tidak boleh kurang atau lebih dari batas yang diperlukannya, dan dengan demikian maka terdapat prinsip keadilan dalam menjatuhkan hukuman. Selain mencegah dan menakut-nakuti, syariat Islam tidak lalai untuk memberikan perhatian terhadap diri pembuat. Bahkan memberikan pelajaran dan pengusahaan kebaikan kepada diri pembuat merupakan tujuan utama, sehingga menjauhkan manusia terhadap jarimah bukan karena takut akan hukuman, melainkan karena kesadaran dalam diri sendiri dan kebenciannya terhadap melakukan jarimah (kejahatan). Di samping segi kebaikan pribadi pembuat jarimah, syariat Islam dalam menjatuhkan hukuman juga bertujuan membentuk masyarakat yang baik dan yang dikuasai rasa saling menghormati dan mencintai antara sesama anggota masyarakat dengan mengetahui batas-batas hak dan kewajibannya masing-masing.16

Hukuman tanpa sanksi, suatu perintah atau larangan tidak punya konsekuensi apa-apa, dengan hukuman (sanksi) perintah atau larangan akan diperhitungkan dan

14

A. Djazuli, Fiqh Jinayah, (Upaya Menaggulangi Kejahatan), Loc. Cit.

15

Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, Loc. Cit.

16

memiliki arti. Meskipun sanksi itu sendiri bukan merupakan suatu kebaikan, bahkan suatu perusakan bagi si pelaku kejahatan sekurang-kurangnya, namun sanksi tersebut diperlukan, sebab bisa membawa keuntungan yang nyata bagi masyarakat (kepentingan publik). Syariat Islam menetapkan perbuatan-perbuatan sebagai kejahatan dan mengancam dengan hukuman tertentu untuk perbuatan-perbuatan tersebut dengan maksud melindungi kepentingan- kepentingan kolektif dan sistem yang di atasnya berdiri bangunan besar masyarakat, serta membuat masyarakat dapat menyelamatkan nilai-nilai moral dan kehidupan yang harmoni. Tuhan mengadakan larangan-larangan (hukuman/sanksi) tidak akan mendapatkan suatu keuntungan karena ketaatan manusia, sebagaimana juga tidak akan menderita karena kedurhakaan mereka terhadapnya.

2.Unsur-Unsur Tindak Pidana Dalam Hukum Pidana Islam

Sebagaimana yang telah disebutkan diatas, pengerian jarimah ialah larangan-larangan syara yang diancamkan hukuman had atau hukuman ta’zir. Larangan tersebut adakalanya berupa perbuatan yang dicegah, atau meninggalkan yang disuruh. Juga telah disebutkan, bahwa dengan penyebutan kata-kata syara, dimaksudkan bahwa larangan-larangan harus datang dari ketentuan-ketentuan (nas-nas) syara dan berbuat atau tidak berbuat baru dianggap sebagai jarimah apabila diancamkan hukuman (sanksi) terhadapnya.

Karena perintah-perintah dan larangan-larangan tersebut datang dari syara maka perintah-perintah dan larangan-larangan itu hanya ditunjukan kepada orang

yang berakal sehat dan dapat memahami pembebanan (taklif), sebab pembebanan itu artinya panggilan (khitab), dan orang yang tidak dapat memahami seperti hewan, dan benda-benda mati tidak mungkin menjadi objek panggilan tersebut.

Bahkan orang yang dapat memahami pokok panggilan (khitab), tetapi tidak mengetahui perincian-perinciannya, apakah berupa suruhan atau larangan, apakah akan membawa pahala atau siksa, seperti orang gila dan anak-anak yang belum tamyiz maka keduanya dipersamakan dengan benda-benda mati bahkan hewan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan. Oleh karena itu sukar diberi pembebanan (taklif), karena untuk dapat memahami pembebanan tersebut, bukan saja diperlukan pengertiannya pokok panggilan, tetapi juga diperlukan pengertiannya terhadap perincian-perinciannya.

Unsur-unsur kejahatan dalam hukum Pidana Islam secara garis besar dapat dibagi dua, yaitu: Unsur-unsur dasar umum dan unsur-unsur khusus. Unsur-unsur dasar (umum) mencakup:17

1. Rukun Syar’i atau unsur hukum (legal element) yaitu ketentuan yang jelas untuk melarang suatu perbuatan yang merupakan kejahatan dan menentukan hukuman atasnya (ketentuan-ketentuan syariat);

2. Rukun Maddi atau unsur materiil (essential element) yaitu berupa perbuatan, baik perbuatan aktif (komisi) maupun perbuatan pasif atau pengabaian (omisi);

17

3. Rukun Adaby atau unsur budaya/ unsur moril (cultural element) yang meliputi kedewasaan, dapat bertanggungjawab dan dapat dipersalahkan kepada diri si pelaku atas perbuatannya.

Sedangkan menurut pendapat Zainuddin Ali, untuk menentukan suatu hukuman terhadap suatu tindak pidana dalam hukum Islam, diperlukan unsur normatif dan moral. Unsur yuridis normatif di satu aspek harus didasari oleh suatu dalil yang menentukan larangan terhadap perilaku tertentu dan diancam dengan hukuman. Aspek lainnya secara yuridis normatif mempunyai unsur materil, yaitu sikap yang dapat dinilai sebagai suatu pelanggaran terhadap sesuatu yang diperintahkan oleh Allah SWT. Unsur moral yaitu kesanggupan seseorang untuk menerima segala sesuatu yang secara nyata mempunyai nilai yang dapat dipertanggungjawabkan. Dalam hal ini disebut Mukallaf. Mukallaf adalah orang Islam yang sudah baligh dan berakal sehat.18

Dari pembicaraan diatas kita bisa menarik sebuah kesimpulan bahwa tiap-tiap jarimah harus mempunyai unsur-unsur yang harus dipenuhi, diantaranya unsur-unsur sebagai berikut:19

1.Nas yang melarang perbuatan dan mengancamkan hukuman terhadap pelakunya, dan unsur ini biasa disebut ”unsur Formal” (rukun syar’i).

18

Zainuddin Ali, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007) Cet.ke-1. h. 22.

19

2.Adanya tingkah laku yang membentuk jarimah, baik berupa perbuatan-perbuatan nyata atau pun sikap tidak berbuat sesuatu, dan unsur ini biasa disebut ”unsur materiil” (rukun maddi).

3.Pembuat adalah orang mukalaf, yaitu orang yang dapat dimintai pertanggung jawabkan terhadap suatu jarimah yang diperbuatnya, dan unsur ini biasa disebut dengan ”unsur moral” (rukun adabi).

Sesuatu perbuatan dapat dikatagorikan sebagai perbuatan jarimah jika perbuatan tersebut mempunyai unsur-unsur atau rukun-rukun yang telah disebutkan di atas. Hal ini menunjukan bahwa tanpa ketiga unsur tersebut sesuatu perbuatan tidak dapat dikatagorikan sebagai perbuatan jarimah (tindak pidana), untuk dapat dipertanggungjawabkan kepada si pelaku maka ketiga unsur tersebut harus terpenuhi secara keseluruhan. Disamping unsur umum pada tiap-tiap jarimah juga terdapat unsur-unsur khusus untuk dapat dikenakan hukuman (sanksi), seperti unsur pengambilan dengan diam-diam pada jarimah pencurian, atau dalam tindak pidana perzinahan, unsur bersenggama ini merupakan sesuatu yang harus dipenuhi. Perbedaan antara unsur umum dengan unsur khusus ialah kalau unsur-unsur umum satu macamnya pada semua jarimah, maka unsur-unsur-unsur-unsur khusus dapat berbeda-beda bilangan dan macamnya menurut perbedaan jarimah yang dilakukan si pembuat kejahatan. Dikalangan fuqaha biasanya pembicaraan tentang kedua unsur umum dan khusus dipersatukan, yaitu ketika membicarakan satu persatu dari suatu jarimah.

3.Jenis - Jenis Hukuman Dalam Hukum Islam

Hukum pidana Islam merupakan aturan-aturan yang bersumber dari syariat Islam yang memiliki tujuan yang luhur baik untuk kepentingan pelaku tindak pidana maupun masyarakat pada umumnya. Oleh karena itu menurut keduanya bahwa hukuman menjadi beberapa macam sesuai dengan tindak pidananya, yaitu:

a) Hukuman dari segi terdapat atau tidak terdapat nashnya dalam Al-qur’an dan Hadist, yaitu:

1.Hukuman yang ada nashnya, yaitu hudud, qishas, diyat, kafarat. Misalnya pencurian, perzinahan, minum khamar, murtad.

2.Hukuman yang tidak ada nashnya, hukuman ini disebut juga dengan hukuman ta’zir, seperti percobaan melakukan tindak pidana, melakukan perbuatan maksiat.

b) Hukuman dari segi hubungan antara satu hukuman dengan hukuman yang lain, yaitu:

1. Hukuman pokok (uqubat ashliyah), yaitu hukuman yang asal bagi suatu kejahatan, seperti hukuman mati bagi pembunuh dan hukuman dera seratus kali kepada pelaku zinah yang belum kawin (ghairu muhson).

2. Hukuman Pengganti (uqubat badaliyah), yaitu hukuman yang menempati tempat hukuman pokok apabila hukuman pokok itu tidak dapat dilaksanakan karena satu alasan hukum, seperti hukuman diyat atau denda bagi pembunuhan sengaja yang telah mendapatkan maaf

oleh pihak keluarga korban atau hukuman ta’zir apabila suatu alasan hukum pokok yang berupa had tidak dapat dilaksanakan.

3. Hukuman Tambahan (uqubat taba’iyah), yaitu hukuman yang dijatuhkan kepada pelaku atas dasar mengikuti hukuman pokok, seperti terhalangnya seorang pembunuh.

4. Hukuman Pelengkap (uqubat takmiliyah), yaitu hukuman yang dijatuhkan sebagai pelengkap terhadap hukuman yang dijatuhkan, seperti mengalungkan tangan pencuri yang telah dipotong dan diletakan dilehernya.

c) Hukuman dari segi kekuasaan hakim yang menjatuhkan hukuman, yaitu: 1. Hukuman yang memiliki batas tertentu, dimana hakim tidak dapat

menambah atau mengurangi batas itu, seperti hukuman had.

2. Hukuman yang memiliki dua batas, yaitu batas tertinggi dan batas terendah di mana hakim dapat memilih hukuman yang paling adil dijatuhkan kepada terdakwa, seperti pada kasus maksiat, mengganggu kemaslahatan dan ketertiban umum yang diancam hukuman ta’zir. d) Hukuman dari segi tempat dilakukannya hukuman, yaitu:

1. Hukuman badan, hukuman yang dijatuhkan atas badan, seperti hukuman dera (jilid).

2. Hukuman yang dikenakan kepada jiwa, seperti hukuman mati, hukuman rajam.

3. Hukuman yang dikenakan kepada kemerdekaan manusia, seperti hukuman penjara dan pengasingan.

4. Hukuman yang dikenakan kepada harta, seperti hukuman diyat, denda. Berdasarkan pemaparan diatas apabila seseorang melakukan suatu tindak pidana khususnya di bidang pelanggaraan dalam hukum perkawinan dan kejahatan terhadap anak yang mengakibatkan luka-luka yang mana membahayakan atas diri sang anak karena dalam suatu perkawinan melakukan persetubuhan dengan anak (istri) yang seharusnya atau sepatutnya belum waktunya untuk dikawin, maka penguasa dalam hal ini negara dapat melakukan suatu tindakan dalam upaya menjerat dan menghukum pelaku sesuai dengan hukuman yang berlaku di negara tersebut, artinya kepada pelaku dapat dikenakan suatu hukuman ta’zir.

Adapun macam-macam sanksi yang berkaitan dengan jarimah ta’zir adalah sebagai berikut:

1. Sanksi ta’zir yang mengenai badan, maka hukuman yang terpenting dalam hal ini adalah hukuman mati dan hukumaan jilid.

2. Sanksi yang berkaitan dengan kemerdekaan seseorang, sanksi yang terpenting dalam hal ini adalah penjara dengan berbagai macamnya dan pengasingan. 3. Sanksi ta’zir yang berkaitan dengan harta, dalam hal ini yang terpenting

adalah denda, penyitaan atau perampasan.

4. Sanksi-sanksi lainya yang ditentukan ulil amri demi kemaslahatan umum (masyarakat pada umumnya).

B. Ketentuan Hukum Pidana Positif Mengenai Tindak Pidana dan Sanksi Pidana 1.Pengertian Tindak Pidana dan Sanksi Pidana

Secara terminologis, kata tindak pidana terdiri dari dua kata, yaitu kata Tindak dan kata Pidana. Kata tindak berasal dari bahasa Jawa yang artinya perbuatan, tingkah laku, kelakuan, sepak terjang. Sedangkan kata pidana berarti kejahatan kriminal dan pelanggaran. Sementara kalau dilihat dari segi hukum berarti hukum mengenai perbuatan-perbuatan kejahatan dan pelanggaran terhadap penguasa.20

Dalam keterangan yang lain, pengertian yang lebih luas tentang tindak pidana, ialah untuk menyatakan konkrit sebagaimana halnya peristiwa dengan perbedaan bahwa tindak adalah kelakuan, tingkah laku, dan gerak gerik atau sikap jasmani seseorang.21 Secara tradisional, pidana dipandang sebagai suatu nestapa (derita) yang dikenakan kepada si pembuat karena melakukan suatu delik (kejahatan).22 Pembentuk undang-undang kita telah menggunakan perkataan ”strafbaar feit” untuk menyebutkan apa yang kita kenal sebagai ”Tindak Pidana” di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) tanpa memberikan sesuatu penjelasan mengenai apa sebenarnya yang dimaksud dengan perkataan ”strafbaar feit”. Perkataan ”feit” itu sendiri didalam bahasa Belanda berarti sebagian dari suatu kenyataan atau een gedeelte van de werkelijkheid sedangkan ”strafbaar” berarti dapat dihukum, sehingga secara harfiah perkataan ”strafbaar feit” itu dapat diterjemahkan sebagai

20

Poerwa Darminto, W.J.S, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1976). h. 1074.

21

Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana. (Jakarta: Bina Aksara, 1986) h. 55.

22

”bagian dari suatu kenyatan yang dapat dihukum”, yang sudah barang tentu tidak tepat, oleh karena kelak akan kita ketahui bahwa yang dapat dihukum itu sebenarnya adalah manusia sebagai pribadi dan bukan kenyataan, perbuatan, ataupun tindakan.

Oleh karena seperti yang telah dikatakan diatas, bahwa pembentuk undang-undang kita itu tidak memberikan suatu penjelasan mengenai apa yang sebenarnya telah ia maksud dengan perkatan ”strafbaar feit”, maka timbullah di dalam doktrin berbagai pendapat tentang apa sebenarnya yang dimaksud dengan ”strafbaar feit” tersebut. Para sarjana hukum telah merumuskan suatu teori yang berbeda-beda di antara mereka, antara lain adalah:

Pendapat Hazewinkel Suringa sebagaimana yang dikutip oleh Lamintang dalam bukunya Dasar - Dasar Hukum Pidana Indonesia bahwa kata ”strafbaar feit” adalah sebagai suatu perilaku manusia yang pada suatu saat tertentu telah ditolak di dalam suatu pergaulan hidup tertentu dan dianggap sebagai perilaku yang harus ditiadakan oleh hukum pidana dengan menggunakan sarana-sarana yang bersifat memaksa yang terdapat di dalamnya.23

Moeljatno mengatakan bahwa perkataan ”strafbaar feit” secara teoritis dapat dirumuskan sebagai suatu perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan yang mana disertai suatu sanksi berupa pidana tertentu bagi barang siapa yang melanggar aturan tersebut.24

23

P.A.F, Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1997) h. 181.

24

Dari beberapa definisi yang dikemukakan oleh para ahli hukum tersebut, dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan straafbaar feit (tindak pidana) menurut hukum pidana positif adalah perbuatan, gerak-gerik, tingkah laku, sikap jasmani seseorang yang bertentangan dengan hukum atau mengadakan suatu pelanggaran terhadap penguasa yang diancam dengan hukuman, yang dilakukan oleh orang yang bersalah dan orang itu mempunyai kemampuan untuk bertanggungjawab atas perbuatannya, dimana pelaksanaannya dilakukan oleh instansi yang diberi wewenang untuk menjalankannya.

Dalam ruang lingkup hukum pidana, istilah sanksi diidentikan dengan pidana. Namun pada dasarnya pengertian sanksi lebih luas jangkauannya dibandingkan dengan istilah pidana. Kata sanksi berasal dari Bahasa Belanda yaitu ”Sanc’tie” yang artinya alat pemaksa sebagai hukuman jika tidak taat kepada perjanjian.25 Sedangkan menurut kamus Bahasa Indonesia, sanksi berarti tanggungan (tindakan-tindakan, hukuman) untuk memaksa orang menepati perjanjian atau mentaati ketentuan undang-undang. Dalam kamus istilah hukum, sanksi mempunyai arti ancaman hukuman, merupakan suatu alat pemaksa guna ditaatinya suatu kaidah, (undang-undang).26 Pengertian sanksi apabila dilihat dari segi tugasnya, sanksi adalah suatu jaminan bahwa sesuatu akan ditaati yang merupakan akibat hukum (rechtgevolg) dari pada pelanggaran suatu kaidah. Akibat hukum yang dimaksud disini adalah berupa

25

S. Wojo Wasito, Kamus Umum Belanda - Indonesia, (Jakarta: Ictiar Baru Van Hoeve, 1990) h.560.

26

suatu tindakan, yaitu dimana hukum dijatuhkan berhubung telah dilanggarnya suatu aturan oleh seseorang.27

Diatas diterangkan bahwa apabila dipandang dari sudut sifatnya, sanksi merupakan akibat hukum (rechtsgecolg) dari pada pelanggaran suatu kaidah. Akibat ini merupakan suatu tindakan, dimana hukuman dijatuhkan berhubung dilanggarnya sesuatu norma oleh seseorang. Tugas dari sanksi adalah suatu jaminan bahwa suatu norma akan ditaati. Pada azasnya tiap norma dapat dijamin dengan sanksi yang berbentuk siksaan (leed) karena itu hukum pidana di dalam lapangan hukum disebut ”het strafrecht is de citadel van het recht” (hukum pidana adalah merupakan benteng hukum). Dari beberapa definisi yang dikemukakan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa sanksi pidana adalah tindakan atau sikap berupa hukuman yang dijatuhkan atau diberikan karena adanya pelanggaran atau perbuatan kejahatan sebagai akibat hukum untuk menjamin ditaatinya suatu norma yang terdapat didalam masyarakat.

2.Unsur-Unsur Tindak Pidana dalam Hukum Pidana Positif

Jika kita berusaha untuk menjabarkan sesuatu rumusan delik ke dalam unsur-unsurnya, maka yang pertama dapat kita jumpai adalah disebutkanya sesuatu tindakan manusia, dengan tindakan itu seseorang telah melakukan sesuatu tindakan yang terlarang oleh undang-undang. Menurut ilmu pengetahuan hukum pidana, sesuatu tindakan itu dapat merupakan ”een doen atau een niet doen” atau dapat merupakan hal melakukan sesuatu ataupun hal tidak melakukan sesuatu, yang terakhir ini di

27

dalam doktrin juga sering disebut sebagai ”een nalaten” yang juga berarti hal mengalpakan sesuatu yang diwajibkan (oleh undang-undang).

Membicarakan unsur-unsur dari tindak pidana, dapat dibedakan setidaknya dari dua sudut pandang, yakni dari sudut teoritis dan dari sudut pandang undang-undang. Maksud teoritis ialah berdasarkan pendapat para ahli hukum, yang tercermin pada bunyi rumusannya. Sedangkan dari sudut undang-undang adalah sebagaimana kenyataan tindak pidana itu dirumuskan menjadi tindak pidana tertentu dalam pasal-pasal peraturan perundang-undangan yang ada. Maka timbullah di dalam doktrin unsur dari suatu tindak pidana menurut beberapa teoritisi dari para sarjana hukum yang berbeda-beda, antara lain:

Moeljatno memberikan beberapa elemen atau unsur-unsur dari suatu tindak pidana diantaranya harus memuat: kelakuan dan akibat (adanya suatu perbuatan); keadaan yang menyertai perbuatan; adanya tambahan yang memberatkan pidana; unsur melawan hukum baik yang objektif dan subjektif.28

Sedangkan menurut pendapat Jonkers sebagaimana yang dikutip oleh Adami Chazawi dalam bukunya Pelajaran Hukum Pidana Bagian satu, menyatakan bahwa unsur-unsur dari suatu tindak pidana dapat dirinci sebagai berikut, yaitu:29 adanya suatu perbuatan manusia; sifat melawan hukum; adanya sifat kesalahan; pelaku dapat dipertanggungjawabkan;

28

Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2002) h. 63.

29

Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian satu, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2008) h. 81.

Dokumen terkait