• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sanksi pidana bagi praktek perkawinan di bawah umur: Kajian hukum islam dan hukum positif

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Sanksi pidana bagi praktek perkawinan di bawah umur: Kajian hukum islam dan hukum positif"

Copied!
115
0
0

Teks penuh

(1)

SANKSI PIDANA BAGI PRAKTEK PERKAWINAN

DI BAWAH UMUR

(Kajian Hukum Islam dan Hukum Positif)

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukum untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum (SH)

Oleh : SUNENDI Nim: 105045101500

KONSENTRASI KEPIDANAAN ISLAM

PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(2)

SANKSI PIDANA BAGI PRAKTEK PERKAWINAN

DI BAWAH UMUR

(Kajian Hukum Islam dan Hukum Positif)

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Syari’ah dan Hukum

Untuk Memenuhi Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (SH)

Oleh:

SUNENDI

NIM: 105045101500

Di Bawah Bimbingan:

Pembimbing I Pembimbing II

Prof. Dr. H. M. Abduh Malik Sri Hidayati, M. Ag

Nip: 150 094 391 Nip: 150 282 403

KONSENTRASI KEPIDANAAN ISLAM

PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(3)

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah yang telah memberikan kita kenikmatan serta manisnya Iman dan Islam sehingga kita dapat berjalan dibawah ridha-nya. Shalawat dan salam semoga tetap tercurah kepada Nabi Muhammad SAW, atas segala perjuanganya dalam membebaskan umat manusia dari ketertindasan dan memberikan pencerahan kepada umatnya, sehingga kita dapat merasakan keindahan hidup dibawah naungan Islam.

Rasa syukur Alhamdulilah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, hidayah daan taufiknya, sehingga skripsi ini dapat penulis selesaikan tepat pada waktunya. Dalam proses penulisan skripsi ini banyak kendala yang penulis hadapi, baik yang bersifat akademisi maupun non akademisi. Selama proses penulisan, penulis merasakan campuran perasaan tertekan, kehilangan rasa konsentrasi, oleh karena itu bila tidak dibantu dengan kesabaran hati, bantuan bahan-bahan, kerelaan meluangkan waktu secara khusus serta jeri payah dari perseorangan dan lembaga-lembaga, skripsi ini tidak akan sampai pada bentuk yang sekarang. Munculnya berbagai hambatan dan kesulitaan seakan terasa ringan berkat bantuan dan dorongan berbagai pihak. Dengan penuh hormat penulis menyatakan ungkapan rasa terimakasi yang sebesar-besarnya kepada semuanya.

(4)

1.Pihak Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk menimbah ilmu.

2.Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, selaku Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

3.Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM, selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

4.Asmawi, M. Ag dan Ibunda Sri Hidayati, M. Ag, selaku Ketua dan Sekretaris Program Studi Jinayah Siyasah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

5.Prof. Dr. H. M. Abduh Malik dan Ibunda Sri Hidayati, M. Ag, selaku dosen pembimbing skripsi dengan penuh kesabaran membimbing, memberikan banyak masukan dan saran serta meluangkan waktu, tenaga, pikiran dan penilaian sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

6.Dr. H. A. Mukri Aji. MA dan Burhanuddin SH. M.Hum, selaku penguji sidang skripsi yang dengan tegas dan teliti telah menguji daan memberikan masukan dalam perbaikan skripsi penulis.

7.Segenap para Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah berbagi pengetahuan pemikiran dan gagasan kepada penulis.

(5)

yang sangat membantu penulis dalam memperoleh buku-buku referensi dalam penyusunan karya ilmiah ini.

9.Untuk kedua orang tua penulis Bapak Kadi Maulyana dan Ibunda Asia yang senantiasa memberikan kasih sayang dan bimbingan dari kecil sampai penulis menyelesaikan studi di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 10.Ustd. Priyatno di Bogor dan tante Marina (Rina) di Cengkareng yang selalu

mendukung untuk percepatan penyelesaian skripsi ini. Tak lupa pula kepada Adik-adik dan ponakan penulis, Handri (ahong), Muhammad Ilyas Habiburrahman (ilyas), Nur Sidiq, Ade Suganda (bentot), Fahrul Roji (fa’ung), Fajar, Jahid, dan ade Faturahman (fatur).

11.Teman-teman seperjuangan Abdul Malik, Abdul Razak, Abdul Wahid Muharrom, Adi Supriatna, Ahmad Jaelani, Ahmad Sanusi, Amien Indah Fitria, Asep Bahrul Jaman, Asharyanto, Deni Junaidih, Dewi Kurnia Sari, Fitrotul Amalia, Ifada Imaniah, Khusnul Anwar, Iin Sugiarto, Laila Latifa, Laili Maulida, Miftahu Chairina, Mohammad Trezal, Nasori, Raijak, Santoso Hari Wibowo, Sayidi, Siti Nafisah, Siti Widya Umiyati, Suspemilri, Usep Syafi’i Sanjabil MSSY, Yayah Ramadyan, Yazid Syukri, Zaki Tsani’ yang dari awal selalu belajar bereng di kelas, bersaing dalam prestasi, mengukir kebersamaan dalam sebuah persahabatan abadi.

(6)

Azim, Fitria Hasanah, Hamdan Roziana AM, Leni Wulandari, M. Syuhadak Nasrullah, Saukah, Ahmad Hambali, Ali Imron, Dedi Aldi Wahyudi, Ifan Sunarya, Sabarudin Bintang, Asharyanto, Mohammad Trezal, Yazid Syukri.

13.Wanita yang selalu penulis cinta dan sayangi, , interaksi yang

multidimensi dengannya, telah banyak sulutan semangat yang redup, kembangkan cinta yang susut, dan senyumkan dikalah cemberut melanda diri, engkau merupakan anugerah terindah dari Tuhan yang tak terhingga kepada penulis, yang selalu memotifasi penulis untuk segera menyelesaikan skripsi dan cepat-cepat cari kerja untuk kehidupan bersama.

Akhirnya, tidak ada gading yang retak demikian pula dalam skripsi ini, bila terdapat kebenaran semata hanya petunjuknya, dan kesalahan adalah bukti nyata lemah hamba-nya. Kritik konstruktif dan masukan dalam skripsi ini, mutlak penulis harapan dalam rangka penjelajahan ilmu yang semakin luas. Semoga skripsi ini tidak hanya dorongan formalitas semata, tetapi bagian terpenting dalam meneguhkan semangat dalam belajar.

Jakarta, 12 juni 2009 M 18 Rajab 1430 H

(7)

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengaan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 12 Juni 2009

(8)

SANKSI PIDANA BAGI PRAKTEK PERKAWINAN DI BAWAH

UMUR

(Kajian Hukum Islam dan Hukum Pidana Indonesia)

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukum untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum (SH)

Oleh:

SUNENDI

NIM : 105045101500

Di bawah Bimbingan Pembimbing

Pembimbing I Pembimbing II

Prof. Dr. H. M. Abduh Malik Sri Hidayati, M. Ag

Nip. 150 094 391 Nip. 150 282 403

KONSENTRASI KEPIDANAAN ISLAM

PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(9)

PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Skripsi berjudul Sanksi Pidana Bagi Praktek Perkawinan Di Bawah Umur (Kajian Hukum Islam dan Hukum Positif) telah diajukan dalam sidang Munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada 12 Juni 2009. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Hukum (SH) pada Program Studi Jinayah Siyasah Kosentrasi Pidana Islam.

Jakarta, 12 Juni 2009. Dekan,

Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM.

Nip. 150 210 422

Panitia Ujian

Ketua : Asmawi, M. Ag (...) Nip. 150 282 394

Sekretaris : Sri Hidayati, M. Ag (...) Nip. 150 282 403

Pembimbing I : Prof. Dr. H. Abduh Malik (………) Nip. 150 094 391

Pembimbing II : Sri Hidayati, M. Ag (...) Nip. 150 282 403

Penguji I : Dr. H. A. Mukri Aji. MA (...) Nip. 150 220 554

(10)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR... ... i

DAFTAR ISI... ... v

BAB I PENDAHULUAN Halaman A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 7

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian... 8

D. Tinjauan Pustaka... 9

E. Metode Penelitian ... 10

F. Sistematika Penulisan ... 11

BAB II TINDAK PIDANA DAN SANKSI PIDANA MENURUT HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF A. Ketentuan Hukum Pidana Islam Mengenai tindak pidana dan Sanksi Pidana ... 13

1. Pengertian Tindak Pidana Dan Sanksi Pidana Dalam Hukum Islam ... 13

2. Unsur-Unsur Tindak Pidana Dalam hukum Pidana Islam .. 17

(11)

B. Ketentuan Hukum Pidana Positif Mengenai tindak pidana dan

Sanksi Pidana... 24

1. Pengertian Tindak Pidana Dan Sanksi Pidana Dalam Hukum Positif... 24

2. Unsur-Unsur Tindak Pidana Dalam hukum Pidana Positif.. 27

3. Jenis-Jenis Hukuman Dalam Hukum Positif ... 31

BAB III PERKAWINAN DIBAWAH UMUR MENURUT HUKUM HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF A. Pengertian dan dasar Hukum Perkawinan ... 36

B. Rukun dan Syarat Sahnya Perkawinan ... 41

C. Tujuan dan Hikmah Perkawinan ... 46

D. Seputar Usia Perkawinan ... 51

1. Pengertian Usia Perkawinan ... 51

2. Usia Perkawinan Dalam Islam... 52

3. Usia Perkawinan Dalam Hukum Positif ... 56

E. Perkawinan di Bawah Umur Menurut Hukum Islam dan Undang-undang Perkawinan ... 58

1...Perka winan Di Bawah Umur Menurut Hukum Islam ... 59

(12)

F. Praktek Perkawinan dibawah Umur Menurut Undang-undang

Perlindungan Anak ... 72

BAB IV ANALISA HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF TERHADAP

PRAKTEK PERKAWINAN DIBAWAH UMUR

A...Studi

Analisa Tentang Sanksi Pidana Bagi Praktek Perkawinan dibawah Umur ... 77 1....

Analisa Hukum Islam... 78 2...

Analisa Hukum Positif ... 84

BAB V PENUTUP

Kesimpulan ... 95 Saran-Saran ... 97

(13)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Istilah dan batasan nikah muda (nikah di bawah umur) dalam kalangan pakar hukum Islam sebenarnya masih simpang-siur yang pada akhirnya menghasilkan pendapat yang berbeda. Maksud nikah muda menurut pendapat mayoritas ulama, yaitu, orang yang belum mencapai baligh bagi pria dan belum mencapai menstruasi (haid) bagi perempuan. Syariat Islam tidak membatasi usia tertentu untuk menikah. Namun, secara implisit, syariat menghendaki orang yang hendak menikah adalah benar-benar orang yang sudah siap mental, pisik dan psikis, dewasa dan paham arti sebuah pernikahan yang merupakan bagian dari ibadah, persis seperti harus pahamnya apa itu salat bagi orang yang melakukan ibadah salat, haji bagi yang berhaji.

(14)

memiliki kematangan berpikir, kematangan jiwa dan kekuatan fisik yang memadai. Keuntungan lainnya yang diperoleh adalah kemungkinan keretakan rumah tangga yang berakhir dengan perceraian dapat dihindari, karena pasangan tersebut memiliki kesadaran dan pengertian yang lebih matang mengenai tujuan perkawinan yang menekankan pada aspek kebahagiyaan lahir dan batin.

Dalam pandangan Islam pernikahan itu merupakan sunnah Allah dan sunnah Rasul. Sunnah Allah berarti menurut qudrat dan iradat Allah dalam penciptaan alam semesta ini, sedangkan sunnah Rasul berarti suatu tradisi yang telah di tetapkan oleh Rasul untuk dirinya sendiri dan untuk umatnya.1 Islam menganjurkan orang untuk berkeluarga karena dari segi batin orang dapat mencapainya melalui berkeluarga, dalam Al-Qur’an dinyatakan bahwa hidup berpasang-pasangan, hidup berjodoh-jodoh adalah naluri makhluk Allah, termasuk manusia,2 sebagaiman firmannya dalam QS. Adz-Dzariyaat (51) ayat 49:

!"#

$% '()

*"

Artinya: ”Dan segala sesuatu kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu meningatkan kebesaran Allah SWT”.

1

Amir Syarifuddin, “Garis-Garis Besar Fiqh”, (Bogor: Kencana, 2003), hal. 76.

2

(15)

Dalam QS. Yaasiin (36) ayat 36 dinyatakan:3

,

"-.0

1

2(3

4

$5

6

78

96

4

:;

<=

>?@

!

AB-C96

4

D

E?:FG HI J

<=

KL

$%M=

D!$N

Artinya: ” Maha suci Tuhan yang telah menciptakan pasangan-pasangan semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka maupun dari apa yang mereka tidak ketahui”.

Dalam sebuah hadist Nabi SAW, kita juga dianjurkan untuk menikah, seperti yang dinyatakan dalam salah satu sabda Nabi Muhammad SAW yang berasal dari Abdullah ibn Mas’ud, ucapan Nabi:

!"# $%

&' ( &)

*+!# ,-ﺱ/ 0-

1 ﺱ 1 2

$#/ 3*4- $5)6/ *5'- 7896 :ﻥ<= 3:/>?0-= @A ' ,B # C D?ﺱ $# E ':+

0-!= FD?" ,

GA H/

:ﻥ<= I :5 %

J' K /

4

Artinya: Rasulullah bersabda ”Wahai golongan pemuda! Barangsiapa diantara kalian yang telah mampu lahir dan batin untuk kawin, maka hendaklah ia kawin. Sesungguhnya perkawinan itu dapat menjaga pandangan mata dan menjaga kehormatan, barang siapa yaang belum mampu hendaklah berpuasa, karena puasa itu sebagai penawar hawa nafsu”. (HR. Bukhari)

Hukum Negara yang mengatur mengenai masalah perkawinan adalah Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Di lain pihak hukum Islam yang mengatur mengenai perkawinan dari dulu hingga sekarang tidak berubah. Menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, bahwa perkawinan dan tujuannya

3

Departemen Agama RI, Al- Qur’an dan terjemahnya, (Semarang: CV. Asy-syifa, 1998)

4

(16)

adalah sebagai berikut, Ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Untuk dapat mewujudkan tujuan perkawinan, salah satu syaratnya adalah bahwa para pihak yang akan melakukan perkawinan telah masak jiwa raganya, agar terwujud tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir pada perceraian, oleh karena itu di dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 ditentukan batas umur minimal untuk melangsungkan suatu perkawinan.5 Ketentuan mengenai batas umur minimal tersebut terdapat di dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 yang mengatakan bahwa: “Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai usia 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai usia 16 tahun”. Usia Perkawinan dalam Bab IV Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 15 menyebutkan bahwa: ”untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga perkawinan hanya boleh dilakukan calon mempelai yang telah mencapai umur yang ditetapkan dalam Pasal 7 Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 1974 yakni calon suami sekurang-kurangnya berumur 19 tahun dan calon istri sekurang-kurangnya berumur 16 tahun”. Dengan adanya batasan usia ini dapat ditafsirkan bahwa Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tidak menghendaki perkawinan di bawah umur yang telah ditentukan oleh Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974. Dalam Instrumen Hak Asasi Manusia apakah yang bersifat internasional (international human rights law) ataupun yang sudah

5

(17)

diratifikasi oleh Pemerintah RI tidak menyebutkan secara eksplisit tentang batas usia perkawinan. Konvensi Hak Anak (Convention on the Rights of the Child 1990 yang telah diratifikasi melalui Keppres No. 36 Tahun 1990) tidak menyebutkan usia minimal pernikahan selain menyebutkan bahwa yang disebut anak adalah mereka yang berusia di bawah 18 tahun. Juga setiap negara peserta konvensi diwajibkan melindungi dan menghadirkan legislasi yang ramah anak, melindungi anak dan dalam kerangka kepentingan terbaik bagi anak (the best interest of the child). Konvensi tentang Kesepakatan untuk Menikah, Umur Minimum Menikah dan Pencatatan Pernikahan (Convention on Consent to Marriage, Minimum Age for Marriage and Registration of Marriages) 1964 menyebutkan bahwa negara peserta konvensi ini

akan mengupayakan lahirnya legislasi untuk mengatur permasalahan umur minimum untuk menikah dan bahwasanya pernikahan yang dilakukan di luar umur minimum yang ditetapkan adalah tidak berkekuatan hukum, terkecuali otoritas yang berwenang menetapkan dispensasi tertentu dengan alasan yang wajar dengan mengedepankan kepentingan pasangan yang akan menikah.

(18)

perkembangan; dan d. penghargaan terhadap pendapat anak. Perlindungan anak bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera. Terkait pernikahan di bawah umur, pasal 26 (1) huruf (c ) UU Perlindungan Anak 2002 menyebutkan bahwa orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak.

Di lain pihak Hukum Islam, dalam hal ini Al Qur`an dan hadits tidak menyebutkan secara spesifik tentang usia minimum untuk menikah, persyaratan umum yang lazim dikenal adalah sudah baligh, berakal sehat, mampu membedakan yang baik dengan yang buruk sehingga dapat memberikan persetujuannya untuk menikah. Tidak menentukan secara spesifik batasan umur tertentu bagi orang untuk melaksanakan perkawinan, hal ini menimbulkan suatu argumentasi serta penafsiran yang berbeda tentang batasan umur untuk dapat melangsungkan pernikahan di kalangan para ulama. Bahkan ada salah satu tokoh masyarakat di wilayah Semarang Pujiono Cahyo Widianto (Syekh Puji) mengatakan hukum Islam membolehkan perkawinan di bawah umur sebagaimana yang dicontohkan Nabi Muhammad SAW.

(19)

dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana khususnya dalam Pasal 288 KUHP, UU No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, membuat penulis merasa tertarik untuk mengetahui lebih jauh tentang pelaksanaan perkawinan di bawah umur dan sanksi apa yang berlaku bagi mereka yang melakukan praktek perkawinan dibawah umur menurut kajian hukum Islam dan dalam aturan peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagaimana yang telah diuraikan diatas. Hasil penelitian akan dituliskan dalam karya ilmiah berbentuk skripsi dengan judul: ”SANKSI PIDANA BAGI PRAKTEK PERKAWINAN DI BAWAH UMUR (KAJIAN HUKUM

ISLAM DAN HUKUM POSITIF)”.

B. Pembatasan dan Rumusan Masalah

(20)

Sehingga kita bisa menganalisa dan mengetahui dari dua sisi pandangan hukum, baik dalam hukum Islam maupun dalam aturan perundang-undangan Indonesia, berkaitan dengan sanksi pidana apakah ada atau tidaknya dalam dua aturan hukum tersebut. Serta apa saja yang menjadi hak dari seorang anak yang melakukan perkawinan di bawah umur, sehingga kepentingan anak tidak terabaikan adanya.

Dari pembatasan masalah di atas, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1.Adakah sanksi hukum yang ditentukan dalam hukum Islam terhadap praktek perkawinan dibawah umur?

2. Apa sanksi hukum yang ditentukan oleh hukum positif Indonesia terhadap praktek perkawinan dibawah umur?

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian secara khusus dalam penulisan Skripsi ini adalah :

1. Untuk mengetahui adakah sanksi pidana bagi mereka yang melakukan praktek perkawinan dibawah umur menurut hukum Islam.

2. Untuk mengetahui ketentuan sanksi pidana bagi mereka yang melakukan praktek perkawinan dibawah umur menurut hukum positif Indonesia.

Adapun tujuan penelitian secara umum dalam penulisan Skripsi ini adalah :

(21)

2. Dengan selesainya skripsi ini, penulis mengharapkan dapat membantu dalam memberikan pemahaman yang lebih baik pada masyarakat umum dan khususnya umat Islam tentang praktek perkawinan dibawah umur yang dapat dikenakan sanksi pidana terhadap pelaku.

D. Tinjauan Pustaka

Berbicara mengenai perkawinan terlebih perkawinan di bawah umur sudah ada Skripsi dan buku-buku atau penelitian yang membahas tentang perkawinan di bawah umur. Misalnya, pada pembahasan sebelumnya dari pelacakan karya ilmiyah mahasiswa (skripsi) di fakutas Syariah terdapat skripsi yang ditulis oleh, Boy Valdi yang berjudul ”Dispensasi nikah bagi perkawinan di bawah umur (Studi analisis putusan No. 008/PDT.P/2006/PJAP)” dalam skripsinya ia mengutarakan apa yang dimaksud dengan perkawinan di bawah umur dan peringanan untuk dapat di berikanya dispensasi nikah oleh Pengadilan Agama bagi mereka yang belum cukup umur untuk dapat melangsungkan suatu pernikahan.

(22)

E. Metode Penelitian

Dalam penulisaan skripsi ini penulis menggunakan metode deskriptif, yaitu pemecahan masalah yang aktual dengan jalan mengumpulkan data, menyusun atau mengklasifikasikannya, kemudian menganalisa data dan menginterprestasikannya. Adapun jenis penelitian yang penulis gunakan adalah penelitian kepustakaan (Library Research), yaitu yaitu pengumpulan data melalui studi kepustakaan, dimana

penelitian yang dilakukan dengan cara mengkaji dan mengulas buku-buku, dokumen-dokumen, majalah, jurnal-jurnal yang ada relevansinya dengan tema penelitian yang dibahas. Tujuan digunakan studi kepustakaan adalah untuk mendapatkan landasan teoritis yang berupa konsep, pendapat para Fuqaha dan para ahli hukum pidana atau literatur yang berhubungan dengan materi yang menjadi pokok permasalahan dalam penulisan skripsi ini. Dalam mengolah dan menganalisa data, penulis menggunakan metode Kualitatif dengan cara mendeskripsikan permasalahan yang akan dibahas dengan mengambil materi-materi yang relevan dengan permasalahan kemudian membandingkanya.

Adapun mengenai sumber data yang penulis pergunakan adalah sumber data primer dan sekunder, data primer,6 merupakan data yang diperoleh langsung dari sumber utama (pertama), yakni yang diperoleh dari hasil kajian hukum baik dalam literatur hukum Islam maupun terhadap perundang-undangan yang dalam hal ini adalah: undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, KUHP dan

6

(23)

undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Data sekunder adalah semua bahan yang memberikan penjelasan mengenai sumber data primer, dalam hal ini adalah buku-buku, literatur-literatur yang berhubungan dengan penelitian skripsi ini. Kemudian teknik pengumpulan data yang penulis gunakan adalah menggunakan bahan dokumen yang tertulis berbentuk buku-buku, artikel dan makalah dan hasilnya berupa kutipan atau catatan. Setelah data-data tersebut terkumpul, kemudian penulis mengolah dan menganalisa data tersebut dengan menggunakan metode:

1.Metode Deduktif, yaitu suatu cara menganalisa data yang bertitik tolak dari data yang bersifat umum, kemudian di tarik atau diambil kesimpulan yang bersifat khusus.

2.Metode Komparatif, yaitu membandingkaan antara keduanya antara hukum Islam dengan hukum Positif dengan cara menganalisa keduanya.

Teknik penulisan dalam pembuatan skripsi ini mengacu pada buku pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2007.7

F. Sistematika Penulisan

Dalam penulisan penelitian ini, sama halnya dengan sistematika penulisan pada penelitian-penelitian lainnya, yaitu dimulai dengan kata pengantar, daftar isi dan dibagi menjadi bab dan sub bab serta diakhiri dengan kesimpulan dan saran. Untuk lebih jelasnya gambaran pembagian bab-bab sebagai berikut:

7

(24)

BAB I Pendahuluan; Terdiri dari latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan penelitian, metode penelitian dan sistematika penulisan.

BAB II Tindak Pidana Dan Sanksi Pidana Menurut Hukum Islam Dan Hukum Positif; Terbagi menjadi dua sub bab. Pertama, ketentuan hukum pidana islam mengenai tindak pidana dan sanksi pidana, unsur-unsur tindak pidana dalam hukum pidana islam, jenis-jenis hukuman dalam hukum islam. Kedua, ketentuan hukum pidana positif mengenai tindak pidana dan sanksi pidana, unsur-unsur tindak pidana dalam hukum pidana positif, jenis-jenis hukuman dalam hukum positif.

BAB III Tinjauan Umum Tentang Perkawinan di Bawah Umur Menurut Hukum Islam dan Hukum Positif; Terdiri dari enam sub bab yaitu: pengertian dan dasar hukum perkawinan, rukun dan syarat sahnya perkawinan, tujuan dan hikmah perkawinan, seputar usia perkawinan, perkawinan di bawah umur menurut hukum islam dan undang-undang perkawinan, praktek perkawinan di bawah umur menurut undang-undang perlindungan anak.

BAB VI Analisa Hukum Islam dan Hukum Positif Terhadap Praktek Perkawinan di Bawah Umur; Studi analisa tentang sanksi pidana bagi praktek perkawinan di bawah umur.

(25)

BAB II

TINDAK PIDANA DAN SANKSI PIDANA MENURUT HUKUM POSITIF

DAN HUKUM ISLAM

A. Ketentuan Hukum Pidana Islam Mengenai Tindak Pidana dan Sanksi Pidana

1.Pengertian Tindak Pidana dan Sanksi Pidana

Dalam ensiklopedi hukum Pidana Islam, tindak pidana (jarimah) diartikan sebagai perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh syarak yang diancam oleh Allah SWT dengan hukuman hudud atau ta’zir.8 Adapun menurut istilah syar’i, jinayah adalah perbuatan yang dilarang oleh syara, baik perkataan itu mengenai (merugikan) jiwa atau harta benda ataupun lain-lainya.9 Sulaiman Rasyid dalam bukunya Fiqih Islam memberikan pengertian jinayah adalah yang meliputi beberapa hukum, yaitu membunuh orang, melukai, memotong anggota badan, menghilangkan anggota badan, seperti salah satu panca indera.10

Para Fuqaha sering memakai kata-kata ”jinayah” ini untuk ”jarimah”, bahkan kebanyakan Fuqaha memakai kata-kata jinayah hanya untuk perbuatan yang mengenai jiwa orang atau anggota badan, seperti membunuh, melukai, memukul, menggugurkan kandungan dan sebagainya. Adapun yang dimaksud dengan jarimah adalah larangan-larangan syara yang diancam oleh Allah swt dengan hukuman had

8

Alie Yafie dkk, Ensiklopedi Hukum Pidana Islam, (t.tp: PT. Kharisma Ilmu, 2007), h. 87.

9

Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 2005), h. 1.

10

(26)

dan ta’zir. Kemudian Ahmad Hanafi mengkatagorikaan jarimah kepada tiga macam bentuk, yaitu:11

a. Jarimah Hudud

Jarimah Hudud, adalah jarimah yang diancamkan hukuman had yaitu hukuman yang telah ditentukan macam dan jumlahnya serta menjadi hak Tuhan. Dengan demikian, maka hukuman tersebut tidak mempunyai batas terendah atau batas tertinggi, dan pengertian hak Tuhan ialah bahwa hukuman tersebut tidak bisa dihapuskan baik oleh perorangan (yang menjadi korban jarimah), atau pun oleh masyarakat yang di wakili oleh negara (sultan).

b. Jarimah Qisas-diyat

Jarimah Qisas-diyat adalah perbuatan-perbuatan yang diancamkan dengan hukuman qisas atau hukuman diyat kepada pelakunya. Baik qisas maupun diyat adalah hukuman-hukuman yang telah ditentukan batasannya, dan tidak mempunyai batas terendah atau batas tertinggi, tetapi menjadi hak perseorangan, dengan pengertian bahwa si korban bisa memaafkan si pembuat dan apabila dimaafkan, maka hukuman tersebut menjadi hapus.

c. Jarimah Ta’zir

Jarimah Ta’zir, yaitu perbuatan-perbuatan yang diancamkan dengan satu atau beberapa hukuman Ta’zir. Pengertian ta’zir itu sendiri ialah memberikan pengajaran (at-ta’dib). Syara tidak menentukan macam-macamnya hukuman untuk tiap-tiap jarimah ta’zir, tetapi hanya menyebutkan sekumpulan hukuman, dari yang

11

(27)

ringannya sampai kepada yang seberat-beratnya hukuman. Dalam hal ini hakim diberikan kebebasan untuk memilih hukuman-hukuman mana yang sesuai dengan macam jarimah ta’zir serta keadaan si pembuat juga. Jadi hukuman ta’zir tidak mempunyai batas tertentu.

Sementara itu, hukum Islam memuat suatu aturan hukum yang sangat berat dan tegas, tetapi memiliki sesuatu keluwesan dalam menerapkan sanksi pidana terhadap pelaku kejahatan yang melanggar terhadap hak-hak masyarakat. Ketentuan tersebut menunjukan pada bagaimana hukum yang berlaku bagi pelaku kejahatan atau perbuatn yang dilakukan. Kata sanksi dalam pidana Islam disebut dengan istilah al-Uqubah yang berasal dari bahasa arab yang artinya adalah pembalasan dengan keburukan. Sedangkan Abdul Qadir’ Audah mendefinisikan sanksi atau hukuman adalah balasan yang telah ditentukan untuk kepentingan orang banyak atas perbuatannya melanggar perintah Allah SWT.12

Ahmad Fathi Bahasi sebagaimana dikutip oleh Ahmad Ratomi Zain dalam skripsinya memberikan definisi sanksi (uqubah), adalah balasan berbentuk ancaman yang ditetapkaan syar’i (Allah) untuk mencegah terhadap perbuatan-perbuatan yang dilarangnya dan perbuatan meninggalkan yang ia perintahkan.13 Menurut A. Djazuli bahwa maksud pokok Hukuman (sanksi) adalah untuk memelihara dan menciptakan

12

Abdul Qadir’ Audah , al-Tassyri’ al- Jinai al-Islami, (Bairut: Muassasah al- Risalah, 1992), Cet. Ke-II, Zuz I, h. 812.

13

(28)

kemaslahatan manusia dan menjaga hal-hal dari mafsadat, serta memberi petunjuk dan pelajaran kepada manusia.14 Begitu juga menurut A. Hanafi, bahwa tujuan dari pada penjatuhan hukuman (sanksi) menurut syariat Islam adalah pencegahan (ar-radu waz-zajru) dan pengajaran serta pendididkan (al-islah wat taahdzib).15

Tujuan sanksi pidana adalah pencegahan, maka besarnya hukuman harus sedemikian rupa yang cukup mewujudkan tujuan tersebut, tidak boleh kurang atau lebih dari batas yang diperlukannya, dan dengan demikian maka terdapat prinsip keadilan dalam menjatuhkan hukuman. Selain mencegah dan menakut-nakuti, syariat Islam tidak lalai untuk memberikan perhatian terhadap diri pembuat. Bahkan memberikan pelajaran dan pengusahaan kebaikan kepada diri pembuat merupakan tujuan utama, sehingga menjauhkan manusia terhadap jarimah bukan karena takut akan hukuman, melainkan karena kesadaran dalam diri sendiri dan kebenciannya terhadap melakukan jarimah (kejahatan). Di samping segi kebaikan pribadi pembuat jarimah, syariat Islam dalam menjatuhkan hukuman juga bertujuan membentuk masyarakat yang baik dan yang dikuasai rasa saling menghormati dan mencintai antara sesama anggota masyarakat dengan mengetahui batas-batas hak dan kewajibannya masing-masing.16

Hukuman tanpa sanksi, suatu perintah atau larangan tidak punya konsekuensi apa-apa, dengan hukuman (sanksi) perintah atau larangan akan diperhitungkan dan

14

A. Djazuli, Fiqh Jinayah, (Upaya Menaggulangi Kejahatan), Loc. Cit.

15

Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, Loc. Cit.

16

(29)

memiliki arti. Meskipun sanksi itu sendiri bukan merupakan suatu kebaikan, bahkan suatu perusakan bagi si pelaku kejahatan sekurang-kurangnya, namun sanksi tersebut diperlukan, sebab bisa membawa keuntungan yang nyata bagi masyarakat (kepentingan publik). Syariat Islam menetapkan perbuatan-perbuatan sebagai kejahatan dan mengancam dengan hukuman tertentu untuk perbuatan-perbuatan tersebut dengan maksud melindungi kepentingan- kepentingan kolektif dan sistem yang di atasnya berdiri bangunan besar masyarakat, serta membuat masyarakat dapat menyelamatkan nilai-nilai moral dan kehidupan yang harmoni. Tuhan mengadakan larangan-larangan (hukuman/sanksi) tidak akan mendapatkan suatu keuntungan karena ketaatan manusia, sebagaimana juga tidak akan menderita karena kedurhakaan mereka terhadapnya.

2.Unsur-Unsur Tindak Pidana Dalam Hukum Pidana Islam

Sebagaimana yang telah disebutkan diatas, pengerian jarimah ialah larangan-larangan syara yang diancamkan hukuman had atau hukuman ta’zir. Larangan tersebut adakalanya berupa perbuatan yang dicegah, atau meninggalkan yang disuruh. Juga telah disebutkan, bahwa dengan penyebutan kata-kata syara, dimaksudkan bahwa larangan-larangan harus datang dari ketentuan-ketentuan (nas-nas) syara dan berbuat atau tidak berbuat baru dianggap sebagai jarimah apabila diancamkan hukuman (sanksi) terhadapnya.

(30)

yang berakal sehat dan dapat memahami pembebanan (taklif), sebab pembebanan itu artinya panggilan (khitab), dan orang yang tidak dapat memahami seperti hewan, dan benda-benda mati tidak mungkin menjadi objek panggilan tersebut.

Bahkan orang yang dapat memahami pokok panggilan (khitab), tetapi tidak mengetahui perincian-perinciannya, apakah berupa suruhan atau larangan, apakah akan membawa pahala atau siksa, seperti orang gila dan anak-anak yang belum tamyiz maka keduanya dipersamakan dengan benda-benda mati bahkan hewan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan. Oleh karena itu sukar diberi pembebanan (taklif), karena untuk dapat memahami pembebanan tersebut, bukan saja diperlukan pengertiannya pokok panggilan, tetapi juga diperlukan pengertiannya terhadap perincian-perinciannya.

Unsur-unsur kejahatan dalam hukum Pidana Islam secara garis besar dapat dibagi dua, yaitu: Unsur-unsur dasar umum dan unsur-unsur khusus. Unsur-unsur dasar (umum) mencakup:17

1. Rukun Syar’i atau unsur hukum (legal element) yaitu ketentuan yang jelas untuk melarang suatu perbuatan yang merupakan kejahatan dan menentukan hukuman atasnya (ketentuan-ketentuan syariat);

2. Rukun Maddi atau unsur materiil (essential element) yaitu berupa perbuatan, baik perbuatan aktif (komisi) maupun perbuatan pasif atau pengabaian (omisi);

17

(31)

3. Rukun Adaby atau unsur budaya/ unsur moril (cultural element) yang meliputi kedewasaan, dapat bertanggungjawab dan dapat dipersalahkan kepada diri si pelaku atas perbuatannya.

Sedangkan menurut pendapat Zainuddin Ali, untuk menentukan suatu hukuman terhadap suatu tindak pidana dalam hukum Islam, diperlukan unsur normatif dan moral. Unsur yuridis normatif di satu aspek harus didasari oleh suatu dalil yang menentukan larangan terhadap perilaku tertentu dan diancam dengan hukuman. Aspek lainnya secara yuridis normatif mempunyai unsur materil, yaitu sikap yang dapat dinilai sebagai suatu pelanggaran terhadap sesuatu yang diperintahkan oleh Allah SWT. Unsur moral yaitu kesanggupan seseorang untuk menerima segala sesuatu yang secara nyata mempunyai nilai yang dapat dipertanggungjawabkan. Dalam hal ini disebut Mukallaf. Mukallaf adalah orang Islam yang sudah baligh dan berakal sehat.18

Dari pembicaraan diatas kita bisa menarik sebuah kesimpulan bahwa tiap-tiap jarimah harus mempunyai unsur-unsur yang harus dipenuhi, diantaranya unsur-unsur sebagai berikut:19

1.Nas yang melarang perbuatan dan mengancamkan hukuman terhadap pelakunya, dan unsur ini biasa disebut ”unsur Formal” (rukun syar’i).

18

Zainuddin Ali, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007) Cet.ke-1. h. 22.

19

(32)

2.Adanya tingkah laku yang membentuk jarimah, baik berupa perbuatan-perbuatan nyata atau pun sikap tidak berbuat sesuatu, dan unsur ini biasa disebut ”unsur materiil” (rukun maddi).

3.Pembuat adalah orang mukalaf, yaitu orang yang dapat dimintai pertanggung jawabkan terhadap suatu jarimah yang diperbuatnya, dan unsur ini biasa disebut dengan ”unsur moral” (rukun adabi).

(33)

3.Jenis - Jenis Hukuman Dalam Hukum Islam

Hukum pidana Islam merupakan aturan-aturan yang bersumber dari syariat Islam yang memiliki tujuan yang luhur baik untuk kepentingan pelaku tindak pidana maupun masyarakat pada umumnya. Oleh karena itu menurut keduanya bahwa hukuman menjadi beberapa macam sesuai dengan tindak pidananya, yaitu:

a) Hukuman dari segi terdapat atau tidak terdapat nashnya dalam Al-qur’an dan Hadist, yaitu:

1.Hukuman yang ada nashnya, yaitu hudud, qishas, diyat, kafarat. Misalnya pencurian, perzinahan, minum khamar, murtad.

2.Hukuman yang tidak ada nashnya, hukuman ini disebut juga dengan hukuman ta’zir, seperti percobaan melakukan tindak pidana, melakukan perbuatan maksiat.

b) Hukuman dari segi hubungan antara satu hukuman dengan hukuman yang lain, yaitu:

1. Hukuman pokok (uqubat ashliyah), yaitu hukuman yang asal bagi suatu kejahatan, seperti hukuman mati bagi pembunuh dan hukuman dera seratus kali kepada pelaku zinah yang belum kawin (ghairu muhson).

(34)

oleh pihak keluarga korban atau hukuman ta’zir apabila suatu alasan hukum pokok yang berupa had tidak dapat dilaksanakan.

3. Hukuman Tambahan (uqubat taba’iyah), yaitu hukuman yang dijatuhkan kepada pelaku atas dasar mengikuti hukuman pokok, seperti terhalangnya seorang pembunuh.

4. Hukuman Pelengkap (uqubat takmiliyah), yaitu hukuman yang dijatuhkan sebagai pelengkap terhadap hukuman yang dijatuhkan, seperti mengalungkan tangan pencuri yang telah dipotong dan diletakan dilehernya.

c) Hukuman dari segi kekuasaan hakim yang menjatuhkan hukuman, yaitu: 1. Hukuman yang memiliki batas tertentu, dimana hakim tidak dapat

menambah atau mengurangi batas itu, seperti hukuman had.

2. Hukuman yang memiliki dua batas, yaitu batas tertinggi dan batas terendah di mana hakim dapat memilih hukuman yang paling adil dijatuhkan kepada terdakwa, seperti pada kasus maksiat, mengganggu kemaslahatan dan ketertiban umum yang diancam hukuman ta’zir. d) Hukuman dari segi tempat dilakukannya hukuman, yaitu:

1. Hukuman badan, hukuman yang dijatuhkan atas badan, seperti hukuman dera (jilid).

(35)

3. Hukuman yang dikenakan kepada kemerdekaan manusia, seperti hukuman penjara dan pengasingan.

4. Hukuman yang dikenakan kepada harta, seperti hukuman diyat, denda. Berdasarkan pemaparan diatas apabila seseorang melakukan suatu tindak pidana khususnya di bidang pelanggaraan dalam hukum perkawinan dan kejahatan terhadap anak yang mengakibatkan luka-luka yang mana membahayakan atas diri sang anak karena dalam suatu perkawinan melakukan persetubuhan dengan anak (istri) yang seharusnya atau sepatutnya belum waktunya untuk dikawin, maka penguasa dalam hal ini negara dapat melakukan suatu tindakan dalam upaya menjerat dan menghukum pelaku sesuai dengan hukuman yang berlaku di negara tersebut, artinya kepada pelaku dapat dikenakan suatu hukuman ta’zir.

Adapun macam-macam sanksi yang berkaitan dengan jarimah ta’zir adalah sebagai berikut:

1. Sanksi ta’zir yang mengenai badan, maka hukuman yang terpenting dalam hal ini adalah hukuman mati dan hukumaan jilid.

2. Sanksi yang berkaitan dengan kemerdekaan seseorang, sanksi yang terpenting dalam hal ini adalah penjara dengan berbagai macamnya dan pengasingan. 3. Sanksi ta’zir yang berkaitan dengan harta, dalam hal ini yang terpenting

adalah denda, penyitaan atau perampasan.

(36)

B. Ketentuan Hukum Pidana Positif Mengenai Tindak Pidana dan Sanksi Pidana

1.Pengertian Tindak Pidana dan Sanksi Pidana

Secara terminologis, kata tindak pidana terdiri dari dua kata, yaitu kata Tindak dan kata Pidana. Kata tindak berasal dari bahasa Jawa yang artinya perbuatan, tingkah laku, kelakuan, sepak terjang. Sedangkan kata pidana berarti kejahatan kriminal dan pelanggaran. Sementara kalau dilihat dari segi hukum berarti hukum mengenai perbuatan-perbuatan kejahatan dan pelanggaran terhadap penguasa.20

Dalam keterangan yang lain, pengertian yang lebih luas tentang tindak pidana, ialah untuk menyatakan konkrit sebagaimana halnya peristiwa dengan perbedaan bahwa tindak adalah kelakuan, tingkah laku, dan gerak gerik atau sikap jasmani seseorang.21 Secara tradisional, pidana dipandang sebagai suatu nestapa (derita) yang dikenakan kepada si pembuat karena melakukan suatu delik (kejahatan).22 Pembentuk undang-undang kita telah menggunakan perkataan ”strafbaar feit” untuk menyebutkan apa yang kita kenal sebagai ”Tindak Pidana” di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) tanpa memberikan sesuatu penjelasan mengenai apa sebenarnya yang dimaksud dengan perkataan ”strafbaar feit”. Perkataan ”feit” itu sendiri didalam bahasa Belanda berarti sebagian dari suatu kenyataan atau een gedeelte van de werkelijkheid sedangkan ”strafbaar” berarti dapat dihukum, sehingga secara harfiah perkataan ”strafbaar feit” itu dapat diterjemahkan sebagai

20

Poerwa Darminto, W.J.S, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1976). h. 1074.

21

Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana. (Jakarta: Bina Aksara, 1986) h. 55.

22

(37)

”bagian dari suatu kenyatan yang dapat dihukum”, yang sudah barang tentu tidak tepat, oleh karena kelak akan kita ketahui bahwa yang dapat dihukum itu sebenarnya adalah manusia sebagai pribadi dan bukan kenyataan, perbuatan, ataupun tindakan.

Oleh karena seperti yang telah dikatakan diatas, bahwa pembentuk undang-undang kita itu tidak memberikan suatu penjelasan mengenai apa yang sebenarnya telah ia maksud dengan perkatan ”strafbaar feit”, maka timbullah di dalam doktrin berbagai pendapat tentang apa sebenarnya yang dimaksud dengan ”strafbaar feit” tersebut. Para sarjana hukum telah merumuskan suatu teori yang berbeda-beda di antara mereka, antara lain adalah:

Pendapat Hazewinkel Suringa sebagaimana yang dikutip oleh Lamintang dalam bukunya Dasar - Dasar Hukum Pidana Indonesia bahwa kata ”strafbaar feit” adalah sebagai suatu perilaku manusia yang pada suatu saat tertentu telah ditolak di dalam suatu pergaulan hidup tertentu dan dianggap sebagai perilaku yang harus ditiadakan oleh hukum pidana dengan menggunakan sarana-sarana yang bersifat memaksa yang terdapat di dalamnya.23

Moeljatno mengatakan bahwa perkataan ”strafbaar feit” secara teoritis dapat dirumuskan sebagai suatu perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan yang mana disertai suatu sanksi berupa pidana tertentu bagi barang siapa yang melanggar aturan tersebut.24

23

P.A.F, Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1997) h. 181.

24

(38)

Dari beberapa definisi yang dikemukakan oleh para ahli hukum tersebut, dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan straafbaar feit (tindak pidana) menurut hukum pidana positif adalah perbuatan, gerak-gerik, tingkah laku, sikap jasmani seseorang yang bertentangan dengan hukum atau mengadakan suatu pelanggaran terhadap penguasa yang diancam dengan hukuman, yang dilakukan oleh orang yang bersalah dan orang itu mempunyai kemampuan untuk bertanggungjawab atas perbuatannya, dimana pelaksanaannya dilakukan oleh instansi yang diberi wewenang untuk menjalankannya.

Dalam ruang lingkup hukum pidana, istilah sanksi diidentikan dengan pidana. Namun pada dasarnya pengertian sanksi lebih luas jangkauannya dibandingkan dengan istilah pidana. Kata sanksi berasal dari Bahasa Belanda yaitu ”Sanc’tie” yang artinya alat pemaksa sebagai hukuman jika tidak taat kepada perjanjian.25 Sedangkan menurut kamus Bahasa Indonesia, sanksi berarti tanggungan (tindakan-tindakan, hukuman) untuk memaksa orang menepati perjanjian atau mentaati ketentuan undang-undang. Dalam kamus istilah hukum, sanksi mempunyai arti ancaman hukuman, merupakan suatu alat pemaksa guna ditaatinya suatu kaidah, (undang-undang).26 Pengertian sanksi apabila dilihat dari segi tugasnya, sanksi adalah suatu jaminan bahwa sesuatu akan ditaati yang merupakan akibat hukum (rechtgevolg) dari pada pelanggaran suatu kaidah. Akibat hukum yang dimaksud disini adalah berupa

25

S. Wojo Wasito, Kamus Umum Belanda - Indonesia, (Jakarta: Ictiar Baru Van Hoeve, 1990) h.560.

26

(39)

suatu tindakan, yaitu dimana hukum dijatuhkan berhubung telah dilanggarnya suatu aturan oleh seseorang.27

Diatas diterangkan bahwa apabila dipandang dari sudut sifatnya, sanksi merupakan akibat hukum (rechtsgecolg) dari pada pelanggaran suatu kaidah. Akibat ini merupakan suatu tindakan, dimana hukuman dijatuhkan berhubung dilanggarnya sesuatu norma oleh seseorang. Tugas dari sanksi adalah suatu jaminan bahwa suatu norma akan ditaati. Pada azasnya tiap norma dapat dijamin dengan sanksi yang berbentuk siksaan (leed) karena itu hukum pidana di dalam lapangan hukum disebut ”het strafrecht is de citadel van het recht” (hukum pidana adalah merupakan benteng hukum). Dari beberapa definisi yang dikemukakan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa sanksi pidana adalah tindakan atau sikap berupa hukuman yang dijatuhkan atau diberikan karena adanya pelanggaran atau perbuatan kejahatan sebagai akibat hukum untuk menjamin ditaatinya suatu norma yang terdapat didalam masyarakat.

2.Unsur-Unsur Tindak Pidana dalam Hukum Pidana Positif

Jika kita berusaha untuk menjabarkan sesuatu rumusan delik ke dalam unsur-unsurnya, maka yang pertama dapat kita jumpai adalah disebutkanya sesuatu tindakan manusia, dengan tindakan itu seseorang telah melakukan sesuatu tindakan yang terlarang oleh undang-undang. Menurut ilmu pengetahuan hukum pidana, sesuatu tindakan itu dapat merupakan ”een doen atau een niet doen” atau dapat merupakan hal melakukan sesuatu ataupun hal tidak melakukan sesuatu, yang terakhir ini di

27

(40)

dalam doktrin juga sering disebut sebagai ”een nalaten” yang juga berarti hal mengalpakan sesuatu yang diwajibkan (oleh undang-undang).

Membicarakan unsur-unsur dari tindak pidana, dapat dibedakan setidaknya dari dua sudut pandang, yakni dari sudut teoritis dan dari sudut pandang undang-undang. Maksud teoritis ialah berdasarkan pendapat para ahli hukum, yang tercermin pada bunyi rumusannya. Sedangkan dari sudut undang-undang adalah sebagaimana kenyataan tindak pidana itu dirumuskan menjadi tindak pidana tertentu dalam pasal-pasal peraturan perundang-undangan yang ada. Maka timbullah di dalam doktrin unsur dari suatu tindak pidana menurut beberapa teoritisi dari para sarjana hukum yang berbeda-beda, antara lain:

Moeljatno memberikan beberapa elemen atau unsur-unsur dari suatu tindak pidana diantaranya harus memuat: kelakuan dan akibat (adanya suatu perbuatan); keadaan yang menyertai perbuatan; adanya tambahan yang memberatkan pidana; unsur melawan hukum baik yang objektif dan subjektif.28

Sedangkan menurut pendapat Jonkers sebagaimana yang dikutip oleh Adami Chazawi dalam bukunya Pelajaran Hukum Pidana Bagian satu, menyatakan bahwa unsur-unsur dari suatu tindak pidana dapat dirinci sebagai berikut, yaitu:29 adanya suatu perbuatan manusia; sifat melawan hukum; adanya sifat kesalahan; pelaku dapat dipertanggungjawabkan;

28

Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2002) h. 63.

29

(41)

Walaupun dari rumusan diatas tampak berbeda-beda, namun pada hakikatnya ada persamaannya, ialah tidak memisahkan antara unsur-unsur mengenai perbuatannya dengan unsur-unsur yang mengenai diri orangnya. Sungguh pun demikian setiap tindakan pidana yang terdapat didalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana itu pada umumnya dapat kita jabarkan ke dalam unsur-unsur yang pada dasarnya terbagi menjadi dua macam unsur, yakni unsur-unsur subjektif dan unsur-unsur objektif.30

Yang dimaksud dengan unsur-unsur subjektif itu adalah unsur-unsur yang melekat pada diri si pelaku atau yang berhubungan dengan diri si pelaku, dan termasuk didalamnya yaitu segala sesuatu yang terkandung didalam hatinya. Sedangkan yang dimaksud dengan unsur-unsur objektif itu adalah unsur-unsur yang ada hubunganya dengan keadaan-keadaan, yaitu di dalam keadaan-keadaan mana tindakan-tindakan dari si pelaku itu harus dilakukan.31

Unsur-unsur subjektif dari sesuatu tindak pidana itu adalah sebagai berikut, antaranya:

1. Kesengajaan atau ketidak sengajaan (dolus atau culpa);

2. Maksud atau ”voornemen” pada suatu percobaan atau poging seperti yang dimaksud didalam pasal 53 ayat1 KUHP;

30

P.AF. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1997) h. 193-194.

31

(42)

3. Macam-macam maksud atau oogmerk seperti terdapat di dalam kejahatan-kejahatan pencurian, penipuan, pemerasan, pemalsuan dan lain-lain;

4. Merencanakan terlebih dahulu atau ”voorbedachte raad” seperti yang terdapat di dalam kejahatan pembunuhan menurut pasal 340 KUHP;

Sedangkan unsur-unsur objektif dari sesuatu tindak pidana itu adalah sebagai berikut, diantaranya:

1. Sifat melanggar hukum atau ”wederrechtelijkheid” ;

2. Kualitas dari diri si pelaku itu sendiri, misalnya ”keadaan sebagai seorang pegawai negeri” di dalam kejahatan jabatan menurut pasal 415 KUHP;

3. Kausalitas, yakni hubungan antara sesuatu tindakan sebagai penyebab dengan sesuatu kenyataan sebagai akibat.

Perlu kita ingat bahwa unsur wederrechtelijkheid (melawan hukum); itu harus selalu dianggap sebagai disyaratkan di dalam setiap rumusan delik, walaupun unsur tersebut oleh pembentuk undang-undang tidak dinyatakan secara tegas sebagai salah satu unsur dari suatu delik yang bersangkutan. Dengan terpenuhinya rumusan unsur-unsur dari suatu tindak pidana yang dilakukan si pelaku (penjahat) maka kepada pelaku dapat dipertanggung jawabkan atas perbuatanya didepan hukum.

(43)

unsur-unsur dari delik yang didakwakan. Jika ternyata sudah cocok maka dapat di tentukan bahwa perbuatan itu merupakan suatu tindak pidana yang telah terjadi yang (dapat) di pertanggungjawabkan kepada pelakunya, namun jika unsur-unsur tersebut tidak memenuhi ketentuan yang telah di cantumkan dalam bunyi pasal yang disangkakan maka kepada pelakunya tidak dapat dimintai pertanggungjawabkan.

3.Jenis - Jenis Hukuman Dalam Hukum Positif

KUHP sebagai induk atau sumber utama hukum pidana telah merinci jenis-jenis pidana, sebagaimana dirumuskan dalam pasal 10 KUHP. Menurut stelsel dalam KUHP, pidana dibedakan menjadi dua kelompok yaitu antara pidana pokok dengan pidana tambahan.

Pidana pokok terdiri dari: 1.Pidana Mati

Berdasarkan pada hak yang tertinggi bagi manusia, pidana mati adalah suatu hukuman yang terberat, yang pelaksanaanya berupa penyerangan terhadap hak hidup bagi manusia, yang sesungguhnya hak ini hanya berada di tangan Tuhan, maka tidak heran sejak dulu sampai sekarang menimbulkan pendapat pro dan kontra, bergantung dari kepentingan dan cara memandang pidana mati itu sendiri.

(44)

pembuatnya atau petindaknya, maupun kekeliruan atas tindak pidana yang mengakibatkan pidana mati itu dijatuhkan dan dijalankan atau juga kekeliruan atas kesalahan terpidana.

2.Pidana penjara

Pidana penjara adalah suatu sifat dari menghilangkan dan atau membatasi kemerdekan bergerak seseorang, dalam arti menempatkan terpidana dalam suatu tempat (Lembaga Pemasyarakatan) dimana terpidana tidak bebas untuk keluar masuk dan didalamya wajib untuk tunduk, mentaati dan menjalankan semua peraturan tata tertib yang berlaku dalam Lembaga Pemasyarakatan.

3.Pidana kurungan

Sama halnya dengan pidana penjara, pidana kurungan juga merupakan suatu sifat dari menghilangkan dan atau membatasi kemerdekan bergerak seseorang, namun dalam hal pidana kurungan masa lamanya seseorang dalam menjalani pidananya relatif lebih singkat dari pada pidana penjara.

4.Pidana denda

(45)

5.Pidana tutupan

Pidana tutupan ini ditambahkan dalam pasal 10 KUHP melalui UU No. 20 Tahun 1946, yang maksudnya sebagaimana yang tertuang dalam pasal 2 ayat (1) yang menyatakan bahwa dalam mengadili orang yang melakukan kejahatan, yang diancam dengan pidana penjara karena terdorong oleh maksud yang patut dihormati, hakim boleh menjatuhkan pidana tutupan. Tempat dan menjalani pidana tutupan, serta segala sesuatu yang perlu untuk melaksanakan UU No. 20 Tahun 1946 diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1948, yang dikenal dengan Peraturan Pemerintah tentang Rumah Tutupan. Namun dalam praktik hukum selama ini pidana tutupan ini sangat jarang diterapkan oleh hakim dalam putusan hukumnya.

Pidana tambahan terdiri dari: 1.Pidana pencabutan hak-hak tertentu;

Menurut hukum, pencabutan seluruh hak yang dimiliki seseorang yang dapat mengakibatkan kematian perdata (burgerlijke daad) tidak diperkenankan. UU hanya memberikan kepada negara melalui alat atau lembaganya yang berwenang melakukan pencabutan hak tertentu saja, menurut pasal 35 ayaat (1) KUHP, hak-hak yang dapat dicabut tersebut adalah:

a. Hak memegang jabatan pada umumnya atau jabatan tertentu; b.Hak menjalankan jabatan dalam Angkatan Bersenjata/TNI;

(46)

d.Hak menjadi penasehat hukum atau pengurus atas penetapan pengadilan, hak menjadi wali, wali pengawas, pengampuh, atau pengampuh pengawas atas anak yang bukan anak sendiri;

e. Hak menjalankan kekuasaan bapak, menjalankan perwalian atau pengampuan atas anak sendiri;

f. Hak menjalankan mata pencaharian;

2.Pidana perampasan barang-barang tertentu;

Perampasan barang sebagai suatu pidana hanya diperkenankan atas barang-barang tertentu saja, tidak diperkenankan untuk semua barang-barang. UU tidak mengenal perampasan untuk semua kekayaan. Ada dua jenis barang yang dapat dirampas melalui keputusan hakim pidana, yaitu:

a. Barang-barang yang berasal atau diperoleh dari suatu kejahatan (bukan dari pelanggaran) yang disebut dengan corpora delictie, misalnya uang palsu dari kejahatan pemalsuan uang, narkoba dari kejahataan narkoba atau psikotropika; dan

(47)

3.Pidana pengumuman keputusan hakim;

Setiap putusan hakim memang harus diucapkan dalam persidangan yang terbuka untuk umum (pasal 195 KUHAP) bila tidak, putusan itu batal demi hukum. Tetapi pengumuman putusan hakim sebagai suatu pidana bukanlah seperti yang disebutkan di atas. Pidana pengumuman putusan hakim ini merupakan suatu publikasi ekstra dari suatu putusan pemidanaan seseorang dari pengadilan.

Dalam pidana pengumuman putusan hakim ini, hakim bebas menentukan perihal cara melaksanakan pengumuman itu. Hal tersebut dapat dilakukan melalui surat kabar, melalui media radio maupun televisi yang beban pembiayaannya dibebankan kepada terpidana. Maksud dari pengumuman putusan hakim yang demikian ini, adalah sebagai usaha preventif, mencegah bagi orang-orang tertentu agar tidak melakukan tindak pidana yang sering dilakukan orang. Maksud yang lain adalah memberitahukan kepada masyarakat umum agar berhati-hati dalam bergaul dan berhubungan dengan orang-orang yang dapat disangka tidak jujur sehingga tidak menjadi korban dari kejahatan (tindak pidana).

(48)

BAB III

PERKAWINAN DIBAWAH UMUR MENURUT HUKUM ISLAM DAN

HUKUM POSITIF

A. Pengertian dan Dasar Hukum Perkawinan

Dalam bahasa Indonesia, perkawinan berasal dari kata “kawin” yang menurut bahasa artinya membentuk keluarga dengan lawan jenis; melakukan hubungan kelamin atau bersetubuh.32 Perkawinan disebut juga dengan “pernikahan” berasal dari kata “nikah” yang menurut bahasa artinya mengumpulkan, saling memasukan, dan digunakan untuk arti bersetubuh (wathi). Kata “nikah” sendiri sering dipergunakan untuk arti persetubuhan (coitus), juga untuk arti akad nikah.33

Arti nikah menurut Paunoh Daly ialah bergabung dan berkumpul; dipergunakan juga dengan arti wata’ atau akad nikah.34 Secara terminologis kitab-kitab fiqih banyak diartikan dengan akad atau perjanjian yang mengandung maksud membolehkan hubungan kelamin dengan menggunakan lafad nakaha atau zawaja.35 Dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 dalam Pasal I ayat (1) memberikan suatu definisi tentang perkawinan (nikah) dengan merumuskan “perkawinan ialah ikatan

32

Dep Dikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1994) Cet. Ke-3, edisi ke-2, h. 456.

33

Abd. Rahman Ghazaly, Fiqih Munakahat, (Bogor: Prenada Media, 2003), h. 7.

34

Paunoh Daly, Hukum Perkawinan Islam Suatu Studi Perbandingan Dalam Kalangan Ahlus Sunnah dan Negara-Negara Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1988), h. 104.

35

(49)

lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam dalam Pasal 2 menyebutkan bahwa perkawinan yaitu akad yang sangat kuat (mitsaqon gholidhon) untuk menaati perintah Allah dan menjalankanya merupakan suatu ibadah. Menurut pendapat Abu Yahya Zakariya Al-Anshary yang dikutip oleh Abd. Rahman Ghazaly dalam bukunya Fiqih Munakahat mendefinisikan nikah menurut istilah syara ialah akad yang mengandung ketentuan hukum kebolehan hubungan seksual dengan lafad nikah atau dengan kata-kata yang semakna denganya.36

Dari pendapat yang disampaikan diatas maupun yang termaktub dalam undang-undang No. 1 Tahun 1974 serta dalam Kompilasi Hukum Islam, maka dapat saya ambil benang merah bahwa perkawinan (nikah) adalah akad yang sangat kuat (mitsaqon gholidhon) atau perjanjian lahir batin yang mengandung maksud kebolehan mengadakan hubungan keluarga (suami-istri) antara pria dan wanita serta pemenuhan kewajiban bagi masing-masing pihak dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Perkawinan adalah suatu perbuatan yang disuruh oleh Allah dan juga disuruh oleh Nabi, banyak suruhan-suruhan Allah dalam al-Qur’an untuk melaksanakan perkawinan. Diantaranya dapat kita lihat dalam firman Allah SWT dalam surat An-Nuur (24): ayat 32.

36

(50)

O4M"F I J

PC

=,$N96

4

E

Q

$

F"? ,RS#

4

D

-

) T

$. 

-U .W3

$ ?

P

%?

O4MIM

$N

34$'" !Y

U?:

N

3

4

Z J?4D["Y

3

4

\\F08

[ET? $]

L L

Artinya: “Dan kawinkanlah orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (untuk kawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha mengetahui”.

Selain itu terdapat ayat lain dalam surat An-Nisaa (04): ayat 3.

%?

^ _ HF

`L J

O4M aFG

!

b?

PC c,$d * #

4

O4M"F I

"Y

$

"

U

"#

f

3

gG f #

4

P

hi$

j,

!E

\,$

kC

O

%?l"Y

E9 HF

`L J

O4M # m!"

n

m

8 M"Y

J

$

D>"

$

-U

 ,

=N J

P

@

#8"o

4b pT J

`L J

O4M #M!"

A "

Artinya: “Dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”.

(51)

!"# $%

&' ( &)

,-ﺱ/ 0-

1 ﺱ 1 2

*5'- 7896 :ﻥ<= 3:/>?0-= @A ' ,B # C D?ﺱ $# E ':+ *+!#

0-!= FD?" , $#/ 3*4- $5)6/

GA H/

:ﻥ<= I :5 %

K /

J'

37

Artinya: Diriwayatkan dari Abdullah ibn Mas’ud ra, bahwa Rasulullah bersabda: ”Wahai golongan pemuda! Barangsiapa di antara kalian yaang telah mampu lahir dan batin untuk kawin, maka hendaklah Ia kawin. Sesungguhnya perkawinan itu dapat menjaga pandangan mata dan menjaga kehormatan. Barangsiapa yang belum mampu hendaklah berpuasa, karena puasa itu sebagai penawar hawa nafsu”. (HR. Bukhari).

Hadist Nabi dari Anas Bin Malik menurut riwayat Ahmad dan disahkan oleh Ibnu Hibban bahwasanya Nabi SAW’ memerintahkan nikah dan melarang keras membujang seraya beliau bersabda:

Artinya: ”Nikahlah kamu dengan perempuan-perempuan penyayang dan banyak anak, karena sesungguhnya aku akan berbangga-banga dengan banyaknya kamu terhadap umat lain di hari kiamat”.38

Dari begitu banyaknya suruhan Allah dan Nabi untuk melaksanakn perkawinan itu maka perkawinan itu adalah perbuatan yang lebih disenangi Allah dan Nabi untuk dilaksanakan. Atas dasar ini hukum perkawinan itu menurut asalnya adalah sunnah menurut pandangan jumhur ulama. Hal ini berlaku secara umum. Namun karena ada tujuan mulia yang hendak dicapai dari perkawinan itu dan yang melakukan perkawinan itu berbeda pula kondisinya serta situsi yang melingkupi

37

Imam Bhukhari, Sahih Bukhar, juz 7 (Beirut Libanon: Daar al-Fikr. T.tp) h. 3

38

(52)

suasana perkawinan itu berbeda pula, maka secara rinci jumhur ulama menyatakan hukum perkawinan itu dengan melihat keadaan orang-orang tertentu, maka dapat dihukumi sebagai berikut:39

a. Sunnah, bagi orang-orang yang telah berkeinginan untuk kawin, telah pantas untuk kawin dan ia telah mempunyai perlengkapan untuk melangsungkaan perkawinan.

b. Makruh, bagi orang-orang yang belum pantas untuk kawin, belum berkeinginan untuk kawin, sedangkan perbekalan untuk perkawinan juga belum ada, sehingga takut akan menimbulkan berbagai kemusykilan bagi istri dan anaknya, seperti tidak memperhatikan hak istri dan anaknya dengan sewajarnya karena ia masih mementingkan dirinya saja.

c. Wajib, bagi orang-orang yang telah pantas untuk kawin, berkeinginan untuk kawin dan memiliki perlengkapan untuk kawin, dan ia khawatir akan terjerumus ke tempat maksiat kalau ia tidak kawin.

d. Haram, bagi orang-orang yang tidak mampu membiayai nafkah rumah tangganya, tidak ada sumber penghasilan untuk membiayai dirinya dan keluarganya atau berat dugaan bahwa ia akan berbuat zalim terhadap istrinya.

e. Mubah, bagi orang-orang yang pada dasarnya belum ada dorongan untuk kawin dan perkawinan itu tidak akan mendatangkan kemudaratan apa-apa kepada siapa pun.

39

(53)

B. Rukun dan Syarat Sah Perkawinan

Rukun dan syarat menentukan suatu perbuatan hukum, terutama yang menyangkut dengan sah atau tidaknya perbuatan tersebut dari segi hukum. Kedua kata tersebut mengandung arti yang sama dalam hal bahwa keduanya merupakan sesuatu yang harus diadakan. Dalam suatu acara perkawinan umpamanya rukun dan syaratnya tidak boleh tertinggal, dalam arti perkawinan tidak sah bila keduanya tidak ada atau tidak lengkap.40 Sebagai suatu perbuatan hukum, perkawinan dalam Islam memiliki lima rukun yang harus dipenuhi secara kumulatif. Pemenuhan lima rukun ini dimaksudkan agar perkawinan yang merupakan perbuatan hukum dapat berakibat hukum, yakni timbulnya hak dan kewajiban. Lebih lanjut penulis akan menjelaskan mengenai rukun dan syarat perkawinan, diantaranya sebagai berikut:

1. Rukun Perkawinan (nikah)

Menurut jumhur ulama rukun nikah itu ada empat, yaitu:41 a. Sighah (ijab dan qabul);

b. Calon suami dan calon istri; c. Wali

40

Syarufuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia antara fiqih munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, h. 59.

41

(54)

Sedangkan menurut pendapat Sidi Nazar Bakry rukun perkawinan itu adalah:42

a. Calon pengantin laki-laki dan perempuan; b. Wali dari pihak calon perempuan;

c. Dua orang saksi yang adil (laki-laki);

d. Ijab dari wali calon pengantin perempuan atau wakilnya; e. Kabul dari pihak calon pengantin kali-laki;

Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam terdapat lima rukun yang termuat dalam pasal 14 yang meliputi:

a. Calon Suami; b. Calon istri; c. Wali nikah; d. Dua orang saksi; e. Ijab dan qabul;

2. Syarat-Syarat Perkawinan

Menurut pendapat yang dikemukakan oleh Kholil Rahman sebagaimana yang di kutip oleh Ahmad Rofiq dalam bukunya Hukum Islam di Indonesia menentukan bahwa syarat-syarat perkawinan mengikuti rukun-rukunnya, diantaranya, yaitu:43

42

Sidi Nazar Bakry, Kunci Keutuhan Rumah Tangga, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1993), h. 29.

43

(55)

1. Calon mempelai pria, syarat-syaratnya: a. Beragama Islam;

b.Laki-laki; c. Jelas orangnya;

d.Dapat memberikan persetujuan; e. Tidak terdapat halangan perkawinan. 2. Calon mempelai wanita, syarat-syaratnya:

a. Beragama Islam; b.Perempuan;

c. Dapat dimintai persetujuanya; d.Tidak terdapat halangan perkawinan. 3. Wali nikah, syarat-syaratnya:

a. Laki-laki; b.Dewasa;

c. Mempunyai hak perwalian;

d.Tidak terdapat halangan perwalian. 4. Saksi nikah, syarat-syaratnya:

a. Minimal dua orang saksi laki-laki; b.Hadir dalam ijab qabul;

c. Dapat mengerti maksud akad; d.Beragama Islam;

(56)

5. Ijab Qabul, syarat-syaratnya:

a. Adanya pernyataan mengawinkan dari wali;

b.Adanya pernyataan penerimaan dari calon mempelai laki-laki; c. Memakai kata-kata nikah, tazwij;

d.Antara ijab dan qabul bersamaan (bersambungan)

e. Orang yang berkait dengan ijab qabul tidak sedang dalam ihram haji/umrah;

f. Majlis ijab dan qabul itu harus dihadiri minimum empat orang, yaitu: calon mempelai pria, wali dari mempelai wanita, dan dua orang saksi.

Dalam UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974 Pasal 7 dimana ada syarat penambahan untuk kedua mempelai, dimana ada pembatasan usia jika akan melangsungkan suatu pernikahan dengan rumusan pasal 7 ayat (1) dan (2) sebagai berikut:

(1) Perkawinan hanya diizinkan jika pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun. (2) Dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) Pasal ini dapat meminta

dispensasi kepada pengadilan atau pejabat yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun wanita.

KHI dalam Pasal 15 mempertegas persyaratan yang terdapat dalam UU Perkawinan dengan rumusan sebagai berikut:

(57)

Pasal 7 Undang-Undang No.1 Tahun 1974, yakni calon suami sekurang-kurangnya berumur 19 tahun dan calon istri sekurang-sekurang-kurangnya berumur 16 tahun.

Hal-hal yang disebutkan diatas memberi isyarat bahwa perkawinan itu harus dilakukan oleh pasangan yang sudah dewasa, calon suami istri harus telah masak jiwa dan raganya agar dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir pada pintu perceraian dan mendapatkan keturunan yang baik dan sehat. Untuk itu harus dicegah adanya perkawinan antara calon suami istri maupun salah satu diantara keduanya yang masih dibawah umur (anak-anak). Masalah penentuan umur dalam UU Perkawinan maupun dalam Kompilasi Hukum Islam, memang bersifat ijtihadiyah, sebagai usaha pembaharuan pemikiran fiqih yang lalu. Namun demikian,

apabila kita lacak referensi syar’inya mempunyai landasan kuat. Misalnya isyarat Allah dalam surat an-Nisaa (04): 9.

gr * #

stu 2(3

4

-M"#

O4M )$'"

D

E?: HY

QvwNxC!o

nH,

!Fy

O4M!Y2"6

-U?: T

$]

O4M

wd *Y "Y

(3

4

O4M #M

* #

QL-M"2

4zmN m

0

A "

Artinya: ”Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan Perkataan yang benar”.

(58)

ketentuan yang diatur UU No.1 Tahun 1974 akan menghasilkan keturunan yang dikhawatirkan kes

Referensi

Dokumen terkait

9 PRIBADI GINTING MUNTE BRIGADIR/80120200 BANIT BINKAMSA SMA TAMTAMA - INSTRUKTUR

Pada perlakuan P2 dengan perbandingan antara tanah, arang sekam, kompos 1:1:1 dapat meningkatkan pertumbuhan sebesar 15% pada parameter tinggi tanaman, 16% pada parameter jumlah

Karenanya tidak mengherankan, apabila waktu tersiar berita bahwa dibuka Akademi Militer di Yogya, dimana kepada para pemuda diberi kesempatan untuk digembleng sebagai

Pada program ini muncul permasalahn yaitu tingginya non performing loan (tunggakan) yang antara lain disebabkan oleh: pengucuran dana pada pelaksanaannya cende~ng

Dengan bimbingan guru siswa mengkaji dari berbagai sumber tentang proses penegakan HAM, menentukan sikap, perilaku yang sesuai dengan upaya pemajuan, penghormatan

Seven segment dua digit untuk lampu merah dan satu digit untuk lampu hijau untuk masing-masing sisi pada 4 ruas jalan, sebagai penampil keluaran yang menampilkan waktu dalam

System Reliability Berpengaruh Positif dan System Quality berpengaruh positif tetapi tidak signifikan Terhadap Individual Peformance melalui variabel Task Technology Fit

Untuk mengetahui proses itu, penulis melakukan wawancara dengan 2 (dua) narasumber dari Tempo, wartawan dan redaktur yang menulis berita Jokowi, dan 2 (dua)