• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III PERKAWINAN DIBAWAH UMUR MENURUT HUKUM

C. Tujuan dan Hikmah Perkawinan

a. Tujuan Perkawinan

Sebagai lembaga hukum, perkawinan sudah tentu memiliki tujuan yang diatur oleh pranata hukum. Karena hakekat perkawinan pada dasarnya bukan hanya sebagai media pemenuhan kebutuhan biologis semata, tetapi lebih dari pada itu yakni pemenuhan hak dan kewajiban antara kedua belah pihak (suami-istri). Berkaitan dengan hal tersebut di atas, maka Islam menetapkan tujuan perkawinan sebagai platform bagi pasangan suami istri yang ingin membentuk rumah tangga yang harmonis,44 sebagaimana tersebut dalam QS. Ar-Ruum (30): 21.

D

HZ { d,$N4

% J

$5 6

"#

D f

-U FG HI J

2| 8 J

O4}MQ G$9 ~#

: T"#?

K ! h

U . Q•$

Q €T M€

8v =D{ C

P

€%?

b?

@ #8"o

•>,$N‚

ƒ„-M" ~#

$% '( H$d$N

I/*

L M

44

Lutfi Surkalam, Kawin Kontrak Dalam Hukum Nasional Kita, (Tangerang: CV Pamulang, 2005), h. 3.

Artinya: ”Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”.

Dari ayat tersebut diatas dapat kita ambil pengertian bahwa Islam menghendaki dengan adanya perkawinan tersebut tercipta rasa tentram, baik menyangkut masalah lahir maupun batin yang dihiasi dengan adanya rasa kasih dan sayang antara kedua belah pihak. Dengan memahami tujuan ini, maka sejak awal pasangan yang hendak mewujudkan sebuah rumah tangga, haruslah mempunyai komitmen bahwa penyatuan hubungan antara mereka berdua bukanlah semata-mata untuk memenuhi kebutuhan biologis, tetapi juga untuk saling memahami, saling menghormati dan saling mengasihi antara kedua belah pihak. Sehingga mewujudkan tujuan perkawinan sebagaimana tersirat dalam QS. Ar-Ruum ayat 21, secara konsisten diharapkan berbagai goncangan yang mungkin saja terjadi selama mengarungi kehidupan rumah tangga tidak dapat mengurangi keharmonisan bagi kedua belah pihak hingga kelak pada usia tua nanti bahkan sampai ajal yang memisahkan diantara mereka, karena cinta dan sayang diantara keduanya begitu besar.

Bila dalam QS. Ar-Ruum ayat 21 ditegaskan bahwa tujuan perkawinan untuk menciptakan ketentraman pada pasangan suami istri yang diliputi oleh rasa kasih dan sayang, maka dalam UU No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan pun tidak jauh berbeda, yakni tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, hal ini sebagaimana

yang tersebut dalam pasal 1. Pengertian ”bahagia” dalam pasal 1 UU No. 1 Tahun 1974 termuat dalam kata ”tentram” dalam QS. Ar-Ruum ayat 21, karena dengan terciptanya suatu ketentraman dalam suatu keluarga, maka dengan sendirinya akan muncul suasana bahagia. Demikian pula dengan kata ”kekal” dalam UU No. 1 Tahun 1974, terkandung dalam kalimat ”diliputi rasa kasih dan sayang” dalam QS. Ar-Ruum ayat 21. Hal ini dikarenakan bahwa perwujudan rasa kasih dan sayang tidak mungkin ada bila perkawinan itu hanya berlangsung dengan batas waktu, karena rasa kasih dan sayang erat kaitanya dengan hubungan batin kedua bela pihak. Sehingga hanya perkawinan yang bersifat kekal sajalah rasa kasih dan sayang dapat terwujud.45 Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam yang ditetapkan dalam pasal 3 menyebutkan bahwa tujuan perkawinan adalah untuk mewujudkan kehidupaan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah.

b. Hikmah Perkawinan

Islam sangat menganjurkan pernikahan dalam rangka mewujudkan tatanan keluarga yang tenang, damai, tentram dan penuh kasih sayang. Disamping itu perkawinan merupakan salah satu sarana untuk melahirkan generasi yang baik (dzurriyyah tayyibah). Dengan adanya perkawinan sebagaimana yang diatur agama, maka anak-anak dan keturunan akan terpelihara dengan baik, baik yang berkaitan dengan nasab dalam arti asal-usul seseorang, maupun terpelihara dalam arti jasmani dan rohaninya. Salah satu harapan adanya pernikahan juga untuk memperoleh keturunan yang baik, salih dan salihah. Dengan demikian, pernikahan dalam Islam

45Ibid.,

mempunyai hikmah dan manfaat yang sangat besar, baik bagi kehidupan individu, keluarga, masyarakat, bahkan agama, bangsa dan negara serta kelangsungan umat manusia. Secara detil beberapa hikmah dari perkawinan tersebut diantaranya:46

1. Perkawinan sejalan dengan fitrah manusia untuk berkembang biak, dan keinginan untuk melampiaskan syahwat secara manusiawi dan syar’i.

2. Upaya untuk menghindarkan diri dari perbuatan maksiat akibat penyaluran hawa nafsu yang tidak benar seperti perzinahan dan perkosaan.

3. Terwujudnya kehidupan yang tenang dan tentram, dengan adanya cinta dan kasih sayang diantara kedua belah pihak.

4. Membuat ritme kehidupan seseorang menjadi lebih tertib, teratur, dan mengembangkan sikap kemandirian serta tanggung jawab, baik dalam hubungan suami-istri maaupun orang tua dan anak.

5. Perkawinan dan adanya keturunan akan mendatangkan rezki yang halal serta barokah.

6. Memperkokoh tali persaudaraan antara masyarakat, terutama antar kedua keluarga sehingga terwujud solidaritas sosial (takaful ijtima’i) dengan perluasan hubungan persaudaraan, antara dua keluarga besar, yaitu keluarga besar dari pihak laki-laki dan dari pihak perempuan.

7. Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam salah satu laporanya, sebagaimana yang dimuat dalam koran al-Sya’b yang terbit pada hari sabtu, tanggal 1 juni 1959, melaporkan bahwa pasangan suami-istri akan bertahan

46

hidup lebih lama jika dibandingkan dengan yang bukan pasangan suami-istri (hidup sendiri tanpa pasangan) seperti seorang duda, janda, sendiri karena perceraian, lelaki bujangan maupun gadis yang belum menikah.

Selain hikmah diatas, Sayyid Sabiq menyebutkan pula hikmah-hikmah dari suatu perkawinan sebagaimana yang dikutip oleh Abd. Rahman Ghazaly dalam bukunya Fiqih Munakahat, sebagai berikut:47

1. Sesungguhnya naluri seks merupakan suatu naluri yang paling kuat, yang selamanya menuntut adanya jalan keluar. Bilamana jalan keluarnya tidak dapat memuaskannya, maka banyaklah manusia yang mengalami kegoncangan, kacau, daan menerobos jalan yang jahat. Kawin merupakan jalam alami dan biologis yang paling baik dan sesuai untuk menyalurkan dan memuaskan naluri seks ini. Dengan kawin, badan menjadi segar, jiwa jadi tenang, mata terpelihara dari melihat yang haram perasaan tenang menikmati barang yang halal.

2. Kawin merupakan jalan yang terbaik untuk menciptakan anak-anak menjadi mulia, memperbanyak keturunan, melestarikan hidup manusia serta memelihara nasab yang oleh Islam sangat diperhatikan.

3. Naluri kebapaan dan keibuan akan tumbuh saling melengkapi dalam suasana hidup dengan anak-anak dan akan tumbuh pula perasaan-perasaan ramah, cinta dan sayang yaang merupakan sifat-sifat baik yang menyempurnakan kamanusiaan seseorang.

47

4. Adanya pembagian tugas, dimana yang satu mengurusi dan mengatur rumah tangga, sedangkan yang lain bekerja di luar, sesuai dengan batas-batas tanggung jawab antara suami istri dalam menangani tugas-tugasnya.

5. Menyadari tanggung jawab beristri dan menanggung anak-anak akan menimbulkan sikap rajin daan sunguh-sungguh dalam memperkuat bakat dan pembawaan seseorang. Ia akan cekatan bekerja karena dorongan tanggung jawab dan memikul kewajibanya, sehingga ia akan banyak bekerja dan mencari penghasilan yang dapat memperbesar jumlah kekayaan dan memperbanyak produksi.

6. Dengan perkawinan, diantaranya dapat membuahkaan tali kekeluargaan, memperteguh kelanggengan rasa cinta antara keluarga, dan memperkuat hubungan kemasyarakatan yang oleh Islam direstui, ditopang dan ditunjang. Karena masyarakat yang saling menunjang lagi saling menyanyagi akan terbentuk masyarakat yang kuat dan bahagia.

Dokumen terkait