• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II

STATUS KRATON KASULTANAN YOGYAKARTA

DAN KASUNANAN SURAKARTA PADA MASA

PENDUDUKAN BELANDA DAN JEPANG

TAHUN 1939-1945

A. Masa Pendudukan Belanda Tahun 1939-1941 A.1. Kasultanan Yogyakarta

Status Kerajaan Kasultanan Yogyakarta pada masa pendudukan Belanda pada tahun 1939 masih dipengaruhi oleh kebijakan-kebijakan politik dari Pemerintahan Hindia Belanda. Ketika Sultan HB IX dinobatkan pada akhir tahun 1939, Pemerintah Hindia Belanda mengadakan perundingan-perundingan dengan mencalonkan Sultan HB IX melalui perumusan Kontrak Politik.9 Dalam setiap perundingan tersebut, pihak Pemerintah Belanda selalu mempertahankan pasal-pasal yang menjamin kekuasaan atas birokrasi Pemerintahan Kasultanan. Namun usaha tersebut tidak mempengaruhi kegigihan Sultan HB IX untuk tidak memakai pasal-pasal dalam Kontrak Politik, selama Pemerintah Belanda masih berkuasa dan ketika Sultan Hamengku Buwono IX berusaha mengadakan perubahan birokrasi dalam kraton.10

9

Perubahan-perubahan yang terjadi pada waktu itu seperti perundingan tentang wilayah daerah Yogyakarta dan Kraton untuk merumuskan kontrak politik.

10

P.J Suwarno, Hamengku Buwono IX Dan Sistem Birokrasi Pemerintahan Yogyakarta 1942-1974 Sebuah Tinjauan Historis, 1994,Penerbit Kanisius,Yogyakarta,halm 22

Pada saat Pemerintah Belanda kemudian bermaksud mengadakan perubahan-perubahan di Yogyakarta, hal itu dilakukan dengan cara menugaskan pegawai-pegawai Belanda untuk bekerja di fasilitas-fasilitas strategis di daerah Yogyakarta. Sementara itu para abdidalem hanya menjalankan perintah dari pegawai-pegawai Belanda tanpa mengerti maksud dan tujuannya. Sebaliknya Sultan HB IX dalam upayanya untuk mengadakan perubahan birokrasi pemerintahan Kasultanan Yogyakarta terlebih dahulu mempersiapkan tokah-tokoh masyarakat dan para abdidalem-nya. Begitu dekatnya Sultan dengan rakyatnya sehingga sering kali Sultan mengadakan komunikasi langsung dengan masyarakat Yogyakarta ke pelosok desa-desa serta para penjabat di daerah-daerah, menerima para tokoh masyarakat pengurus organisasi masyarakat di Kraton, dan mengadakan perjalanan keliling daerah-daerah luar Yogyakarta untuk studi banding. Dengan demikian para birokrat memahami perubahan birokrasi pemerintahan yang diadakan dan rakyat mendukung dengan kesadaran mereka sendiri.

1.1. Kontrak Politik (Pepatih Dalem)

Sumpah Pepatih Dalem11 dimulai pada tahun 1744, sejak masa Pemerintahan Sunan Paku Buwono II Raja Kerajaan Mataram yang beribukota di Kartosuro. Pada masa itu Sunan Paku Buwono II meminta bantuan kepada Pemerintah Kerajaan Belanda untuk membantu menumpas gerakan

11

Pepatih Dalem adalah pegawai raja yang bergelar Tumenggung, tugas pokoknya melayani raja, Pepatih Dalem didampingi empat penasihat yang membawahi 500 orang terkemuka dimana diantaranya saudara raja,Lihat PJ.Suwarno.,Ibid.halm57-58

pemberontakan yang dikenal sebagai Geger Pacina. Pemberontakan Geger

Pacina tersebut akhimya berhasil dipadamkan dengan bantuan pemerintah

Kerajaan Belanda, dan sebagai balasannya pemerintah Kerajaan Belanda mengajukan persyaratan berupa Politiek Contract kepada Sunan Paku Buwono II.

Kontrak Politik tersebut menyatakan bahwa tiap-tiap Pepatih Dalem harus diangkat oleh Gubernur Belanda dengan sepengetahuan Sunan, Pepatih Dalem

adalah pegawai Gubernemen sekaligus pegawai Kasunanan yang mendapatkan gaji dari Gubernemen dan Kasunanan, dan harus bersumpah setia kepada kedua belah pihak, jika terjadi pertentangan antara Sunan dan Gubernemen Belanda, maka Pepatih Dalem harus memihak kepada Gubernemen Be1anda.12 Isi politiek contract tersebut masih berlaku dalam politiekcontract antara Sultan Hamengku Buwono I dengan Gubernemen Belanda.13

Kedudukan Pepatih Dalem yang berfungsi ganda dalam menjalankan tugasnya lebih banyak memihak kepada Gubernemen Belanda sehingga menimbulkan pertentangan dengan Sultan. Pertentangan antara Sultan dengan

Pepatih Dalem ini dapat berbentuk pertentangan batin hingga pertentangan fisik. Dalam sejarah pemerintahan Kasultanan Yogyakarta pernah terjadi peristiwa dibunuhnya Pepatih Dalem oleh Sultan. Juga ketika Sultan mengangkat Pepatih Dalem tanpa persetujuan Gubernemen Belanda maka Pepatih Dalem itu tidak diakui oleh Gubernemen.

12

Soedarisman Poerwoekoesoemo, Daerah Istimewa Yogyakarta, Yogyakarta, Penerbit Gadjah Mada University Press, 1984, halm 8.

13 Ibid

Politiek Contract yang terakhir adalah politik kontrak antara Gubernur Jendral Belanda dengan Sultan HB IX pada tanggal 18 Maret 1940.14 Dalam

politiek contract dinyatakan pada Pasal 1 ayat 1, bahwa daerah Kasultanan Yogyakarta merupakan bagian daripada Kerajaan Belanda, oleh karena itu Sultan mengakui kedudukannya berada di bawah kekuasaan Ratu Belanda yang diwakili Gubernur Jenderal. Pada Pasal 1 ayat 2 juga dinyatakan bahwa kekuasaan atas daerah Kasultanan Yogyakarta dilakukan oleh Sultan yang diangkat Gubernur Jendral Belanda. Pada Pasal 24 Politiek contract menyebutkan bahwa untuk kepentingan daerah Kasultanan Yogyakarta, Sultan dapat mengeluarkan peraturan-peraturan tetapi menurut Pasal 25 dinyatakan sebelum peraturan itu dapat berlaku harus mendapatkan persetujuan dari Gubernur Belanda, dan untuk dapat mengikat penduduk, peraturan itu harus dicantumkan dalam Rijksblaad. Selain itu, menurut Pasal 13 dinyatakan bahwa dalam melakukan kekuasaan itu Sultan dibantu oleh Rijksbestuurder atau Pepatih Dalem yang diangkat dan diberhentikan oleh Gubernur Jendral Belanda setelah berunding dengan Sultan. Jadi kedudukan Pepatih Dalem sebagai pegawai Gubernemen Belanda dan juga pegawai Kasultanan yang mendapatkan gaji dari Gubernemen dan Kasultanan.15

Kedudukan Pepatih Dalem yang demikian itu membawa konsekuensi bahwa Pepatih Dalem bertanggung-jawab kepada Gubernur Jenderal dan Sultan. Dalam kenyataannya Pemerintahan Kasultanan lebih banyak dijalankan oleh

Pepatih Dalem dengan persetujuan Gubernur Jenderal, sehingga yang sebenarnya

14

Tertera dalam Staat Blads Tahun 1941 No.47.Ibid.. halm. 4

15 Ibid

memerintah Kasultanan tidak lain adalah Gubernur Jendral melalui Pepatih Dalem.

1.2. Sistem Perundangan Desentralisasi Hindia Belanda

Pemerintahan Hindia Belanda memiliki suatu peraturan dasar ketatanegaraan yang disebut Reglement op het Beleid der Regering van

Nederlandsch Indie, sistem pemerintahan ini belum menggunakan sistem

desentralisasi. Dalam reglement tersebut dinyatakan bahwa Hindia Belanda adalah suatu gecentraliseerd geregeerd land atau pemerintahan sentralistis. Sistem pemerintahan sentralistis ini berlangsung hingga awal abad 20. Meskipun memiliki sistem pemerintahan sentralistis, pemerintah Hindia Belanda juga menjalankan sistem pemerintahan dekonsetrasi yaitu di mana tugas pemerintahan pusat diserahkan kepada pejabat-pejabat pemerintahan pusat yang lebih rendah tingkatannya secara hierarkis, untuk kemudian ditugaskan di seluruh bagian wilayah negara atau daerah administratif.16

Perkembangan selanjutnya baru terjadi setelah ada pemikiran tentang bentuk pemerintahan modern dan demokratis di dalam kelompok politik Belanda dan masyarakat Eropa. Selain itu juga didorong oleh semakin sulitnya mengatur wilayah pemerintahan yang semakin luas dengan sistem pemerintahan dari pusat saja. Persoalan tersebut mendorong Pemerintah Kerajaan Belanda menetapkan suatu Wethoudende Decentralisatie van het Bestuur in Nederlandsch Indie.17

16

The Liang Gie, Pertumbuhan Pemerintah Daerah Di Negara Republik

Indonesia,1967,Penerbit PT. Gunung Agung, Jakarta, halm 21

17 Ibid

Decentralisatiewet 1903 ini mengatur penambahan tiga pasal baru ke dalam

Reglement yaitu pasal 68a, 68b, dan 68c. Tiga pasal baru tersebut mengatur pembentukan gewest dan bagiannya yang memiliki kebijakan keuangan sendiri dan aparatur pemerintahan daerah sendiri yang diatur oleh Raad di masing-masing daerah. Pelaksanaan sistem decentralisatiewet 1903 ini diatur lebih lanjut dengan peraturan Decentralisatiebesluit dan Locale Raadenordonnantie. Kedua peraturan ini menyebutkan bahwa daerah yang diberi keuangan sendiri disebut Locaal Ressort, dan Raadnya disebut Locale Raad. Dalam Locale Raad dibedakan lagi dalam gewestelijke Raad untuk gewest dan Plaatselijk Raad untuk raad bagian dan gewest.18

Pelaksanaan sistem desentralisasi tersebut dianggap oleh rakyat Yogyakarta kurang memuaskan karena hanya sedikit keuangan yang diserahkan kepada daerah dan wewenang yang dapat dijalankan oleh daerah juga masih terbatas. Masyarakat mengharapkan diberikannya wewenang yang lebih luas dalam pemerintahan. Pemerintah Kerajaan Belanda kemudian mempertimbangkan keinginan masyarakat itu dengan pembentukan Volksraad dan pelaksanaan politik

ontvoogding atau pemberian kekuasaan yang lebih banyak kepada pejabat-pejabat pemerintahan umum pribumi (Inlandsche bestuursambtenaren). Pada Tahun 1922 dilaksanakan pembaharuan pemerintahan dengan sistem desentralisasi dan dekonsentrasi yang lebih luas melalui Wet op de Bestuurshervorming. Wet tersebut bertujuan untuk memungkinkan pembentukan badan-badan pemerintahan baru oleh penduduk pribumi dengan diberi hak dalam menjalankan pemerintahan

18

beserta tanggung-jawabnya, sehingga akan mendapatkan pengalaman politik untuk membantu Pemerintah Kerajaan Belanda atau Bjflagen Handelingen Tweede Kamer. 19

Ketentuan dalam Bestuurshervormingswet 1922 tersebut diatur lebih lanjut dengan peraturan Provincie ordonnantie, Regentschaps ordonantie dan

Stadsgemeenteordonnantie. Berdasar ketiga ordonantie itu maka di Jawa dan Madura dibentuk provincie, regentscap, dan stadsgemeente yang mengatur daerahnya sendiri. Sedangkan untuk daerah di luar Jawa dan Madura ditetapkan melalui Groepsgemeentschaps ordonanrie dan Stadsgemeenteordonantie Buitengewesten. 20

Pemerintah Kerajaan Belanda membentuk daerah-daerah otonom sejak tahun 1903 tersebut dalam wilayah yang langsung dikuasainya (Direct bestuurd gebied atau Gouvernementgebied). Dalam Gouvernementgebied itu terdapat pula daerah-daerah otonom lainnya yaitu persekutuan masyarakat adat asli (Inlandsche gemeente) seperti desa, hutan, kuria, marga atau nagari. Persekutuan masyarakat adat tersebut diperbolehkan memiliki sistem pemerintahan tradisional sendiri untuk mengatur daerahnya. Persekutuan masyarakat adat ini diatur dalam

Inlandsche Gemeente ordonantie untuk Jawa dan Madura, sedang daerah lainnya diatur dengan Inlandsche Gemeente ordonentie Buitengewesten. 21

Selain adanya wilayah yang langsung dikuasai (Direct bestuurd gebied atau

Gouvernementgebied) oleh Pemerintah Kerajaan Belanda, terdapat juga wilayah 19 Ibid.,halm.23 20 Ibid.,halm.24 21 Ibid.,halm.25

yang tidak langsung dikuasai (Indirect bestuur gebeid atau Landscaps gebeid). Wilayah ini merupakan daerah-daerah kerajaan asli pribumi yang pada waktu masa pendudukan Belanda telah diikat dengan kontrak politik. Dalam kontrak politik tersebut Pemerintah Belanda masih mengakui eksistensi kerajaan-kerajaan tersebut dan hak-haknya untuk menjalankan pemerintahan daerahnya sendiri dengan nama Zelfbeturende landschappen. Kontrak politik tersebut terdiri dari dua macam yaitu Lang contract dan Korte verkiaring. Lang contract mengatur satu persatu kekuasaan Belanda atas hubungannya dengan kerajaan asli, sedangkan Korte verklaring hanya berisi pernyataan kerajaan asli untuk mengakui kekuasaan Belanda dan berjanji akan mentaati peraturan yang akan ditetapkan. Kedudukan kerajaan dengan Lang contract memiliki kedudukan yang lebih tinggi dan pada kerajaan dengan korte verklaring. Kerajaan asli yang memiliki kontrak politik berupa Lang contract adalah Kasunanan Surakarta dan yang berupa Korte contract adalah Kerajaan Goa.22

A.2. Kasunanan Surakarta 1.1. Kontrak Politik

Kerajaan Surakarta Hadiningrat merupakan negeri dengan pemerintahan sendiri (Zelfbesturende Landshcappen) atas dasar politik kontrak jangka panjang

(Lang politiek Contract), sebagaimana tersebut dalam stbl. No.614 jo. No. 671. Tetangga Kerajaan Surakarta Hadiningrat, yaitu Kadipaten Mangkunegaran

22

merupakan daerah yang juga berpemerintahan sendiri/asli berdasarkan politik kontrak sebagaimana tersebut dalam stbl.1940 No. 543. 23

Makna dari berpemerintahan asli ini adalah bahwa untuk negeri dan daerah tersebut berlaku peraturan, tatacara, dan adat istiadat asli yang sejak dulu telah berlaku dan berkembang, tanpa harus mengadopsi peraturan dan tata cara yang dibuat dan diberlakukan di daerah-daerah lain oleh Belanda. Jadi di Surakarta Hadiningrat dan daerah Mangkunegaran dapat dikatakan sebagai negeri dan daerah ”istimewa” mengingat keistimewaannya akan peraturan, tatacara, dan adat istiadat asli yang berlaku dan berbeda dengan adat wilayah lain.

Ketika Pemerintahan Hindia Belanda mengadakan Bestuurs-hervorming, daerah kerajaan tersebut dijadikan pemerintahan atau Governement yang semata-mata berdasarkan atas pertimbangan penghargaan (uit picteits-overwegingen).

Namun pada hakekatnya daerah Surakarta Hadiningrat dan daerah Mangkunegaran tetap merupakan negeri dan daerah istimewa seperti sebelum dijadikan governement.24

Kontrak Politik yang disebutkan di atas juga mengatur hubungan antara Pemerintahan Hindia Belanda, Belanda dengan:

1. Seri Paduka Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan. 2. Pakubuwono (Sri Paduka Susuhunan).

3. Seri Paduka Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Aryo Mangkunegoro (Sri Paduka Mangkunegoro) selaku penguasa kerajaan Surakarta

23

Sri Juari Santoso,Suara Nurani Keraton Surakarta,Peran Keraton Surakarta dalam mendukung dan mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia,Cetakan ke V 2006,Penerbit Komunitas Studi Didaktika,Yogyakarta,halm.29

24 Ibid

Hadiningrat, dan daerah Mangkunegaran, termasuk mengatur luas daerah kekuasaan daerah kedua Seri Paduka tersebut. 25

Namun demikian, ada juga kekuasaan dan urusan yang tidak diberikan kepada kedua negeri dan daerah istimewa dan tetap dipegang oleh Pemerintah Hindia Belanda melalui jawatan-jawatan yang mereka dirikan. Dengan demikian, di wilayah Surakarta terdapat negeri dan daerah istimewa dan wakil Pemerintahan Hindia Belanda yang masing-masing mempunyai lapangan kekuasaan sendiri-sendiri. Di samping itu, wakil pemerintah Hindia Belanda juga bertugas mengawasi kedua pemerintahan negeri dan daerah istimewa yang ada di wilayah Surakarta dengan maksud agar peraturan yang dijalankan sesuai dengan yang digariskan dalam politik kontrak dapat berjalan dengan serasi.

Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut maka wilayah Surakarta secara politik merupakan daerah yang bersifat istimewa meskipun dalam kenyataannya pemerintahan di wilayah Surakarta merasa berat membiayai anggaran belanjanya. Kewajiban-kewajiban berat yang dibebankan pada Negeri Surakarta Hadiningrat itu, misalnya biaya perbelanjaan yang sangat besar untuk instansi-instansi daerah, belum lagi ditambah biaya belanja bagi keperluan istana ( hofbounding).

1.2. Sistem Perundangan Desentralisasi Hindia Belanda

Perubahan tata pemerintahan daerah sejak 1922 juga mempunyai latar belakang yang sama. Walaupun dinyatakan bahwa perubahan itu dimaksudkan untuk memberikan politieke schooling atau pembelajaran tentang sejarah politik

25 Ibid

kepada bangsa Indonesia. Dengan bestuurshervorming itu diberikan lebih banyak kekuasaan kepada pejabat-pejabat pusat Belanda yang disebut: Administrative dan financiele descentralisatie.26

Pemerintah Daerah Hindia Belanda disamping melaksanakan tugas dekonsentrasi, juga memberikan tugas desentralisasi sesuai dengan Undang-undang Desentralisasi tahun 1903. 27 Peraturan pelaksanaan dari Undang-undang desentralisasi tahun 1903 ialah peraturan pemerintah ialah peraturan pemerintah tentang Desentralisasi tahun 1905 dan Ordonansi (Ordonantie) tahun 1905 tentang Dewan Daerah 1905.28 Kemudian tahun 1922 Pemerintah Negeri Hindia Belanda mengeluarkan Undang-undang tentang reorganisasi pemerintahan yang disebut Undang-undang tentang perubahan susunan pemerintahan, di mana Undang-undang ini memeperjelas hak otonomi dan tugas pembantuan (madebewind).29

Beberapa pokok tentang Undang-undang reorganisasi pemerintahan tahun 1922, yang memberi kewenangan kepada:

1. Gubernur beserta pejabat-pejabat orang Belanda (Europese bestuurs-ambtenaren ) sebagai alat Pusat Pemerintahan Hindia Belanda, juga diberi wewenang menjalankan tugas desentralisai, atau yang telah disebut diatas

“administratief en Financiele decentraliesatie”.

26

The Ling Gie,op cit.,halm.29

27

Soewarno Handayaningrat, Administrasi Pemerintahan dalam Pembangunan Nasional, 1982,cetakan pertama,penerbit: PT.Gunung Agung , anggota IKAPI, Jakarta, tertera dalam Decentralisatiewet 1903, S.1903-320,halm.212

28 Ibid 29

2. Pejabat-pejabat seperti Bupati Walikotamadya beserta para penjabat pribumi/pangreh praja diberi kelonggaran kewenangan, disamping melaksanakan tugas dekonsentralisi, juga menjalankan tugas desentralisasi.

3. Mengikut-sertakan semua unsur dalam pemerintahan daerah secara intensif di bidang desentralisasi.30

Seperti pada semua daerah pada pemerintahan Hindia Belanda, daerah pemerintahan di daerah jawa juga diberlakukan sama, namun ada beberapa pertimbangan antara daerah kerajaan dan bukan kerajaan, seperti pada Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta.

Kedua wilayah ini merupakan daerah-daerah kerajaan asli pribumi yang pada waktu masa pendudukan Belanda telah diikat dengan kontrak-kontrak politik. Dalam kontrak-kontrak politik tersebut Pemerintah Belanda masih mengakui eksistensi kerajaan-kerajaan tersebut dan hak-haknya untuk menjalankan pemerintahan daerahnya sendiri dengan nama Zelfbeturende landschappen. Kontrak politik tersebut terdiri dari dua macam yaitu Lang contract dan Korte verkiaring. Lang contract mengatur satu persatu kekuasaan Belanda atas hubungannya dengan kerajaan asli, sedangkan Korte verklaring

hanya berisi pernyataan kerajaan asli untuk mengakui kekuasaan Belanda dan berjanji akan mentaati peraturan yang akan ditetapkan. 31

30

Ibid.,halm.213

31

Kedudukan kerajaan dengan Lang contract memiliki kedudukan yang lebih tinggi pada kerajaan dengan korte verklaring. Kerajaan asli yang memiliki

kontrak politik berupa Lang contract adalah Kasunanan Surakarta.32

Secara keseluruhan daerah pemerintahan dalam Sistem perundangan desentralisasi Hindia Belanda di Kasunanan Surakarta yakni tugas wewenang Swapraja. Swapraja adalah daerah pemerintahan asli yang berkedudukan hukumnya pertama-tama berdasarkan atas hukum asli pula, tetapi kemudian sebagian statusnya tercantum dalam suatu Politiek Contract dengan pemerintahan pusat.33

B. Masa Pendudukan Jepang Tahun 1942-1945 1. Kasultanan Yogyakarta

Pada tahun 1941 Jepang menyerang dan membom pangkalan Angkatan Laut Amerika Serikat di Pearl Harbour dan kemudian menuju ke Selatan untuk menyerang wilayah Hindia Belanda. Pada tanggal 10 Januari 1942 tentara Jepang telah sampai di Tarakan Kalimantan Timur, dan Penguasa Belanda di pulau itu menyerahkan diri pada tanggal 13 Januari. Selanjutnya satu persatu wilayah kepulauan Kalimantan berhasil dikuasai Jepang secara berturut-turut, Balikpapan pada tanggal 20 Januari, Pontianak pada tanggal 2 Februari, menyusul berikutnya Martapura dan Banjarmasin pada tanggal 10 Februari.

Pada tanggal 14 Februari 1942 pasukan terjun-payung Jepang mendarat di Palembang dan berhasil menguasai wilayah itu dalam dua hari. Dikuasainya

32

Ibid.halm.26

33

Palembang membuka peluang bagi pasukan Jepang untuk menguasai wilayah Jawa. Jepang telah menyiapkan pasukan khusus untuk menguasai Pulau Jawa, yaitu dengan mengerahkan pasukan di bawah Komando Tentara Keenambelas yang dipimpin oleh Letnan Jendral Hitosy Imamura. Pada tanggal 1 Maret 1942, pasukan Jepang berhasil mendarat di tiga tempat sekaligus, yaitu di Teluk Banten, di Eretan Wetan (Jawa Barat) dan di Kragan (Jawa Tengah). Pasukan Jepang yang berhasil mendarat di Rembang kemudian bergerak ke Jawa Tengah dan segera merebut Semarang, Magelang, Solo, dan Yogyakarta pada tanggal 6 Maret dan terus mengejar tenaga induk Divisi II KNIL yang terdesak ke Priangan. Hanya dengan waktu yang relatif singkat pasukan Jepang berhasil mengalahkan kekuasan Belanda dan menguasai seluruh wilayah Hindia Belanda. Kekuasaan Pemerintahan Hindia Belanda selanjutnya berpindah ke tangan Balatentara Jepang.

Beberapa hari kemudian setelah Jepang menduduki Yogyakarta, Jepang membuat propaganda yaitu dengan mengumandangkan lagu kebangsaan Indonesia Raya sekitar jam tujuh sore, sekitar jam tujuh sore yang kemudian disusul dengan salam merdeka sebagai pembuka kata. Jepang juga menyebarkan propaganda bahwa Jepang adalah “saudara tua” orang-orang Asia dan ingin membebaskan saudara-saudara Indonesia dan kekuasaan penjajahan Belanda.

Pada saat Jepang pertama kali menduduki wilayah bekas Hindia Belanda, pemerintahannya menetapkan Undang-undang No.1 dan Pembesar Balatentara

Dai Nippon (Kan Po Nomor Istimewa tahun 1943), tentang pelaksanaan

Jepang untuk sementara menjalankan pemerintah militer di daerah-daerah yang didudukinya. Untuk sementara waktu semua badan pemerintahan, hukum, dan undang-undang dari Pemerintah Hindia Belanda tetap diakui sah asalkan tidak bertentangan dengan aturan pemerintahan militer Jepang.34

Beberapa bulan setelah menguasai Indonesia, Jepang mengadakan perubahan tata pemerintahan. Seluruh Jawa dan Madura, kecuali Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta dibagi atas Syi (kotapraja), Ken

(kabupaten), Gun (desa).Surakarta dan Yogyakarta disebut daerah Koci

(kasultanan), untuk kedua daerah/wilayah ini diberikan peraturan khusus yang menetapkan adfa-nya pemerintahan Yogyakarta.35

Jepang juga membagi wilayah bekas Hindia Belanda dalam tiga daerah kekuasaan yaitu: Pemerintah Militer Angkatan Darat Keenambelas berkedudukan di Jakarta untuk wilayah Jawa dan Madura, Pemerintahan Militer Angkatan Darat Kedua puluh lima di Bukit Tinggi untuk wilayah Sumatera, dan Pemerintah Militer Angkatan Laut di Makasar untuk wilayah Sulawesi, Kalimantan, Nusa Tenggara, Maluku, dan Irian Barat.36

Pemerintahan Militer itu terdiri atas Gunsireikan (Panglima Besar Balatentara Jepang atau Saiko Sikikan), di bawahnya terdapat Gunseikan

(Pembesar Pemerintah Balatentara Jepang), dan Soomubutyoo (kepala-kepala berbagai departemen). Gunsireikan berwenang menetapkan peraturan Osamu Seirei, sedangkan Gunseikan menetapkan peraturan Osamu Kanrei. Segala

34

The Liang Gie,op.cit.,halm.26

35

Untuk daerah Yogyakarta dan Surakarta dikeluarkan peraturan khusus yang menetapkan adanya pemerintahan Yogyakarta Koci dan Surakarta Koci , yang masing-masing dipimpin oleh Yogyakarta Ko dan Surakarta Ko

36 Ibid

macam peraturan akan diumumkan dalam Kan Po (Berita Pemerintah) oleh

Gunseikanbu (kantor penerbitan resmi pemerintah).37

Tata pemerintahan daerah di Jawa-Madura pada masa pendudukan Jepang dapat diketahui berdasarkan berita pemerintahan yang diterbitkan dalam Kan Po

oleh Gunseikanbu di Jakarta. Pada Agustus 1942 Gunsireikan menetapkan Undang-undang 1942/27 tentang perubahan tata pemerintahan daerah yang menegaskan bahwa Jawa dibagi dalam daerah Syuu (dulu residentie pada masa Hindia Belanda), Syuu dibagi dalam Ken (dulu regentscap), dan Si (dulu stadsgemeente). Terdapat juga Tokubetu Si semacam kota penting dalam sektor politik, ekonomi, sosial, dan budaya, yang ditunjuk secara khusus oleh Gunseikan, yaitu Jakarta38

Untuk wilayah Syuu dan Tokubetu Si ditetapkan Undang-undang 1942/28 tentang aturan pemerintahan Syuu dan aturan pemerintahan Tokubetu Si. Wilayah

Ken dan Si ditetapkan dengan perundangan Osamu Seirei 1943/12 tentang Ken

dan Si, dan Osamu Seirei 1943/13 tentang peraturan daerah Ken dan Si.39

Syuu merupakan daerah tingkat teratas yang memiliki pemerintahan sendiri dibawah pemerintahan Jepang. Syuu membawahkan Ken dan Si dalam kesatuan wilayahnya. Tokubetu Si memiliki kedudukan yang hampir sama dengan Syuu

karena langsung di bawah Gunseikan.40

Di dalam masing-masing daerah diangkat seorang kepala daerah (Syuutyookan, Tokubetu Sityoo, Kentyoo dan Silyoo). Ketentuan-ketentuan dalam 37 Ibid.,halm.26-27 38 Ibid 39 Ibid 40 Ibid.

Regentschapsordonantie dan stadsgemeente ordonantie bila tidak diubah oleh pemerintah balatentara Jepang maka akan tetap berlaku bagi Tokubeku Si, Ken

dan Si.

Jepang juga menerapkan sistem pemerintahan tunggal. Segala wewenang yang dulu dijalankan raad dan college selanjutnya dijalankan oleh Kentyoo dan

Sityoo. Sistem pemerintahan tunggal tanpa dewan-dewan perwakilan dilaksanakan hingga September 1943, baru kemudian ditetapkan peraturan untuk mengatur pembentukan dewan-dewan badan penasehat pejabat di pusat dan daerah, khusus di Syuu dan Tokubetu Si.

Si memegang segala urusan pemerintahan wilayahnya dan urusan pemerintahan umum (pangreh praja) dalam stadsgemeente diurus oleh regent dan

Dokumen terkait