• Tidak ada hasil yang ditemukan

STATUS DAERAH ISTIMEWA KASUNANAN SURAKARTA DAN KASULTANAN YOGYAKARTA TAHUN 1939-1950 DALAM KERANGKA DEMOKRASI DAN OTONOMI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "STATUS DAERAH ISTIMEWA KASUNANAN SURAKARTA DAN KASULTANAN YOGYAKARTA TAHUN 1939-1950 DALAM KERANGKA DEMOKRASI DAN OTONOMI"

Copied!
123
0
0

Teks penuh

(1)

STUDI PERBANDINGAN

STATUS DAERAH ISTIMEWA KASUNANAN SURAKARTA DAN KASULTANAN YOGYAKARTA TAHUN 1939-1950

DALAM KERANGKA DEMOKRASI DAN OTONOMI

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Program Studi Ilmu Sejarah

Oleh

Nama: Andreas Udiutomo NIM: 004314024

PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH JURUSAN SEJARAH FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

(2)
(3)
(4)

MUTIARA

Aku peduli tentang hatiku,

nafas, mata, jiwa, nyawaku

Sekali lagi pernah kuperhatikan dari ujung kaki

sampai ujung kepala,

dari denyut jantung sampai aliran darah mengalir

yang aku rasakan,

dari suara yang kudengar dari telinga sampai mulut yang

bersuara

aku masih sadar…

Terimakasih Tuhan Enkau masih bersamaku…”

-penulis-

DURF TE STRIJDEN OM EEN PUNT TE MAKEN EN NEEM JE VERANTWOORDELIJK HEID

Berani berbuat, Berani bersikap, Berani bertanggung

jawab

(5)

PERSEMBAHAN

Dengan segala rasa cinta yang mendalam dan rasa hormat kepada Tuhan Yesus Kristus,

Skripsi ini dipersembahkan kepada:

1. Kedua Ayah Bunda: Bapak Yohanes Budi Santoso dan Ibu Maria Suparsih, terimakasih atas doa, didikan dan kesabaranya selama ini

2. Kakak dan Adikku tercinta: Kristanti Widyaningsih dan Fransisca Ade Karunia Putri..terimakasih atas doanya.

3. Keponakanku yang cantik: A.Dewi Ratna Swari (Ririe).

4. Sahabat-sahabatku :Yudha Tjoemie, Pius Agung Badu, Christian Wahyu, Bernadeta Roselho, tempatku berbagi, tertawa dan menyandarkan letihku..thanks guys, Desy, Arie Wardani, Retno Putri sih Putranti...kemana aja kamu?, Cristiana Dwi Lestari…terimakasih atas semuanya, dan semua inspirasi dan motivasi yang diberikan selama ini.

(6)

6. Kawan kawan seperjuangan; FPPI, TAJAM, Pengabdian Masyarakat USD, CITRALEKHA...special thanks for motherland…”

7. Bawakan Aku Bunga; Pejuang Asmara -sophie ft praseva-, Bintangkan bersinar -channel -, It hurts, the gift –Angel&AirWaves-, letters to God

–BoxCarRacer-, Lost without you –Blink182-, Wake Up –

melodicuspaleojavanicus-.

8. Bawakan aku bunga, Before sunrise & Before sunset.

9. Jesus –Khalil Gibran-, Catatan Seorang Demonstran –Gie-, My dear MORON (RIP)love you, and the Morning, thanks for everything

10.Dan Semua pihak atas dukungan, motivasi, bagi penulis untuk menyelesaikan skripsi ini, diucapkan terimakasih.

Sadar bahwa hasil karya penulisan ini masih jauh dari sempurna, penulis berharap suatu masukan saran atau kritik yang membangun.

Penulis

(7)

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi ini merupakan karya sendiri dan belum pernah saya ajukan sebagai syarat untuk memperoleh gelar kesarjanaan di perguruan tinggi.

Skripsi ini tidak memuat karya orang lain atau bagian dari karya orang lain atau suatu lembaga, kecuali bagian-bagian tertentu yang dijadikan sumber.

Yogyakarta, 27 Februari 2007

Penulis

(8)

ABSTRAK

Tujuan penulisan skripsi ini untuk mengetahui tentang Studi Perbandingan terhadap status antara Daerah Istimewa Yogyakarta dan Surakarta dalam kerangka demokrasi dan otonomi tahun 1939 – 1950. Dalam skripsi ini ada tiga hal permasalahan yang dibahas, yakni: 1. Bagaimanakah status Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta pada masa pemerintahan Belanda dan Jepang pada tahun 1939-1945? 2. Bagaimanakah status Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta pada masa pemerintahan Indonesia pada tahun 1945-1950? 3. Faktor-faktor apakah yang menentukan status daerah Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta sebagai daerah istimewa dalam Negara Republik Indonesia?

Kerajaan mataram yang pecah menjadi dua kerajaan yakni Yogyakarta dan Surakarta menyimpan keistimewaan tersendiri secara historis. Belakangan ini masalah keistimewaan banyak dibicarakan orang dalam rangka mewujudkan daerah otonomi yang demokratis. Status keistimewaan yang diberikan terhadap sebuah daerah dimaknai sebagai anugrah yang berbeda dari daerah lain. Makna istimewa ini juga yang melandasi penulisan skripsi ini. Karena penulis berusaha mengungkapkan fakta secara historis dengan keadaan sejarah yang benar.

(9)

ABSTRACT

The aim of this undergraduate thesis is to know the comparasion study toward the status between “Daerah Istimewa Yogyakarta and Surakarta” in the structure of democration and otonomy in 1939–1950. in this thesis, there are three problem formulations, as follows: 1. How are the status of Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta in Dusch and Japanese Government era in 1939-1945? 2. How are the status of Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta in Indonesia Government era in 1945–1950? 3. What are the factor which determine the status of Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta as a particular region in Indonesian Republic?

The Mataram kingdom which breaks into two kingdoms, Yogyakarta and Surakarta, save its own historically particular. Nowaday the problems particularity are discussed by the people in order to existence the democration of otonomy region. The particular status which given to a region is valued as a different gift from other regions. The particular value also underlays this thesis writing. Based on this problem, the writer tries to analyze the fact historically without true history.

(10)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yesus Kristus Atas melimpahkan kasih-Nya, sehimgga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul: Studi Perbandingan Status Daerah Istimewa Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta tahun 1939-1950 dalam kerangka Demokrasi Otonomi. Skripsi ini dapat diselesaikan berkat dukungan, bantuan, dan bimbingan dari banyak pihak, oleh karena itu penulis mengucapkan terimakasih kepada:

1. Bapak Dr. Fr. B. Alip, M. Pd., M.A., Selaku Dekan Sastra, yang telah memberikan ijin atas penulisan skripsi ini.

2. Bapak Drs. Hb.Hery Santosa,M.Hum., Selaku Ketua Jurusan Sejarah, yang telah memberikan ijin atas penulisan skripsi ini.

3. Ketua Program Studi Ilmu Sejarah, yang telah memberikan pandangan dalam skripsi ini.

4. Bapak Prof. Dr. P.J. Suwarno, S.H., Selaku Pembimbing I, yang telah bersedia membimbing dan mengoreksi skripsi ini hingga selesai.

5. Pembimbing Akademis, yang telah memberikan dukungan dan bimbingan kepada penulis selama menyelesaikan kuliah di Universitas Sanata Dharma.

(11)

memberikan bekal pengetahuan dan bimbingan bagi penulis selama menyelesaikan kuliah di Universitas Sanata Dharma.

7. Teman-teman mahasiswa Ilmu sejarah, Sastra Inggris, Sastra Indonesia, angkatan 1999-2003; terimakasih atas bantuan, dukungan, dan kebersamaanya selama ini.

8. Karyawan Perpustakaan Sanata Dharma dan Perpustakaan Daerah Istimewa Yogyakarta, Kraton Yogyakarta, Kraton Surakarta, Museum Sono Budoyo Yogyakarta, Kantor Arsip dan Perpustakaan Daerah Surakarta, Monumen Pers Nasional di Surakarta, Museum Radya Pustaka Surakarta, yang telah membantu penulis berkaitan dengan skripsi ini.

9. Semua pihak yang telah membantu dan tidak dapat penulis sebutkan semua.

Penulis menyadari atas kekurangan dan kelemahan terhadap penulisan skripsi ini, maka dengan terbuka penulis menerima masukkan berupa kritik yang bersifat membanguan demi kesempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan Bagi Universitas Sanata Dharma.

Yogyakarta, 27 Februari 2007

(12)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL……….. i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING………...….. ii

HALAMAN PENGESAHAN………..……... iii

HALAMAN MOTTO………...………... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN………...………….... v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA……….….………... vii

ABSTRAK……….……. viii

ABSTRACT………..…... ix

KATA PENGANTAR………... x

DAFTAR ISI………..………. xii

DAFTAR LAMPIRAN………..………. xv

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah………... 1

B. Rumusan Masalah………. 4

C. Tujuan Penelitian………... 5

D. Manfaat Penelitian………. 5

E. Tinjauan Pustaka………... 6

F. Landasan Teori………. 8

G. Hipotesis………. 9

H. Metode dan pendekatan Penelitian………. 10

1.Pengumpulan data……… 10

2.Analisis data……….. 12

(13)

BAB II STATUS KRATON KASUNANAN SURAKARTA DAN

KASULTANAN YOGYAKARTA PADA MASA PENDUDUKAN BELANDA DAN JEPANG TAHUN 1939-1945

A. Masa pendudukan Belanda Tahun 1939-1941………... 15

A.1. Kasultanan Yogyakarta………..……….…. 15

1.1. Politik Kontrak (Pepatih Dalem)………..….... 16

1.2. Sistem Perundangan Desentralisasi Hindia Belanda…... 19

A.2. Kasunanan Surakarta……….….. 22

1.1. Politik Kontrak………...… 22

1.2. Sistem Perundangan Desentralisasi Hindia Belanda...…... 24

B. Masa pendudukan Jepang Tahun 1942-1945………. 27

1. Kasultanan Yogyakarta…...………...…….. 27

2. Kasunanan Surakarta………...…... 37

BAB III STATUS KEISTIMEWAAN KASULTANAN YOGYAKARTA DAN KASUNANAN SURAKARTA PADA MASA PEMERINTAHAN INDONESIA TAHUN 1945-1950 A. Pemeritahan Masa awal Kemerdekaan Republik Indonesia… 40 1. Kasultanan Yogyakarta……….. 40

2. Kasunanan Surakarta………. 54

B. Pemerintahan Masa Kostitusi RIS………..…… 59

BAB IV FAKTOR-FAKTOR YANG MENENTUKAN STATUS KEISTIMEWAAN KASUNANAN SURAKARTA DAN KASULTANAN YOGYAKARTA DALAM NEGARA RI A. Status Keistimewaan Berdasarkan Undang-undang Dasar…… 64

(14)

C. Peran kedua Kerajaan dalam Perjuangan Revolusi

Kemerdekaan Republik Indonesia ………....……. 72

1. Kasultanan Yogyakarta………... 72

2. Kasunanan Surakarta……….. 74

D. Pemerintahan masa demokratisasi dan otonomi…….……….... 78

1. Kota Yogyakarta………..….…………... 78

2. Kota Surakarta………..………….……….. 87

BAB V PENUTUP…...……….….….. 91

DAFTAR PUSTAKA……….………. 94

(15)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. AMANAT SULTAN HB IX………. 97

Lampiran 2. AMANAT PAKU ALAM VIII……….... 98

Lampiran 3. AMANAT 6 SEPTEMBER 1945 ………... 99

Lampiran 4. AMANAT 30 OKTOBER 1945………..….. 100

Lampiran 5. PIAGAM SRI PADUKA SUSUHUNAN PAKUBUWONO XII REPUBLIK INDONESIA………... 102

Bagan 6. PEMBAGIAN DAERAH OTONOMI UU 1948/22………103

Lampiran 7. Undang-undang Pokok Daerah Istimewa Yogyakarta………104

Lampiran 8. Maklumat Komisaris Tinggi No.1 tentang Surakarta……….106

(16)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perjalanan sejarah yang dialami bangsa Indonesia ini cukup panjang. Sejarah bangsa Indonesia merupakan peristiwa masa lampau yang tidak mungkin terulang kembali. Hal yang bisa kita lakukan adalah melihat kembali perjalanan sejarah tersebut untuk mencoba merekontruksi, memaknai, dan mencari relevansinya di masa kini, bagi kemajuan kehidupan bangsa Indonesia sendiri di masa datang.1

Sejarah bangsa kita tidak pernah bisa dilepaskan begitu saja dari banyaknya kerajaan kecil yang telah berdiri dan berdaulat, bahkan sebelum terbentuknya Negara Indonesia, salah satunya adalah Kerajaan Mataram di Jawa. Dalam perjalanan sejarahnya kerajaan ini mengalami pasang-surut pemerintahan. Kerajaan Mataram pada akhirnya terpecah menjadi dua kerajaan yaitu: Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta.2 Sejalan dengan tumbuhnya nasionalisme kebangsaan Indonesia, kedua kerajaan inipun menjadi tolak-ukur perjuangan bangsa ini ketika masa kolonial, terlebih dengan adanya undang-undang yang dibuat pihak kolonial yang mengatur tentang kedudukan ke dua kerajaan tersebut.

1

Pengertian sejarah menurut: Istilah dan Guna, Kuntowijoyo; Pengantar Ilmu Sejarah, Yayasan Bentang Budaya ,Yogyakarta-Indonesia, cetakan III, 1999, halm.15

2

Lahirnya Zelfbesturende Lansdschappen dari Hindia Belanda di Jawa Tengah, Lihat:

(17)

Pada bahasan skripsi ini akan diuraikan tentang dua kerajaan di Jawa yang masih berdiri hingga sekarang dan menjadi saksi sejarah terbentuknya Negara Indonesia. Kerajaan tersebut adalah Keraton Kasunanan Surakarta dan Keraton Kasultanan Yogyakarta. Dua kerajaan tersebut merupakan pecahan dari sebuah kerajaan besar di tanah Jawa yakni Kerajaan Mataram.

Kerajaan Mataram yang beribukota di Surakarta (Solo) pada tahun 1755 pecah menjadi dua yakni: Pertama, Kasunanan Surakarta yang beribukota di Surakarta (Solo) di bawah pimpinan Sri Sunan Paku Buwono III. Kedua, Kasultanan Yogyakarta yang beribukota di Ambarketawang Gamping, kemudian pindah ke Yogyakarta sampai sekarang di bawah pimpinan Sultan Hamengku Buwono X di mana pembagian daerah tersebut ditentukan dalam perjanjian Gianti.3

Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta, pada masa pemerintahan Belanda memiliki kedudukan sebagai daerah istimewa bagian dari Kerajaan Hindia Belanda, berdasarkan perundang-undangan Belanda dan Kontrak

Politik. Pemerintah Belanda mengangkat Gubernur Jenderal dengan diwakili

Pepatih Dalem untuk mengatur birokrasi pemerintahan kedua daerah kerajaan, dalam rangka politik dekonsentrasi pemerintahan. Hal yang sama juga diberlakukan pada saat Pemerintah Jepang menguasai kedua daerah kerajaan tersebut. Pemerintah Jepang juga mengakui bahwa daerah kedua kerajaan tersebut

3

(18)

merupakan daerah istimewa bagian dari Kekaisaran Jepang. Kooti Zimu Kyoku

Tyookan (gubernur) dan Somu Tyookan (patih), diangkat sebagai wakil

Pemerintah Jepang.

Pada masa awal kemerdekaan Republik Indonesia, Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta mengalami perubahan dan penyesuaian birokrasi pemerintahan kerajaan menuju birokrasi pemerintahan negara modern. Status keistimewaan daerah kerajaan juga mengalami perubahan akibat dari faktor-faktor politik pada masa itu. Pemerintah Pusat kemudian mengangkat Komisaris Tinggi sebagai wakil pemerintahan untuk ditempatkan di beberapa wilayah daerah swapraja yaitu: Kasunanan Surakarta, Kasultanan Yogyakarta, Mangkunegaran, dan Pakualaman. Di Kasunanan Surakarta, Komisaris Tinggi diakui oleh Paku Buwono sebagai wakil Pemerintah Pusat, sedangkan di Kasultanan Yogyakarta Komisaris Tinggi ditolak oleh Sultan HB IX, yang kemudian digantikan perannya oleh Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID) Yogyakarta. 4

Sikap politik pemerintahan Kasunanan Surakarta mengenai loyalitasnya pada Pemerintah Belanda atau pada Pemerintah RI masih dipertanyakan, sedangkan di Kasultanan Yogyakarta sikap politik pemerintahan Sultan HB IX menyatakan dukungannya pada eksistensi Negara RI. Peran serta kedua daerah kerajaan dalam perjuangan revolusi kemerdekaan RI juga menjadi faktor penting yang menentukan status keistimewaan dalam Negara RI. Namun pada saat ini,

4

(19)

kedua kerajaan tersebut memiliki status keistimewaan yang berbeda, yakni Kasunanan Surakarta sudah tidak dianggap sebagai daerah istimewa, sedangkan Kasultanan Yogyakarta masih memiliki status sebagai daerah istimewa.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas maka yang menjadi pokok permasalahan penulisan skripsi ini adalah pembahasan tentang kedudukan dan status kedaerahan yang diberlakukan pada dua kerajaan tersebut pada saat Negara Indonesia terbentuk. Sejarah komparasi kedua kerajaan tersebut merupakan suatu pembanding gerak sejarah yang perlu diungkapkan dan menjadi pertimbangan pemerintahan RI dalam mengeluarkan undang-undang untuk mengatur status dan kedudukan kedua kerajaan. Hingga sekarang masih dipertanyakan mengapa hanya Kasultanan Yogyakarta yang mendapatkan status sebagai daerah istimewa dari Pemerintah Pusat, sedangkan di Kasunanan Surakarta tidak lagi mendapatkan status keistimewaan tersebut.

Pertanyaan-pertanyaan yang menjadi pokok permasalahan yaitu:

1. Bagaimanakah status Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta pada masa pemerintahan Belanda dan Jepang pada tahun 1939-1945? 2. Bagaimanakah status Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta

pada masa pemerintahan Indonesia pada tahun 1945-1950?

(20)

Masa-masa pra-kemerdekan hingga pasca-kemerdekan RI, menjadi pokok permasalahan yang dibahas karena dalam tahun-tahun tersebut banyak undang- undang yang dibuat untuk mengatur status kerajaan-kerajaan swapraja.

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Mendeskripsi dan menganalisis status daerah Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta pada masa pemerintahan Belanda dan Jepang tahun 1939-1945.

2. Mendeskripsi dan menganalisis status daerah Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta pada masa pemerintahan Indonesia tahun 1945-1950.

3. Mendeskripsi dan menganalisis faktor-faktor apakah yang menentukan status daerah Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta sebagai daerah istimewa dalam Negara RI.

D. Manfaat Penelitian 1. Bagi penulis

Penulisan ini dapat menjadi pengetahuan tentang sejarah komparasi terhadap daerah-daerah kerajaan yang berkedudukan sebagai daerah Istimewa pada masa pemerintahan Belanda, pemerintahan Jepang, dan pemerintahan Indonesia dari tahun 1939-1950.

(21)

Penulisan ini diharapkan menjadi wawasan yang menambah ilmu pengetahuan mengenai status daerah Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta tahun 1939-1950, yang berupa karya ilmiah di Universitas Sanata Dharma.

3. Bagi Dunia Ilmu Pengetahuan

Penulisan penelitian ini diharapkan menambah wawasan dan memperkaya perbendaharaan Ilmu pengetahuan mengenai sejarah komparasi: status daerah Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta tahun 1939-1950.

E. Tinjauan Pustaka

Dalam proses penulisan ini penulis memperoleh data dari bentuk pengumpulan data melalui studi pustaka. Dalam mendapatkan data mengenai permasalahan perkembangan Yogyakarta dan Surakarta tahun 1939 -1950 maka penulis menggunakan bahan pustaka sebagai sumber penelitian.

Buku-buku yang digunakan sebagai sumber untuk mendapatkan data mengenai ketiga pokok permasalahan pada penelitian ini, bebarapa diantaranya adalah:

Buku pertama berjudul: Inventarisasi Produk-produk Pemerintahan Daerah, Daerah Istimewa Yogyakarta yang berupa peraturan perundangan I dan

(22)

data-data penting mengenai perundang-undangan dan peraturan lain yang dibuat oleh pemerintahan Daerah Yogyakarta.

Buku kedua berjudul: Suara Nurani Keraton Surakarta, Peran Keraton Surakarta dalam mendukung dan memmpertahankan Negara Kesatuan Republik

Indonesia, merupakan tulisan Sri Juari Santoso, pengantar:Eusta Supeno,

diterbitkan oleh Komunitas Studi Didaktika,pada tahun ?. Buku ini sebagai sumber penulisan penelitian ini karena banyak menguraikan status istimewa bagi Keraton Surakarta sebelum Undang-undang Pemerintahan Daerah dibuat.

Buku ketiga berjudul: Hamengku Buwono IX Dan Sistem Birokrasi Pemerintahan Yogyakarta 1942-1974, ditulis oleh Suwarno.P.J., diterbitkan oleh Penerbit Kanisius, pada tahun 1994 Yogyakarta,. Sesuai pokok permasalahan ketiga yang akan dibahas dalam penelitian ini yaitu tentang bagaimanakah proses perubahan dan penyesuaian yang dilakukan Sri Sultan dan Paku Alam VIII dalam menciptakan Pemerintahan Daerah Istimewa Yogyakarta yang otonom dan demokratis, maka buku ini penting sebagai sumber pustaka. Buku ini menyediakan informasi tentang peran Sri Sultan HB IX sebagai Pemimpin Pemerintahan Yogyakarta.

Buku keempat berjudul: Pertumbuhan Pemerintahan Daerah di Negara

Republik Indonesia, merupakan tulisan The Liang Gie, diterbitkan oleh

(23)

Perbedaan tulisan ini dengan tulisan pada buku-buku sumber di atas adalah, sumber yang membicarakan tentang status daerah keistimewaan Surakarta tidak banyak dibicarakan, hanya beberapa bagian saja, dari hal tersebut, maka penulis berupaya memberikan beberapa kerangan yang berkaitan dengan status daerah Surakarta yang dulunya sebagai daerah istimewa, dan saya rasa penulisan skripsi tentang perbadingan daerah istimewa kedua kerajaan tersebut sangat sedikit ditulis.

.

F. Landasan Teori

Dalam penulisan skripsi ini yang dibahas adalah perbandingan wacana sejarah yang terjadi dalam Keraton Surakarta dan Keraton Yogyakata dalam status daerah istimewa melalui periode tahun 1939-1950. Komparasi ini merupakan hal yang diangkat sebagai perbandingan keadaan dahulu hingga sekarang, di mana dahulu kedudukan kedua kerajaan tersebut memiliki karakteristik sebagai daerah istimewa yang berbeda dengan daerah lainnya, sebagai daerah yang mempunyai peraturan-peraturan, hukum atau undang-undang, adat istiadat, dan lain-lainnya. Namun sekarang kedua kerajaan tersebut mengalami berbagai perubahan sistem pemerintahan.

(24)

masih diakui oleh Pemerintah RI sebagai daerah istimewa bagian dari Negara Indonesia. Hal ini terlihat dalam berbagai peraturan perundang-undangan kedaerahan yang berbeda dengan daerah lain, antara lain mengenai pemilihan gubernur. Pemilihan gubernur di DIY tidak melalui mekanisme pemilihan demokratis (Pemilihan Kepala Daerah), tetapi melalui penunjukan langsung dari keturunan Raja-raja di Kasultanan Yogyakarta. Hal ini jelas sekali membedakan DIY deangan daerah lainnya. Dengan begitu kedudukan Sultan di Yogyakarta memiliki fungsi ganda yaitu sebagai Raja di Kasultanan Yogyakarta dan sebagai Gubernur DIY.

Penulis akan membahas skripsi ini dengan sudut pandang politik ketatanegaraan yang mengacu kepada hukum perundang-undangan pada masa Belanda, Jepang, dan Negara Indonesia yang diberlakukan di kedua kerajaan tersebut. Sudut pandang sosial budaya masyarakat di kedua kerajaan, di mana terjadi transformasi kekuasaan antara masa pendudukan Belanda, pendudukan Jepang dan Negara Indonesia, menjadikan tolak-ukur sejarah komparasi keistimewaan kedua kerajaan dengan subyek yang melekat pada adat istiadat serta budaya dalam kraton yang dimiliki oleh rakyatnya.

G. Hipotesis

(25)

2. Bila Pemerintah Indonesia pada tahun 1945-1950, mengadakan kebijakan politik yang mengubah status Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta sebagai daerah istimewa, maka perubahan status tersebut berpengaruh pada birokrasi pemerintahan kedua daerah kerajaan.

3. Faktor-faktor politik, seperti: Status istimewa Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta dalam sistem perundang-undangan Pemerintah Belanda dan Pemerintah Jepang, Sikap politik kepemimpinan kedua daerah kerajaan dalam mendukung Negara RI, Peran kepemimpinan kedua daerah kerajaan dalam perjuangan revolusi kemerdekaan Negara RI, Dukungan rakyat kepada pemerintahan kerajaan, merupakan faktor-faktor penting yang menentukan status daerah istimewa kedua kerajaan tersebut.

H. Metode dan Pendekatan Penelitian

1. Pengumpulan Data

Metode yang digunakan disebut metode sejarah yaitu suatu proses menguji dan menganalisis secara kritis rekaman dan peninggalan masa lampau.5 Rekonstruksi imajinatif terhadap masa lampau berdasar data-data yang diperoleh melalui metode sejarah itu disebut penulisan sejarah (historiografi).6 Dalam melakukan penulisan sejarah dapat dilakukan dengan empat tahapan pokok. Pertama, Pemilihan subyek penelitian dan pengumpulan objek yang berasal dari jaman itu serta pengumpulan bahan-bahan tercetak, tertulis, dan lisan yang

5

Lihat Louis Gottschalk, mengerti sejarah: pengantar metode sejarah, terjmh.:Nugroho Notosusanto, 1975, yayasan penerbit Universitas Indonesia, Jakarta,halm.32

(26)

relevan. Kedua, Menyingkirkan bahan-bahan yang tidak otentik. Ketiga, Menyimpulkan kesaksian yang dapat dipercaya mengenai bahan-bahan yang otentik. Keempat, Penyusunan kesaksian yang dapat dipercaya menjadi kisah atau penyajian sejarah.7

Metode pengumpulan data yang dilakukan adalah studi pustaka dengan mencari dan menganalisis buku-buku yang tersimpan di perpustakaan, arsip-arsip pemerintah, surat kabar, dan sebagainya. Studi pustaka merupakan suatu metode penulisan, di mana penulis menggali dan mengolah data-data yang sudah berbentuk tulisan atau pernyataan-pernyataan menjadi suatu historiografi. Data yang ada kemudian dipelajari dan diperdalam untuk kemudian diseleksi. Buku-buku yang relevan dengan pokok permasalahan digunakan sebagai sumber data dan acuan penulisan. Selain mengumpulkan data-data sejarah dari buku-buku, juga diusahakan mencari data-data yang tersimpan dalam arsip-arsip atau catatan-catatan yang tersimpan di perpustakaan daerah dan lembaga-lembaga pemerintahan daerah.

Sumber tulisan yang digunakan dapat berupa sumber primer dan sumber sekunder. Sumber primer yaitu tulisan atau dokumen hasil dari pernyataan kesaksian seorang saksi mata yang mengalami peristiwa itu sendiri atau hidup sejaman dengan terjadinya peristiwa. Sumber sekunder yaitu tulisan atau dokumen yang merupakan kutipan atau salinan dari sumber lainnya.

7

(27)

2. Analisis Data

Data-data yang sudah diseleksi dari buku-buku, arsip-arsip, dan catatan-catatan pemerintah daerah kemudian dilakukan kritik sumber. Kritik sumber merupakan tahap penulisan sejarah untuk pengujian data. Kritik sumber bertujuan untuk mengetahui sejauh mana kredibilitas sumber yaitu kebenaran faktanya sehingga dapat dipercaya dan dipertanggungjawabkan. Kritik digunakan untuk menghindari kepalsuan dan keberpihakan sumber, apalagi sebagian besar sumber data merupakan sumber sekunder. 8

Metode deskriptif analisis digunakan sebagai metodologi penulisan karena dengan metode ini diharapkan mampu menggambarkan peristiwa secara lengkap dan analitis. Pengolahan data secara cermat diharapkan mampu mengurangi subyektifitas yang biasanya muncul dalam sebuah historiografi.

I. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan skripsi ini terdiri dari lima bab, yang terdiri atas:

Pada Bab I Pendahuluan. Di mana yang terbagi menjadi sembilan sub bab yakni: A. Latar Belakang Masalah, yang mendiskripsikan latar belakang pengambilan subyek penelitian, B. Rumusan Masalah, yang merumuskan permasalahan yang dijadikan pokok penelitian ini, C. Tujuan Penelitian, D. Manfaat Penelitian, E. Tinjauan Pustaka, F. Landasan Teori, G. Hipotesis, H. Metode dan Pendekatan Penelitian, dan I. Sistematika Penulisan.

8

(28)

Bab II Status Kraton Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta Pada Masa Pendudukan Belanda dan Jepang Tahun 1939-1945, mendeskripsikan dan menganalisis status kedua daerah kerajaan tersebut yaitu pada masa pendudukan Belanda dan pendudukan Jepang, yang terbagi menjadi dua sub bab yakni: A. Masa Pendudukan Belanda Tahun 1939-1941; dan 1. Kasultanan Yogyakarta dan 2. Kasunanan Surakarta B. Masa Pendudukan Jepang Tahun 1942-1945; 1. Kasultanan Yogyakarta dan 2.Kasunanan Surakarta.

Bab III Status Kerajaan Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta Pada Masa Pemerintahan Indonesia Tahun 1945-1950, mendeskripsikan dan menganalisis status kedua daerah kerajaan tersebut pada masa pemerintahan Indonesia tahun 1945-1950, yang terbagi menjadi tiga sub bab yakni: A. Pemerintahan Masa Awal Kemerdekaan Republik Indonesia; 1. Kasultanan Yogyakarta dan 2.Kasunanan Surakarta.B. Pemerintahan Masa Konstitusi RIS.

(29)
(30)

BAB II

STATUS KRATON KASULTANAN YOGYAKARTA

DAN KASUNANAN SURAKARTA PADA MASA

PENDUDUKAN BELANDA DAN JEPANG

TAHUN 1939-1945

A. Masa Pendudukan Belanda Tahun 1939-1941 A.1. Kasultanan Yogyakarta

Status Kerajaan Kasultanan Yogyakarta pada masa pendudukan Belanda pada tahun 1939 masih dipengaruhi oleh kebijakan-kebijakan politik dari Pemerintahan Hindia Belanda. Ketika Sultan HB IX dinobatkan pada akhir tahun 1939, Pemerintah Hindia Belanda mengadakan perundingan-perundingan dengan mencalonkan Sultan HB IX melalui perumusan Kontrak Politik.9 Dalam setiap perundingan tersebut, pihak Pemerintah Belanda selalu mempertahankan pasal-pasal yang menjamin kekuasaan atas birokrasi Pemerintahan Kasultanan. Namun usaha tersebut tidak mempengaruhi kegigihan Sultan HB IX untuk tidak memakai pasal-pasal dalam Kontrak Politik, selama Pemerintah Belanda masih berkuasa dan ketika Sultan Hamengku Buwono IX berusaha mengadakan perubahan birokrasi dalam kraton.10

9

Perubahan-perubahan yang terjadi pada waktu itu seperti perundingan tentang wilayah daerah Yogyakarta dan Kraton untuk merumuskan kontrak politik.

10

(31)

Pada saat Pemerintah Belanda kemudian bermaksud mengadakan perubahan-perubahan di Yogyakarta, hal itu dilakukan dengan cara menugaskan pegawai-pegawai Belanda untuk bekerja di fasilitas-fasilitas strategis di daerah Yogyakarta. Sementara itu para abdidalem hanya menjalankan perintah dari pegawai-pegawai Belanda tanpa mengerti maksud dan tujuannya. Sebaliknya Sultan HB IX dalam upayanya untuk mengadakan perubahan birokrasi pemerintahan Kasultanan Yogyakarta terlebih dahulu mempersiapkan tokah-tokoh masyarakat dan para abdidalem-nya. Begitu dekatnya Sultan dengan rakyatnya sehingga sering kali Sultan mengadakan komunikasi langsung dengan masyarakat Yogyakarta ke pelosok desa-desa serta para penjabat di daerah-daerah, menerima para tokoh masyarakat pengurus organisasi masyarakat di Kraton, dan mengadakan perjalanan keliling daerah-daerah luar Yogyakarta untuk studi banding. Dengan demikian para birokrat memahami perubahan birokrasi pemerintahan yang diadakan dan rakyat mendukung dengan kesadaran mereka sendiri.

1.1. Kontrak Politik (Pepatih Dalem)

Sumpah Pepatih Dalem11 dimulai pada tahun 1744, sejak masa Pemerintahan Sunan Paku Buwono II Raja Kerajaan Mataram yang beribukota di Kartosuro. Pada masa itu Sunan Paku Buwono II meminta bantuan kepada Pemerintah Kerajaan Belanda untuk membantu menumpas gerakan

11

(32)

pemberontakan yang dikenal sebagai Geger Pacina. Pemberontakan Geger

Pacina tersebut akhimya berhasil dipadamkan dengan bantuan pemerintah

Kerajaan Belanda, dan sebagai balasannya pemerintah Kerajaan Belanda mengajukan persyaratan berupa Politiek Contract kepada Sunan Paku Buwono II.

Kontrak Politik tersebut menyatakan bahwa tiap-tiap Pepatih Dalem harus diangkat oleh Gubernur Belanda dengan sepengetahuan Sunan, Pepatih Dalem

adalah pegawai Gubernemen sekaligus pegawai Kasunanan yang mendapatkan gaji dari Gubernemen dan Kasunanan, dan harus bersumpah setia kepada kedua belah pihak, jika terjadi pertentangan antara Sunan dan Gubernemen Belanda, maka Pepatih Dalem harus memihak kepada Gubernemen Be1anda.12 Isi politiek contract tersebut masih berlaku dalam politiekcontract antara Sultan Hamengku Buwono I dengan Gubernemen Belanda.13

Kedudukan Pepatih Dalem yang berfungsi ganda dalam menjalankan tugasnya lebih banyak memihak kepada Gubernemen Belanda sehingga menimbulkan pertentangan dengan Sultan. Pertentangan antara Sultan dengan

Pepatih Dalem ini dapat berbentuk pertentangan batin hingga pertentangan fisik. Dalam sejarah pemerintahan Kasultanan Yogyakarta pernah terjadi peristiwa dibunuhnya Pepatih Dalem oleh Sultan. Juga ketika Sultan mengangkat Pepatih Dalem tanpa persetujuan Gubernemen Belanda maka Pepatih Dalem itu tidak diakui oleh Gubernemen.

12

Soedarisman Poerwoekoesoemo, Daerah Istimewa Yogyakarta, Yogyakarta, Penerbit Gadjah Mada University Press, 1984, halm 8.

(33)

Politiek Contract yang terakhir adalah politik kontrak antara Gubernur Jendral Belanda dengan Sultan HB IX pada tanggal 18 Maret 1940.14 Dalam

politiek contract dinyatakan pada Pasal 1 ayat 1, bahwa daerah Kasultanan Yogyakarta merupakan bagian daripada Kerajaan Belanda, oleh karena itu Sultan mengakui kedudukannya berada di bawah kekuasaan Ratu Belanda yang diwakili Gubernur Jenderal. Pada Pasal 1 ayat 2 juga dinyatakan bahwa kekuasaan atas daerah Kasultanan Yogyakarta dilakukan oleh Sultan yang diangkat Gubernur Jendral Belanda. Pada Pasal 24 Politiek contract menyebutkan bahwa untuk kepentingan daerah Kasultanan Yogyakarta, Sultan dapat mengeluarkan peraturan-peraturan tetapi menurut Pasal 25 dinyatakan sebelum peraturan itu dapat berlaku harus mendapatkan persetujuan dari Gubernur Belanda, dan untuk dapat mengikat penduduk, peraturan itu harus dicantumkan dalam Rijksblaad. Selain itu, menurut Pasal 13 dinyatakan bahwa dalam melakukan kekuasaan itu Sultan dibantu oleh Rijksbestuurder atau Pepatih Dalem yang diangkat dan diberhentikan oleh Gubernur Jendral Belanda setelah berunding dengan Sultan. Jadi kedudukan Pepatih Dalem sebagai pegawai Gubernemen Belanda dan juga pegawai Kasultanan yang mendapatkan gaji dari Gubernemen dan Kasultanan.15

Kedudukan Pepatih Dalem yang demikian itu membawa konsekuensi bahwa Pepatih Dalem bertanggung-jawab kepada Gubernur Jenderal dan Sultan. Dalam kenyataannya Pemerintahan Kasultanan lebih banyak dijalankan oleh

Pepatih Dalem dengan persetujuan Gubernur Jenderal, sehingga yang sebenarnya

14

Tertera dalam Staat Blads Tahun 1941 No.47.Ibid.. halm. 4

(34)

memerintah Kasultanan tidak lain adalah Gubernur Jendral melalui Pepatih Dalem.

1.2. Sistem Perundangan Desentralisasi Hindia Belanda

Pemerintahan Hindia Belanda memiliki suatu peraturan dasar ketatanegaraan yang disebut Reglement op het Beleid der Regering van

Nederlandsch Indie, sistem pemerintahan ini belum menggunakan sistem

desentralisasi. Dalam reglement tersebut dinyatakan bahwa Hindia Belanda adalah suatu gecentraliseerd geregeerd land atau pemerintahan sentralistis. Sistem pemerintahan sentralistis ini berlangsung hingga awal abad 20. Meskipun memiliki sistem pemerintahan sentralistis, pemerintah Hindia Belanda juga menjalankan sistem pemerintahan dekonsetrasi yaitu di mana tugas pemerintahan pusat diserahkan kepada pejabat-pejabat pemerintahan pusat yang lebih rendah tingkatannya secara hierarkis, untuk kemudian ditugaskan di seluruh bagian wilayah negara atau daerah administratif.16

Perkembangan selanjutnya baru terjadi setelah ada pemikiran tentang bentuk pemerintahan modern dan demokratis di dalam kelompok politik Belanda dan masyarakat Eropa. Selain itu juga didorong oleh semakin sulitnya mengatur wilayah pemerintahan yang semakin luas dengan sistem pemerintahan dari pusat saja. Persoalan tersebut mendorong Pemerintah Kerajaan Belanda menetapkan suatu Wethoudende Decentralisatie van het Bestuur in Nederlandsch Indie.17

16

The Liang Gie, Pertumbuhan Pemerintah Daerah Di Negara Republik

Indonesia,1967,Penerbit PT. Gunung Agung, Jakarta, halm 21

(35)

Decentralisatiewet 1903 ini mengatur penambahan tiga pasal baru ke dalam

Reglement yaitu pasal 68a, 68b, dan 68c. Tiga pasal baru tersebut mengatur pembentukan gewest dan bagiannya yang memiliki kebijakan keuangan sendiri dan aparatur pemerintahan daerah sendiri yang diatur oleh Raad di masing-masing daerah. Pelaksanaan sistem decentralisatiewet 1903 ini diatur lebih lanjut dengan peraturan Decentralisatiebesluit dan Locale Raadenordonnantie. Kedua peraturan ini menyebutkan bahwa daerah yang diberi keuangan sendiri disebut Locaal Ressort, dan Raadnya disebut Locale Raad. Dalam Locale Raad dibedakan lagi dalam gewestelijke Raad untuk gewest dan Plaatselijk Raad untuk raad bagian dan gewest.18

Pelaksanaan sistem desentralisasi tersebut dianggap oleh rakyat Yogyakarta kurang memuaskan karena hanya sedikit keuangan yang diserahkan kepada daerah dan wewenang yang dapat dijalankan oleh daerah juga masih terbatas. Masyarakat mengharapkan diberikannya wewenang yang lebih luas dalam pemerintahan. Pemerintah Kerajaan Belanda kemudian mempertimbangkan keinginan masyarakat itu dengan pembentukan Volksraad dan pelaksanaan politik

ontvoogding atau pemberian kekuasaan yang lebih banyak kepada pejabat-pejabat pemerintahan umum pribumi (Inlandsche bestuursambtenaren). Pada Tahun 1922 dilaksanakan pembaharuan pemerintahan dengan sistem desentralisasi dan dekonsentrasi yang lebih luas melalui Wet op de Bestuurshervorming. Wet tersebut bertujuan untuk memungkinkan pembentukan badan-badan pemerintahan baru oleh penduduk pribumi dengan diberi hak dalam menjalankan pemerintahan

18

(36)

beserta tanggung-jawabnya, sehingga akan mendapatkan pengalaman politik untuk membantu Pemerintah Kerajaan Belanda atau Bjflagen Handelingen Tweede Kamer. 19

Ketentuan dalam Bestuurshervormingswet 1922 tersebut diatur lebih lanjut dengan peraturan Provincie ordonnantie, Regentschaps ordonantie dan

Stadsgemeenteordonnantie. Berdasar ketiga ordonantie itu maka di Jawa dan Madura dibentuk provincie, regentscap, dan stadsgemeente yang mengatur daerahnya sendiri. Sedangkan untuk daerah di luar Jawa dan Madura ditetapkan melalui Groepsgemeentschaps ordonanrie dan Stadsgemeenteordonantie Buitengewesten. 20

Pemerintah Kerajaan Belanda membentuk daerah-daerah otonom sejak tahun 1903 tersebut dalam wilayah yang langsung dikuasainya (Direct bestuurd gebied atau Gouvernementgebied). Dalam Gouvernementgebied itu terdapat pula daerah-daerah otonom lainnya yaitu persekutuan masyarakat adat asli (Inlandsche gemeente) seperti desa, hutan, kuria, marga atau nagari. Persekutuan masyarakat adat tersebut diperbolehkan memiliki sistem pemerintahan tradisional sendiri untuk mengatur daerahnya. Persekutuan masyarakat adat ini diatur dalam

Inlandsche Gemeente ordonantie untuk Jawa dan Madura, sedang daerah lainnya diatur dengan Inlandsche Gemeente ordonentie Buitengewesten. 21

Selain adanya wilayah yang langsung dikuasai (Direct bestuurd gebied atau

Gouvernementgebied) oleh Pemerintah Kerajaan Belanda, terdapat juga wilayah

19

Ibid.,halm.23

20

Ibid.,halm.24

21

(37)

yang tidak langsung dikuasai (Indirect bestuur gebeid atau Landscaps gebeid). Wilayah ini merupakan daerah-daerah kerajaan asli pribumi yang pada waktu masa pendudukan Belanda telah diikat dengan kontrak politik. Dalam kontrak politik tersebut Pemerintah Belanda masih mengakui eksistensi kerajaan-kerajaan tersebut dan hak-haknya untuk menjalankan pemerintahan daerahnya sendiri dengan nama Zelfbeturende landschappen. Kontrak politik tersebut terdiri dari dua macam yaitu Lang contract dan Korte verkiaring. Lang contract mengatur satu persatu kekuasaan Belanda atas hubungannya dengan kerajaan asli, sedangkan Korte verklaring hanya berisi pernyataan kerajaan asli untuk mengakui kekuasaan Belanda dan berjanji akan mentaati peraturan yang akan ditetapkan. Kedudukan kerajaan dengan Lang contract memiliki kedudukan yang lebih tinggi dan pada kerajaan dengan korte verklaring. Kerajaan asli yang memiliki kontrak politik berupa Lang contract adalah Kasunanan Surakarta dan yang berupa Korte contract adalah Kerajaan Goa.22

A.2. Kasunanan Surakarta 1.1. Kontrak Politik

Kerajaan Surakarta Hadiningrat merupakan negeri dengan pemerintahan sendiri (Zelfbesturende Landshcappen) atas dasar politik kontrak jangka panjang

(Lang politiek Contract), sebagaimana tersebut dalam stbl. No.614 jo. No. 671. Tetangga Kerajaan Surakarta Hadiningrat, yaitu Kadipaten Mangkunegaran

22

(38)

merupakan daerah yang juga berpemerintahan sendiri/asli berdasarkan politik kontrak sebagaimana tersebut dalam stbl.1940 No. 543. 23

Makna dari berpemerintahan asli ini adalah bahwa untuk negeri dan daerah tersebut berlaku peraturan, tatacara, dan adat istiadat asli yang sejak dulu telah berlaku dan berkembang, tanpa harus mengadopsi peraturan dan tata cara yang dibuat dan diberlakukan di daerah-daerah lain oleh Belanda. Jadi di Surakarta Hadiningrat dan daerah Mangkunegaran dapat dikatakan sebagai negeri dan daerah ”istimewa” mengingat keistimewaannya akan peraturan, tatacara, dan adat istiadat asli yang berlaku dan berbeda dengan adat wilayah lain.

Ketika Pemerintahan Hindia Belanda mengadakan Bestuurs-hervorming, daerah kerajaan tersebut dijadikan pemerintahan atau Governement yang semata-mata berdasarkan atas pertimbangan penghargaan (uit picteits-overwegingen).

Namun pada hakekatnya daerah Surakarta Hadiningrat dan daerah Mangkunegaran tetap merupakan negeri dan daerah istimewa seperti sebelum dijadikan governement.24

Kontrak Politik yang disebutkan di atas juga mengatur hubungan antara Pemerintahan Hindia Belanda, Belanda dengan:

1. Seri Paduka Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan. 2. Pakubuwono (Sri Paduka Susuhunan).

3. Seri Paduka Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Aryo Mangkunegoro (Sri Paduka Mangkunegoro) selaku penguasa kerajaan Surakarta

23

Sri Juari Santoso,Suara Nurani Keraton Surakarta,Peran Keraton Surakarta dalam mendukung dan mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia,Cetakan ke V 2006,Penerbit Komunitas Studi Didaktika,Yogyakarta,halm.29

(39)

Hadiningrat, dan daerah Mangkunegaran, termasuk mengatur luas daerah kekuasaan daerah kedua Seri Paduka tersebut. 25

Namun demikian, ada juga kekuasaan dan urusan yang tidak diberikan kepada kedua negeri dan daerah istimewa dan tetap dipegang oleh Pemerintah Hindia Belanda melalui jawatan-jawatan yang mereka dirikan. Dengan demikian, di wilayah Surakarta terdapat negeri dan daerah istimewa dan wakil Pemerintahan Hindia Belanda yang masing-masing mempunyai lapangan kekuasaan sendiri-sendiri. Di samping itu, wakil pemerintah Hindia Belanda juga bertugas mengawasi kedua pemerintahan negeri dan daerah istimewa yang ada di wilayah Surakarta dengan maksud agar peraturan yang dijalankan sesuai dengan yang digariskan dalam politik kontrak dapat berjalan dengan serasi.

Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut maka wilayah Surakarta secara politik merupakan daerah yang bersifat istimewa meskipun dalam kenyataannya pemerintahan di wilayah Surakarta merasa berat membiayai anggaran belanjanya. Kewajiban-kewajiban berat yang dibebankan pada Negeri Surakarta Hadiningrat itu, misalnya biaya perbelanjaan yang sangat besar untuk instansi-instansi daerah, belum lagi ditambah biaya belanja bagi keperluan istana ( hofbounding).

1.2. Sistem Perundangan Desentralisasi Hindia Belanda

Perubahan tata pemerintahan daerah sejak 1922 juga mempunyai latar belakang yang sama. Walaupun dinyatakan bahwa perubahan itu dimaksudkan untuk memberikan politieke schooling atau pembelajaran tentang sejarah politik

25

(40)

kepada bangsa Indonesia. Dengan bestuurshervorming itu diberikan lebih banyak kekuasaan kepada pejabat-pejabat pusat Belanda yang disebut: Administrative dan financiele descentralisatie.26

Pemerintah Daerah Hindia Belanda disamping melaksanakan tugas dekonsentrasi, juga memberikan tugas desentralisasi sesuai dengan Undang-undang Desentralisasi tahun 1903. 27 Peraturan pelaksanaan dari Undang-undang desentralisasi tahun 1903 ialah peraturan pemerintah ialah peraturan pemerintah tentang Desentralisasi tahun 1905 dan Ordonansi (Ordonantie) tahun 1905 tentang Dewan Daerah 1905.28 Kemudian tahun 1922 Pemerintah Negeri Hindia Belanda mengeluarkan Undang-undang tentang reorganisasi pemerintahan yang disebut Undang-undang tentang perubahan susunan pemerintahan, di mana Undang-undang ini memeperjelas hak otonomi dan tugas pembantuan (madebewind).29

Beberapa pokok tentang Undang-undang reorganisasi pemerintahan tahun 1922, yang memberi kewenangan kepada:

1. Gubernur beserta pejabat-pejabat orang Belanda (Europese bestuurs-ambtenaren ) sebagai alat Pusat Pemerintahan Hindia Belanda, juga diberi wewenang menjalankan tugas desentralisai, atau yang telah disebut diatas

“administratief en Financiele decentraliesatie”.

26

The Ling Gie,op cit.,halm.29

27

Soewarno Handayaningrat, Administrasi Pemerintahan dalam Pembangunan Nasional, 1982,cetakan pertama,penerbit: PT.Gunung Agung , anggota IKAPI, Jakarta, tertera dalam Decentralisatiewet 1903, S.1903-320,halm.212

28 Ibid 29

(41)

2. Pejabat-pejabat seperti Bupati Walikotamadya beserta para penjabat pribumi/pangreh praja diberi kelonggaran kewenangan, disamping melaksanakan tugas dekonsentralisi, juga menjalankan tugas desentralisasi.

3. Mengikut-sertakan semua unsur dalam pemerintahan daerah secara intensif di bidang desentralisasi.30

Seperti pada semua daerah pada pemerintahan Hindia Belanda, daerah pemerintahan di daerah jawa juga diberlakukan sama, namun ada beberapa pertimbangan antara daerah kerajaan dan bukan kerajaan, seperti pada Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta.

Kedua wilayah ini merupakan daerah-daerah kerajaan asli pribumi yang pada waktu masa pendudukan Belanda telah diikat dengan kontrak-kontrak politik. Dalam kontrak-kontrak politik tersebut Pemerintah Belanda masih mengakui eksistensi kerajaan-kerajaan tersebut dan hak-haknya untuk menjalankan pemerintahan daerahnya sendiri dengan nama Zelfbeturende landschappen. Kontrak politik tersebut terdiri dari dua macam yaitu Lang contract dan Korte verkiaring. Lang contract mengatur satu persatu kekuasaan Belanda atas hubungannya dengan kerajaan asli, sedangkan Korte verklaring

hanya berisi pernyataan kerajaan asli untuk mengakui kekuasaan Belanda dan berjanji akan mentaati peraturan yang akan ditetapkan. 31

30

Ibid.,halm.213

31

(42)

Kedudukan kerajaan dengan Lang contract memiliki kedudukan yang lebih tinggi pada kerajaan dengan korte verklaring. Kerajaan asli yang memiliki

kontrak politik berupa Lang contract adalah Kasunanan Surakarta.32

Secara keseluruhan daerah pemerintahan dalam Sistem perundangan desentralisasi Hindia Belanda di Kasunanan Surakarta yakni tugas wewenang Swapraja. Swapraja adalah daerah pemerintahan asli yang berkedudukan hukumnya pertama-tama berdasarkan atas hukum asli pula, tetapi kemudian sebagian statusnya tercantum dalam suatu Politiek Contract dengan pemerintahan pusat.33

B. Masa Pendudukan Jepang Tahun 1942-1945 1. Kasultanan Yogyakarta

Pada tahun 1941 Jepang menyerang dan membom pangkalan Angkatan Laut Amerika Serikat di Pearl Harbour dan kemudian menuju ke Selatan untuk menyerang wilayah Hindia Belanda. Pada tanggal 10 Januari 1942 tentara Jepang telah sampai di Tarakan Kalimantan Timur, dan Penguasa Belanda di pulau itu menyerahkan diri pada tanggal 13 Januari. Selanjutnya satu persatu wilayah kepulauan Kalimantan berhasil dikuasai Jepang secara berturut-turut, Balikpapan pada tanggal 20 Januari, Pontianak pada tanggal 2 Februari, menyusul berikutnya Martapura dan Banjarmasin pada tanggal 10 Februari.

Pada tanggal 14 Februari 1942 pasukan terjun-payung Jepang mendarat di Palembang dan berhasil menguasai wilayah itu dalam dua hari. Dikuasainya

32

Ibid.halm.26

33

(43)

Palembang membuka peluang bagi pasukan Jepang untuk menguasai wilayah Jawa. Jepang telah menyiapkan pasukan khusus untuk menguasai Pulau Jawa, yaitu dengan mengerahkan pasukan di bawah Komando Tentara Keenambelas yang dipimpin oleh Letnan Jendral Hitosy Imamura. Pada tanggal 1 Maret 1942, pasukan Jepang berhasil mendarat di tiga tempat sekaligus, yaitu di Teluk Banten, di Eretan Wetan (Jawa Barat) dan di Kragan (Jawa Tengah). Pasukan Jepang yang berhasil mendarat di Rembang kemudian bergerak ke Jawa Tengah dan segera merebut Semarang, Magelang, Solo, dan Yogyakarta pada tanggal 6 Maret dan terus mengejar tenaga induk Divisi II KNIL yang terdesak ke Priangan. Hanya dengan waktu yang relatif singkat pasukan Jepang berhasil mengalahkan kekuasan Belanda dan menguasai seluruh wilayah Hindia Belanda. Kekuasaan Pemerintahan Hindia Belanda selanjutnya berpindah ke tangan Balatentara Jepang.

Beberapa hari kemudian setelah Jepang menduduki Yogyakarta, Jepang membuat propaganda yaitu dengan mengumandangkan lagu kebangsaan Indonesia Raya sekitar jam tujuh sore, sekitar jam tujuh sore yang kemudian disusul dengan salam merdeka sebagai pembuka kata. Jepang juga menyebarkan propaganda bahwa Jepang adalah “saudara tua” orang-orang Asia dan ingin membebaskan saudara-saudara Indonesia dan kekuasaan penjajahan Belanda.

Pada saat Jepang pertama kali menduduki wilayah bekas Hindia Belanda, pemerintahannya menetapkan Undang-undang No.1 dan Pembesar Balatentara

Dai Nippon (Kan Po Nomor Istimewa tahun 1943), tentang pelaksanaan

(44)

Jepang untuk sementara menjalankan pemerintah militer di daerah-daerah yang didudukinya. Untuk sementara waktu semua badan pemerintahan, hukum, dan undang-undang dari Pemerintah Hindia Belanda tetap diakui sah asalkan tidak bertentangan dengan aturan pemerintahan militer Jepang.34

Beberapa bulan setelah menguasai Indonesia, Jepang mengadakan perubahan tata pemerintahan. Seluruh Jawa dan Madura, kecuali Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta dibagi atas Syi (kotapraja), Ken

(kabupaten), Gun (desa).Surakarta dan Yogyakarta disebut daerah Koci

(kasultanan), untuk kedua daerah/wilayah ini diberikan peraturan khusus yang menetapkan adfa-nya pemerintahan Yogyakarta.35

Jepang juga membagi wilayah bekas Hindia Belanda dalam tiga daerah kekuasaan yaitu: Pemerintah Militer Angkatan Darat Keenambelas berkedudukan di Jakarta untuk wilayah Jawa dan Madura, Pemerintahan Militer Angkatan Darat Kedua puluh lima di Bukit Tinggi untuk wilayah Sumatera, dan Pemerintah Militer Angkatan Laut di Makasar untuk wilayah Sulawesi, Kalimantan, Nusa Tenggara, Maluku, dan Irian Barat.36

Pemerintahan Militer itu terdiri atas Gunsireikan (Panglima Besar Balatentara Jepang atau Saiko Sikikan), di bawahnya terdapat Gunseikan

(Pembesar Pemerintah Balatentara Jepang), dan Soomubutyoo (kepala-kepala berbagai departemen). Gunsireikan berwenang menetapkan peraturan Osamu Seirei, sedangkan Gunseikan menetapkan peraturan Osamu Kanrei. Segala

34

The Liang Gie,op.cit.,halm.26

35

Untuk daerah Yogyakarta dan Surakarta dikeluarkan peraturan khusus yang menetapkan adanya pemerintahan Yogyakarta Koci dan Surakarta Koci , yang masing-masing dipimpin oleh Yogyakarta Ko dan Surakarta Ko

(45)

macam peraturan akan diumumkan dalam Kan Po (Berita Pemerintah) oleh

Gunseikanbu (kantor penerbitan resmi pemerintah).37

Tata pemerintahan daerah di Jawa-Madura pada masa pendudukan Jepang dapat diketahui berdasarkan berita pemerintahan yang diterbitkan dalam Kan Po

oleh Gunseikanbu di Jakarta. Pada Agustus 1942 Gunsireikan menetapkan Undang-undang 1942/27 tentang perubahan tata pemerintahan daerah yang menegaskan bahwa Jawa dibagi dalam daerah Syuu (dulu residentie pada masa Hindia Belanda), Syuu dibagi dalam Ken (dulu regentscap), dan Si (dulu stadsgemeente). Terdapat juga Tokubetu Si semacam kota penting dalam sektor politik, ekonomi, sosial, dan budaya, yang ditunjuk secara khusus oleh Gunseikan, yaitu Jakarta38

Untuk wilayah Syuu dan Tokubetu Si ditetapkan Undang-undang 1942/28 tentang aturan pemerintahan Syuu dan aturan pemerintahan Tokubetu Si. Wilayah

Ken dan Si ditetapkan dengan perundangan Osamu Seirei 1943/12 tentang Ken

dan Si, dan Osamu Seirei 1943/13 tentang peraturan daerah Ken dan Si.39

Syuu merupakan daerah tingkat teratas yang memiliki pemerintahan sendiri dibawah pemerintahan Jepang. Syuu membawahkan Ken dan Si dalam kesatuan wilayahnya. Tokubetu Si memiliki kedudukan yang hampir sama dengan Syuu

karena langsung di bawah Gunseikan.40

(46)

Regentschapsordonantie dan stadsgemeente ordonantie bila tidak diubah oleh pemerintah balatentara Jepang maka akan tetap berlaku bagi Tokubeku Si, Ken

dan Si.

Jepang juga menerapkan sistem pemerintahan tunggal. Segala wewenang yang dulu dijalankan raad dan college selanjutnya dijalankan oleh Kentyoo dan

Sityoo. Sistem pemerintahan tunggal tanpa dewan-dewan perwakilan dilaksanakan hingga September 1943, baru kemudian ditetapkan peraturan untuk mengatur pembentukan dewan-dewan badan penasehat pejabat di pusat dan daerah, khusus di Syuu dan Tokubetu Si.

Si memegang segala urusan pemerintahan wilayahnya dan urusan pemerintahan umum (pangreh praja) dalam stadsgemeente diurus oleh regent dan pejabat-pejabat dibawahnya diurus oleh Sityoo. Pengawasan terhadap daerah-daerah otonom yang dahulu awasi oleh Gouverneur Generaal dan aparatur pemerintahan province selanjutnya dilakukan oleh Gunseikan.41

Wilayah yang termasuk dalam persekutuan adat dan Zelfsbesturende landschappen di Jawa tetap dipertahankan seperti keadaan pada masa Hindia Belanda. Hanya nama-namanya diubah yaitu desa disebut Ku dan Landshcap

disebut Kooti. Para Raja Lanshappen dianggap sebagai anggota kerajaan dan Kerajaan Jepang dengan terlebih dahulu diangkat sumpah dalam pelantikan baru. Tata pemerintahan Jepang tersebut berlaku sejak 1942 hingga Agustus 1945.42

Mulai saat itu Jepang mengatur susunan pemerintahannya di Yogyakarta. Pemerintahan sipil yang telah ada sejak jaman pemerintahan Belanda diteruskan

41 Ibid 42

(47)

oleh Jepang, hanya pegawai-pegawai dan nama instansi perkantorannya saja yang diganti. Jabatan Gubernemen pada masa pemerintahan Belanda diganti menjadi

Syuulyookan dan bertempat di Gedung Agung.

Pada masa awal pendudukan Jepang di Indonesia, Jepang tidak banyak melakukan perubahan pemerintahan di Yogyakarta, karena Jepang masih menerapkan sistem pemerintahan desentralisasi Hindia Belanda. Kebijakan politik Jepang masih menggunakan penguasa lokal untuk mempermudah penguasaan wilayah dan menjaga stabilitas daerah kekuasaannya sehingga pemerintahan Kasultanan Yogyakarta masih diserahkan kepada Sri Sultan HB IX. Wilayah Kasultanan Yogyakarta hanya diubah istilah-istilah tingkatannya, Yogyakarta disebut sebagai daerah Kooti (kasultanan) dan dipimpin oleh Sri Sultan HB 1X sebagai Yogyakarta Ko. Pemerintahan dijalankan melalui kantor urusan kesultanan yang dipimpin oleh Kooti Zimu Kyooku (gubernur). Yogya Ko dibantu oleh Somu Tyookan (patih), yang diangkat oleh Yogya Ko sendiri dan harus terus berkerjasama dengan Kooti Zimu Kyooku.43

Pada tahun 1943 Pemerintah Jepang menyerahkan sebagian besar urusan pemerintahan kepada Ko, dan dengan begitu perubahan susunan pemerintahannya dapat dilakukan sendiri oleh Sultan HB IX. Perubahan yang pertama kali dilakukan adalah membuat bagian-bagian urusan pemerintahan seperti Bagian Kepaniteraan, Urusan umum, Pengajaran, Rancangan dan Propaganda, Ekonomi, dan Yayasan umum. Bagian-bagian itu selanjutnya disebut sebagai paniradya-paniradya dan dipimpin oleh paniradya-paniradyapati. Pimpinan paniradya-paniradyapati memiliki

43

(48)

kedudukan dibawah Patih, meskipun pada kenyataannya paniradya lebih banyak diurusi oleh Sultan sendiri karena Sultan ingin mengurangi kekuasaan Pepatih Dalem.44

Pada masa pendudukan Jepang di Yogyakarta, telah dilakukan beberapa perubahan daerahnya dengan menggabungkan daerah-daerah kecil menjadi satu.

Kemantren Panembahan dan Kemantren Kadipaten dijadikan menjadi satu

Kemantren Kraton. Kelurahan Tegalrejo dan Kelurahan Karangwaru menjadi

satu Kemantren Tegalrejo. Kelurahan Kuncen dan sebagian daerah Kemantren

Mantrijeron menjadi Kemantren Wirobrajan. Perubahan tersebut menjadikan wilayah kota terdiri atas dua belas kemantren dengan dua orang bupati. Bupati kota Kasultanan yaitu KRT. Harjodiningrat dan daerah kota Paku Alaman dipimpin langsung oleh Bupati Patih Paku Alaman KPA. Suryoatmojo.

Kabupaten-kabupaten diseluruh Daerah Istimewa Yogyakarta

direorganisasi menjadi bagian dari Kabupaten Yogyakarta, meliputi kawedanan-kawedanan Kota Sleman dan Kalasan sehingga dijadikan kabupaten yang berdiri sendiri dengan dikepalai seorang bupati kota disebut Si-Co. Kabupaten Kota dinamakan Yogyakarta Si (kota otonom), meskipun pada kenyataannya kabupaten ini tidak memiliki kekuasaan otonomi sama sekali karena masih menjadi bagian Kasultanan. Bagian Kota Yogyakarta yang menjadi daerah Pakualaman dipimpin sendiri oleh pemerintah Pakualaman dengan dipimpin oleh bupati, sehingga pada saat itu kota Yogyakarta memiliki dua orang Bupati Kota yaitu Bupati Kota Kasultanan dan Bupati Kota Pakualaman.

44

(49)

Pembagian wilayah ditingkat bawah juga dilakukan dengan membentuk Ku

(desa), Aza (rukun kampung) dikepalai Azatyoo, dan Tonarigumi (rukun tetangga) dikepalai Tonari Gumi. Pada bulan April 1945, Pemerintah pendudukan Jepang mengadakan perubahan susunan pemerintahan. Daerah kawedanan (Gun) dihapuskan, sedangkan Kabupaten (Ken) dijadikan Syi. Tiap Kabupaten atau Syi

memiliki bagian umum yang dipimpin oleh Anom( Fuku Kenco) dan bagian kepaniteraan dipimpin oleh Panewu.45

Kedudukan Kasultanan Yogyakarta berdasarkan perintah Balatentara Jepang yang dikeluarkan oleh Dai Nippon Gun Sireikan Hitosi Imamura pada tanggal I Agustus 1942, diatur sebagai berikut ini46

1. Dai Nippon Gun Sireikan (Panglima Besar Balatentara Dai Nippon)

mengangkat Hamengku Buwono IX menjadi Koo (Sultan) Yogyakarta. 2. Koo turut dibawah Dai Nippon Gun Sereikan serta harus mengurus

pemerintahan Kooti (Kasultanan) menurut perintah Dai Nippon Gun Sereikan.

3. Daerah Kooti adalah daerah Kasultanan Yogyakarta dahulu.

4. Segala hak-hak istimewa yang dahulu dipegang oleh Ko pada dasarnya masih tetap.

5. Koo berkewajiban pada Dai Nippon Gun Sereikan untuk mengurus segala pemerintahan Kooti, agar memajukan kemakmuran penduduk Kooti.

45

Ibid.,halm.175

46

(50)

6. Badan-badan pemerintahan Kooti dahulu untuk sementara waktu harus meneruskan pekerjaannya seperti sediakala, kecuali kalau menerima perintah istimewa.

7. Untuk mengawasi dan memimpin pemerintahan Kooti, diadakan Kooti Zimu Kyoku (Kantor Urusan Kasultanan) di Kooti oleh Dai Nippon Gun

Sereikan. Kooti Zimu Kyoku Tyookan (Pembesar Kantor Urusan

Kasultanan) diangkat oleh Dai Nippon Gun Sereikan.

8. Aturan-aturan untuk mengurus pemerintahan Kooti ditunjuk oleh

Gunseikan (Pembesar Pemerintahan Urusan Kasultanan diangkat oleh

Dai Nippon Gun Sireikan).

Gunseikan (Pembesar Pemerintahan Balatentara Dai Nippon) Leizabure

Okazaki, juga mengeluarkan petunjuk kepada Koo (Sultan) pada tanggal 1

Agustus 1942 sebagai berikut ini:47

1. Kedudukan Koo diangkat dan diherhentikan oleh Dai Nippon Gun Sireikan (Panglima Besar Balatentara Dai Nippon).

2. Hubungan antara Balatentara Dai Nippon dan Koo serta Kooti

(Kasultanan) ditetapkan dengan Perintah Gun Sireikan atau dengan petunjuk Gunseikan.

3. Somu Tyookan (Pembesar Urusan Umum) diadakan untuk membantu

jabatan Kóo, dan Somulyookan diangkat oleh Gun Sireikan dan pegawai penduduk ash Kooti yang diurus oleh Koo. Somu Tyookan harus selalu berhubungan dengan Kooti Zimu Kyoo/cu Tyookan (Pembesar Kantor

47

(51)

Urusan Kasultanan) tentang rencana dan urusan segala hal pemerintahan, sedangkan tentang perkara penting sebeluin ditetapkan harus lebih dahulu mendapatkan persetujuan dari Kooti Zimu kyooku Tyookan. 4. Balatentara Kasultanan yang dahulu ada harus dibubarkan.

5. Koo diperbolehkan menggangkat pegawai selaku prajurit untuk menjaga

Koo dan Kraton.

6. Kekuasaan kepolisian di Kooti dijalankan oleh Kooti Zimu Kyooku Tyookan.

7. Undang-undang yang diumumkan oleh Balatentara Dai Nippon semuanya berlaku juga pada Kooti, kecuali kalau ada perintah istimewa.

8. Koo diperbolehkan mengeluarkan peraturan-peraturan Kooti yang perlu untuk mengurus pemerintahan Kooti, asalkan saja tidak bertentangan dengan undang-undang yang diumumkan oleh Balatentara Dai Nippon. Sebelum Koo mengeluarkan peraturan-peraturan Kooti harus terlebih dahulu mendapatkan ijin dari Kooti Zimu Kyooku Tyookan agar dapat diumumkan.

Osamuseirei No. 28 Tahun 1942 menetapkan pula bahwa Yogyakarta dan

Surakarta diubah menjadi Kooti, Syuu dan Kooti merupakan daerah yang berdiri sendiri khusus mengurus bidang ekonomi atau pangan saja, sedangkan Si dan Ken

(52)

2. Kasunanan Surakarta

Masa pendudukan Jepang di Indonesia tidak banyak merubah keadaan Kasunanan Surakarta, karena hal-hal mengenai sistem pemerintahan daerah serta kedudukan kraton juga lebih banyak meneruskan aturan dari pemerintahan Hindia Belanda, karena itu daerah Surakarta pada jaman Jepang tidak banyak berubah, hingga masa kemerdekaan nanti ada beberapa hak kekuasaan Jepang yang diserahkan kepada Pemerintah, seperti perusaan-perusahaan, pabrik-pabrik serta kekuasaan yang dikuasai Jepang pada saat itu sebagai konsekwensi dari kemerdekaan Rakyat Indoneisa pada tanggal 17 Agustus 1945.

Sebagai akibat perang dunia II (1940-1945), maka balatentara Jepang merebut dan menguasai seluruh Asia bagian Timur termasuk Indonesia. Setelah tentara Jepang mulai berkuasa di Indonesia, pada tanggal 8 maret 1942 dengan ditetapkankannya Undang-undang No. 1 tentang menjalankan Pemerintahan balatentara, dalam Undang-undang tersebut ditentukan bahwa balatentara Jepang sementara melangsungkan pemerintahannya didaerah-daerah yang didudukinya.48

Daerah pemerintahan pada masa pendudukan Jepang di Indonesia dibagi tiga daerah kekuasaan yakni:

1. Sumatera, di bawah kekuasaan Komandan Pasukan Angkatan Darat Jepang yang ke-25, yang berkedudukan di Bukittinggi.

2. Jawa, di bawah kekuasaan Komandan Pasukan Angkatan Darat Jepang yang-16, berkedudukan di Jakarta.

48

(53)

3. Wilayah kepulauan lainnya di bawah kekuasaan Komandan Pasukan Angkatan Laut Jepang, berkedudukan di Makasar ( Ujung Pandang ).

Adanya pembentukan organisasi pemerintahan sipil oleh Pemerintahan Pendudukan tentara Jepang dalam ketiga wilayah tersebut, karena pada dasarnya mengikuti struktur organisasi Pemerintahan Hindia Belanda, hanya di Jawa terdapat perubahan-perubahan, yaitu: jabatan Gubernur dihilangkan, sehingga menghilangkan wilayah Propinsi. Demikian pula jabatan Asisten Residen pada wilayah Kabupaten juga dihilangkan, tetapi masih mempertahankan kedudukan Residen sebagai Kepala Wilayah Karesidenan.

Kedudukan pemerintahan Tertinggi dijalankan oleh perwira tinggi tentara Jepang (Saikoo Sikikan) sejak tanggal 1 September 1943 yang sebelumnya disebut

Gunsirekan,namun penjabat yang menjalankan masih disebut Gunseikan.

Pada tanggal 1 Oktober 1945 jam 12 siang 4 orang Komite Nasional Daerah Surakarta di bawah pimpinan Toean Soemodiningrat telah bertemu dengan Tyookan yang ditemani oleh para Butyoo dan lain pembesar Nippon maksud pertemuan untuk membicarakan soal kekuasaan pemerintahan di Surakarta. 49. Setelah selesai berunding, mereka bersepakat menyerahkan kekuasaan pada bangsa Indonesia dan semua perusahaan-perusahaan di Surakarta. Dalam kesempatan tersebut ketua Komite Nasional Toean Soemodiningrat memberi penjelasan tentang isi dari perundingan tersebut yakni :

49

(54)

“Kita berunding dengan empat wakil dari Komite Nasional Indonesia Daerah dalam suasana persatuan bersepakat untuk menyerahkan kekuasaan pada bagsa Indonesia dan semua perusaahan-perusahaan di Surakarta”

Atas pidato tersebut ketua Komite Nasional Toan Soemodiningrat menjawab dan memberi penjelasan tentang :

1). Kita telah mendapat persetujuan yang bulat, setelah berunding selama 2 jam lamanya dan Tyookan Kakka telah menyerahkan semua kekuasaan kepada bangsa Indonesia demikian pula semua kekuasaan kepada bangsa Indoneisia juga perusahaan di daearah Surakarta penyerahan itu dilakukan; ini hari senin 1 Oktober 1945 kepada Komite Nasional dibawah pemimpin Republik Indonesia. 2). Kita sebagai bagsa yang suci, kuat dan sopan selalu berjuang demi keamanan bangsa.

3). Kita sebagai bagsa yang merdeka akan menjaga keselamatan bagsa-bangsa laian yang berada di negeri kita.50

Keterangan di atas memberitakan salah satu perundingan yang dilakukan Komite Nasional Daerah dengan para pembesar Nippon membicarakan tentang kekuasaan Jepang di Surakarta, dimana perundingan-perundingan tersebut diperintahkan langsung dari Komisaris Tinggi Pemerintahan Daerah Surakarta.

Pada masa pemerintahan Belanda dan pemerintahan Dai Nippon (Jepang) pada putaran tahun 1939-1945, Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta diakui statusnya sebagai daerah istimewa, sebagai bagian dari Kerajaan Hindia Belanda. Hal ini terlihat dari berbagai aturan perundang-undangan yang mengatur kedua daerah tersebut, yang menyatakan bahwa Kerajaan Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta sebagai daerah swapraja yang otonom dan memiliki pemerintahan daerah sendiri di bawah kerajaan-kerajaan itu.

50

(55)

BAB III

STATUS KEISTIMEWAAN

KASULTANAN YOGYAKARTA DAN KASUNANAN

SURAKARTA PADA MASA PEMERINTAHAN INDONESIA

TAHUN 1945-1950

A. Pemerintahan Masa Awal Kemerdekaan Republik Indonesia 1. Kasultanan Yogyakarta

Setelah pernyataan kemerdekaan di proklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945 menjadi NKRI, ketika itu luas kekuasaan daerah Kasultanan Yogyakarta meliputi daerah bekas jajahan Hindia Belanda, wilayah Yogyakarta terdapat dua kerajaan, yaitu:

1. Kasultanan Ngayogyakarta dengan Rajanya yang bergelar Sultan Hamengku Buwono IX.

2. Kadipaten Pakualaman yang dipimpin seorang Adipati dengan bergelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Ario (KGPAA) Pakualam VIII.

(56)

bangunan yang rumit karena pengaturan pemerintah di mana ada negara di dalam negara.

Proklamasi Kemerdekaan RI yang dikumandangkan tanggal 17 Agustus 1945, merupakan sebuah dorongan baru terhadap masa depan Negara Indonesia lepas dari semua penjajahan dengan babak baru bagi sebuah proses serta dinamika sosial politik yang berlangsung di wilayah Nusantara pada umumnya. Bangsa Indonesia menyatakan dirinya lepas dari kekuasaan kolonial dengan menyatakan keberadaannya sebagai sebuah negara yang bebas dari segala jajahan menjadi sebuah negara yang dinamakan Negara Republik Indonesia.

NKRI menjadi sebuah kloning kekuasaan baru yang membuka ruang bagi penataan antara daerah dan negara, yakni seperti Kerajaan Yogyakarta dengan Negara Republik Indonesia, di mana dalam masalah ini penelusuran proses integrasi Yogyakarta ke dalam Republik Indonesia menjadi penting untuk dipelajari kembali sebagai upaya menggali pemahaman arti keistimewaan yang melekat pada daerah Yogyakarta adalah memiliki kerajaan dan rajanya.

(57)

Dalam Undang–undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945 pasal 18 disebutkan : ”daerah–daerah yang bersifat istimewa” atau dalam pasal 18B dari Undang- Undang dasar 1945 yang telah berubah disebutkan bahwa: satuan– satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa…”. Daerah yang disebutkan tersebut meliputi: ”Landschappen dan

Adatgemeenschappen”. Sedang dalam penjelasan Undang–undang Dasar 1945

disebutkan pula bahwa: Dalam teritorial Negara Indonesia terdapat kurang lebih 250 ”Zelfbesturende Landschappen dan Volksgemeenschappen”.51

Dalam pokok kedudukan swapraja ada 2 pasal dalam Undang-undang tahun 1950 pasal 132 disebutkan:

1). Kedudukan daerah-daerah swapraja diatur dengan undang-undang dengan ketentuan, bahwa dalam bentuk susunan pemerintahannya harus diingat pula ketentuan dalam pasal 131, dasar-dasar permusyawaratan dan perwakilan dalam sistem pemerintahan Negara.

2). Daerah-daerah swapraja yang ada tidak dapat dhapuskan atau diperkecil bertentangan dengan kehendaknya, kecuali untuk kepentingan umum dan sesudah undang-undang yang menyatakan hal kepentingan umum menuntut penghapusan atau pengecilan kepentingan umum menuntut penghapusan atau pengecilan itu, memberi kuasa untuk itu kepeda pemerintah.52

Negara Indonesia menghormati kedudukan daerah istimewa seperti segala peraturan perundang-undangan mengenai daerah tersebut mengingat hak-hak asal usul daerah istimewa tersebut. Dan setelah berdasarkan Undang-Undang tahun 1945 tersebut kedudukan daerah swapraja tetap dijamin dan tidak mungkin dihapuskan. Jadi pada umumnya Zelfbestuureende landschappen di Jawa pada umumnya tetap dipertahankan seperti keadaan pada jaman Hindia Belanda.

51

Tercantum dalam Vide Lagemann : Staatsect van Ned, Indie pag. 114 jo. 118 52

Referensi

Dokumen terkait

Setelah mendeteksi garis putih, sensor api UVTron akan mendeteksi cahaya api pada ruang tersebut, jika tidak ada api pada ruang tersebut robot akan keluar dari ruangan,

Queenie Pearl V. Tomaro & Dyah Mutiarin. Citizen Engagement to the Anti-Drug Campaign: the Case of Philippines / 07/ Vol. Framework of a community-based Drug War. Figure 4

Hal ini dikarenakan keindahan dari batu akik itu sendiri dan masyarakat bisa dengan mudah mendapatkan batu akik yang mereka inginkan dari pedagang yang menjual batu akik

berfungsi untuk menghitung debit banjir rancangan, yang berupa debit puncak.. banjir (Qp),

Jembatan Box Culvert Tambang tllang RT.02 dengan (nilai penarcaran/penaTtrtrafl terkoreksi) sebesar Rp 260.230.000 (Dua Ratus Enam Puluh ]uta Dua Rafus Tiga Puluh

Empat ratus tujuh puluh satu juta empat ratus sepuluh ribu rupiah,- termasuk PPN 10 %!. PEMENANG CADANGAN

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus atas berkat dan penyertaan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Praktik Penerapan

Ini berarti bahwa perputaran kas, perputaran piutang, dan perputaran persediaan secara bersama-sama mempunyai pengaruh signifikan terhadap return on asset pada