• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. KAJIAN PUSTAKA

DESKRIPSI DAN INTERPRETASI DATA

6. Komposisi Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan

4.2. Profil Informan

4.2.1. Informan Kunci (Key Information)

Dalam penelitian ini terdapat seorang informan kunci untuk mengetahui banyak hal yang ingin diungkapkan dalam penelitian ini. Informan ini mempunyai pengetahuan dan keterlibatan langsung dalam menjalankan usaha waralaba Tela-Tela Fried Cassava serta mengetahui strategi-strategi untuk merekrut dan mempertahankan pelanggan sehingga usahanya tetap berjalan sampai saat ini.

A.Penerima Waralaba (Franchisee, Master Franchisee) 1. Sulistyaningtyas

Sulistyaningtyas (41 tahun) yang beralamat di jalan Karya Gg Sosro Medan adalah Master Franchisee II Tela-Tela Fried Cassava di Medan, sedangkan Master Franchisee I Tela-Tela Fried Cassava di Medan adalah bapak Ponijan. Ibu Sulistyaningtyas atau akrab dipanggil ibu Sulis mempunyai suami yang bekerja sebagai distributor tunggal buku-buku terbitan Jogjakarta, Bandung dan Jakarta, dan dua orang anak yang masih mengeyam pendidikan dasar. Ibu Sulis berasal dari Blitar dan sudah menetap delapan tahun di Medan. Selama proses wawancara berlangsung ibu Sulis menjawab pertanyaan demi pertanyaan dengan santai dan jelas, tutur katanya sangat kental dengan Jawa. Sebelum menekuni bidang ini, ibu Sulis bekerja sebagai perias pengantin dan pada Juli 2007 mulailah beralih ke Tela-Tela Fried Cassava sekaligus menyewakan pakaian pengantin Jawa.

Bermula dari jalan-jalan ke Jogjakarta, ibu Sulis melihat outlet Tela-Tela Fried Cassava. Tela-Tela-Tela-Tela salah satu makanan kesukaannya dan tertarik melihat warna outletnya akhirnya membeli. Melihat proses pembuatannya yang mudah karena ibu Sulis ini tidak bisa memasak membuat ibu ini ingin menggeluti usaha ini. Sebagaimana diutarakan oleh ibu Sulis berikut ini :

“Waktu di Jogya ibu kuliner terus ibu liat koq ada yang ngejreng. Ibu kesitu e..eh ternyata uwong jualan singkong kesukaan ibu, ya uwes ibu coba enak tenan. Setelah dari situ, ibu cari informasi mengenai singkong gaul inih. Dan kawan ibu tau, ya udah ibu hubungi

mas eko akhirnya jadilah ibu Master Franchisee yang agen kota Medan”

( Hasil wawancara, bulan September 2008)

Dengan modal 8 juta, si Franchisor memberikan alat memasak, gerobak, bumbu, pembungkus serta bahan-bahan promosi. Tahun 2007 dan pelatihan di Jogjakarta selama dua hari yaitu pelatihan pemilihan ubi, produksi, sistem keuangan, sampai menajerial maka, mulailah ibu Sulis merintisnya. Bermodalkan bumbu, Pencarian bahannya yaitu ubi membuat ia harus menjelajahi pasar-pasar di sekitarnya untuk mencari ubi. Dengan 10 Kg ubi/hari yang direbus, digoreng dan diracik dengan bumbu modern dalam keadaan hangat dijualnya secara door to door tanpa memakai gerobak, hal itu dikarenakan belum selesainya pembuatan gerobak. Masa percobaan Franchisor hanya memberi sampel bumbu sebanyak 1 Ons setiap jenisnya. Awalnya tetangga terdekat yang menjadi pelanggan, lama kelamaan publikasi dari mulut ke mulut membuat bertambahnya omzet penjualan. Sebagaimana diutarakan oleh ibu Sulistyaningtyas dalam wawancara penulis berikut ini :

“Awalnya capek kali dek yang door to door itu apalagi ibu ke sekolah-sekolah dekat sini, ibu jual juga ke ibu-ibu yang nungggu anaknya pulang sekalian promosi lho. Terus mereka suka, ih koq ubi rasanya beda lebih modern. Lalu ibu bilang, ya iyalah inikan singkong gaul tuh banyak lagi di rumah. Maen2 aja ke rumah. Akhirnya mereka datang dan jadi pelanggan”

(Hasil wawancara, bulan September 2008)

Dan sekarang ibu ini harus menyiapkan sedikitnya 200-500 Kg ubi mentah setiap harinya yang diantar secara bertahap ke rumah ibu Sulistyaningtyas oleh pedagang ubi. Setelah ubi di rebus di kediaman ibu

Sulis akan di sebar pada 18 gerai yang tersebar di jalan Karya, Kartika, Sari Mutiara, SMA 4, Gaperta Ujung, Glambir 5, Pasar IV, Sumber, Pringgan, Hangtuah, Brayan, Gatot Subroto, dan Setia Budi. Kriteria dalam pemilihan lokasi hanya melihat tempat yang strategis yaitu kampus/sekolahan, pusat perbelanjaan, perkantoran, tempat hiburan dan rekreasi. Hasil keuntungan bersih yang diterima oleh ibu ini kira-kira 5-10 juta/bulan.

Sebenarnya dalam waralaba Tela-Tela Fried Cassava ini di setiap wilayah hanya boleh satu orang Master Franchisee saja. Namun, karena Franchisor membayangkan kota Medan yang sangat luas akhirnya, ibu Sulistyaningtyas diterima menjadi Master Franchisee II setelah bapak Ponizan sebagai Master Franchisee I. Hal ini diutarakan ibu Sulistyaningtyas dalam wawancara sebagai berikut :

“Seharusnya di setiap kota hanya ada satu master franchisee, nah dikirain si mas eko (Franchisor) kota Medan itu luas kali makanya ibu diterima jadi Master Franchisee setelah pak Ponijan yang telah lebih dahulu jadi Master Franchisee”.

(Hasil wawancara, bulan September 2008)

Walaupun begitu, di antara mereka tidak terjadi friksi sama sekali karena ada peraturan dalam waralaba Tela-Tela Fried Cassava bahwa setiap outlet berjarak ±2 Km. Dalam perjanjian antara Franchisor dan Master Franchisee selain itu disebutkan juga bahwa kontrak kerja dua tahun yang akhir-akhir ini diganti menjadi lima tahun, pembagian royaltinya adalah Sub Franchisee ke Master Franchisee yaitu 6%, dari

Master Franchisee ke Franchisor 3% dan bila dalam masa kontrak terputus karena kejadian yang tidak terduga maka akan dilimpahkan ke atasnya misalnya bila Master Franchisee yang putus maka dilimpahkan ke Master Franchisee lainnya dan tidak ada sangsi. Namun, beda halnya bila Sub Master Franchisee yang belum penuh masa kontraknya maka gerobak saja yang ditarik dan uang kembali maksimal 5 % dari uang pokok.

Bila ada produk-produk maupun rasa baru maka, diadakan seminar di Jogyakarta. Seminar itu juga menjadi berkumpul sesama master franchisee karena kalau di hari kerja, hal itu sangatlah tidak mungkin mengingat kesibukan masing-masing. Namun, biaya operasional ditanggung pribadi. Sebagaimana diutarakan ibu Sulistyaningtyas sebagai berikut :

“Kalau ada produk-produk baru atau rasa-rasa yang baru diadakanlah seminar oleh mas eko (franchisor) di Jogjakarta. Jadi, wong dari mana-mana kesitu semua. Kesempatan itu digunakan untuk ngobrol-ngobrol, tanyak sana-sini”

(Hasil wawancara, bulan September 2008)

Walaupun memiliki sub agen tetapi ibu sulis tetap memberikan training kepada karyawan-karyawan yang dimiliki sub Master Franchisee. Hal itu dilakukan untuk tetap menjaga kualitas rasa dan memang ada tanggung jawab Master Franchisee untuk mengontrol wilayahnya. Namun, itu hanya salah satu strategis untk mempertahankan rasa yang akhirnya akan mempertahankan pelanggan. Strategi lainnya adalah warna

gerai ataupun kemasan yaitu merah dan kuning. Merah artinya perusahaan ingin selalu tampil menonjol, menunjukkan keberanian, kekuatan, semangat, dan kesuksesan. Warna Merah juga bisa mempengaruhi orang yang melihatnya untuk selalu bergerak dan tidak kenal lelah. Kuning artinya bahwa perusahaan itu selalu menjunjung tinggi nilai kebijaksanaan dan intelektualitas, kehangatan dan keceriaan yang ditebarkan warna Kuning ini diharapkan bisa meningkatkan kreativitas dan optimis karyawan. Berikut penuturannya :

“Warna gerai ituh mempunyai arti, gak sembarangan pilih. Semua itu ada artinya. Merah artinya perusahaan ingin selalu tampil menonjol, menunjukkan keberanian, kekuatan, semangat, dan kesuksesan. Warna Merah juga bisa mempengaruhi orang yang melihatnya untuk selalu bergerak dan tidak kenal lelah. Kuning artinya bahwa perusahaan itu selalu menjunjung tinggi nilai kebijaksanaan dan intelektualitas, kehangatan dan keceriaan yang ditebarkan warna Kuning ini diharapkan bisa meningkatkan kreativitas dan optimis karyawan”

(Hasil wawancara bulan Agustus 2008).

Lalu, masih banyak lagi strateginya yaitu dengan kemasannya yang cantik dan karyawan yang ramah serta publikasi yang diserahkan kepada setiap Master Franchisee namun, tetap ada publikasi yang dilakukan oleh Franchisor. Berikut penuturannya :

“Pembungkusnya yang cantik, terbuat dari kertas bukan plastik keresek, terus karyawan yang ramah karena dengan senyuman, orang akan ingat. Dan publikasi dari setiap sub, terserah mereka mo buat apa tetapi tetap ada bantuan dari Franchisor untuk mempublikasikannya”

Terkenalnya Tela-Tela Fried Cassava karena produknya sudah berada di sebagian besar wilayah Indonesia. Hal itu terjadi karena banyaknya permintaan masyarakat untuk menjadi pewaralaba maka muncullah ide dari 4 orang sahabat pada tahun 1995 untuk mengemas ulang bentuk produk dan paket bisnis yang lebih menjual yaitu waralaba.

Sekarang, telah banyak produk sejenis singkong gaul yang berserakan di Medan. Namun, ibu Sulis tidak gentar menghadapinya karena mengandalkan produknya yang lebih bermutu, kemasan yang cantik, gerai yang mencolok serta karyawan yang ramah. Kira-kira 3 bulan yang ada, ada perusahaan waralaba yang mengeluarkan singkong gaul dengan memakai merek Tela-Tela, akhirnya di somasi oleh pihak Tela-Tela Fried Cassava karena nama Tela-Tela telah dipatenkan. Berarti bila ada produk yang sejenis, dilarang memakai nama Tela-Tela. Berikut penuturannya :

“Kalo’ gak salah inget, tiga bulan yang lalu ada orang yang menjual singkong gaul dengan memakai Tela-Tela. Nah, kita somasi karena nama itu sudah dipatenkan. Akhirnya diganti mereka. Tapi, kenapa mereka pake kata Tela-Tela yah? Nampak kali pengen numpang tenar (sembari tersenyum).

(hasil wawancara bulan Agustus).

Masalah lainnya, bila produk Tela-Tela Fried Cassava tidak enak atau gurih. Hal itu pernah terjadi di gerai ibu Sulis dengan Sub gerai Yanti yang beralokasi di jalan Padang Bulan. Dalam satu hari hanya terjual 1 Kg saja dan terus berlanjut sampai berhari-hari. Melihat hal itu maka, ibu Sulis terjun ke lapangan melihat kondisi. Ternyata kesalahan

ada pada pengolahannya yaitu penggorengan hingga dapat mengurangi rasa. Maka, ibu Sulis kembali lagi mengadakan pelatihan memasak pada karyawannya tersebut. Berikut penuturannya :

“masalah lainnya, bila pengolahannya yaitu pada penggorengan ubi tersebut tidak sampai berwarna kuning. Itu akan mengurangi rasa. Itu pernah terjadi di gerai saya yang subnya Yanti. Saya heran, koq penjualannya paling rendah dibandingkan gerai lainnya dan terus berlanjut hingga beberap hari kedepannya. Setelah saya chek kesana, ternyata kesalahan ada di situ. Ya udah deh ibu latih karyawannya selama satu hari”

(Hasil wawancara bulan Agustus 2008)

4.2.2 Informan Biasa

Dokumen terkait