• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

2.2 Gizi Kurang Pada Balita

2.2.1 Penyebab Gizi Kurang

Menurut Unicef (1998), gizi kurang pada anak balita disebabkan oleh beberapa faktor yang kemudian diklasifikasikan sebagai penyebab langsung, penyebab tidak langsung, pokok masalah di masyarakat, dan akar masalah.

1) Penyebab langsung

a. Asupan makanan anak yang tidak memadai

Jika asupan makanan yang diberikan pada anak tidak cukup baik, maka dapat menurunkan daya tahan tubuh (imunitas) anak, sehingga anak mudah terserang penyakit infeksi dan dapat mengurangi nafsu makan, akhirnya anak dapat menderita gizi kurang. Semakin bertambahnya usia anak, maka semakin bertambah pula kebutuhannya.

Di dalam keluarga, konsumsi makanan dipengaruhi oleh jumlah dan jenis pangan yang dibeli, pemasakan, distribusi dalam keluarga, dan kebiasaan makan secara perorangan. Konsumsi juga tergantung pada pendapatan, agama, adat istiadat, dan pendidikan keluarga yang bersangkutan (Almatsier, 2001).

Menurut Kemenkes (2012) Gizi seimbang merupakan makanan yang dikonsumsi dalam satu hari beragam dan mengandung zat tenaga, pembangun dan zat pengatur sesuai dengan kebutuhan tubuhnya. Keadaan ini tercermin dari derajat kesehatan dan tumbuh kembang balita yang optimal. Sedangkan konsep dasar gizi seimbang adalah pemberian makanan yang sebaik-baiknya yang harus memperhatikan kemampuan tubuh seseorang untuk mencerna makanan, umur, jenis kelamin, jenis aktivitas, dan kondisi tertentu seperti sakit, hamil, menyusui. Jadi, untuk mencapai masukan zat gizi yang seimbang tidak mungkin dipenuhi hanya oleh satu jenis bahan makanan, melainkan harus terdiri dari aneka ragam bahan makanan.

Prinsip nutrisi yang perlu diperhatikan dalam pemberian makanan pada balita (Barasi, 2009) adalah :

a) Harus mencapai angka referensi gizi untuk kelompok usia yang bersangkutan

b) Tidak dianjurkan diet rendah lemak

c) Perhatikan densitas nutrient, terutama yang beresiko defisiensi seperti kalsium, zat besi, zink, vitamin A, dan vitamin C

d) Hindari gula dari sumber selain susu, atau makanan berlemak dalam jumlah berlebihan

Sedangkan zat gizi yang dibutuhkan balita menurut Pandi (2008) adalah :

1) Karbohidrat merupakan sumber energi utama yang terdiri dari dua jenis yaitu karbohidrat sederhana (gula pasir, gula merah, jagung manis, madu, susu sapi, ASI, rumput laut, asparagus, ubi jalar) sedangkan karbohidrat kompleks (tepung, beras, gandum, pisang, daging has, apel, jambu biji, serealia).

2) Protein untuk pertumbuhan, terdapat pada ikan, susu, telur, kacang-kacangan, tahu, dan tempe.

3) Lemak terdapat pada margarin, mentega, minyak goreng, lemak hewan atau lemak tumbuhan.

4) Vitamin adalah zat-zat organik yang kompleks yang dibutuhkan dalam jumlah sangat kecil dan pada umumnya dapat dibentuk oleh tubuh.

a. Vitamin A untuk pertumbuhan tulang, mata, dan kulit juga mencegah kelainan bawaan, vitamin A terdapat dalam susu, keju, mentega, kuning telur, minyak ikan, sayuran dan buah-buahan segar seperti wortel, pepaya, mangga, daun singkong, daun ubi jalar.

b. Vitamin B untuk menjaga sistem susunan saraf agar berfungsi normal, mencegah penyakit beri-beri dan anemia, vitamin ini terdapat di dalam nasi, roti, susu, daging, dan tempe.

c. Vitamin C berguna dalam pembentukan integritas jaringan dan peningkatan penyerapan zat besi, untuk menjaga kesehatan gusi, banyak terdapat mangga, jeruk, pisang, nangka.

5) Mineral berguna untuk menumbuhkan dan memperkuat jaringan serta mengatur keseimbangan cairan tubuh.

a. Zat besi, berguna dalam pertumbuhan sel-sel darah merah yang dibutuhkan untuk pertumbuhan, zat ini terdapat dalam daging, ikan, hati ayam, bayam, kedelai.

b. Kalsium berguna untuk pertumbuhan tulang dan gigi zat ini terdapat dalam susu sapi, keju.

c. Yodium berguna untuk menyokong susunan saraf pusat berkaitan dengan daya pikir dan mencegah kecacatan fisik dan mental. Zat ini terdapat dalam rumput laut, serealia, dan sea food.

Penentuan kebutuhan gizi berbeda antar zat gizi. Patokannya berdasarkan penentuan angka atau nilai asupan gizi untuk mempertahankan orang tetap sehat sesuai kelompok umur atau tahap pertumbuhan dan perkembangan, jenis kelamin, aktivitas fisik, dan kondisi fisiologisnya (WNPG, 2004).

Angka Kecukupan Gizi (AKG) yang dianjurkan bagi bayi dan balita dapat dilihat pada tabel 2.2 berikut.

Tabel 2.2 Angka Kecukupan Gizi yang Dianjurkan untuk Bayi dan Balita Usia BB (kg) TB (cm) Energi (kkal) Protein (g) Lemak (g) KH (g) Vit A (mcg) Vit C (mg) Besi (mg) Kalsium (mg) 0 - 6 bln 6 61 550 12 34 58 375 40 - 200 7 - 11 bln 9 71 725 18 36 82 400 50 7 250 1 - 3 thn 13 91 1125 26 44 155 400 40 8 650 4 - 6 thn 19 112 1600 35 62 220 450 45 9 1000

Sumber : Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi, 2012

b. Penyakit infeksi

Faktor asupan makanan dan penyakit infeksi saling berkaitan satu sama lain. Anak yang asupan makanannya baik tetapi sering terserang penyakit, seperti diare atau demam, maka anak tersebut dapat menderita gizi kurang. Karena, infeksi dapat menyebabkan hilangnya nafsu makan, malabsorbsi, metabolisme terganggu, dan perubahan perilaku, sehingga berpengaruh terhadap pola makan anak. Penyakit infeksi disebabkan oleh kurangnya sanitasi dan kebersihan, pola asuh anak yang tidak memadai, dan pelayanan kesehatan dasar yang tidak memadai (Soekirman, 2000).

2) Penyebab tidak langsung

a. Ketahanan pangan di keluarga

Kemampuan keluarga untuk memenuhi kebutuhan pangan seluruh anggota keluarganya dalam jumlah yang cukup, baik jumlah maupun gizinya. Menurut Adisasmito (2007), ketahanan pangan keluarga terkait dengan ketersediaan pangan, harga

pangan dan daya beli keluarga, serta pengetahuan tentang gizi dan kesehatan.

Selain itu, kebutuhan pangan yang bermutu gizi seimbang menuntut adanya ketersediaan sumber zat tenaga (karbohidrat dan lemak), sumber zat pembangun (protein), dan sumber zat pengatur (vitamin dan mineral). Tidak ada satu jenis pangan pun yang dapat menyediakan gizi secara lengkap. Oleh karena itu, konsumsi pangan yang beraneka ragam sangat penting agar dapat saling melengkapi kekurangan zat gizi dalam pangan tersebut (Khomsan, 2004).

b. Pola pengasuhan anak

Kemampuan keluarga dan masyarakat untuk menyediakan waktu, perhatian, dan dukungan terhadap anak agar dapat bertumbuh dan berkembang dengan sebaik-baiknya secara fisik, mental, dan sosial. Kurang baiknya pola pengasuhan anak karena pengetahuan ibu yang kurang, terutama dalam pemberian makanan pada anak mengakibatkan anak tidak mendapatkan makanan sesuai kebutuhan

Menurut Adisasmito (2007), pola pengasuhan anak adalah berupa sikap dan perilaku ibu atau pengasuh dalam hal kedekatannya dengan anak seperti, memberikan makan, merawat, memberikan pendidikan, kebersihan, memberi kasih sayang, dan sebagainya. Hal tersebut berhubungan dengan kesehatan fisik dan mental ibu, status gizi, pendidikan umum, pengetahuan dan

keterampilan tentang pengasuhan anak yang baik, peran dalam keluarga atau masyarakat, pekerjaan sehari-hari, adat kebiasaan keluarga dan masyarakat, dan sebagainya dari ibu atau pengasuh anak.

Menurut Sayogyo (1993) pola asuh anak adalah praktek pengasuhan yang diterapkan kepada anak balita yang berkaitan dengan pengasuhan makan balita dan pemeliharaan kesehatan (Veriyal, 2010). Sedangkan menurut Rahim (2014) pola pengasuhan anak dapat dikategorikan menjadi tiga aspek yaitu praktik mengasuh anak balita dilihat dari pemberian makan pada anak, praktik kebersihan anak, dan praktik pengobatan anak.

Pola asuh makan merupakan praktik pengasuhan pemberian makan yang diterapkan ibu terhadap anaknya (Mariani, 2002). Tujuan memberi makan pada anak adalah untuk memenuhi kebutuhan zat gizi demi kelangsungan hidup, pemulihan kesehatan, aktivitas, pertumbuhan, dan perkembangan. Pengasuhan makan contohnya menyediakan dan memberikan makanan sesuai dengan mutu yang memadai. Asuhan makan sering tidak menjadi optimal dikarenakan rendahnya daya beli, harga pangan meningkat, serta krisis keuangan global (Nurlinda, 2013).

Soehardjo (1989) menyebutkan bahwa tujuan pemberian makan anak dalam lingkup keluarga mencakup tiga aspek (Nurlinda, 2013), yaitu :

a) Aspek fisiologis, yaitu memenuhi kebutuhan zat gizi untuk proses metabolisme, kelangsungan hidup, aktivitas, dan tumbuh kembang.

b) Aspek edukatif, yaitu mendidik anak supaya terampil dalam mengonsumsi makanan, membina kebiasaan dan perilaku makan, memilih dan menyukai makanan yang baik, sehat, dan dibenarkan oleh agama/keyakinan masing-masing.

c) Aspek psikologis, yaitu memberikan kepuasan kepada anak dan memberikan kenikmatan yang lain berkaitan dengan anak.

Anak usia 1-3 tahun memiliki pertumbuhan yang berbeda dengan masa bayi. Pada masa ini aktifitasnya lebih banyak dan golongan ini sangat rentan terhadap penyakit gizi dan infeksi. Syarat makanan yang harus diberikan adalah makanan yang mudah dicerna dan tidak merangsang (tidak pedas) serta dengan jadwal pemberian makanan sama yaitu 3 kali makanan utama (pagi, siang, malam) dan 2 kali makanan selingan (diberikan diantara 2 kali makanan utama). Jenis jumlah dan frekuensi makan pada bayi dan anak balita, hendaknya diatur sesuai dengan perkembangan usia dan kemampuan organ pencernaannya (Depkes RI, 2006), seperti yang ditunjukkan pada tabel 2.3.

Tabel 2.3 Pengukuran Makanan Balita

Umur Jenis/bentuk makanan Porsi Per hari Frekuensi 0 - 6 bulan ASI Disesuaikan dengan kebutuhan,

ASI di berikan setiap anak menangis, siang atau malam hari makin sering makin baik

Min 6x

6 - 9 bulan ASI Disesuaikan dengan kebutuhan Min 6x MP-ASI

Makanan Lunak

Usia 6 bulan : 6 sdm (setiap kenaikan usia anak 1 bulan porsi di tambah 1 sdm)

2x

9-12 bulan ASI Disesuaikan dengan kebutuhan Min 6x Makanan Lembik 1 piring ukuran sedang

(7 sdm)

4-5x Makanan Selingan 1 piring ukuran sedang 1 kali 1-2 tahun ASI Disesuaikan dengan kebutuhan

Makanan keluarga ½ porsi orang dewasa (10 sdm)

3x Makanan selingan ½ porsi orang dewasa 2x > 24 bulan Makanan Keluarga Disesuaikan kebutuhan 3x

Makanan Selingan Disesuaikan kebutuhan 2x Sumber : Depkes RI, 2006

Pemilihan bahan pangan yang akan diberikan untuk bayi dan balita hendaknya disesuaikan dengan usia, karena sistem pencernaan yang relatif belum sempurna (Pandi, 2008).

a) Usia 4 – 6 bulan

Pada usia ini sudah dapat diberikan buah-buahan dan sayuran, seperti pisang ambon, pepaya, alpukat, labu kuning, bayam, wortel, dan lain-lain.

b) Usia 7 – 9 bulan

Pada usia ini dapat ditambahkan protein hewani, seperti kuning telur dan ikan.

c) Usia 9 – 12 bulan

Pada usia ini bahan makanan yang dapat diberikan seperti makanan berbahan dasar tepung, yaitu pasta, roti, dan sebagainya. Selain itu dapat pula diberikan protein hewani seperti ayam, daging, susu, dan produk olahannya. Dapat diberikan pula sayuran rebus dalam bentuk utuh untuk latihan mengunyah, seperti brokoli, wortel, buncis, dan sebagainya. d) Usia 1 – 2 tahun

Pada umumnya sudah dapat dimulai untuk makan makanan orang dewasa yang tidak terlalu keras dan merangsang (terlalu pedas atau terlalu asam).

e) Usia 2 – 3 tahun

Pada usia ini aktivitas anak sudah semakin meningkat. Oleh karena itu, selain pemberian makanan utama dapat diberikan pula makanan selingan (kudapan), seperti buah-buahan, sandwich, yogurt, keju, atau pun makanan yang diolah sendiri. f) Usia 3 – 5 tahun

Umumnya pada usia ini anak sudah dimasukkan ke taman bermain atau taman kanak-kanak. Sehingga perlu diperhatikan pemberian sarapan dan bekal makanannya. Bekal yang dapat dipilih seperti buah-buahan, pasta, jus buah, sayuran, dan lain-lain.

Saat menyiapkan dan memberikan makanan untuk balita, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan (Pandi, 2008), yaitu

pemilihan bahan pangan yang cocok (jenis, kualitas, dan kuantitas), perlakuan terhadap bahan pangan, peralatan yang digunakan, sanitasi dan hygiene, membuat makanan secukupnya, berikan makanan sebaik-baiknya, perkenalkan satu jenis makanan saja setiap kali makan, sehingga dapat diketahui jika bayi tidak dapat menerima suatu jenis makanan dan menimbulkan reaksi alergi, variasikan makanan, berikan makanan selingan 2 kali sehari di antara waktu makan, makan bersama anggota keluarga yang lain, hindari pemberian makan dekat dengan waktu makan, makanan berlemak menyebabkan rasa kenyang yang lama, dan tetap berikan ASI sampai anak berusia 2 tahun.

Menurut Angka Kecukupan Gizi (AKG) tahun 2012, rata-rata yang dianjurkan per orang/hari kebutuhan energi anak usia 1-3 tahun adalah sebesar 1125 kkal dan kebutuhan protein 26 gram. Sedangkan kebutuhan energi anak usia 4-6 tahun sebesar 1600 kkal dan kebutuhan protein 35 gram. Berikut adalah tabel porsi makan dan contoh pembagian makanan anak usia 3-5 tahun dalam sehari makan menurut kecukupan energi.

Tabel 2.4 Anjuran Pemberian Makanan Sehari Anak Usia 3-5 Tahun Menurut Kecukupan Energi

No. Bahan Makanan/ Penukar 1.200 kkal Jumlah Porsi Pagi Selingan Pagi Siang Selingan Sore Malam 1. Nasi 3 ¾ - 1 ¼ - 1 2. Sayur 1 ¼ - ¼ - ½ 3. Buah 3 1 ½ ½ ½ ½ 4. Tempe 1 ½ - ½ 1 - - 5. Daging 2 ½ - 1 - ½ 6. Minyak 2 ¼ ¼ ¾ - ¾ 7. Gula 1 ½ ¾ ¾ - - - 8. Susu ½ - - - ½ - Total Sehari (kkal) 1.200 275 112,5 437,5 87,5 287,5

No. Bahan Makanan/ Penukar 1.400 kkal Jumlah Porsi Pagi Selingan Pagi Siang Selingan Sore Malam 1. Nasi 3 1 - 1 - 1 2. Sayur 2 ¾ - ¾ - ½ 3. Buah 2 ½ - ½ - 2 - 4. Tempe 2 - - 1 - 1 5. Daging 3 1 - 1 - 1 6. Minyak 2 ½ - ¾ - ¾ 7. Gula 2 - 1 - 1 - 8. Susu 1 - - - 1 -

Total Sehari (kkal) 1.400 293,75 75 381,25 275 375

*Keterangan : Sumber : Kurniasih, 2010

1. Nasi 1 porsi = ¾ gelas = 100 gram = 175 kkal 2. Sayur 1 porsi = 1 gelas = 100 gram = 25 kkal 3. Buah 1 porsi = 1-2 buah = 50-190 gram = 50 kkal 4. Tempe 1 porsi = 2 potong sedang = 50 gram = 75 kkal 5. Daging 1 porsi = 1 potong sedang = 35 gram = 75 kkal 6. Minyak 1 porsi = 1 sendok teh = 5 gram = 50 kkal 7. Gula 1 porsi = 1 sendok makan = 13 gram = 50 kkal

8. Susu bubuk (tanpa lemak) 1 porsi = 4 sendok makan = 20 gram = 75 kkal

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi frekuensi pemberian makanan pada balita (Suhardjo, 2005), yaitu :

a) Faktor Ekonomi. Masyarakat dengan pendapatan rendah harus membagi pendapatannya untuk berbagai keperluan lain selain makan keluarga, seperti pendidikan, transportasi, dan sebagainya. Sehingga tidak jarang persentase pendapatan

untuk keperluan penyediaan makanan sangat kecil. Dengan demikian besar kecilnya pendapatan mempengaruhi pola konsumsi keluarga yang akhirnya berimbas pada keadaan gizi keluarga, khususnya anak balita yang rawan gizi.

b) Faktor Budaya. Unsur-unsur budaya mampu menciptakan suatu kebiasaan penduduk yang kadang-kadang bertentangan dengan prinsip-prinsip ilmu gizi, misalnya budaya masyarakat tertentu yang menganggap suatu bahan makanan tabu untuk dikonsumsi karena alasan tertentu. Budaya di masyarakat masih ada yang memprioritaskan anggota keluarga tertentu untuk mengkonsumsi hidangan keluarga yang telah disiapkan yaitu umumnya kepala keluarga, sedangkan anggota keluarga lainnya menempati urutan prioritas berikutnya, dan yang paling umum mendapatkan prioritas terbawah adalah ibu rumah tangga. Apabila hal tersebut masih dianut dengan kuat oleh suatu budaya, sedangkan pengetahuan gizi belum dimiliki oleh keluarga yang bersangkutan, maka dapat menimbulkan distribusi konsumsi pangan yang tidak baik di antara anggota keluarga. Apabila keadaan tersebut berlangsung lama maka dapat mengakibatkan masalah gizi kurang dalam keluarga tersebut, terutama pada golongan rawan seperti ibu hamil, ibu menyusui, bayi dan anak balita.

c) Banyaknya Anggota Keluarga. Jumlah anggota keluarga yang banyak akan berpengaruh pada konsumsi makanan keluarga,

khususnya keluarga miskin. Pemenuhan kebutuhan makan keluarga akan lebih mudah jika anggota keluarganya sedikit. Apabila keluarga bertambah, maka pangan untuk setiap anak akan berkurang. Ironisnya jumlah anggota keluarga yang banyak sebagian besar ditemui pada keluarga miskin, sehingga banyak anak-anak keluarga miskin menderita gizi kurang bahkan gizi buruk karena konsumsi makanannya kurang, baik dari segi jumlah maupun mutunya.

Selain itu, makanan yang diberikan pada anak juga harus memenuhi kuantitas dan kualitas yang sesuai, serasi dengan tahap perkembangan anak, cara pengaturan dan pemberian makanan yang benar supaya menimbulkan selera makan, serta kebersihan, kerapihan, dan keindahan seperti kombinasi warna dan suasana saat makan perlu diperhatikan. Sehingga anak merasa makan merupakan saat-saat menyenangkan baginya (Nurlinda, 2013).

Sedangkan menurut Khomsan (2004), wanita memiliki peran yang sangat besar dalam menentukan nasib bangsa. Melatih ibu untuk menjadi pengasuh anak yang baik akan menghasilkan generasi baru yang berkualitas. Ibu yang kelihatan bahagia ketika mengasuh anaknya akan memberikan pengaruh positif terhadap tumbuh kembang anak yang optimal. Membentuk pola makan yang baik untuk anak menuntut kesabaran seorang ibu. Pada usia prasekolah, anak sering mengalami fase sulit makan dan jika dibiarkan akan mengganggu tumbuh kembang anak karena

jumlah dan jenis gizi yang masuk dalam tubuhnya kurang. Permasalahan makan bisa terjadi karena anak meniru pola makan orang tuanya, seperti tidak suka sayur, suka pilih-pilih makanan, bahkan yang mungkin sedang berdiet untuk menurunkan berat badan. Hal ini secara tidak langsung akan berpengaruh pada perilaku makan anak.

Untuk mengatasi masalah tersebut, ibu bisa memberikan makanan pada anak dalam porsi kecil, jika sudah habis ibu bisa menawarkan anak untuk menambahkan kembali. Karena ada anak yang mual ketika melihat makanan dengan porsi besar tersaji di depannya. Ciptakan suasana makan yang menyenangkan, beri kesempatan anak untuk memilih makanan sendiri yang disukainya disertai dengan pengawasan dari orang tua.

Sulistyoningsih (2011), kesulitan makan merupakan ciri khas anak balita atau anak prasekolah, karena pertumbuhan menjadi lebih lambat dibandingkan ketika masih bayi. Nafsu makan anak tergantung pada aktivitas fisik dan kondisi kesehatan. Ada beberapa hal yang menyebabkan anak menjadi sulit makan, yaitu :

a) Anak mengalami infeksi

b) Anak terlalu aktif sehingga kelelahan

c) Anak merasa kenyang, namun masih dipaksa untuk menghabiskan makanannya

e) Anak sedang terganggu secara emosional, mencari perhatian, dan terlalu mendapat perhatian berlebih

Adapun gejala sulit makan pada anak adalah memuntahkan atau menghambur-hamburkan makanan yang sudah masuk ke mulut, makan berlama-lama atau memainkan makanan, menumpahkan makanan, menepis suapan dari orangtua, hanya mau makan makanan cair atau lumat, kesulitan menghisap, mengunyah, menelan, atau langsung menelan tidak mengunyah (Nurlinda, 2013).

Sulistyoningsih (2011) dalam bukunya yang berjudul gizi untuk kesehatan ibu dan anak juga menjelaskan upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi anak yang kesulitan makan. Upaya tersebut adalah :

a) Hindari menghidangkan makanan terlalu banyak b) Tidak memaksa anak mencoba makanan baru

c) Hidangkan makanan yang bervariasi, baik dari bentuk, rasa, maupun cara penyajiannya

d) Tidak memarahi atau memberi hukuman jika makanan tidak dihabiskan, dan beri pujian jika anak berhasil menghabiskan makanan

e) Berikan kesempatan anak belajar makan sendiri

f) Biasakan untuk makan bersama dengan anggota keluarga yang lain

Menurut Hasdianah, dkk (2014), karakteristik pola makan balita adalah sulit makan, nafsu makan berubah-ubah, cepat bosan dengan cara makan sambil duduk, sehingga perlu dengan cara bermain-main. Oleh karena itu, untuk menumbuhkan nafsu makan maka ciptakan suasana makan yang menyenangkan, kembangkan kebiasaan makan yang baik dengan makanan yang beragam dan pola makan yang teratur, hindari makanan yang banyak mengandung minyak, pengawet, atau junk food lainnya. c. Pelayanan kesehatan, sanitasi dan hygiene

Pelayanan kesehatan merupakan akses atau keterjangkauan anak dan keluarga terhadap upaya pencegahan penyakit dan pemeliharaan kesehatan seperti imunisasi, pemeriksaan kehamilan, pertolongan persalinan, penimbangan anak, penyuluhan kesehatan dan gizi, serta sarana kesehatan yang baik seperti posyandu, puskesmas, praktik bidan atau dokter, rumah sakit dan persediaan air bersih. Ketidakterjangkauan pelayanan kesehatan dikarenakan jauh atau tidak mampu membayar, kurang pendidikan dan pengetahuan, merupakan kendala masyarakat dan keluarga memanfaatkan secara baik pelayanan kesehatan yang tersedia. Hal ini dapat berdampak juga pada status gizi anak (Adisasmito, 2007).

Pelayanan kesehatan yang tidak terjangkau serta kesehatan lingkungan yang buruk menyebabkan anak rentan terhadap penyakit infeksi. Ketika mempersiapkan makanan, kebersihan

makanan perlu mendapat perhatian khusus. Makanan yang kurang bersih dan sudah tercemar dapat mengakibatkan diare atau cacingan pada anak. Begitu pula dengan pembuat makanan dan peralatan yang dipakai seperti sendok, mangkok, gelas, piring dan sebagainya sangat menentukan bersih tidaknya makanan.

Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam mempersiapkan makanan balita adalah :

a) Simpan makanan dalam keadaan bersih, hindari pencemaran dari debu dan binatang

b) Peralatan makan dan memasak harus bersih

c) Ibu atau anggota keluarga yang memberikan makanan pada balita harus mencuci tangan dengan sabun sebelum memberikan makan

d) Makanan selingan sebaiknya dibuat sendiri

Selain kebersihan makanan, yang perlu diperhatikan juga adalah kebersihan rumah dan lingkungan sekitar. Bahan bangunan, kondisi rumah dan lingkungan yang tidak memenuhi syarat kesehatan merupakan faktor risiko dan sumber penularan berbagai macam sumber penyakit. Penyediaan air bersih dan sanitasi lingkungan yang tidak memenuhi syarat dapat menjadi faktor risiko penyakit diare. Faktor-faktor risiko lingkungan pada bangunan rumah yang dapat mempengaruhi kejadian penyakit maupun kecelakaan antara lain ventilasi, pencahayaan, kepadatan hunian, ruang tidur, kelembapan ruang, kualitas udara ruang,

binatang penular penyakit, air bersih, limbah rumah tangga, sampah, serta perilaku penghuni dalam rumah (Depkes, 2007)

Menurut Pedoman Teknis Penilaian Rumah Sehat Depkes RI tahun 2007 terdapat tiga kriteria yang harus dipenuhi suatu bangunan rumah untuk dapat dikatakan sebagai rumah sehat, yaitu :

a) Memenuhi kebutuhan psikologis antara lain privasi yang cukup, komunikasi yang sehat antar anggota keluarga dan penghuni rumah.

b) Memenuhi persyaratan pencegahan penularan penyakit antar penghuni rumah dengan penyediaan air bersih, pengelolaan tinja limbah rumah tangga, bebas vektor penyakit dan tikus, kepadatan hunian yang tidak berlebihan, cukup sinar matahari pagi, terlindungnya makanan dan minuman dari pencemaran, disamping pencahayaan dan penghawaan yang cukup.

c) Memenuhi persyaratan pencegahan terjadinya kecelakaan baik yang timbul karena pengaruh luar dan dalam rumah antara lain persyaratan garis sempadan jalan, konstruksi bangunan rumah, bahaya kebakaran dan kecelakaan di dalam rumah.

Sedangkan perilaku pemeliharaan kesehatan merupakan perilaku atau usaha-usaha seseorang untuk memelihara atau menjaga kesehatan agar tidak sakit dan usaha untuk penyembuhan bilamana sakit. Oleh sebab itu, perilaku pemeliharaan kesehatan ini terdiri dari tiga aspek (Notoatmodjo, 2003), yaitu :

a) Perilaku pemeliharaan kesehatan, yaitu usaha seseorang dalam memelihara atau menjaga kesehatannya agar tidak terkena penyakit dan usaha untuk melakukan penyembuhan jika sakit. b) Perilaku pencarian pengobatan, yaitu upaya atau tindakan

seseorang ketika menderita penyakit mulai dari pengobatan sendiri sampai dengan pencarian pengobatan ke luar negeri. c) Perilaku kesehatan lingkungan, yaitu bagaimana seseorang

merespon lingkungan, baik lingkungan fisik maupun sosial budaya, sehingga lingkungan tersebut tidak mempengaruhi kesehatannya.

Ketiga faktor penyebab tidak langsung tersebut berkaitan dengan tingkat pendidikan, pengetahuan, dan keterampilan

Dokumen terkait