• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

2.1 Status Gizi

Status gizi merupakan ekspresi dari keadaan keseimbangan dalam bentuk variabel tertentu, atau perwujudan dari nutriture dalam bentuk variabel tertentu, dan dapat diartikan pula sebagai keadaan tubuh berupa hasil akhir dari keseimbangan antara zat gizi yang masuk ke dalam tubuh dan juga perwujudan manfaatnya (Supariasa, 2002). Sedangkan menurut Riyadi (1995), status gizi dapat didefinisikan sebagai keadaan kesehatan tubuh seseorang atau sekelompok yang diakibatkan oleh konsumsi, penyerapan (absorbtion), dan penggunaan (utilization) zat gizi makanan. Penggunaan zat gizi dapat dinilai melalui konsumsi makanan, penelitian laboratorium, uji fisik, dan penilaian medis.

Soetjiningsih (2001) mengatakan bahwa balita merupakan anak dengan usia di bawah 5 tahun, memiliki karakteristik pertumbuhan cepat pada usia 0-1 tahun dimana pada usia 5 bulan berat badan naik 2 kali berat badan lahir, pada usia 1 tahun 3 kali berat badan lahir, dan usia 2 tahun menjadi 4 kali berat badan lahir. Pertumbuhan mulai lambat pada masa pra sekolah (3-5 tahun), yaitu kenaikan berat badan kurang lebih 2 kg per tahun, kemudian pertumbuhan konstant mulai berakhir (Hasdianah, dkk, 2014).

Masa balita merupakan masa pertumbuhan dan perkembangan yang pesat. Sehingga, kebutuhan akan zat gizi yang tinggi harus terpenuhi baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Beberapa manfaat zat gizi bagi balita adalah untuk proses pertumbuhan dan perkembangan yang optimal, memelihara kesehatan dan memulihkan kesehatan apabila sedang sakit, melaksanakan berbagai aktivitas, dan mendidik kebiasaan makan yang baik dengan menyukai makanan yang mengandung zat gizi yang diperlukan oleh tubuh. Anak balita merupakan kelompok yang menunjukkan pertumbuhan badan yang pesat, namun kelompok ini merupakan kelompok tersering yang menderita kurang gizi (Lailiyana, dkk, 2010).

Pemantauan tumbuh kembang anak dapat mendeteksi secara dini adanya kelainan pertumbuhan maupun perkembangan pada anak. Pertumbuhan yang melambat merupakan tanda kurang gizi dengan ciri-ciri kondisi tubuh anak kurus kering jauh dari normal, diagnosis berdasarkan berat badan yang rendah berdasarkan tinggi badan, lingkar lengan atas kecil, pertumbuhan kerdil, pertumbuhan tinggi badan lamban dibandingkan anak seusianya, anak lebih kurus dan lebih pendek dari normal (Nurlinda, 2013).

Masalah gizi pada balita dapat dicegah dengan melakukan pemantauan pertumbuhan anak melalui kartu menuju sehat (KMS), dan mengatasi penyebab masalah gizi dengan berbagai pendekatan seperti penyuluhan, memberikan pendidikan gizi, atau dengan konseling (Lailiyana, dkk, 2010).

2.1.1 Penilaian Status Gizi

Menurut Supariasa (2002), penilaian status gizi dapat dilakukan secara langsung maupun secara tidak langsung. Penilaian status gizi secara langsung dilakukan melalui empat penilaian berikut :

a) Antropometri, yaitu pengukuran berbagai macam dimensi dan komposisi tubuh dari berbagai tingkat umur dan gizi untuk melihat ketidakseimbangan asupan energi dan protein. Hal ini dapat terlihat dari pola pertumbuhan fisik dan proporsi jaringan tubuh.

b) Klinis, yaitu metode yang didasarkan atas perubahan-perubahan yang terjadi yang dikaitkan dengan ketidakcukupan zat gizi. Metode ini dilakukan untuk survei klinis secara cepat, sehingga tanda-tanda klinis umum dari kekurangan salah satu atau lebih zat gizi dapat terdeteksi dengan cepat.

c) Biokimia, yaitu pemeriksaan spesimen pada berbagai macam jaringan tubuh dan diuji secara laboratoris. Biasanya digunakan sebagai peringatan kemungkinan akan terjadi malnutrisi yang lebih parah lagi.

d) Biofisik, yaitu penentuan status gizi dengan melihat kemampuan fungsi dan perubahan struktur dari jaringan. Umumnya digunakan pada situasi tertentu seperti kejadian buta senja epidemik yang dilakukan melalui tes adaptasi gelap.

Sedangkan penilaian status gizi secara tidak langsung dapat dilakukan dengan tiga cara berikut :

a) Survei konsumsi makanan, yaitu survei yang dapat mengidentifikasi kelebihan dan kekurangan zat gizi dengan melihat jumlah dan jenis zat gizi yang dikonsumsi melalui pengumpulan data konsumsi makanan pada masyarakat, keluarga, dan individu.

b) Statistik vital, yaitu pengukuran yang dilakukan dengan menganalisis data statistik kesehatan yang berhubungan dengan gizi karena hal itu merupakan indikator tidak langsung pengukuran status gizi masyarakat.

c) Faktor ekologi, menurut Bengoa malnutrisi merupakan masalah ekologi hasil interaksi beberapa faktor fisik, biologis, dan lingkungan budaya.

Hasil pengukuran tidak langsung tanpa disertai hasil pengukuran langsung hanya akan menggambarkan apakah seseorang memiliki risiko yang tinggi untuk kekurangan gizi atau tidak. Hanya dengan pengukuran langsung yang bisa memastikan seseorang benar-benar telah mengalami kekurangan gizi atau tidak (Syafiq, dkk, 2006).

2.1.2 Indeks Status Gizi

Supariasa (2002), parameter antropometri merupakan dasar dari penilaian status gizi. Kombinasi dari beberapa parameter disebut dengan indeks antropometri atau indeks status gizi. Keputusan Menteri

Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1995/MENKES/SK/XII/2010 mengkategorikan status gizi anak balita seperti pada tabel 2.1 berikut.

Tabel 2.1 Kategori dan Ambang Batas Status Gizi Anak Balita Indeks Kategori Status Gizi Ambang Batas (Z-Score)

BB/U

Gizi Buruk < -3 SD

Gizi Kurang -3 SD sampai dengan < -2 SD Gizi Baik -2 SD sampai dengan 2 SD Gizi Lebih > 2 SD

PB/U atau TB/U

Sangat Pendek < -3 SD

Pendek -3 SD sampai dengan < -2 SD Normal -2 SD sampai dengan 2 SD Tinggi > 2 SD

BB/PB atau BB/TB

Sangat Kurus < -3 SD

Kurus -3 SD sampai dengan < -2 SD Normal -2 SD sampai dengan 2 SD Gemuk > 2 SD

IMT/U Sangat Kurus < -3 SD

Kurus -3 SD sampai dengan < -2 SD Normal -2 SD sampai dengan 2 SD Gemuk > 2 SD

Sumber : Kemenkes, 2011

Menurut Supariasa (2002), berat badan merupakan salah satu indikator pengukuran antropometri yang memberi gambaran tentang massa tubuh yaitu otot dan lemak. Massa tubuh sangat sensitif terhadap perubahan yang mendadak, seperti saat terserang penyakit infeksi, menurunnya nafsu makan atau menurunnya jumlah makanan yang dikonsumsi. Berat badan merupakan ukuran antropometri yang sangat labil. Oleh karena itu, indeks BB/U lebih menggambarkan status gizi seseorang saat ini.

Penggunaan indeks BB/U memiliki beberapa kelebihan, diantaranya :

a) Lebih mudah dan cepat dimengerti oleh masyarakat umum b) Sensitif terhadap perubahan status gizi jangka pendek c) Baik untuk mengukur status gizi akut atau kronis d) Dapat mendeteksi kegemukan

e) Berat badan dapat berfluktuasi

Di samping itu, indeks BB/U juga memiliki kekurangan, yaitu:

a) Dapat berakibat terjadinya kekeliruan interpretasi status gizi jika terdapat edema

b) Memerlukan data umur yang akurat, terutama untuk anak balita c) Sering terjadi kesalahan dalam pengukuran, seperti pengaruh

pakaian dan gerakan anak saat penimbangan

d) Di daerah pedesaan yang masih terpencil, umur sering sulit ditaksir secara tepat karena pencatatan umur yang belum baik

e) Secara operasional, sering mengalami hambatan karena masalah sosial dan budaya setempat, misalnya orang tua yang tidak mau menimbang anaknya karena dianggap seperti barang dagangan, dan sebagainya.

Status gizi dapat dinilai dengan persentase media dan standar deviasi (Z-Score). Perhitungan untuk mencari nilai Z-Score (Supariasa, 2002) adalah sebagai berikut :

2.1.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Status Gizi

Hasdianah, dkk (2014), ada dua faktor yang mempengaruhi status gizi seseorang, yaitu faktor langsung dan faktor tidak langsung. Faktor langsung adalah tidak sesuainya jumlah gizi yang diperoleh dari makanan dengan kebutuhan tubuh. Sedangkan faktor tidak langsung, yaitu :

a) Pengetahuan, yaitu hasil tahu dan terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap obyek tertentu. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang, dengan bertambahnya usia maka tingkat pengetahuan seseorang juga akan bertambah karena pengalaman yang diperolehnya. Gangguan gizi tidak hanya ditemukan pada keluarga yang berpenghasilan kurang, bahkan dapat ditemukan juga pada keluarga dengan penghasilan cukup. Hal ini dikarenakan ketidaktahuan akan manfaat makanan bagi kesehatan tubuh serta kurangnya keterampilan dibidang memasak dapat menurunkan konsumsi makan anak.

b) Persepsi, bahan makanan yang tinggi nilai gizi tetapi tidak digunakan atau hanya digunakan secara terbatas yang dikarenakan persepsi yang tidak baik terhadap bahan makanan tersebut. Di beberapa daerah penggunaan bahan makanan tersebut dapat menurunkan harkat keluarga, seperti jenis sayuran genjer, daun turi, bahkan daun singkong yang kaya akan zat besi, vitamin A, dan protein.

c) Kebiasaan atau pantangan, larangan terhadap anak untuk makan makanan tertentu seperti telur, ikan, atau daging hanya berdasarkan kebiasaan yang tidak ada datanya dan hanya diwarisi secara turun temurun, padahal anak sangat memerlukan bahan makanan tersebut untuk pertumbuhan tubuhnya.

d) Kesukaan jenis makanan tertentu (faddisme), kesukaan yang berlebihan terhadap suatu jenis makanan tertentu akan mengakibatkan tubuh tidak memperoleh semua zat gizi yang diperlukan.

e) Jarak kelahiran yang terlalu rapat, banyak penelitian membuktikan bahwa anak yang menderita gangguan gizi dikarenakan ibunya hamil lagi atau adik baru telah lahir, sehingga ibu tidak dapat merawat dengan baik. Padahal anak di bawah usia 2 tahun masih sangat memerlukan perawatan ibunya, baik makanan kesehatan, mau pun kasih sayang.

f) Penyakit infeksi, infeksi dapat menurunkan nafsu makan sehingga anak tidak mau makan, selain itu penyakit infeksi juga

menghabiskan sejumlah kalori dan protein yang seharusnya digunakan untuk pertumbuhan anak.

g) Sosial ekonomi, keterbatasan pendapatan keluarga turut menentukan mutu makanan yang disajikan, baik kualitas mau pun jumlah makanan.

h) Produksi pangan yang tidak mencukupi kebutuhan, gagal panen yang dikarenakan daerah yang kekeringan atau musim kemarau panjang menyebabkan persediaan pangan di tingkat rumah tangga menurun sehingga asupan gizi kurang.

Dokumen terkait