• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENYEBARAN KUTULILIN PINUS HAMA HUTAN TANAMAN P merkusii DI JAWA

HASIL DAN PEMBAHASAN IDENTIFIKASI KUTULILIN PINUS

PENYEBARAN KUTULILIN PINUS HAMA HUTAN TANAMAN P merkusii DI JAWA

ditanam secara monokultur dan seumur. Pola ini dikembangkan dengan tujuan untuk memudahkan pengelolaan hutan maupun pemanenan hasilnya (Mangundikoro 1984). Kondisi ini sangat menguntungkan untuk kehidupan P. boerneri karena berarti menyediakan makanan maupun tempat berkembang biak yang melimpah dan dapat menjamin kelangsungan hidup hama tersebut. Hal ini dibuktikan oleh serangan kutulilin pinus yang semakin luas dan belum didapatkan cara pengendalian yang tepat.

PENYEBARAN KUTULILIN PINUS HAMA HUTAN TANAMAN P . merkusii DI JAWA

Di Pulau Jawa terdapat sembilan KPH yang areal hutan pinusnya mendapat serangan P. boerneri yang tersebar di wilayah Perum Perhutani Unit I, II dan III. Wilayah KPH yang terserang itu adalah KPH Pekalongan Barat, Surakarta, Lawu DS, Kediri, Jombang, Probolinggo, Pasuruan, Bandung Utara dan Sumedang (Gambar 19). Tanaman yang diserang itu berada dalam wilayah-wilayah dengan suhu antara 16-220C dengan kelembaban antara 80 - 90% dan ketinggian dari muka laut di atas 900 m (Tabel 2). Kelas umur tanaman terserang dari mulai kelas umur satu-tujuh bahkan tanaman di persemaian pun mendapat serangan (Sumedang, Madiun, Kediri dan Lawu) dan juga kebun benih (KPH Sumedang). Serangan dari mulai serangan ringan-berat, dengan intensitas serangan berkisar antara 25 - 100% (Lampiran 1).

Melihat hasil analisis hubungan antara faktor suhu, kelembaban dan ketinggian dari muka laut seperti yang tercantum pada Tabel 2, maka faktor yang berpengaruh terhadap tingkat serangan adalah suhu rata-rata harian merupakan faktor utama kemudian ketinggian tempat tumbuh dan curah hujan.

Tabel 2 Sebaran, Luas dan Intensitas Serangan Kutulilin pinus di Hutan P. merkusii Jungh et de Vriese di Pulau Jawa

Unit KPH Luas Tan. (ha) Tan. Trsrg (ha) Intens Srgn (%) mdpl (m) Suhu (OC) Rata Curah Hujan (mm/bl) I Pekalongan Timur 160,2 44,9 28% 900 - 1300 18 426,1 Pekalongan Barat 35,6 9,2 26% 1300 18 354 Surakarta 152,1 110,9 73% 1250 - 1300 18 387 II Lawu DS 147,9 124,6 84% 1080 - 1300 18 332,6 Kediri 268,8 199,8 74% 950 - 1500 17 227 Probolinggo 102 78,1 77% 900 21 356 Pasuruan 9,5 5,6 59% 1300 18 356 Jombang 20,4 3.5 17% 1200 19 356

III Bandung Utara 134,3 104,8 78% 1100 - 1600 16 267,4

Sumedang 184,2 152,9 83% 1100 - 1200 19 356

40

Saat ini kutulilin pinus sudah mampu berkembang pada daerah tropis (Pulau Jawa, Indonesia) namun masih terbatas pada wilayah dengan suhu rendah, kelembaban tinggi dengan ketinggian tempat tumbuh > 900 m dpl, hal ini diperkirakan merupakan adaptasi awal pada daerah tropis (Ceisla 2011), karena wilayah sebaran aslinya ialah wilayah temperate dan boreal yang mengalami musim dingin yang bersalju (Carter 1971; Chillima, Leartheart 2001; Havill, Foottit 2007).

Chillim and Leartheart (2001) juga menyebutkan bahwa P. boerneri merupakan serangga yang terintroduksi ke Afrika yaitu tepatnya di pegunungan Malawi yang menjadi ancaman untuk berbagai jenis pinus eksotik di sana. Serangan serangga ini pada P. kesya menurunkan sampai 5% pertumbuhan pohon. Kehidupan serangga itu dipengaruhi oleh curah hujan total dan juga struktur tajuk pohon. Havill and Foottit (2007) menyebutkan bahwa inang utama dari serangga ini adalah famili Picea misalnya spruce dan tsuga sedangkan inang keduanya adalah berbagai jenis pinus. Demikian pula San and Shanchun (1997) menyebutkan bahwa serangga ini mempunyai dua inang ialah Picea dan Pinaceae. Family Pinaceae pohon yang disenangi terutama yang mempunyai dua atau tiga jarum (Carter 1971). P. merkusii salah satu jenis dari famili Pinaceae tanaman asli Indonesia menyebar sampai 2o L.S. (Mirov 1967) dan merupakan jenis pinus dengan dua jarum, terserang oleh kutulilin pinus secara berkepanjangan (dideteksi adanya serangan pada tahun 1997 dan terus berlanjut hingga saat ini). Hal ini diperkirakan karena luas tanaman pinus di Jawa yang sudah mencapai 850.000 ha lebih (Fachroji 2010), ditanam pada wilayah dengan ketinggian di atas 500 m dpl dan ditanam secara monokultur. Ini dapat meningkatkan kemungkinan tegakan pinus untuk diserang oleh kutulilin pinus. Perkembangan serangga merupakan ancaman bagi tegakan P. merkusii karena akan menurunkan fungsi dari tujuan penanaman P. merkusii. Untuk itu penanaman pinus seharusnya dilakukan dengan sistem campuran sehingga tidak hanya satu jenis. Penanaman dengan sistem campuran akan menimbulkan rintangan fisik (physical barrier) dan juga kimia. Kegiatan lain yang dapat dilakukan adalah pengaturan jarak tanam, pemupukan dan pemantauan secara dini akan keberadaan hama dan faktor pengganggu lain, sehingga pengendalian dapat dilakukan dengan cepat.

Penyebaran pinus yang pada umumnya pada ketinggian > 500-2000 m dpl yang berarti banyak berfungsi lindung yang harus dijaga keberadaannya. Hal ini memerlukan penanganan yang lebih spesifik diantaranya ialah dengan pengembangan musuh alami dan penelitian tanaman yang resisten terhadap serangan hama ini.

Havill and Foottit (2007) menyebutkan bahwa P. boerneri merupakan serangga terintroduksi yang paling merusak dan mengancam ekosistem hutan di Amerika Utara. Keadaan ini analog dengan yang terjadi di Indonesia hama ini merupakan hama yang terintroduksi, penyebaran relatif cepat, serangan hama ini cukup mengkawatirkan karena menyebabkan pohon tumbuh tidak normal, kematian pucuk dan bahkan kematian pohon yang berarti merusak ekosistem hutan P. merkusii dan menurunkan dan mengganggu fungsi hutan. P. merkusii

bagi Perum Perhutani merupakan tanaman unggulan kedua setelah jati karena pinus penghasil kayu dan getah yang akan melibatkan masyarakat dalam penyadapan getahnya dan pengolahan getah lebih lanjut. Kerusakan hutan pinus berarti menurunnya fungsi hutan. Untuk itu pengetahuan mengenai tempat tumbuh inang cukup diperlukan agar pengelolaan hutan terutama pengendalian dari serangan hama akan lebih baik.

Serangan hama kutulilin pinus ini ditunjukkan dengan gejala daun menguning, pertumbuhan tanaman tidak normal (kerdil), percabangan lebih banyak, terjadi mati pucuk (dieback) dan kematian pohon. Tanda serangan sangat mudah diketahui diantaranya benang-benang halus berwarna putih dan pendek yang menutupi bagian tanaman terserang bila dikupas di dalamnya terdapat kutulilin pinus. Coulson and Witter (1984) menyebutkan bahwa P. boerneri menyenangi tanaman dengan kulit kasar dan bercelah-celah. Keadaan ini dimiliki oleh P. merkusii ialah mempunyai kulit kasar dan bercelah-celah. Namun dari hasil pengamatan untuk melihat lebih jauh mengenai gejala, tanda dan sebaran lilin di tanaman didapatkan bahwa serangga ini menyukai daerah pucuk yakni daerah pertumbuhan tanaman dan pada ketiak daun. Tidak ada preferensi mengenai daerah pucuk yang diserang, semua daerah pucuk diserang tanpa pilih-pilih bagian pucuk mana. Bila serangan berlanjut maka akan

42

menyebar ke batang tanaman dan berada pada celah celah kulit. Hal ini banyak terjadi pada tanaman dewasa (KU II ke atas).

Tabel 3. Korelasi antar variabel lingkungan (Suhu, CH dan ketinggian tempat)

Variabel Suhu Arcsin RH% Ln_Nph Ln_Elevasi

Umur rp 0.003 0.139** –0.092* –0.017 Sig. 0.939 0.002 0.044 0.703 Suhu rp –0.183** –0.283** –0.433** Sig. 0.000 0.000 0.000 Arcsin RH% rp 0.120** 0.018 Sig. 0.008 0.690 Ln_Nph rp 0.243** Sig. 0.000

Keterangan: **= Korelasi signifikan pada tingkat kepercayaan 0.01 (dua-arah); *=Korelasi signifikan pada tingkat kepercayaan 0.02 (dua-arah); Sig.=signifikan; Ln_Nph=Ln jumlah individu pohon, Ln_Elevasi=Ln ketinggian tempat diatas permukaan laut (m)

Tabel 3 di atas menunjukkan korelasi statistik antara umur, suhu, kelembaban, ketinggian tempat, dan jumlah individu pohon. Berdasarkan tabel tersebut dapat dilihat bahwa korelasi antara suhu udara dengan kelembaban, jumlah pohon per hektar dan elevasi adalah signifikan pada tingkat kepercayaan 0.01, sehingga dapat dikatakan bahwa ada korelasi antara suhu dengan kelembaban, jumlah pohon per hektar dan elevasi. Korelasi kelembaban dan jumlah pohon per hektar juga signifikan pada 0.01, sedangkan kelembaban dan elevasi tidak ada korelasi. Untuk jumlah individu dengan elevasi juga berkorelasi, hal ini bisa dilihat pada tingkat signifikan 0.01. Variabel-variabel yang tidak berkorelasi adalah umur dengan suhu, dan kelembababan udara dengan elevasi.

Carter (1997) menyebutkan bahwa serangga yang memakan conifer yang termasuk ke dalam famili Adelgidae termasuk super famili Aphidoidae ordo Homoptera merupakan serangga yang cukup potensial menimbulkan kerusakan di Amerika Utara. Havill and Foottit (2007) menyebutkan bahwa P. boerneri

merupakan serangga endemik di lingkungan boreal dan temperate. Penyebaran alami dari P. boerneri juga belum diketahui secara pasti.

Schoonhoven, van Loon, Dicke (2005) menyatakan bahwa hubungan antara serangga dan tanaman sangatlah erat karena keduanya adalah faktor yang secara kuantitatif tersebar sangat luas di dunia ini baik secara jumlah biomasa maupun kelimpahan spesiesnya, terutama serangga mempunyai jumlah jenis yang sangat berlimpah.

Schowalter (2006) menyebutkan bahwa serangga merupakan organisme hidup yang terbesar jumlah jenisnya, yang pada umumnya merupakan pemakan tumbuhan. Dari dua pernyataan tersebut maka kehidupan serangga fitopag sangat dipangaruhi oleh kehidupan tanaman inangnya. P. boerneri merupakan serangga spesialis yang mempunyai kekhususan inang berarti dalam pengambilan keputusan untuk mendapatkan inang informasinya sempit dan sangat spesifik, namun bila sudah bertemu inangnya maka akan berkembang dengan baik dan menjadi ancaman hama bagi tanaman yang diserangnya. Hal ini terjadi pada tanaman P. merkusii yang merupakan inang dari P. boerneri dan menjadi ancaman bagi tegakan tersebut (Carver, Gross and Woodward 1996).

Hubungan serangga dan tanaman selalu ada dan dapat bersifat positif maupun negatif dan hampir 50% serangga mendapatkan makanan dari tanaman. Dapat disebut di sini bahwa P. boerneri merupakan serangga yang mendapatkan makanan dari tanaman dengan cara menusuk menghisap cairan tanaman yang terserang. Pada umumnya serangan serangga ini kurang membahayakan bila dibandingkan dengan serangan serangga yang memakan daun dan batang, namun ada beberapa spesies dari ordo Himeptera dapat menyebabkan kematian tegakan hutan di antaranya adalah Aldeges piceae yang menyerang tanaman balsam dan menjadi ancaman bagi tanaman tersebut (Coulson and Witter 1984). Hal ini juga terjadi pada P. boerneri yang terbukti menurunkan pertumbuhan Pinus kysea

dengan kisaran sekitar 5% (Chillima and Learthert 2001). Di Jawa serangan Kutulilin pinus yang berulang dapat menyebabkan pertumbuhan tidak normal dan bahkan kematian pohon terutama pohon pada awal pertumbuhan. Hal ini dapat dilihat dari hasil penelitian bahwa tingkat kerusakan pohon bervariasi dari ringan sampai berat. Tanaman pada awal pertumbuhan (KUI) pada umumnya mengalami kematian setelah dua tahun dari awal serangan. Sedangkan tanaman dewasa kematian pada umumnya terjadi setelah mengalami serangan cukup lama (>lima tahun).

Kehidupan P. boerneri dipengaruhi oleh lingkungannya yang sifat selalu berubah-ubah. Lingkungan ini menggambarkan jumlah total dari kondisi fisis, biotis dan juga makanan. P. boerneri mempunyai kekhususan inang, yakni hanya

44

Gambar 21 Hubungan intensitas serangan terhadap; (a) suhu (b) ketinggian dari permukaan laut, dan (c) curah hujan.

menyerang jenis-jenis dari famili Pinaceae (Gymnospermae) tahan terhadap suhu rendah dan berasal dari daerah boreal dan temperate (Carter 1971, Chilima and Leatheart 2001). Untuk menemukan inangnya serangga dipengaruhi oleh beberapa faktor misalnya Homoptera; Aphididae dalam menemukan inangnya tertarik pada warna kuning hijau (Larry 1996). P. merkusii merupakan salah satu famili Pinaceae, tanaman asli Indonesia, mempunyai bentuk tajuk istimewa berbentuk kerucut dengan warna hijau yang sangat memudahkan untuk membedakan dari jenis-jenis yang lain (Mirov 1967). Siregar (2000) menyebutkan bahwa P. merkusii tumbuh baik pada wilayah dengan ketinggian antara 500 sampai 2000 m dari permukaan laut, walaupun dapat tumbuh juga pada ketinggian tempat antara 200-2500 m dari permukaan laut. Ternyata serangan kutulilin pinus hanya terbatas pada tegakan P. merkusii dengan ketinggian tempat tumbuh > dari 900 m dpl, dengan suhu antara 16- 220C, dengan kelembaban antara 80-90% (Tabel 2). Hal ini menunjukan bahwa P. boerneri yang berasal dari daerah temperate dan sub tropis mampu berasosiasi pada daerah tropis namun yang mempunyai suhu relatif rendah. Hal ini juga ditunjukan adanya pengaruh

suhu dan ketinggian tempat terhadap besarnya serangan. Jumlah pohon per ha juga mempengaruhi serangan. Hal ini terjadi disebabkan oleh kemudahan penjalaran serangan kerena jumlah pohon per ha menunjukan juga kerapatan pohon, semakin rapat pohon semakin mudah hama menyebar apalagi bila ada bantuan angin.

Diekman (2002) menyatakan bahwa serangga dengan ukuran kecil dapat menimbulkan resiko yang besar bila mendapatkan inang yang tepat pada lokasi baru, terutama dari ordo Homoptera (Aphid, Mealybug, dan serangga bersisik lainnya) serangga ini pada umumnya menyerang bagian pucuk tanaman yang merupakan bagian pertumbuhan dari tanaman. Hal ini menurut Deikman (2002) sudah terdokumentasi dengan baik di Amerika Utara namun belum ada di wilayah lain. P. boerneri telah menyerang lebih dari 6500 ha dengan waktu yang relatif cepat. Hal ini dimungkinkan karena hutan tanaman P. merkusii merupakan tanaman monokultur dengan umur yang relatif sama, dengan kondisi lingkungan yang juga relatif sama terutama suhu dan kelembaban, tumbuh sambung menyambung dari mulai Jawa Barat sampai Jawa Timur. Unsur unsur ini sangat menentukan kehidupan serangga. Serangga merupakan binatang yang bersifat

piokilotermal dimana suhu tubuh sangat dipengaruhi oleh suhu lingkungannya dan sangat berpengaruh terhadap perkembangan, pertumbuhan dan penyebaran geografisis dari serangga.

P. boerneri yang berasal dari daerah temperate menemukan inang didaerah tropis yang tumbuh didaerah dengan suhu relatif rendah menyediakan makanan berlimpah sehingga P. boerneri dapat berkembang biak dengan cepat dan menyebar keseluruh wilayah hutan tanaman P. merkusii yang khusus mempunyai suhu relatip rendah tersebut (P. boerneri mempunyai adaptasi tinggi pada suhu dingin (Carver, Gross, and Woodward 1996; Chilima and Leatheart 2001; San and Chanshun 2006).

Kecepatan pertumbuhan serangga ini diperkirakan dipengaruhi juga oleh musim. Di Indonesia yang mempunyai dua musim ialah kemarau dan hujan dengan perubahan suhu dan kelembaban yang relatif tidak besar hal ini menyebabkan tidak terjadinya dormansi pada serangga dan perkembang biakan terjadi secara terus menerus.

46

Mengenali gejala dan tanda adanya serangan hama sangatlah penting. Dengan dua indikator ini petugas lapangan dengan cepat dapat menemukan adanya serangan dan secepatnya melakukan tindakan pengendalian. Gejala yang ditimbulkan dari serangan kutu ini ialah : terjadinya perubahan warna pada daun daun berwarna kuning, terjadi kematian pucuk (dieback), perubahan pertumbuhan pucuk (pucuk tumbuh kerdil), kematian pohon dan pengelupasan kulit pohon. Indikator ini pada dasarnya belum cukup untuk menentukan bahwa pohon tersebut terserang oleh P. boerneri karena banyak faktor pengganggu lain yang gejalanya sama dengan serangan P. boerneri. Untuk itu harus dibarengi dengan pemeriksaan tanda-tanda adanya serangan dan tanda serangan ini sangat mudah untuk dikenali ialah adanya lapisan benang-benang halus, pendek berwarna putih yang menyelimuti bagian tanaman terserang. Tingkat serangan menggambarkan kondisi pohon yang diakibatkan oleh seberapa besar pengaruh serangan hama pada pohon yang ditentukan oleh intensitas serangan, sebaran hama pada pohon dan kemampuan pohon dalam mempertahankan diri, serta kondisi lingkungan.

P. boerneri merupakan hama baru/eksotik pada P. merkusii, menyebar cepat dan dapat mematikan pohon terserang. Kondisi ini dapat dikatakan bahwa serangga ini merupakan hama potensial bagi P. merkusii. Berarti hama ini sudah mendapatkan inang dan sudah mampu menginvasi inang dan sudah beradaptasi dengan lingkungan inangnya. Tingkat serangan yang bervariasi dari mulai ringan sampai dengan berat menunjukan interaksi yang dinamis dari hama dan tanaman inang maupun lingkungannya. Serangga dan tanaman inang mempunyai hubungan timbal balik yang dinamis karena hubungan ini juga dipengaruhi oleh lingkungan dan juga waktu (Price 1984). Perilaku makan dari serangga pengisap cairan terbentuk melalui proses yang panjang. Schoonhoven, van Loon, and Dicke(2005) menyatakan ada dua hal penting dalam interaksi antara tanaman dan serangga ialah apa yang dapat disediakan oleh tanaman bagi serangga dan bagaimana serangga tersebut mendapatkan kebutuhannya. Dari dua hal ini akan terjadi dua hal yang dinamis karena tanaman akan mempertahankan diri dan serangga akan mencari jalan bagaimana dapat mendapatkan kebutuhan hidupnya. Untuk serangga sap sucking bila sudah menemukan inang maka akan melakukan aktivitas serangan yang dibantu oleh sensor yang terletak di bagian belakang alat

mulut untuk dapat mendeteksi adanya makanan. Pinus termasuk ke dalam kelompok softwood, tumbuh baik pada ketinggian >500 mdpl, mempunyai kulit kasar, tebal dan bercelah celah. Coulson and Witter (1984) menyebutkan bahwa serangga ini menyenangi tanaman dengan kulit kasar bercelah-celah hal ini akan membantu kutulilin pinus mempertahankan kehidupannya.

Penemuan inang bagi serangga bukan merupakan hal yang mudah (Schoonhoven, van Loon, and Dicke 2005). Namun Dieckman et al. (2002) menyatakan bahwa serangga terutama anggota dari kelompok Hemiptera dan Homoptera bila telah menemukan inang yang sesuai maka akan berkembang dengan cepat dan menjadi ancaman bagi tanaman hutan dan ekosistemnya. Hal ini terjadi pada kutulilin pinus yang menyerang P. merkusii. Dampak serangan cukup mengkhawatirkan dengan penyebaran yang cukup cepat. Iriando (2011) mendapatkan bahwa ada perbedaan jumlah populasi dan konsentrasi serangan dari masing-masing tingkat serangan, bahwa jumlah maupun konsentrasi tertinggi ada pada bagian pucuk pohon.

P. boerneri (Hemiptera; Adelgidae) ditemukan menyerang pertama kali pada tahun 1997 terus menyebar dan pada tahun 2009 sudah menyerang >6500 ha tegakan pinus di P. Jawa khususnya P. merkusii yang merupakan tanaman asli Indonesia (belum ditemukan serangan kutulilin pinus pada jenis lain yang di Indonesia merupakan jenis asing misalnya P. oocarpa, P. caribea). Bila dilihat penampakan luar terdapat perbedaan pada tampilan kulit, kulit P. merkusii lebih kasar dan berlekuk-lekuk. Kondisi ini menurut Coulson and Witter (1984) merupakan kondisi yang disenangi oleh hama ini, yang pada dasarnya merupakan kondisi dimana serangga akan lebih mudah menghindar dari faktor pengganggu maupun perubahan cuaca.

Dokumen terkait