• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pinus disebut juga tusam (P. merkusii Jungh et de Vriese) merupakan jenis asli daerah tropis. Di Indonesia pinus tumbuh secara alami di Sumatera bagian Utara yaitu di Aceh (strain Aceh), Sumatera Utara (strain Tapanuli), Sumatera Barat dan Jambi (strain Kerinci). Menurut catatan Mirov (1967), pinus menyebar dari 23o lintang utara sampai 2º lintang selatan. Selanjutnya Mirov (1967) menyebutkan pula bahwa bentuk tajuk pohon pinus yang seperti kerucut dan selalu hijau menyebabkan pohon pinus sangat mudah untuk dikenali dan dibedakan dari jenis yang lain. Sementara itu Siregar (2005) mencirikan bahwa batang pohon pinus tidak berbanir, kulit luar kasar berwarna coklat kelabu sampai coklat tua, tidak mengelupas, beralur lebar dan dalam.

P. merkusii mempunyai perakaran dalam, intersepsi dan evapotranspirasi yang tinggi sehingga sangat bagus untuk digunakan sebagai tanaman pada kawasan lindung (Indrajaya and Handayani 2007). Hal ini juga ditunjukkan oleh kemampuan tanaman pinus tumbuh pada ketinggian 500-2000 mdpl, pada berbagai tipe iklim dan tanah (Siregar 2000). Keistimewaan lain dari pohon pinus adalah mampu tumbuh dan bersaing di tempat terbuka dan miskin hara (Anonimous 1976), namun akan tumbuh maksimum bila ditanam pada wilayah dengan curah hujan tinggi >3000 mm per tahun, pada ketinggian antara 400-2000 mdpl (Pujianto 2005).

Di wilayah Sumatera bagian Utara, pohon ini merupakan obyek penelitian para ahli. Obyek penelitian seluas 130.000 ha itu menyebar di 12 lokasi, terutama di Aceh dan Sumatera Utara. Hamparan areal penelitian itu kemudian menjadi kelompok-kelompok areal kecil karena di kawasan tersebut sering terjadi kebakaran (Mirov 1967). Di Aceh Tengah tegakan pinus ditemui dalam 10 lokasi utama dengan luas sekitar 70.000 ha. Di beberapa tempat tegakan ini tumbuh secara murni namun di beberapa tempat lain ada yang tumbuh bercampur dengan jenis pohon daun lebar (Mirov 1967). Husaeni, Kasno, Haneda, Rachmatsyah (2007) menyebutkan beberapa serangga pengganggu pada sebaran asli pohon pinus diantaranya adalah Dyorectria rubella yang menyerang daun pinus,

6

demikian juga Melionia basalis dan beberapa jenis ulat kantong. Neotermes curvignatus juga didapatkan disebaran aslinya, serangga ini menyerang batang pinus. Pengamatan secara pribadi pada tahun 2010 pernah dilakukan dan belum ditemukan serangan kutulilin pinus di habitat asli pohon pinus ini.

Luas hutan P. merkusii di Indonesia yang merupakan hutan tanaman dan hutan alam sampai tahun 2008 mencapai 1.312.607 ha (Pusat Litbang Perhutani 2008), yang tersebar di beberapa provinsi seperti dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Luas hutan P.merkusii pada beberapa provinsi di Indonesia

Provinsi Hutan Tanaman (Ha) Hutan Alam (Ha)

Jawa Barat 232.853 Jawa Tengah 303.038 Jawa Timur 317.915 Lampung 151 Sumatera Selatan 700 Sumatera Barat 28.800 Sumatera Utara 67.150 Sulawesi Selatan 110.600 Sulawesi Tenggara 16.250 Sulawesi Utara 5.250 Aceh 230.000 Total 986.757 325.950

Sumber : Pusat Litbang Perhutani 2008.

Di bidang kehutanan, pinus merupakan tanaman yang cukup penting, dan sejak jaman Belanda sudah mendapat perhatian. Pada tahun 1916 jenis pohon tersebut mulai ditanam di Jawa (Sutigno 1983) kemudian pada tahun 1937 disusun rencana perusahaan tanaman pinus untuk daerah Lembang Jawa Barat. Hal ini dapat dipahami mengingat pohon pinus merupakan tanaman asli Indonesia, cepat tumbuh, bersifat pionir, dapat menghasilkan produk kayu dan bukan kayu. Produk kayu yang dihasilkan mempunyai keistimewaan karena warnanya yang putih agak kekuningan sangat diminati untuk bahan bangunan, mebel, perkakas rumah tangga, industri makanan (sumpit, tusuk gigi) dan sebagai bahan baku pulp dan kertas (Pandit and Ramdan 2002, Sutigno 1983). Sedangkan produk bukan kayu yang sangat penting ialah getah yang saat ini merupakan hasil hutan bukan kayu yang menjadi unggulan karena permintaan ekspor yang cukup tinggi (Fachroji 2010).

Pinus yang dikembangkan di Jawa merupakan hutan tanaman yang dikelola oleh Perum Perhutani dan dijadikan sebagai tanaman unggulan kedua setelah jati. Sukmananto dalam Perum Perhutani (2012), menyatakan bahwa kegiatan reboisasi dan rehabilitasi hutan akan ditujukan untuk perluasan jenis pinus dalam rangka memenuhi kebutuhan bahan baku pabrik derevatif getah pinus yang sedang dibangun di Pemalang. Kapasitas pabrik direncanakan sebesar 110.881 ton per tahun, yang akan dipenuhi melalui perluasan maupun intensifikasi hutan pinus, maupun melalui pembelian getah dari luar kawasan hutan Perum Perhutani ialah hutan pinus yang banyak tersebar di luar Pulau Jawa (Perum Perhutani 2012). Dalam hal ini hutan pinus ditujukan untuk fungsi produksi kayu maupun bukan kayu.

Suparno (2011) juga mengungkapkan bahwa salah satu produk hasil hutan bukan kayu yang mempunyai prospek cerah di masa mendatang untuk dikembangkan adalah gondorukem, karena ditunjang oleh potensi hutan pinus yang cukup besar yang sampai saat ini belum dimanfaatkan secara optimal dan adanya peluang pasar yang terbuka lebar, baik untuk keperluan ekspor maupun domestik.

Getah pinus dapat diproduksi setelah pohon berumur >10 tahun dengan hasil antara 30-60 kg per ha per tahun. Getah merupakan bahan baku produk gondorukem yang dapat mencapai antara 20-40 kg per ha per tahun dan terpentin dapat mencapai 7-14 kg per ha per tahun untuk getah sebesar 30-60 kg per ha per tahun. Gondorukem sangat dibutuhkan oleh industri batik, sabun, cat, dan juga kosmetik. Sedangkan terpentin yang mempunyai bau harum yang khas sehingga produk tersebut banyak digunakan sebagai produk aroma terapi dan berbagai produk lain seperti pembersih lantai (Fachroji 2012).

Dalam proses pembuatan papan, mebel, alat-alat rumah tangga dan produk lainnya dihasilkan limbah serbuk gergajian. Limbah gergajian kayu pinus ini dapat dijadikan briket arang dengan nilai kalori yang cukup tinggi, karena kayu pinus mempunyai nilai energi tinggi ialah antara 20.300-23.000 kj per kg.

Fungsi ekologis juga dapat diberikan oleh hutan pinus hal ini dikarenakan pohon pinus mempunyai perakaran yang dalam serta tidak menggugurkan daun (evergreen). Dalam hal ini, hutan pinus berfungsi sebagai regulator air (mengatur

8

tata air) dilingkungannya (Siswomartana 2002). Fungsi ekologis dimulai saat hujan turun dan tajuk pohon menyimpan air sebagai air intersepsi, kemudian disusul oleh proses evapotranspirasi dan kemudian diikuti oleh kemampuan pengendalian aliran air. Siswomartana (2002) juga menyatakan bahwa tegakan pinus mempunyai fungsi sosial, manfaat ini dikarenakan keberadaan getah yang melibatkan masyarakat sekitar hutan untuk proses penyadapan getah. Petani dalam proses penyadapan ini mendapatkan kenaikan pendapatan sekitar 61%, dan dengan adanya pabrik pengolahan getah maka diperlukan juga tenaga kerja untuk pengelolaan pabrik.

Peran hutan tanaman pinus dimulai dari peran tajuk menyimpan air sebagai air intersepsi. Sampai saat ini intersepsi belum dianggap sebagai faktor penting dalam daur hidrologi. Bagi daerah yang hujannya rendah dan kebutuhan air dipenuhi dengan konsep water harvest maka para pengelola Daerah Aliran Sungai (DAS) harus tetap memperhitungkan besarnya intersepsi karena jumlah air yang hilang sebagai air intersepsi dapat mengurangi jumlah air yang masuk ke suatu kawasan dan akhirnya mempengaruhi neraca air regional. Peran hutan tanaman pinus dalam proses siklus air yang kedua adalah evapotranspirasi. Peranan hutan tanaman pinus pada proses siklus air tergantung pada beberapa parameter seperti yang digambarkan pada Gambar 2.

Kutulilin pinus, Pineus boerneri Annand (Adelgidae; Hemiptera)

Pineus boerneri merupakan salah satu spesies dari famili Adelgidae super famili Aphidoidae (Hemiptera) (Havill and Foottit 2007). Kehidupan serangga ini sangat unik hanya menyerang Gymnospermae dari famili Piceae dan famili Pinaceae sebagai inang utama dan inang kedua. Siklus hidup kutu ini sangat kompleks, yaitu terdapat siklus seksual dan aseksual dan terdiri dari beberapa generasi karena terjadinya pertukaran inang dari inang pertama ke inang kedua (Carver 1971). Proses siklus hidup yang terjadi pada dua inang ialah dimulai pada inang pertama, kemudian dilanjutkan ke inang kedua dan disertai dengan dormansi. Kehidupan aseksual ditemui bila serangga ini hidup hanya pada satu inang (Sano and Kenichi 2012). Penyebaran alaminya belum diketahui secara pasti (Mc Clure 1991). Petro and Madoffe (2011) menyatakan bahwa serangga ini merupakan serangga asli dari Asia yaitu dari Jepang yang banyak menimbulkan kerusakan pada berbagai jenis pinus. Petro and Madoffe (2011) juga menyebutkan serangga ini disebut sebagai Pine Woolly Adelgid (PWA) karena menyerang tanaman pinus ialah Pinus patula dan Pinus elliottii yang merupakan tanaman asli di wilayah tersebut dan telah dikembangkan sebagai hutan tanaman di Tanzania. Pada kawasan ini serangga berkembang dengan cepat, sehingga kelimpahan populasinya cukup besar, yang sangat berpengaruh terhadap besarnya kerusakan.

P. boerneri hanya memakan genera tertentu dari famili Piceae dan famili Pinaceae. Dengan tidak makan genera lain, maka kutu ini dapat mempertahankan hubungan keturunan yang khusus dengan inang Gymnospermae. Havill and Foottit (2007) menyatakan bahwa serangga yang dalam kehidupannya tidak berganti inang seluruhnya bersifat aseksual. Sementara itu Chillima and Leatheart (2001) menyatakan bahwa P.boerneri sudah terintroduksi ke Malawi, memakan kulit, daun dan dasar daun jarum P. kesiya. Selanjutnya Mc Clure (1991) menyebutkan bahwa tanaman yang terserang akan diselimuti benang-benang halus berwarna putih seperti wol. Sedangkan Mc Clure (2001) menyatakan bahwa P.boerneri bersifat polimorphic dan banyak yang partenogenesis dengan penyebaran yang terluas pada daerah artik.

10

Pada waktu ini ditemukan ada sekitar 20 spesies PWA endemik di Asia dan terintroduksi secara tidak sengaja pada tanaman budidaya. Di Indonesia serangga ini ditemukan pertama kali pada tahun 1997 menyerang tegakan P. merkusii di daerah Ujung Berung, BKPH Manglayang Barat, KPH Bandung Utara, Jawa Barat. Serangan hama ini menyebabkan tajuk pohon pinus berubah warna dari hijau menjadi kuning dan akhirnya menjadi coklat dan diikuti oleh kematian tanaman. Pada tahun 2001, serangan hama ini sudah mencapai daerah KPH Sumedang, menyerang semua kelas umur tanaman pinus, dan juga menyerang tegakan benih yang telah berumur 30 tahun, bahkan bibit di persemaian (Supriyadi 2001). Cepatnya penyebaran hama ini dan dampak yang ditimbulkannya cukup mengganggu pertumbuhan pohon sehingga pada tahun 2001 diadakan percobaan pengendalian dengan menggunakan insektisida, yang diaplikasikan pada tanah di sekitar pohon dan penyemprotan terhadap pohon terserang. Percobaan dikenakan pada tanaman dengan kelas umur satu. Ternyata kedua metode aplikasi insektisida ini dapat mengurangi serangan hama (Supriyadi 2001). Sementara itu dilaporkan bahwa di Brazil P. boerneri merupakan spesies pertama dari Adelgidae yang menyerang berbagai jenis pinus di sana, menyerang bagian cabang dan batang (Lazzari and Cordoso 2011).

Carter (1971) menyatakan bahwa didasarkan pada jumlah spirakel, serangga yang termasuk pada Adelgidae yang khusus menyerang konifer, dapat digolongkan ke dalam dua genera ialah Pineus dan Aldeges. Genera Pineus

mempunyai empat spirakel pada abdomen, sedangkan Aldeges mempunyai lima pasang spirakel pada abdomen. Penggolongan kedua genera tersebut pada tingkat spesies sangat sulit karena rumit dan uniknya spesies ini. Carter (1971) menyebutkan bahwa studi mengenai serangga ini sudah dimulai sejak tahun 1889 oleh Cholodhovsky dan pada tahun 1908 penelitian dilakukan oleh Borner pada spesies-spesies yang ada di Eropa. Burdon pada tahun 1908 mengulas lebih lanjut penemuan Cholodhovsky untuk kepentingan pengendalian serangga ini yang menyerang tanaman pinus yang tumbuh di Inggris. Psichorn and Walcher, Zwaller (1958) dalam Carter (1971) mengulas klasifikasi berdasarkan ciri-ciri morfologi dari nimfa. Demikian pula Eichhorn (1958) and Bushy (1962) menyebutkan bahwa berdasarkan dari morfologi serangga yang menyerang Silver

fir di Eropa didapatkan tiga spesies utama. Carter (1971) juga menyebutkan bahwa Annand pada tahun 1928 mendeskripsikan family Adelgidae yang ada di Amerika sedangkan Inyvou pada tahun1953 memberikan deskripsi serangga dari famili Adelgidae yang ada di Jepang.

Carter (1971) menyebutkan bahwa serangga yang memakan konifer diketahui sebagai famili Adelgidae, super famili Aphidoidae ordo Homoptera, mempunyai ciri-ciri tubuh lunak, berukuran sangat kecil kurang lebih satu mm, berbentuk bulat lonjong ruas antena pendek, permukaan tubuh buntet dan meletakkan telur baik yang seksual maupun aseksual dan merupakan serangga pengisap cairan tanaman (sap sucking insect). Untuk mengetahui lebih lanjut mengenai serangga ini, maka pada tahun 2003 diadakan peninjauan lebih lanjut, meliputi daerah Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur, yang serangannya sudah bertambah luas (hampir 2.000 ha) (Perum Perhutan 2008). Tahun 2006 diadakan penelitian lebih lanjut mengenai serangga ini dan oleh Dr. G. W. Watson, seorang ahli biosistematik dari Asosiasi Biosistematik Serangga USA dinyatakan bahwa kutulilin pinus termasuk ke dalam :

Philum : Arthropoda Kelas : Insekta Ordo : Hemiptera Subordo : Sternorrhyncha Superfamili : Aphidoidea Famili : Adelgidae Genus : Pineus

Spesies : boerneri Annand.

Famili Adelgidae adalah salah satu famili dengan jumlah spesies yang hanya sedikit dari subordo Sternorrhyncha. Subordo Sternorrhyncha ini mencakup kutu loncat (Psyllidae), lalat putih (Aleyrodidae), aphid (Aphididae), kutu tanaman (Coccidae) dan serangga bersisik (scale insect) lainnya. Pineus boerneri adalah salah satu anggota famili Adelgidae yang sangat dekat hubungannya dengan Aphididae, disebut juga sebagai “woolly conifer aphids”,

12

(Havill and Foottit 2007) karena hama ini menyerang tanaman pinus. Havill and Foottit (2007) menyebutkan pula bahwa famili Aldegidae mempunyai hampir 50 spesies, sedangkan Sanyang and Sanchun (1997) menyebutkan bahwa famili Adelgidae merupakan salah satu famili dari Homoptera dengan jumlah spesies yang hanya sedikit, terdiri dari 71 spesies yang sudah diketahui. Menurut Wilson (1997) disamping P.boerneri juga ditemukan spesies lain yang potensial menyerang konifer di Amerika, yaitu P. strobi Htg yang merupakan hama yang sangat membahayakan baik di persemaian maupun tegakan dan pada tanaman hias. Serangga ini menyerang bagian kulit pohon, serangan banyak terjadi pada tanaman yang mendapat naungan. Serangga ini disebut “pine bark aphid”karena menyerang bagian kulit pohon pinus. Wilson (1997) juga menemukan spesies lain yang menyerang bagian daun pinus, yaitu P. coloradensis Gillette. Serangga ini sangat dekat dengan P. strobi. Hama ini menyerang white pine, Jack pine dan

Scotch pine. Pineus coloradensis menyerang daun pinus yang baru tumbuh, menyebabkan daun layu dan pertumbuhannya terhenti. Tanda serangan hama ini ialah adanya lapisan lilin pada bagian terserang dan disebut sebagai “pine needle

aphids”. Spesies lain dari Pineus diantaranya adalah P. pinidisebut “pine woolly

aphid” karena tubuhnya ditutupi oleh benang halus menyerupai wol, merupakan serangga asli Eropa (Eropa Tengah dan Eropa Timur), yang terintroduksi ke daerah tropika dan subtropika pada saat pelaksanaan reboisasi dengan menggunakan Pinus spp. Speight and Wylie (2000) menyatakan serangga ini terintroduksi ke Afrika melalui pengangkutan bibit yang terserang. Di Asia Tenggara, serangga sudah terdapat di Malaysia, Taiwan dan Pakistan. Di daerah Pasifik serangga ini ditemukan di Hawai dan California.

Gambar 9 menunjukkan adanya tanda-tanda khusus yang dipunyai oleh P. boerneri seperti yang dideskripsikan oleh Annand (1928). Serangga ini mempunyai tubuh lunak, berukuran sangat kecil, sekitar satu mm, tinggal dan bereproduksi di pangkal pucuk pohon di bagian luar dari tajuk pohon inangnya. Chillima and Leatheart (2001) menyebutkan bahwa P. boerneri yang diteliti pada tanaman P. kesiya dijumpai berdiam dan berbiak pada bagian ujung pucuk paling luar pohon. Tidak ada petunjuk tentang preferensi (pemilihan) tingkat tertentu pada tajuk. Chilima and Leatheart (2001) juga mendapatkan bahwa status hama

dari P. boerneri pada tanaman P. kesiya dipengaruhi oleh faktor luar (eksternal) terutama kandungan dan fluktuasi musiman dari N dalam pohon, curah hujan dan struktur tajuk dan tahan terhadap suhu dingin. Di Afrika beberapa musuh alami (parasit dan predator) telah ditemukan, tergolong dalam enam famili dari empat ordo: Diptera, Coleoptera, Hymenoptera dan Neuroptera misalnya dari famili Braconidae ordo Hymenoptera yang banyak sebagai musuh alami beberapa serangga hama (Ciesla 2011). Serangga ini menghasilkan lilin (wax) berwarna putih menutupi seluruh tubuhnya (Watson 2007, Carver, Gross, Woodward. 1996).

Menurut Carver, Gross, Woodward (1996) P.boerneri mempunyai kepala dengan tipe opisthognathus, dengan bagian alat mulut mengalami modifikasi membentuk paruh yang mempunyai saluran panjang yang digunakan untuk menusuk jaringan tumbuhan dan kemudian menghisap cairan tumbuhan tersebut. Alat mulut terletak di bagian depan kepala, menjulur ke belakang sepanjang sisi ventral tubuh. Antena pada generasi tanpa sayap terdiri dari tiga segmen, pembuluh sayap CuA1 dan CuA2 pada sayap depan terpisah, sayap belakang pada umumnya mempunyai satu pembuluh miring dan pada serangga betina selalu terdapat ovipositor (Carver, Gross, Woodward 1996).

Pada sebaran aslinya serangga dari famili Adelgidae bersifat polimorfik, dengan siklus hidup yang kompleks (Carver, Gross, Woodward 1996). Serangga ini mudah bermigrasi dan tahan terhadap suhu dingin (Annis 2002). Sementara itu Carter (1971) menyebutkan bahwa Pineus merupakan serangga yang bertubuh lunak dan memakan cairan pohon, selanjutnya Carter (1971) juga menyebutkan bahwa siklus hidup dari spesies-spesies yang tergolong Adelgidae sangat beragam dan kompleks. Siklus hidupnya itu akan berlangsung selama dua tahun akan tetapi dari satu generasi ke generasi yang lain akan hidup secara tumpang tindih. Dua pohon inang terlibat dalam kehidupan serangga ini, inang pertamanya adalah spruce (Picea sp.) dan inang keduanya selalu konifer lainnya (San, Sanchun 1997).

Penyebaran P. boerneri meliputi benua Amerika, Australia, Asia, Afrika dan Eropa disajikan pada Gambar 2. Di Amerika sebelah utara serangga ini menyerang tanaman daun jarum (Tsuga, Spruce, Picea). Di Asia sudah

14

ditemukan di Vietnam, Jepang, Taiwan dan China (Havill, Foottit 2007). Penyebaran dan fluktuasi populasi kutulilin pinus di lapangan dipengaruhi oleh faktor penghalang, dapat berupa penghalang alami misalnya jurang, gunung, sungai, tumbuhan dari jenis lain yang bukan jenis daun jarum, atau karena musim. Laela (2008) menyebutkan bahwa populasi kutulilin pinus meningkat pada musim kemarau.

Keterangan: Ada, tidak berkembang, Menyebar luas, Penyebaran hanya dalam sebuah negara

Gambar 2 Peta penyebaran P. boerneri di dunia.

Awal penyebaran P. boerneri ke berbagai tempat diperkirakan dari Pinus radiata yang berasal dari California yang telah tertulari hama ini dan kemudian menyebar keberbagai wilayah. Di Amerika disebut sebagai Pineus laevis Maskell dan P. pini Marquart (Ciesla 2011). Sedangkan yang terintroduksi ke Afrika pada 1968 diperkirakan melalui materi P. taeda yang diimport dari Australia.

Di Malawi P. boerneri menyerang lebih dari 50 jenis pohon Pinus eksotik (Chilima, Leather 2001). Hama ini menyerang bagian kulit pohon, pucuk dan serangan dimulai dari bagian pangkal daun. McClure (1982, dalam Chilima, Leather 2001) menyebutkan bahwa serangga ini menyerang tanaman pada bagian tajuk dan menghasilkan lilin yang menutupi seluruh bagian tubuh serangga. Pohon yang terserang sangat mudah untuk dikenali dengan adanya lapisan berwarna putih pada bagian pohon terserang. Di Cina conifer woolly aphid

merupakan hama utama pohon konifer dan peledakan populasinya sangat dipengaruhi oleh intensitas cahaya (San, Sanchun 1997).

Gambar 3 Pucuk pohon P. merkusii yang terserang P. Boerneri di lokasi pengamatan (a) KPH Lawuyang. (b) KPH Lawu. (c) KPH Kediri. (d) KPH Bandung Utara.

Ket: (1) Pucuk pohon terserang mengalami kekeringan dan berwarna coklat, (2) Pucuk pohon terserang mengalami kekeringan saja.

Gejala serangan lain yang dapat dilihat pada pohon yang diserang adalah daun menguning (Gambar3b). Pada serangan lebih lanjut daun akan berwarna coklat (Gambar 3c) dan pada serangan yang lebih parah, bagian cabang akan mati (Gambar 3d) dan bila tanaman dapat memulihkan diri akan terjadi percabangan dengan bentuk tidak normal (agak kerdil).

Chilima, Leather (2001) menyebutkan bahwa akibat dari serangan hama ini pohon akan mengalami distorsi terutama pada bagian cabang yang terserang, pertumbuhan bagian titik tumbuh terhenti (die back), pucuk menjadi lebih kecil dan kadang-kadang dapat menyebabkan kematian pohon (Gambar 3d).

Hasil pengamatan di Kenya dan Malawi ternyata bahwa pengaruh dari serangan serangga ini menyebabkan pertumbuhan pohon terhenti antara 2-5% (Chilima, Leather 2001). Kondisi pohon sangat mempengaruhi penampilan

(d) (c) (b) (a) 2 1

16

serangga hama. Sedangkan pola serangan dipengaruhi oleh waktu dan juga tempat (Dixon 1998). Paradis (2002) mendapatkan bahwa antar individu dari lokasi yang berbeda di Amerika bagian utara yang dihasilkan dari tes mitokondria DNA tidak berbeda nyata.

Di Indonesia saat ini sebaran dari P.boerneri sudah cukup luas meliputi hampir delapan persen wilayah hutan tanaman P. merkusii (serangan sudah mencapai hampir 6.000 ha), meliputi hutan tanaman di Jawa Barat (Sumedang, Bandung Utara), hutan tanaman di Jawa Timur (Lawu, Kediri, Probolinggo, Pasuruan, Jombang), dan hutan tanaman di Jawa Tengah ialah di daerah Pekalongan dan Surakarta (Pusat Litbang Perhutani 2008).

Speight, Wylie (2000) menyebutkan bahwa P. boerneri merupakan serangga yang berasal dari Asia Timur, menyebar melalui pengangkutan bibit yang terserang (Zwolenkski 1989 dalam Speight, Wylie (2000). Petro, Madoffe (2011) menemukan P. boerneri menyerang hutan tanaman pinus di Tanzania, jumlah populasi hama menggambarkan kondisi kerusakan. Jenis pinus yang diserang ialah jenis asli setempat ialah P. patula dan P.olietii. Di daerah Pasifik serangga ini sudah ditemukan di Hawai dan California. Di Afrika beberapa musuh alami P. boerneri berupa parasit dan predator sudah ditemukan, terdiri dari enam famili dari empat ordo (Diptera, Coleoptera, Hymenoptera dan Neuroptera). Braconidae menyerang aphid, kemudian ditemukan juga Panesia bicolor (parasit) yang memarasit aphid.

Serangga dan Lingkungan.

Serangga merupakan organisme yang sangat istimewa, tempat huni serangga tidak terbatas, walaupun sebagian besar hidup didaratan, namun didalam tanah sering pula dijumpai serangga, demikian pula didalam air dan di udara Ciesla (2012). Serangga sudah menghuni muka bumi ini sejak 250 juta tahun lebih (Borror 1996).

Serangga herbivora kehidupannya sangat tergantung kepada tumbuhan karena tumbuhan adalah sumber makanan dan sumber nutrisi untuk kelangsungan hidupnya (Schoonhoven, van Loon, Dicke 2005). Secara umum hubungan ini dapat dibagi menjadi tiga ialah hubungan yang menguntungkan tumbuhan misalnya penyebaran benih tumbuhan atau penyerbukan yang dapat dilakukan

oleh berbagai jenis serangga, hubungan yang menguntungkan serangga (fitopag) dan merugikan tanaman, serangga berstatus sebagai hama dan hubungan yang netral serangga tinggal pada bagian pohon tanpa merusak misalnya semut dan pohon kehidupannya tidak terganggu. Untuk serangga pitopag hubungan ini cukup rumit karena kebutuhan serangga akan nutrisi belum tentu tersedia pada pohon secara memadai terutama kebutuhan nitrogen saat serangga dalam fase reproduksi, fase pembiakan (Schoonhoven, van Loon, Dicke 2005).

Dalam hal ini, dua hal yang sangat penting adalah:

Dokumen terkait