• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III WABAH DAN PENYEBARAN PENYAKIT TERHADAP KUL

3.4 Penyebaran Penyakit Kelamin

Masalah penyakit kelamin adalah persoalan yang tidak hanya dibahas dalam ranah kesehatan namun cakupannya juga melingkupi persoalan sosial bahkan politik. Perdebatan mengenai penyakit ini telah ada semenjak awal abad XIX. Pada awalnya perdebatan-perdebatan yang terjadi mengenai penyakit ini bahkan tidak dibahas dalam ruang lingkup kesehatan tetapi lebih kepada ruang sosial dan politik. Pemerintah kolonial Belanda pada saat itu merasa bahwa penyebaran penyakit

133

W. A. Kuenen, De Hygienische Toestanden in Deli, Medan: Deli Planters Vereeniging,

kelamin menggerogoti tatanan sosial dan politik serta kekuasaannya, karena pada abad XIX penyakit ini banyak menyebar di kalangan militer dan pekerja di perkebunan.134

Penyakit kelamin selalu dikaitkan dengan “penyakit perempuan”.135

Istilah ini disebabkan oleh pendapat atau stigma bahwa penyebaran penyakit kelamin selalu melalui perempuan kepada laki-laki. Masalah pelacuran dan prostitusi identik dengan pekerjaan yang dilakukan oleh perempuan yang tidak berperilaku tidak bermoral dan selalu dipandang hina, sehingga penyebaran penyakit kelamin pun selalu ditimpakan kepada perempuan. Padahal penyebaran atau penularan penyakit kelamin terjadi karena adanya perpindahan kuman atau virus pembawa bibit penyakit tersebut, baik dari laki-laki maupun dari perempuan. Perpindahan tersebut karena adanya kegiatan berganti-ganti pasangan dalam hubungan seksual, pelacuran dan kegiatan homoseksual.136

Penyebaran penyakit kelamin yang terjadi di perkebunan disebabkan oleh maraknya kegiatan prostitusi yang dilakukan kuli. Kuli perempuan yang direkrut dari Jawa hanya mempunyai sedikit pilihan ketika bekerja di perkebunan. Mereka terkadang melakukan pekerjaan ganda yakni sebagai kuli maupun pelacur.137 Selain itu kebanyakan kuli perempuan juga diambil oleh asisten atau tuan kebun di

134

Gani A. Jaelani, Penyakit Kelamin di Jawa 1812-1942, Bandung: Syabas Books, 2013, hal.

1-2. 135

Ibid., hal. 129. 136

A. S. Grimble, Pedoman Diagnosa dan Pengobatan Penyakit Kelamin, terjemahan dari

Bodiono Santoso, Jakarta: Yayasan Essentia Medica, 1987, hal. 1. 137

P. J. Kooreman, De Koelie-Ordonnantie tot Regeling van de Rechtsverhouding tusschen

Wer kgevers en Werklieden in de Residentie Oostkust van Sumatra,’s Gravenhage: [s.n], 1902, hal. 32- 33.

perkebunan untuk dijadikan sebagai pemuas nafsu mereka. Perempuan-perempuan ini disebut sebagai nyai.138 Menurut Ann Laura Stoler, kuli perempuan tersebut terpaksa melayani kebutuhan seksual dan pelayanan rumah tangga umum kuli lelaki dan bahkan pihak manajemen Eropa. Salah satu faktornya adalah karena rendahnya upah kuli perempuan tersebut yang pada peralihan abad hanya separuh dari upah kuli lelaki di perkebunan.139

Kehidupan keras serta diskriminasi dan akhirnya muncul banyak kegiatan prostitusi di perkebunan yang dialami oleh kuli perempuan digambarkan oleh Madelon Hermine Szekely-Lulofs dalam novelnya yang berjudul Kuli dalam salah satu bagian diceritakan:

Ck, ah… Pelacur Cina! Dia makan daging babi di tempat orang Cina! Seka rang dia kema sukan seta n!

Kemudia n ora ng ra ma i terta wa , mengimba ngi a ma rah Sa ima h.

Ya , a ku maka n daging babi! Kena pa rupa nya? Dan a ku tidur denga n orang Cina ! Da n ba ga ima na dengan perempuan kontra k yang la in? Mereka tidur denga n ora ng putih, denga n tua n-tuan, mereka ba ga ima na? Sa udara ka pa lmu, Ka rmina h, ja di nya i di Bagia n Sa tu. Apa itu a da t Ja wa ? Apa dia tida k ikut ka fir?140

Dalam bagian yang lain dalam novel Kuli juga diceritakan mengenai keadaaan yang mengharuskan kuli perempuan melakukan kegiatan prostitusi di perkebunan.

138

Nyai yang dimaksud disini adalah perempuan yang bertugas dalam melayani kebutuhan rumah tangga (pembantu) dari pegawai Eropa di perkebunan, selain itu nyai juga diharuskan melayani

kebutuhan seksual dari pegawai Eropa tersebut. Lihat dalam Elsbeth Locher-Scholten, “Nyai in

Colonial Deli, A Case of Supposed Mediation” in Sita van Bermelen (et. al), Women and Mediation in Indonesia, Leiden: KITLV Press, 1992, hal. 270.

139

Ann Laura Stoler, Kapitalisme dan Konfrontasi di Sabuk Perkebunan Sumatra, 1870-1979,

Yogyakarta: KARSA, 2005, hal. 49. 140

Kuli perempuan sudah sejak pertama kali datang ke perkebunan Sumatera Timur tidak memiliki pilihan lain kecuali menjadi pelacur.

Bua t a pa aku ma lu, ta k ada ya ng mema lukan pa da diriku, mereka yang memberika n a ku kepa da seorang laki-la ki itula h ya ng ha rus ma lu! Aku tela h diberika n kepa da Pa rma n seperti seseora ng membua ng seekor a njing! Pa rma n buka n sua miku, a ku hanya tingga l bersa manya ka rena terpaksa karena aku “orang kontrak“! (kuli kontrak), biar saja dia malu, aku tidak peduli. Bia r sa ja a ku dibila ng pela cur Cina ! Ka la u a ku kepengen, a ku a ka n pergi ke ba rak-ba ra k Cina . Da ri mana la gi a ku da pa t uang? Denga n menca ngkul? Ya ng bena r sa ja !141

Pada pihak pengusaha perkebunan di Sumatera Timur terjadi perdebatan mengenai penyebaran penyakit kelamin yang terjadi akibat dari kegiatan prostitusi di perkebunan. Di satu sisi kalangan pengusaha perkebunan mengklaim bahwa adanya prostitusi di perkebunan karena kebobrokan moral para perempuan itu sendiri, mereka berdalih bahwa pada dasarnya perempuan ini adalah pelacur dan hanya akan membelanjakan pendapatan dari hasil pelacuran tersebut untuk kesenangan dan perhiasan.142 Pada sisi yang lain adanya prostitusi adalah situasi yang digunakan oleh pihak perkebunan untuk memikat pekerja laki-laki yang akan datang ke perkebunan sama halnya pihak perkebunan melegalkan perjudian.143 Namun lebih dari faktor tersebut di atas, kondisi ekonomi dan rendahnya upah adalah faktor utama adanya prostitusi sehingga menyebabkan penyebaran penyakit kelamin di perkebunan.

141

Ibid., hal. 61. 142

J. van den Brand, De Millionen uit Deli, Amsterdam: Hoveker & Wormser, 1902, hal. 70.

143

Liesbeth Hesselink, ”Prostitution a Necessary Evil, Particularly in the Colonies Views on

Prostitution in the Netherlands Indies, dalam Elsbeth Locher-Scholten dan Anke Niehof (eds.),

Penyebaran penyakit kelamin lebih banyak menyebar di kalangan kuli Cina daripada kuli Jawa. Beberapa faktor yang dapat menjelaskan hal tersebut adalah kebanyakan kuli Jawa melakukan sunat sehingga kebersihan dari organ genital tersebut lebih terjaga.144 Faktor selanjutnya adalah kebanyakan kuli Jawa menikah sedangkan kuli Cina kebanyakan tidak menikah sehingga untuk memenuhi “kebutuhan biologisnya” mereka melakukan dengan kuli perempuan yang bekerja sebagai pelacur atau bahkan karena sedikitnya perempuan yang ada di perkebunan mereka melakukan praktek sodomi dengan sesama kuli Cina.145

Data dari Perkebunan Senemba h Ma a tscha ppij selama tahun 1905-1907 jumlah kematian akibat penyakit syphilis adalah 5 kuli Cina dan seorang kuli Jawa.146 Namun data tersebut dapat diragukan karena gejala penyakit ini yang hampir menyerupai penyakit fra mboesia atau penyakit kulit sehingga laporan diagnosis mengenai penyebab kematian seringkali tidak sesuai. Selain itu ada kesan bahwa di perkebunan penanganan mengenai penyakit kelamin tidak dilakukan karena pihak perkebunan masih melegalkan praktik pelacuran atau prostitusi secara bebas.

144

Loe Ping Kian, Syphilis en Zwangerschap, Batavia: Keng Po, 1941,hal. 82 dan 84.

145

Ann Laura Stoler, op.cit., hal. 51.

146

Dokumen terkait