• Tidak ada hasil yang ditemukan

Wabah Penyakit dan Tingkat Kematian Kuli Kontrak

BAB III WABAH DAN PENYEBARAN PENYAKIT TERHADAP KUL

3.2 Wabah Penyakit dan Tingkat Kematian Kuli Kontrak

Perkembangan perkebunan pada tahap awal menunjukkan tingkat produktivitas dan eksploitasi yang begitu besar. Perkembangan ekonomi perkebunan di Pantai Timur Sumatera adalah sesuatu yang abnormal.98 Dalam waktu kurang dari

95

Ibid., hal. 107; lihat juga W. A. P. Schuffner dan W. A. Kuenen, op.cit., hal. 8. 96

Jan Bremen, op.cit., hal. 124.

97

Ibid., hal. 123. 98

Sartono Kartodirdjo, dkk. (eds.), Sejarah Nasional Indonesia IV, Jakarta: Balai Pustaka,

satu abad wajah Pantai Timur Sumatera telah berubah total. Secara garis besar masa perkebunan di Sumatera Timur dapat dibagi menjadi tiga fase. Fase pertama yaitu masa perintisan dan pertumbuhan antara tahun 1865 hingga depresi pertama tahun 1891. Kedua, masa konsolidasi yaitu penanganan usaha perkebunan oleh manajemen yang profesional antara tahun 1891 hingga krisis 1930. Terakhir, masa kemerosotan yaitu dari masa krisis 1930 hingga hancurnya kolonialisme Belanda dengan masuknya pendudukan Jepang.

Seiring dengan perkembangan perekonomian yang begitu pesat, populasi penduduk juga meningkat secara tajam. Sebelum pembukaan perkebunan tidak ada angka yang pasti dan hanya berupa taksiran untuk menggambarkan demografi di Sumatera Timur. Menurut Jan Bremen,99 jumlah penduduk Sumatera Timur pada tahun 1850 adalah sekitar 150.000 jiwa. Pada tahun 1890 sudah mencapai 285.000 jiwa. Pada masa peralihan abad yaitu tahun 1905 mencapai angka 568.417 jiwa. Faktor pertambahan penduduk di wilayah ini adalah masuknya tenaga kerja dari luar baik dari Timur Asing maupun dari Jawa sebagai kuli kontrak.

Pertambahan jumlah demografi yang sangat pesat di kawasan perkebunan menyebabkan kualitas kesehatan di wilayah ini buruk. Sebelum pembukaan perkebunan, penulis belum menemukan literatur yang menyebutkan terjadinya wabah penyakit di wilayah Sumatera Timur. Ada tiga faktor yang menyebabkan terjadinya wabah penyakit di suatu wilayah. Faktor tersebut adalah a gent (penyakit), environment (lingkungan) dan host (ina ng/hospes). Faktor a gent adalah kuman atau

99

virus penyebab penyakit, faktor environment mencakup keadaan sosial, kepadatan demografi, kualitas tempat tinggal dan juga faktor alam seperti geografis, cuaca dan iklim, sedangkan faktor host adalah kondisi manusia yang ada di wilayah tersebut dan juga komunitas yang peka terhadap kesehatan seperti dokter dan tenaga kesehatan.100

Wabah pertama yang tercatat di perkebunan Sumatera Timur adalah wabah kolera pada tahun 1891. Akibat dari wabah tersebut tingkat kematian di Perkebunan Senemba h Ma a tscha ppij mencapai 136 per 1.000 kuli.101 Penyebab utama wabah kolera di perkebunan adalah berasal dari kedatangan kuli Cina pada tahun tersebut.102 Selain karena wabah telah terjadi di Cina, sistem pengangkutan kuli pada saat itu juga menyebabkan tingkat penyebaran menjadi sangat cepat.103

Pada saat yang sama di Pulau Jawa juga terjadi wabah kolera. Angka kematian akibat wabah ini pada tahun tersebut mencapai lebih dari 10.000 jiwa, namun pada tahun tersebut bukan merupakan angka kematian tertinggi.104 Wabah kolera di Jawa bukan merupakan indikator dan penyebab utama terjadinya wabah

100Nugroho Kusumo Mawardi, “Wabah Penyakit dan Pelayanan Kesehatan Penduduk Pada

Masa Mangkunegaran VII 1919-1944”, Skripsi S-1 belum diterbitkan, Surakarta: Universitas Sebelas

Maret, 2010, hal. 50. 101

W. A. P. Schuffner dan W. A. Kuenen, op.cit., hal. 19.

102E. P. Snijders, “Het leven van den Geneeskundigen Kring S.O.K. van 31 Januari

1896 – 31

Januari 1921”, Geneeskundig Tijdschrift voor Nederlandsch-Indie, Batavia: G. kolff & co, 1921, hal. XLVIII.

103

Kuli-kuli Cina tersebut diangkut seperti daun enau, yaitu ditumpuk-tumpuk. Ruangan yang ditempati oleh 40 orang dan sudah sempit tersebut dijejali hingga 102 orang. Kuli yang telah terjangkit oleh penyakit tersebut harus tetap tinggal di kapal. Mereka tergeletak berjajar di atas dek tanpa makanan sama sekali. Para calo kuli melarang kuli melaporkannya pada pemerintah. Lihat Jan

Bremen, op.cit., hal. 125-126.

104Baha Uddin, “Kondisi Kesehatan Masyarakat Jawa Abad XIX”, [t.t], [t.p], hal. 47, artikel diakses dari https://www.academia.edu.

kolera di perkebunan Sumatera Timur karena pada tahun tersebut kuli Jawa yang direkrut untuk bekerja di perkebunan belum menunjukkan angka yang signifikan.

Wabah yang terjadi selanjutnya adalah wabah beri-beri. Wabah tersebut terjadi pada tahun 1896, akibat dari wabah ini angka kematian di Perkebunan Senemba h Ma a tschappij mencapai 105 per 1.000 kuli.105 Wabah ini disebabkan oleh kondisi makanan yang buruk yang diterima oleh kuli tersebut. Tingkat kematian kuli kontrak di perkebunan terutama Perkebunan Senemba h Ma a tschappij sebelum dan pada awal abad XX termasuk dalam kategori tinggi. Hal ini disebabkan kondisi kesehatan di perkebunan masih terbilang buruk sehingga banyak wabah dan penyebaran penyakit terjadi di perkebunan. Sebagian perusahaan perkebunan belum memberikan prioritas utama pada perawatan kesehatan bagi pekerjanya, terlebih perkebunan-perkebunan yang dikelola oleh perorangan.

Setelah kejadian wabah di akhir abad XIX yang telah dijelaskan pada paragraf sebelumnya, tidak ada wabah yang terjadi di perkebunan kecuali pandemik influenza yang secara global terjadi di dunia setelah Perang Dunia I tepatnya pada tahun 1918- 1919. Di seluruh perkebunan Sumatera Timur hampir separuh dari jumlah kematian pada tahun 1918 disebabkan oleh wabah influenza. Beberapa faktor penyebab terjadinya wabah influenza di perkebunan adalah besarnya perekrutan kuli Jawa yang bekerja ke perkebunan. Selain itu juga disebabkan oleh dua rumah sakit besar di

105

perkebunan meninggalkan pengawasan sanitasi yang telah disepakati sebelumnya oleh persatuan rumah sakit di perkebunan.106

Jumlah kuli kontrak yang meninggal akibat wabah ini lebih banyak terdiri dari kuli Jawa dibandingkan dengan kuli Cina.107 Dari 252.439 kuli kontrak yang ada di perkebunan Sumatera Timur 5.937 diantaranya mengalami kematian pada tahun 1918. Berarti tingkat kematian kuli kontrak pada tahun 1918 adalah 23,58 per 1.000 kuli kontrak. Wabah influenza sendiri menyebabkan 2.027 dari 5.937 kematian kuli kontrak berarti sekitar 8,21 per 1.000 kuli kontrak.108

Pada tahun 1918 jumlah kematian kuli kontrak di Perkebunan Senemba h Ma a tscha ppij adalah 114 dari 10.065 kuli kontrak. Berarti tingkat kematian kuli kontrak pada tahun itu adalah 11,3 per 1.000 kuli kontrak. Wabah influenza sendiri menyumbang jumlah kematian yang tidak terlalu mencolok yaitu sebanyak 26 kuli kontrak berarti sekitar 2,58 per 1.000 kuli. Jumlah kematian di Perkebunan Senemba h Ma a tscha ppij juga disebabkan oleh berbagai penyakit lainnya seperti typhus, dysentri, tuberculosis dan lain sebagainya.109

Dari berbagai literatur disebutkan bahwa catatan mengenai kematian kuli kontrak di perkebunan tidak wajib dilaporkan. Keraguan tentang angka kematian juga tidak adanya pendaftaran atas kuli yang telah meninggalkan tempat tinggalnya namun

106

Catalogus van de Inzending van de Oostkust van Sumatra op de Eerste Hygienische Tentoonstelling In Nederlandsch Indie (EHTINI) te Bandoeng, 25 Juni Tot 10 Juli 1927, Medan: Varekamp & Co, 1927, hal. 10.

107

Ibid., hal. 5. 108

H. Vervoort, Eenige Statistische Cijfers over Ziekte en Sterfte onder de Arbeiders op de

Ondernemingen ter O. K. van Sumatra over het Jaar 1918, Medan: TYP De Deli Courant, 1921, hal. 3 dan 9.

109

tidak pernah sampai ke perkebunan.110 Di Perkebunan Senemba h Ma a tscha ppij mulai tahun 1890 hingga 1909 terdapat data mengenai angka kematian kuli kontrak, baik kuli Cina, kuli Jawa dan kuli perempuan Jawa. Jumlah kematian kuli kontrak dihitung per 1.000 kuli. Untuk lebih jelasnya lihat tabel di bawah ini.

Tabel. 5

Jumlah Kematian per 1.000 Kuli Kontrak di Perkebunan Senembah Maatschappij tahun 1890-1909.

Tahun Jumlah kematian per 1.000 kuli

1890 74 1891 136 1892 56 1893 32 1894 49 1895 68 1896 105 1897 60 1898 48 1899 35 1900 45 1901 51 1902 34 1903 38 1904 20 1905 11 1906 10 1907 15 1908 9 1909 12

Sumber: W. A. P. Schuffner dan W. A. Kuenen, De Gezondheidtoesta nd va n de Arbeiders, Verbonden a a n de Senembah-Ma a tschappij op Suma tra , Gedurende de Ja ren 1897 tot 1907, Amsterdam: De Bussy, 1910, hal. 20; dan W. A. Kuenen, Het

110

Ontwerp va n Mr. va n Blommestein en de Hygienische en Geneeskundige Voor wa rden, Wa a ronder de in Contra ct Werkende Arbeiders in Deli Leven, Medan: NV. De Deli Courant, 1910, bijlage 1.

Tingkat kematian kuli kontrak di Perkebunan Senembah Ma a tscha ppij menunjukkan angka yang fluktuatif. Jika dilihat angka kematian di Perkebunan Senembah Ma a tscha ppij berangsur-angsur mengalami penurunan mulai tahun 1897. Walaupun pada pergantian abad mengalami kenaikan jumlah kematian, namun jumlahnya tidak terlalu signifikan. Untuk lebih jelasnya lihat diagram di bawah ini.

Gambar 3.

Diagram Jumlah Kematian per 1.000 Kuli Kontrak di Perkebunan Senembah Maatschappij tahun 1890-1909.

Sumber: W. A. P. Schuffner dan W. A. Kuenen, De Gezondheidtoesta nd va n de Arbeiders, Verbonden a a n de Senembah-Ma a tschappij op Suma tra , Gedurende de

0 20 40 60 80 100 120 140 160 1 8 9 0 1 8 9 1 1 8 9 2 1 8 9 3 1 8 9 4 1 8 9 5 1 8 9 6 1 8 9 7 1 8 9 8 1 8 9 9 1 9 0 0 1 9 0 1 1 9 0 2 1 9 0 3 1 9 0 4 1 9 0 5 1 9 0 6 1 9 0 7 1 9 0 8 1 9 0 9

Ja ren 1897 tot 1907, Amsterdam: De Bussy, 1910, hal. 20; dan W. A. Kuenen, Het Ontwerp va n Mr. va n Blommestein en de Hygienische en Geneeskundige Voor wa rden, Wa a ronder de in Contra ct Werkende Arbeiders in Deli Leven , Medan: NV. De Deli Courant, 1910, bijlage 1.

Dari diagram tersebut dapat dilihat bahwa angka kematian kuli kontrak paling tinggi adalah pada tahun 1891 dan 1896. Penyebab terjadinya hal tersebut seperti telah dijelaskan pada paragraf sebelumnya bahwa pada tahun tersebut terjadi wabah kolera yakni di tahun 1891 dan beri-beri pada tahun 1896. Selain tahun tersebut relatif tidak terjadi lonjakan angka kematian pada kuli kontrak walaupun angka kematian tetap bisa dikatakan relatif tinggi.

Dalam 2 tahun terakhir yakni tahun 1908-1909 angka kematian yang tercatat di Rumah Sakit Pusat Tanjung Morawa di Perkebunan Senemba h Ma a tscha ppij merupakan yang terendah jika dibandingkan dengan angka kematian yang tercatat di Rumah Sakit Pusat di perkebunan lainnya. Rata-rata angka kematian di Perkebunan Senemba h Ma a tschappij pada dua tahun tersebut adalah 10,5 kematian per 1.000 kuli. Angka kematian yang tercatat di Rumah Sakit Pusat Medan milik Perkebunan Deli Ma a tscha ppij adalah 16,6 kematian per 1.000 kuli. Di Rumah Sakit Pusat Sei Sikambing milik Perkebunan Meda n Ta ba k Ma a tscha ppij tercatat 18,4 kematian per 1.000 kuli. Terakhir, angka kematian yang tercatat di Rumah Sakit Petoemboeken milik Yayasan Serda ng Doctor Fonds yaitu 13,5 kematian per 1.000 kuli.111

111

W. A. Kuenen, Het Ontwerp van Mr. van Blommestein en de Hygienische en

Geneeskundige Voorwarden, Waaronder de in Contract Werkende Arbeiders in Deli Leven, Medan: NV. De Deli Courant, 1910, bijlage 1-4.

Dari jumlah kematian di Perkebunan Senemba h Ma a tscha ppij di atas, perlu diketahui bahwa penyumbang terbesar adalah kuli kontrak Cina. Ada beberapa faktor yang dapat menjelaskan hal tersebut. Faktor pertama adalah kondisi iklim, cuaca dan geografis di perkebunan yang berbeda dari tempat tinggal kuli Cina sebelumnya, sehingga mereka harus menyesuaikan diri terlebih dahulu dan akan mudah terserang berbagai penyakit. Bagi kuli Jawa dan kuli perempuan Jawa sudah terbiasa dengan keadaan tersebut. Faktor yang kedua adalah sifat giat bekerja orang Cina sehingga ada ungkapan klise para tuan kebun di perkebunan pada akhir abad XIX bahwa kuli Cina tidak mempedulikan kesehatan dalam bekerja dan bahkan bisa bekerja sampai mati.112 Padahal, jika dilihat kondisi kerja kuli Cina yang cukup berat tidak diimbangi dengan sistem pemondokan dan tempat tinggal yang memadai.

Masalah sanitasi dan kebersihan merupakan masalah utama yang dihadapi oleh kuli Cina pada peralihan abad XIX dan XX. Budaya hidup yang tidak higienis dan tidak adanya privasi di dalam tempat tinggal yang kebanyakan kuli Cina bekerja sebagai kuli lapangan sehingga tinggal di barak-barak panjang, seperti telah dijelaskan pada pembahasan sebelumnya, membuat berbagai penyebaran penyakit menjadi semakin meluas di kalangan kuli Cina. Akhirnya faktor yang terakhir adalah masalah kebiasaan kuli Cina mengkonsumsi candu, walaupun faktor yang terakhir belum bisa dikatakan sebagai indikator utama dalam tingginya tingkat kematian kuli Cina pada masa peralihan abad.113 Untuk lebih jelasnya mengenai perbandingan

112

W. A. P. Schuffner dan W. A. Kuenen, op.cit., hal. 29

113

tingkat kematian per 1.000 kuli antara kuli Cina, kuli Jawa dan kuli perempuan pada tahun 1897-1908 perhatikan tabel di bawah ini.

Tabel. 6.

Perbandingan Jumlah Kematian antara Kuli Cina, Kuli Jawa dan Kuli Perempuan Jawa di Perkebunan Senembah Maatschappij tahun 1897-1909. Tahun

Jumlah kematian per 1.000 kuli

Kuli Cina Kuli Jawa Kuli Perempuan Jawa 1897 86,2 42,2 13,5 1898 63,7 23,7 27,2 1899 38,9 24,5 37,5 1900 53,2 30,0 33,9 1901 49,6 31,8 83,8 1902 44,9 20,3 25,7 1903 52,6 16,8 27,7 1904 22,5 16,7 15,6 1905 13,2 6,1 12,9 1906 13,9 8,4 6,6 1907 19,5 6,9 15,9 1908 10,5 8,9 7,5 1909 15,0 12,5 5,3 Rata-rata 37,2 19,1 24,1

Sumber: W. A. P. Schuffner dan W. A. Kuenen, De Gezondheidtoesta nd va n de Arbeiders, Verbonden a an de Senembah-Ma a tschappij op Suma tra , Gedurende de Jaren 1897 tot 1907, Amsterdam: De Bussy, 1910, hal. 20; dan W. A. Kuenen, Het Ontwerp va n Mr . va n Blommestein en de Hygienische en Geneeskundige Voorwa rden, Wa a ronder de in Contra ct Werkende Arbeiders in Deli Leven, Medan: NV. De Deli Courant, 1910, bijlage 1.

Data di atas menyebutkan bahwa selama 12 tahun antara 1897-1908 rata-rata tingkat kematian kuli kontrak Cina adalah 37,2 kematian per 1.000 kuli. Pada tempat

kedua rata-rata jumlah tingkat kematian adalah kuli kontrak perempuan Jawa dengan 24,1 kematian per 1.000 kuli. Setelah itu ditempati oleh kuli kontrak Jawa yaitu rata- rata 19,1 kematian per 1.000 kuli.114 Untuk dapat membandingkan dengan lebih jelas jumlah kematian antara kuli Cina, kuli Jawa dan kuli perempuan Jawa di Perkebunan Senemba h Ma a tschappij perhatikan gambar berikut ini.

Gambar. 4.

Kurva Perbandingan Jumlah Kematian antara Kuli Cina, Kuli Jawa dan Kuli Perempuan Jawa di Perkebunan Senembah Maatschappij tahun 1897-1909.

Sumber: W. A. P. Schuffner dan W. A. Kuenen, De Gezondheidtoesta nd va n de Arbeiders, Verbonden a an de Senembah-Ma a tschappij op Suma tra , Gedurende de Jaren 1897 tot 1907, Amsterdam: De Bussy, 1910, hal. 20; dan W. A. Kuenen, Het Ontwerp va n Mr . va n Blommestein en de

114

Ibid., hal. 28 dan 33. 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 1897 1898 1899 1900 1901 1902 1903 1904 1905 1906 1907 1908 1909

Jumlah Kematian per 1.000 Kuli

Hygienische en Geneeskundige Voorwa rden, Wa a ronder de in Contra ct Werkende Arbeiders in Deli Leven, Medan: NV. De Deli Courant, 1910, bijlage 1.

Gambar di atas menunjukkan bahwa jumlah kematian kuli kontrak secara umum didominasi oleh kuli Cina. Pada tahun 1901 terjadi lonjakan secara tajam jumlah kematian kuli perempuan Jawa yang melampaui jumlah kematian kuli Cina maupun kuli Jawa. Penyebab terjadinya adalah pada tahun tersebut banyak kuli perempuan Jawa yang terjangkit penyakit kolera dan typhus.115 Selebihnya jumlah kematian kuli perempuan Jawa relatif stabil walaupun menunjukkan angka yang fluktuatif. Jumlah kematian kuli Jawa menunjukkan angka yang stabil dan setiap tahunnya mengalami kecenderungan penurunan kecuali pada pergantian abad XIX ke abad XX. Satu hal yang perlu dicatat adalah jumlah kematian masing-masing kelompok kuli mengalami kecenderungan penurunan dimulai pada tahun 1904 dan relatif stabil di tahun selanjutnya. Hal tersebut terjadi karena telah ditemukan hubungan antara penyebab penyakit dengan lingkungan kerja kuli dan Perkebunan Senemba h Ma a tscha ppij melakukan pemeliharaan kebersihan dan kesehatan dengan baik.

Jumlah kematian kuli kontrak di Perkebunan Senembah Ma a tscha ppij setelah dasawarsa kedua abad XX menunjukkan angka tidak lebih dari 20 kematian per 1.000 kuli. Sesuatu yang sangat kontras dengan jumlah kematian pada akhir abad XIX. Selain tidak banyak wabah besar yang terjadi dan pola kebersihan yang mulai membaik, kuli kontrak yang bekerja pada umumnya telah terbiasa dengan kondisi

115

lingkungan kerja yang ada, berbeda dengan yang terjadi pada masa perintisan perkebunan. Selain itu, hal ini dikarenakan dengan perbaikan-perbaikan fasilitas kesehatan yang dikelola oleh rumah sakit milik perkebunan.116 Untuk lebih jelas melihat jumlah kematian kuli kontrak di Perkebunan Senembah Ma a tscha ppij setelah dasawarsa kedua abad ke XX yakni antara tahun 1928-1939 perhatikan tabel di bawah ini.

Tabel 7.

Jumlah Kematian Kuli Kontrak di Perkebunan Senembah Maatschappij tahun 1928-1939.

Tahun Jumlah kematian per 1.000 kuli

1928 6,0 1929 8,4 1930 7,3 1931 5,7 1932 4,9 1933 9,7 1934 7,1 1935 8,2 1936 - 1937 17,5 1938 16,4 1939 14,4

Sumber: Versla g over het boekja a r N.V. Senembah Ma a tscha ppij, Amsterdam: De Bussy, 1929-1940, (dirangkum dari tahun 1928 sampai 1939)

Data dari tabel di atas menunjukkan jumlah kematian kuli kontrak di Perkebunan Senembah Maatschappij dari tahun 1928-1939. Data tersebut ditemukan dalam Versla g over het boekja a r N.V. Senemba h Ma a tscha ppij yang dirangkum dari

116

tahun 1928 sampai 1939. Namun pada tahun 1936 tidak ditemukan catatan mengenai jumlah kematian kuli kontrak. Salah satu penyebabnya adalah pada tahun tersebut terjadi pergantian direktur perusahaan perkebunan sehingga dalam laporan tahunan lebih banyak cenderung catatan mengenai keberhasilan dalam menjalankan perusahaan perkebunan tersebut.

Selama 11 tahun antara 1928 sampai 1939 jumlah kematian kuli kontrak di Perkebunan Senembah Ma a tscha ppij mengalami angka yang fluktuatif. Angka kematian paling rendah terjadi pada tahun 1932 yaitu 4,9 kematian per 1.000 kuli yang disebabkan semakin membaiknya kualitas kesehatan kuli kontrak di Perkebunan Senembah Ma a tscha ppij.117 Dalam beberapa tahun sempat mengalami peningkatan seperti pada tahun 1933 yaitu 9,7 kematian per 1.000 kuli. Hal ini disebabkan oleh merebaknya campak, epidemik influenza dan penyakit malaria.118 Setelah tidak ada catatan kematian pada tahun 1936 seperti telah dijelaskan pada paragraf sebelumnya, jumlah kematian meningkat secara drastis yakni di tahun 1937 sampai 1939. Dalam laporan tahunan tersebut tidak disebutkan penyebab peningkatan jumlah kematian di tahun-tahun tersebut.

Dokumen terkait