• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS KONFLIK SUMBERDAYA HUTAN 5.1 Sejarah Konflik Sumberdaya Hutan

3. Taman Nasional Gunung Halimun-Salak

5.7 Penyelesaian Konflik Kehutanan yang Telah Dilakukan dan Perkembangannya

Konflik dapat dikelola melalui tiga dasar penyelesaian (Condliffe, 1991 sebagaimana dikutip Sardjono, 2004), yaitu: (1) langsung antar pihak yang bersengketa (one-to-one), dimana masing-masing pihak yang bersengketa bertindak untuk menyelesaikannya sendiri; (2) mewakilkan kepada pihak lain (representational), dimana pihak-pihak yang bersengketa diwakili pihak lain seperti pengacara, teman kolega, dan asosiasi resmi; dan (3) menggunakan pihak ketiga berdasarkan inisiatif mereka sendiri atau atas pemintaan kedua belah pihak yang bersengketa atau karena hak yang dimilikinya. Condliffe (1991) sebagaimana dikutip Sardjono (2004), juga mengajukan delapan prosedur umum dalam rangka penyelesaian konflik, yaitu: Lumping it, Avoidance or exit, Coersion, Negotiation, Conciliation, Mediaton, Arbitration, dan Adjudication. Dari kedelapan prosedur umum penyelesaian konflik di atas, hanya butir

91 negoisasi, konsiliasi dan mediasi yang merupakan penyelesaian konflik di luar pengadilan yang dipBapak/Ibung kondusif. Hal ini dikarenakan ketiganya mengadung unsur win-win solution yang sifatnya lebih langgeng.

Konflik di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak bukan tidak pernah berusaha untuk diselesaikan. Telah ada upaya-upaya yang dilakukan baik oleh pihak pemerintah maupun pihak Kasepuhan sendiri untuk meredam konflik yang terjadi. Beberapa upaya yang telah dilakukan untuk menyelesaikan konflik kehutanan Halimun adalah sebagai berikut:

1. pihak Taman Nasional Gunung Halimun-Salak menawarkan kepada Kasepuhan untuk menjadikan wilayah adat Kasepuhan, khususnya Kasepuhan Cipta Gelar yang wilayah berada pada enclave taman nasional, untuk dijadikan zona khusus budaya,

2. pihak Taman Nasional Gunung Halimun-Salak juga pernah mengajukan berkas pengelolaan Gunung Halimun kepada Kasepuhan, namun pihak Kasepuhan menolak, karena seharusnya usulan pengelolaan hutan harus berasal dari pihak Kasepuhan yang lebih mengetahui kebutuhan masyarakatnya.

3. saat ini, masyarakat Kasepuhan Adat Banten Kidul khususnya yang berada di Kabupaten Sukabumi (Kasepuhan Sinar Resmi, Cipta Gelar dan Cipta Mulya) sedang mengajukan peraturan daerah mengenai pengakuan hak tanah adat kepada Pemerintah Daerah. Berkasnya sudah sampai pada tingkat Badan Legislatif Daerah pada bulan September 2010, namun masih dalam proses karena pemetaan wilayah adat untuk ketiga Kasepuhan tersebut belum dilaksanakan. Seperti yang dipaparkan oleh Tokoh Adat Kasepuhan, Wa UGS (64 tahun).

“Saat ini, kami sedang memperjuangkan kembali hak-hak kami dengan mengajukan peraturan daerah kepada Pemerintah Kabupaten Sukabumi. Dengan berpegang pada UU No.32 Pasal 67. Kami pun telah berafiliasi dengan Kementerian Lingkungan Hidup untuk memetakan wilayah adat kami. Kasepuhan Citorek, Cisitu, Cibedug, dan Cirompak sudah memiliki SK dari Bupati mengenai pengakuan hak adat mereka. Kami pun akan memperjuangkan Perda tersebut agar bisa seperti ke-empat

92 Penyelesaian konflik yang telah dilakukan oleh kedua pihak yang berkonflik belum mendapatkan titik terang. Kedua pihak sama-sama menawarkan ’perdamaian’ melalui negosiasi namun dengan cara dan tidak disetujui pihak lainnya. Kedua pihak membutuhkan mediator yang dapat mengakomodir semua keinginan masing-masing pihak yang berkonflik agar dapat menemukan penyelesaian yang mengandung unsur win-win solution untuk kedua belah pihak.

5. 8 Ikhtisar

Konflik kehutanan dimulai ketika kawasan Gunung Halimun dikelola oleh Perhutani pada tahun 1970-an. Saat itu, pihak Kasepuhan dianggap telah menyerobot lahan Perhutani dengan membuka hutan utuh untuk ladang dan sawah warga. Namun, permasalahan dapat diselesaikan dengan baik, dengan menggantikan lahan yang terlah dibuka dengan tanah milik Abah Anom. Selain itu, warga pun diizinkan untuk menanam dengan sistem tumpang sari di lahan Perhutani. Selain masalah penyerobotan lahan, konflik dengan Perhutani pun terjadi ketika ada tumpang tindih antara hutan adat dan hutan produksi Perhutani.

Konflik semakin parah ketika pengelolaan Gunung Halimun dialihkan ke Balai Taman Nasional Gunung Halimun-Salak. Wilayah pemukiman dan pertanian warga diklaim sebagai zona rimba dan zona rehabilitasi taman nasional. Pihak taman nasional menakuti-nakuti akan mengusir warga dari tempat tinggalnya. Selain itu, terjadi penangkapan terhadap warga yang sedang berada di kebunnya, dan dituduh sebagai perambah hutan dan melakukan illegal logging. Pihak taman nasional pun memasang papan pengumuman mengenai pelarangan masuk kawasan konservasi di kebun dan di depan rumah warga.

Penyebab konflik kehutanan yang terjadi di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak disebabkan oleh empat sumber perbedaan, yaitu: perbedaan persepsi, kepentingan, tatanilai, dan akuan hak kepemilikan.

Perbedaan Persepsi terjadi ketika adanya pihak-pihak yang memiliki hak atas hutan memiliki perbedaan dalam mempersepsikan hutan. Masyarakat menebang kayu untuk keperluan memasak merasa bahwa hal itu bukan merupakan kesalahan karena mereka menebang pohonnya di kebun mereka sendiri. Namun menurut pihak taman nasional, menebang pohon di wilayah

93 kawasan konservasi adalah hal yang dilarang dan masuk ke dalam kategori illegal logging dan penebangnya harus dihukum sesuai dengan peraturan yang berlaku. Selain itu, kawasan yang dianggap kebun masyarakat, sejak diterbitkannya SK. Menhut No.175 tahun 2003 telah menjadi kawasan zona rimba dan zona rehabilitasi oleh taman nasional. Tata batas yang kurang jelas antara kawasan taman nasional dan kawasan adat Kasepuhan menyebabkan banyak lahan yang saling tumpang tindih.

Ada pula perbedaan dalam menilai fungsi hutan. Kasepuhan menganggap bahwa hutan adalah sumber kehidupan dalam memenuhi kebutuhan hidup serta sebagai tempat spiritual. Pemerintah menganggap hutan sebagai sebuah aset masa depan yang wajib dijaga dan dilestarikan (konsep konservasi). Masyarakat adat Kasepuhan memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap hutan. Mereka menganggap hutan sebagai tempat untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Kawasan leuwueng tutupan merupakan warisan atau titipan para leluhur adat dan Allah (Gusti Nu Kuasa) yang harus terjaga keutuhannya dan tidak boleh dimasuki oleh manusia, karena manusia tidak termasuk makhluk hidup yang ada di dalam hutan. Pemerintah sendiri memaknai hutan sebagai kekayaan yang dikuasai oleh Negara dan merupakan karunia dari Tuhan yang wajib disyukuri, diurus, dimanfaatkan dan dijaga kelestariannya. Untuk itu, pemerintah mengupayakan usaha konservasi dalam melindungi Gunung Halimun yang memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi dan sebagai sumber mata air bagi kehidupan bagi masyarakat disekitarnya.

Perbedaan kepentingan terjadi ketika masing-masing pihak merasa kepentinganya yang harus didahulukan dibandingkan kepentingan pihak lainnya. Namun, dalam kasus di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak, kedua kepentingan ini harus didahulukan. Masyarakat adat Kasepuhan telah mendiami kawasan Gunung Halimun sejak lama. Mereka menggantungkan kehidupannya pada hutan. Mulai dari pemenuhan kebutuhan sehari-hari, seperti kebutuhan kayu bakar, kayu untuk pemukiman, tanaman obat-obatan, serta pemanfaatan lahan untuk pertanian. Kepentingan dalam memenuhi kebutuhan hidup inilah yang menjadikan Gunung Halimun sangat penting keberadaannya bagi masyarakat. Pemerintah harus melakukan upaya konservasi mengingat kawasan Gunung

94 Halimun merupakan kawasan dengan keanekaragaman hayati yang tinggi dan memiliki sumber mata air namun kebutuhan hidup masyarakat pun harus terdesak untuk dipenuhi.

Ada pula perbedaan dalam akuan hak kepemilikan hutan. Pihak taman nasional menganggap kawasan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak sebagai hutan negara karena berada pada tanah yang tidak dibebani hak atas tanah, sehingga diklaim sebagai milik negara. Namun, masyarakat adat Kasepuhan menganggap bahwa seluruh kawasan hutan Halimun adalah milik adat yang diwariskan secara turun temurun oleh leluhur.

Selain itu, pada tataran perundang-undangan terjadi pula perbedaan dalam menginterpretasikan maknanya. Misalnya dalam UU No. 41 Tahun 1999 pasal 1 tertulis bahwa hutan adat adalah hutan negara yang berada di wilayah masyarakat hukum adat. Berdasarkan pernyataan tersebut tersirat jelas bahwa hutan adat adalah hutan negara, yang pengaturan dan pengelolaannya dilakukan oleh negara karena berada dalam penguasaan negara. Berdasarkan pernyataan itu pula, tersirat juga bahwa tidak adanya pengakuan hak ulayat masyarakat adat, sehingga dianggap tidak memiliki hak atas hutan.

Konflik di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak dimulai sejak tahun 1954 hingga tahun 2010 dengan pihak-pihak yang selalu berganti di setiap masanya. pihak tersebut memiliki kepentingan yang pasti berbeda. Pihak-pihak yang terlibat dalam konflik kehutanan di kawasan Halimun adalah Perhutani, Masyarakat Adat Kasepuhan, dan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak.

Konflik yang terjadi antara masyarakat Kasepuhan dengan pihak taman nasional terjadi pada basis kehutanan dan lahan. Sejak diterbitkannya SK. Menteri Kehutanan No.175 Tahun 2003 telah menjadi kawasan zona rehabilitasi oleh taman nasional. Tata batas yang kurang jelas antara kawasan taman nasional dan kawasan adat Kasepuhan menyebabkan banyak lahan yang saling tumpang tindih. Seperti kawasan adat Kasepuhan Sinar Resmi, di mana huma, sawah, kebun, hutan tutupan dan hutan titipan, diklaim telah masuk dalam kawasan taman nasional. Kedalaman konflik yang terjadi tidak sampai pada pertumpahan darah.

95 Namun, telah terjadi penangkapan terhadap masyarakat Kasepuhan ketika sedang mengambil kayu di kebunnya sendiri. Setelah itu, warga menjadi ketakutan jika ingin ke kebun, karena takut ditangkap oleh polisi kehutanan.

Dalam kasus konflik yang terjadi antara pihak Kasepuhan dan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak, konflik terjadi pada ruang konflik kepentingan, konflik nilai dan konflik struktural.

Konflik kepentingan. Pemerintah harus melakukan upaya konservasi mengingat kawasan Gunung Halimun merupakan kawasan dengan keanekaragaman hayati yang tinggi dan memiliki sumber mata air namun kebutuhan hidup masyarakat pun harus terdesak untuk dipenuhi. Sehingga hal inilah yang menjadi sumber konflik pada akhirnya. Adanya kepentingan dalam memenuhi kebutuhan hidup yang menjadikan Gunung Halimun sangat penting keberadaannya bagi masyarakat.

Konflik nilai. Pemerintah menganggap hutan sebagai sebuah aset masa depan yang wajib dijaga dan dilestarikan (konsep konservasi). Masyarakat adat Kasepuhan memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap hutan. Mereka menganggap hutan sebagai tempat untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hariKawasan hutan titipan yang merupakan hutan titipan leluhur dipercaya menyimpan benda-benda pusaka milik leluhur yang harus dijaga.

Konflik struktural terjadi ketika ada ketimpangan untuk melakukan akses dan kontrol terhadap sumberdaya, pihak yang berkuasa dan memiliki wewenang formal untuk menetapkan kebijakan formal. Pemerintah menerapkan konsep konservasi pada kawasan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak dengan harapan dapat menjaga dan melestarikan keanekaragaman hayati dan sumber mata air yang ada di sana. Untuk melakukan hal itu, pemerintah harus mengurangi dan membatasi intensitas masuknya manusia ke dalam hutan dan pemanfaatan hasil hutan oleh manusia. Akibatnya, masyarakat adat Kasepuhan dilarang untuk memasuki kawasan konservasi dan membatasi akses masyarakat adat yang memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap hutan.

Konflik di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak bukan tidak pernah berusaha untuk diselesaikan. Telah ada upaya-upaya yang dilakukan baik oleh

96 pihak pemerintah maupun pihak Kasepuhan sendiri untuk meredam konflik yang terjadi. Beberapa upaya yang telah dilakukan untuk menyelesaikan konflik kehutanan di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak: (1) menjadikan kawasan Kasepuhan sebagai zona khusus budaya; (2) Kasepuhan mengajukan peraturan daerah mengenai pengakuan hak ulayat adat kepada pemerintah Kabupaten Sukabumi. Namun, masih belum ditindaklanjuti karena belum ada peta wilayah Kasepuhan secara keseluruhan.

97 BAB 6

PENUTUP