• Tidak ada hasil yang ditemukan

GAMBARAN UMUM LINGKUNGAN MASYARAKAT ADAT KASEPUHAN SINAR RESMI

4.2 Kondisi Sosial-Budaya .1 Kepercayaan atau Religi .1 Kepercayaan atau Religi

4.2.7 Sistem Pengelolaan dan Kepemilikan Hutan

Seperti yang diungkapkan oleh Abah ASN (44 tahun), Ketua Adat.

Para Leluhur memerintahkan untuk mendirikan rumah dan lumbung padi dengan menggunakan kayu-kayuan dan bambu untuk bagian dinding dan rangka rumah, serta menggunakan daun nipah dan kirai untuk bagian atap. Peraturan adat melarang kami untuk menggunakan bahan tanah dalam membangun rumah, karena makhluk hidup tidak patut untuk tinggal di bawah tanah. Ketika memasak nasi, masyarakat harus menggunakan tungku dan kayu bakar, karena sudah diatur oleh adat.”

Mengingat kebutuhan yang tinggi terhadap hasil hutan, masyarakat Kasepuhan tidak dapat terpisahkan kehidupannya dari hutan. Karena mereka terikat adat yang kuat dalam pengelolaan dan pemanfaataannya. Ada nilai spiritual yang terkandung di dalamnya. Kawasan hutan tutupan yang merupakan hutan titipan leluhur dipercaya menyimpan benda-benda pusaka milik leluhur yang harus dijaga. Selain itu, mengingat hutan tutupan sebagai daerah resapan air (leuweung sirah cai), dan air merupakan kebutuhan utama masyarakat, maka sudah pasti keutuhannya mesti terjaga dan menjadi hal yang penting dalam kehidupannya. Maka, tidak adil rasanya ketika akses masyarakat Kasepuhan terhadap hutan harus dibatasi bahkan diputus oleh pihak-pihak yang memiliki wewenang tinggi terhadap hutan.

4.2.7 Sistem Pengelolaan dan Kepemilikan Hutan

Kampung Sinar Resmi memiliki kekayaan sumberdaya alam yang melimpah, salah satunya adalah sumberdaya lahan yang dapat dimanfaatkan masyarakatnya untuk bertani sawah, berladang, dan berkebun. Masyarakat memanfaatkan lahan pertanian ini untuk memenuhi kebutuhan pangan dengan komoditi yang dihasilkan berupa padi, sayuran, jagung, dan buah-buahan. Dalam mengelola lahan pertanian, masyarakat adat hanya diperkenankan menggunakan peralatan pertanian tradisional, seperti garu, cangkul, arit, dan kerbau untuk membajak sawah.

Sumberdaya lainnya yang dimiliki oleh kampung Sinar Resmi adalah sumberdaya hutan. Dalam pengelolaannya, adat membagi hutan (leuweung) ke dalam tiga pembagian, yaitu Leuweung tutupan, Leuweung titipan, dan Leuweung Bukaan. Leuweung tutupan adalah kawasan hutan alam yang memiliki

49 keanekaragaman tumbuhan dan satwa yang tinggi dan termasuk dalam kawasan lindung karena fungsinya sebagai daerah resapan air (Leuweung sirah cai) dan pusat keseimbangan ekosistem. Kawasan leuwueng tutupan merupakan warisan atau titipan para leluhur adat dan Allah (Gusti Nu Kuasa) yang harus terjaga keutuhannya dan tidak boleh dimasuki oleh manusia, karena manusia tidak termasuk makhluk hidup yang ada di dalam hutan. Hutan ini hanya boleh dimasuki oleh petugas pengawasan hutan (kemit leuweung) yang telah diamanatkan oleh Abah untuk memeriksa barang-barang pusaka yang ada di dalam hutan tutupan. Pemeriksaan hanya dilakukan setahun sekali. Leuweung tutupan berada di atas pegunungan atau puncak pegunungan Halimun. Kawasan

leuweung tutupan memiliki luas 60% dari seluruh kawasan hutan adat yang dimiliki oleh kampung.

Leuweung titipan adalah kawasan hutan yang dialokasikan untuk kawasan pemukiman di masa mendatang (awisan) dan untuk lahan garapan nantinya. Perpindahan pemukiman didasarkan pada wangsit yang diterima Abah. Perpindahan biasa dilakukan dalam kurun waktu 30-40 tahun sekali. Perpindahan dilakukan untuk memulihkan kembali daya dukung alam secara ekologis bagi kebutuhan manusia. Hutan tutupan boleh dimasuki oleh manusia atas seizin Abah, dan dengan tujuan untuk pengambilan hasil hutan kayu untuk kayu bakar dan membuat bangunan dan hasil hutan non-kayu berupa tanaman obat-obatan, madu hutan, rotan dan sebagainya. Dalam mengambil kayu tidak boleh dilakukan secara sembarangan, ada aturan khusus yang harus dijalankan. Setiap warga yang ingin mengambil kayu harus menanam pohon di lahan yang memiliki jarak renggang antar pohon. Jumlah pohon yang ditanam pun, harus disesuaikan dengan jumlah pohon yang akan ditebang. Selain itu, pohon yang ditebang pun harus pohon yang telah cukup umur, dan pohon yang memiliki jarak dekat satu sama lainnya.

Leuweung Bukaan adalah kawasan hutan yang telah dibuka sejak lama secara turun temurun dan digunakan untuk lahan garapan masyarakat, baik berupa ladang (huma), sawah, maupun talun (kebun). Lahan garapan ini digunakan untuk memenuhi kebutuhan pangan dan papan (kayu) masyarakat adat. Pengaturan lahan garapan untuk warga dilakukan oleh Abah sebagai pimpinan adat tertinggi. Untuk daerah-daerah tertentu, penanaman padi sawah dan huma tidak boleh

50 dilakukan pada lokasi yang sama untuk kedua kalinya, daerah ini disebut dengan

Huma Serang (suci).

Tabel-5. Penggunaan Lahan Masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi di desa Sirna Resmi

Penggunaan lahan Zona di Kasepuhan Luas (Ha)

Pemukiman Hutan bukaan (leuweung garapan) 78,18

Sawah Hutan bukaan (leuweung garapan) 559,98

Perkebunan Hutan bukaan (leuweung garapan) 303,4

Tanah kuburan Hutan bukaan (leuweung garapan) 7.00

Hutan adat Hutan titipan (leuweung titipan) 1.013,00

Hutan adat Hutan yang dilindungi (leweung

tutupan)

2.948,48

Total luas desa 4.906,04

Sumber: Suganda, 2009

Sumberdaya lainnya yang tersedia di kampung Sinar Resmi adalah sumberdaya air, berupa sungai. Sungai-sungai yang dimanfaatkan masyarakat adalah sungai Cipanengah, sungai Cibareno dan sungai Cikaret. Sungai-sungai ini dimanfaatkan untuk keperluan mengairi sawah, mandi, dan air minum. Air sungai dialirkan menggunakan pipa-pipa paralon ke bak-bak penampungan yang tersedia di belakang Imah Gede (rumah Abah) untuk digunakan mandi, mencuci dan memasak. Air untuk pengairan sawah, dialirkan dari sungai dengan membuat saluran-saluran irigasi yang langsung menuju ke sawah.

Dalam peraturan adat Kasepuhan, sumberdaya lahan dikelompokkan menurut fungsinya, seperi hutan ditanami pohon kayu-kayuan keras (gunung kayuan); lereng curam ditanami dengan bambu (lamping gawit awian); area perkebunan (kebun talun); pertanian padi (datar sawahan), dan kolam ikan (legok balongan). Pengelompokan lahan ini mempengaruhi cara masyarakat Kasepuhan dalam mengelola sumberdaya alam.

Sumberdaya alam yang dimiliki oleh masyarakat adat Kasepuhan dianggap sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa dan titipan dari para leluhur mereka. Oleh karena itu, mereka wajib untuk menjaga keutuhan dan mempergunakan sebaik-baiknya untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka saat ini hingga generasi mendatang. Sebagai lahan titipan para leluhur, seluruh sumberdaya alam ini diklaim sebagai milik adat dan bersifat komunal. Hanya

51 boleh dipergunakan dan dimanfaatkan untuk hidup, namun tidak boleh untuk dijual dan dimiliki secara individual. Pengaturan penggunaan dan pengelolaan sumberdaya alam di Kasepuhan, diatur oleh seorang Abah sebagai pemimpin adat.

Kawasan Gunung Halimun, selain terdapat wilayah adat yang telah ada sejak dahulu, ada juga wilayah konservasi pemerintah berupa kawasan hutan lindung taman nasional. Kawasan ini berfungsi sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa serta pemanfaatan secara lestari sumberdaya alam dan ekosistemnya. Kawasan konservasi taman nasional berdasarkan UU No. 41 Tahun 1999 pasal 4 (1) dan (2) disebutkan sebagai kawasan hutan yang dikuasai oleh Negara dan memberikan wewenang kepada pemerintah untuk, (1) mengatur dan mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan; (2) menetapkan status wilayah tertentu sebagai kawasan hutan atau kawasan hutan sebagai bukan kawasan hutan; dan (3) mengatur dan menetapkan hubungan-hubungan hukum antara orang dengan hutan, serta mengatur perbuatan-perbuatan hukum mengenai kehutanan. Selain itu, pengaturan pengelolaan Gunung Halimun secara konservasi dilakukan oleh Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam berdasarkan pada SK. Menhut No. 175 Tahun 2003.

Terkait dengan keberadaan taman nasional sebagai kawasan konservasi, institusi pengelola di Indonesia mencakup unsur hak kepemilikan, batas wilayah kewenangan dan aturan keterwakilan. Hak kepemilikan taman nasional, sesuai dengan UUD 1945 Pasal 33 dan UU No. 5 Tahun 1967 mengenai Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehutanan adalah milik Negara (state property). Menurut pasal 34 UU No. 5 Tahun 1990 mengenai Konservasi Sumberdaya Alam dan Ekosistemnya, pengelolaan taman nasional dilaksanakan oleh pemerintah, dalam hal ini oleh Kementrian Kehutanan.

Kawasan konservasi taman nasional, memiliki lokasi yang berdekatan, bahkan bertumpang tindih dengan wilayah adat Kasepuhan. Dalam kasus Kasepuhan Sinar Resmi, wilayah adat yang tumpang tindih dengan kawasan taman nasional pada zona rimba dan zona rehabilitasi adalah leuweung tutupan, leuweung titipan dan leuweung Bukaan.

52 4.3 Sejarah Kasepuhan Sinar Resmi

Masyarakat adat Banten Kidul adalah suatu komunitas yang dalam kesehariannya menjalankan sosio-budaya tradisional yang mengacu pada karakteristik budaya Sunda pada abad ke-18 (Asep, 2000 sebagaimana dikutip Hanafi et al., 2004). Hasil studi literatur sejarah yang dilakukan Hanafi et al.

(2004), diketahui bahwa nenek moyang masyarakat adat Banten Kidul yang berada di kawasan Gunung Halimun terdiri atas tiga komunitas, yaitu komunitas sisa pasukan Kerajaan Sunda Padjajaran yang lari bersembunyi, komunitas sisa pasukan Kerajaan Mataram, dan komunitas yang nerasal dari dinamika konflik yang terjadi di Kesultanan Banten (termasuk para buruh perkebunan yang didatangkan oleh VOC dari seluruh nusantara).

Dalam tiap perpindahan, penduduk menggarap lahan di wilayah baru dan hanya meninggalkan tradisi ‘nyekar’ ke wilayah-wilayah sebelumnya. Itupun bila ada peninggalan makam leluhur. Masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi menggambarkan latar belakang asal muasal leluhur mereka yang mempunyai kaitan dengan prosesi ritual adat dalam kegiatan perladangan. Menjelang permulaan kegiatan berladang dan setelah syukuran panen, para sesepuh adat, perangkat dan pemimpin Kasepuhan melakukan acara ritual

ngembang atau ziarah kubur ke beberapa kuburan yang dianggap mempunyai hubungan dengan sejarah keberadaan dan leluhur mereka, yang ada disekitar kawasan hutan dalam Desa Sirnaresmi dan di luar desa, seperti: kuburan di Cipatat Urug - Bogor, di Cisono, Tegal Lumbu, Lebak Larang, Lebak Binong daerah Banten. Tempat-tempat ini diyakini berhubungan dengan tempat dan asal muasal leluhur mereka.

Lokasi Kasepuhan Sinar Resmi selalu berpindah-pindah sebelum di desa Sirna Resmi saat ini. Berpindah-pindahnya lokasi Kasepuhan didasarkan pada wangsit dari para karuhun yang disampaikan melalui kepala Adat yang disebut dengan Abah. Lokasi Kasepuhan sendiri telah berpindah-pindah selama 29 generasi dimulai sejak tahun 611 M. Namun hanya delapan generasi terakhir saja yang boleh diketahui oleh Incu putu (masyarakat adat), karena 21 generasi lainnya merupakan “rahasia para karuhun” yang tidak boleh diketahui oleh siapapun.

53 Menurut Sekretaris Desa Sirna Resmi, Bapak BHR (62 tahun), terbentuknya Kasepuhan ini adalah dari sejarah perpindahan komunitas nomadik yang kemudian menetap, akibat pengaruh perkembangan sosial politik. Secara singkat sejarah perpindahan tersebut adalah sebagai berikut:

1. tahun 611 – 807 di wilayah Seni

2. tahun 807 – 1001 di wilayah Kadu Luhur

3. tahun 1001 – 1181 di wilayah Jasinga

4. tahun 1181 – 1381 di wilayah Lebak Binong Banten

5. tahun 1381 – 1558 di wilayah Cipatat Urug

6. tahun 1558 – 1720 di wilayah Lebak Larang Banten

7. tahun 1720 – 1797 di wilayah Lebak Binong Banten

8. tahun 1797 – 1834 di wilayah Pasir Talaga

9. tahun 1834 – 1900 di wilayah Tegal Lumbu Banten

10.tahun 1900 – 1937 di wilayah Cisono Banten

11.tahun 1937 – 1960 di wilayah Cimapag, Cikaret

12.tahun 1960 – 1982 di wilayah Cikaret, Ciganas

13.tahun 1982 – 2002 di wilayah Sinar Resmi dan Cipta Gelar

Dimulai tahun 1474, lokasi Kasepuhan berlokasi di daerah Cipatat, Jasinga, Kabupaten Bogor. Kasepuhan ini dipimpin oleh seorang sesepuh yang bernama Uyut Cipatat (Aki Buyut Bao Rosa) yang berasal dari Banten selama 150 tahun masa kepemimpinan. Anak Uyut Cipatat sebagai penerus setelah Uyut Cipatat wafat, kemudian memindahkan pusat Kasepuhan ke Lebak Larang, Banten. Anak Uyut Cipatat ini dikenal dengan Uyut Gondok (Aki Buyut Warning). Tiga Tahun di Lebak Larang, Uyut Gondok wafat dan Kasepuhan diteruskan oleh Aki Buyut Kayon. Lokasi Kasepuhan pun berpindah ke Lebak Binong, Banten, selama 27 tahun. Pada waktu itu, pemerintahan colonial Hindia-BelBapak/Ibu baru saja berdiri. Setelah Aki Kayon wafat, penerus selanjutnya adalah putranya yang bernama Aki Ceboy. Namun karena saat itu, Aki Ceboy

54 belum dewasa saat ayahnya wafat, maka untuk sementara Kasepuhan dipimpin oleh adik Aki Kayon yang bernama Aki Buyut Santayan sampai usia Aki Ceboy cukup umur untuk memimpin Kasepuhan. Semasa pimpinan Aki Santayan, Kasepuhan berada di daerah Pasir Talaga, Sukabumi. Setelah Aki Ceboy dewasa, kepemimpinan Kasepuhan diberikan pada beliau, Kasepuhan berpindah tempat lagi ke Tegal Lumbu, Banten.

Aki Ceboy memimpin Kasepuhan selama 32 tahun. Setelah wafat, diteruskan oleh anaknya yang bernama Uyut Jasiun (Ki Ciung), Kasepuhan berpindah lokasi lagi ke Bojong Cisono, Banten. Ketika Jepang masuk, pengganti Uyut Jasiun, yaitu Aki Rusdi membawa incu putu-nya ke Cimapag. Di sinilah

incu putu diizinkan untuk membuka ladang oleh pemerintah Jepang.

Di Cimapag mereka menetap cukup lama. Semasa perang kemerdekaan, dusun ini menjadi salah satu basis brigade Kian Santang dari Divisi Siliwangi. Tidak kurang dari 3.000 pocong padi disediakan Ki Rusdi buat ransum para gerilyawan. Ki Ardjo, anaknya yang menjadi lurah Cimapag, pun sempat diberi pangkat sersan mayor oleh TRI. Untuk jasa-jasanya, ia kemudian dianugerahi Bintang Gerilya, Aksi Militer I dan Aksi Militer II. Lalu disusul dengan bintang GOM II dan GOM V. Karena ikut serta dalam penumpasan pemberontakan DI/TII dan G30S-PKI di daerah itu. Sekitar tahun 1980-an, dusun terpencil itu membara. Pernah, 10 orang warga ditebas kepalanya sekaligus oleh gerombolan DI/TII yang sedang panik. Belum lagi gangguan gerombolan-gerombolan penyamun yang tidak jelas ideologinya. Maka, pada tahun 1957, Ki Rusdi pun memindahkan pusat kesepuhan ke Cikaret. Kali ini, campur tangan pihak luar mulai tampak. Pada acara yang dinamai serah tahun, nama dusun itu ditetapkan sebagai Sirna Resmi. Idenya dari Overste Ishak Djuarsa. Di Sirna Resmi ini pula, Ki Rusdi wafat. Tidak lama kemudian, pada tahun 1974, Ki Ardjo yang telah menjadi sesepuh membawa pengikutnya ke Ciganas, Sirna Rasa. Daerah ini termasuk kawasan Perhutani dan PHPA. Ki Ardjo pun wafat pada tahun 1982. Kasepuhan saat itu digantikan oleh Abah Encup Sucipta (Abah Anom).

55 Tahun 1983 Beliau pindah ke Cipta Rasa selama 17 Tahun. Pada tahun 1985 Kesepuhan terpecah menjadi dua yaitu:

1. Kasepuhan Cipta Rasa ( Abah Anom )

2. Kasepuhan Sinar Resmi ( Abah Ujat Sujati ).

Tahun 2000 Abah Anom pindah ke Cipta Gelar. Dan pada Tahun 2002 Abah Ujat Sujati mengakhiri hidupnya. Dan waktu itu pula Kasepuhan Sinar Resmi terpecah kembali menjadi dua Kasepuhan, yaitu:

1. Kasepuhan Sinar Resmi ( Abah Asep Nugraha )

2. Kasepuhan Cipta Mulya ( Abah Uum Sukmawijaya)

Pada Tahun 2007 Abah Anom meninggal dunia dan Kasepuhan dilanjutkan oleh anaknya Abah Ugi Sugriana Rakasiwi.

Sejak tahun 2002 hingga tahun akhir tahun 2010 Kasepuhan terbagi menjadi tiga:

1. Kasepuhan Cipta Gelar (Abah Ugi Sugriana Rakasiwi)

2. Kasepuhan Sinar Resmi (Abah Asep Nugraha)