• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS KONFLIK SUMBERDAYA HUTAN 5.1 Sejarah Konflik Sumberdaya Hutan

3. Taman Nasional Gunung Halimun-Salak

5.4 Sumber-sumber Konflik Sumberdaya Hutan di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak Halimun-Salak

5.4.2 Perbedaan Tatanilai sebagai Sumber Konflik

Perbedaan tatanilai tentang peran dan fungsi hutan dalam kehidupan masyarakat terjadi ketika ada perbedaan dalam menilainya. Kasepuhan menganggap bahwa hutan adalah sumber kehidupan dalam memenuhi kebutuhan hidup serta sebagai tempat spiritual. Pemerintah menganggap hutan sebagai sebuah aset masa depan yang wajib dijaga dan dilestarikan (konsep konservasi).

Masyarakat adat Kasepuhan memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap hutan. Mereka menganggap hutan sebagai tempat untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Hutan yang dimanfaatkan oleh masyarakat adat Kasepuhan adalah hutan titipan. Hasil yang dimanfaatkan berupa kayu-kayuan dan bambu untuk membuat rumah, leuit, sarana ibadah, dan lainnya, nipah dan kirai untuk membuat atap rumah, buah-buahan, madu hutan, rotan untuk membuat kerajinan-kerajinan dan peralatan rumah tangga, dan tanaman obat-obatan.

Mengingat kebutuhan yang tinggi terhadap hasil hutan, masyarakat Kasepuhan tidak dapat terpisahkan kehidupannya dari hutan. Karena mereka terikat adat yang kuat dalam pengelolaan dan pemanfaataannya. Ada nilai spiritual yang terkandung di dalamnya. Kawasan leuwueng tutupan merupakan warisan atau titipan para leluhur adat dan Allah (Gusti Nu Kuasa) yang harus terjaga keutuhannya dan tidak boleh dimasuki oleh manusia, karena manusia tidak termasuk makhluk hidup yang ada di dalam hutan. Hutan ini hanya boleh dimasuki oleh petugas pengawasan hutan (kemit leuweung) yang telah diamanatkan oleh Abah untuk memeriksa barang-barang pusaka yang ada di dalam hutan tutupan. Selain itu, mengingat hutan tutupan sebagai daerah resapan air (leuweung sirah cai), dan air merupakan kebutuhan utama masyarakat, maka

80 sudah pasti keutuhannya mesti terjaga dan menjadi hal yang penting dalam kehidupannya. Seperti yang dituturkan oleh Ketua Adat Abah ASN (44 tahun).

Para Leluhur memerintahkan untuk mendirikan rumah dan lumbung padi dengan menggunakan kayu-kayuan dan bambu untuk bagian dinding dan rangka rumah, serta menggunakan daun nipah dan kirai untuk bagian atap. Peraturan adat melarang kami untuk menggunakan bahan tanah dalam membangun rumah, karena makhluk hidup tidak patut untuk tinggal di bawah tanah. Ketika memasak nasi, masyarakat harus menggunakan tungku dan kayu bakar, karena sudah diatur oleh adat.”

Namun, pemerintah sendiri pun memiliki penilaian berbeda dalam memaknai hutan. Undang-undang No.41 tahun 1999 sendiri dirumuskan dengan mempertimbangkan hutan sebagai karunia dan amanah Tuhan Yang Maha Esa yang dianugerahkan kepada Bangsa Indonesia, yang merupakan kekayaan yang dikuasai oleh Negara, yang dapat memberikan manfaat serbaguna bagi umat manusia, karenanya wajib disyukuri, diurus, dan dimanfaatkan secara optimal, serta dijaga kelestariannya untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, bagi generasi sekarang maupun generasi mendatang. Jelas terlihat bahwa pemerintah sendiri memaknai hutan sebagai kekayaan yang dikuasai oleh Negara dan merupakan karunia dari Tuhan yang wajib disyukuri, diurus, dimanfaatkan dan dijaga kelestariannya. Untuk itu, pemerintah mengupayakan usaha konservasi dalam melindungi kawasan Gunung Halimun yang memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi dan sebagai sumber mata air bagi kehidupan bagi masyarakat disekitarnya. Namun, fakta di lapangan, dalam penerapan konservasi sendiri justru terjadi bentrokan antara pemerintah (balai taman nasional) dengan masyarakat adat Kasepuhan. Konsep konservasi sendiri adalah dengan meniadakan segala bentuk pendayagunaan hutan oleh manusia di kawasan atau zona-zona tertentu seperi zona inti, zona rimba, zona penyangga dan zona rehabilitasi. Sedangkan dengan tingkat ketergantungan yang tinggi masyarakat adat Kasepuhan akan hutan maka dapat terjadi bentrokan antara keduanya.

81 5.4.3 Perbedaaan Kepentingan sebagai Sumber Konflik

Pemerintah atas dasar adanya desakan dan harapan dari berbagai pihak untuk melakukan upaya penyelamatan kawasan konservasi Gunung Halimun-Salak, kemudian menetapkan SK Menhut No.175/Kpts-II/2003 mengenai Penunjukan Kawasan Taman Nasional Gunung Halimun dan Perubahan Fungsi Kawasan Hutan Lindung, Hutan Produksi Tetap, Hutan Produksi Terbatas pada Kelompok Hutan Gunung Halimun dan Kelompok Hutan Gunung Salak seluas ± 113.357 hektar di Provinsi Jawa Barat dan Banten menjadi Taman Nasional Gunung Halimun-Salak. Penunjukan ini dengan mempertimbangkan kelompok kesatuan Gunung Halimun dan Gunung Salak sebagai kesatuan hamparan hutan dataran rendah dan pegunungan yang mempunyai keanekaragaman yang tinggi, sumber mata air bagi penghidupan bagi masyarakat sekitarnya yang perlu dilindungi dan dilestarikan. Adanya kepentingan akan konservasi inilah yang menjadi kepentingan pemerintah atas Gunung Halimun.

Masyarakat adat Kasepuhan telah mendiami kawasan Gunung Halimun sejak lama. Mereka menggantungkan kehidupannya pada hutan. Mulai dari pemenuhan kebutuhan sehari-hari, seperti kebutuhan kayu bakar untuk memasak, kayu untuk pemukiman, tanaman obat-obatan, serta pemanfaatan lahan untuk pertanian. Kepentingan dalam memenuhi kebutuhan hidup inilah yang menjadikan kawasan Gunung Halimun sangat penting keberadaannya bagi masyarakat. Seperti yang dituturkan oleh Bapak RDI (55 tahun) Petani warga Kasepuhan Sinar Resmi di Kampung Cimapag.

“Kami hidup dari pertanian, karena sudah diatur oleh adat. Kami menanam padi di ladang dan sawah, menanam buah-buahan untuk dijual, dan menanam kayu-kayuan keras untuk mendirikan rumah dan lumbung padi. Kami juga harus masuk ke dalam hutan untuk mencari kayu-kayu kering untuk memasak di tungku sebagai kayu bakar. Semua berada di hutan. Tetapi, saat ini hutan menjadi milik taman nasional. Kami dilarang masuk secara sembarangan, harus sembunyi-sembunyi, takut ditangkap. Ladang, sawah dan kebun kami, menjadi milik taman nasional. Kami hidup darimana jika lahan garapan kami dirampas?.”

Terdapat perbedaan kepentingan antara masyarakat adat Kasepuhan dengan pemerintah terhadap nilai ekonomi yang terkandung di dalam Taman

82 Nasional Gunung Halimun-Salak. Masyarakat adat Kasepuhan memiliki kepentingan atas hutan di dalam Taman Nasional Gunung Halimun-Salak sebagai ruang hidup. Sementara pemerintah (balai taman nasional) memiliki kepentingan untuk menegakkan wibawa atas pengelolaan sumberdaya alam di kawasan konservasi Taman Nasional Gunung Halimun-Salak. Perbedaan ini memicu konflik yang tidak pernah selesai hingga saat ini (tahun 2010).

Adanya persaingan kepentingan antara keduanya, salah satu pihak harus berkorban agar pihak lainnya terpenuhi kepentingannya. Namun, dalam kasus di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak, kedua kepentingan ini harus didahulukan. Pemerintah harus melakukan upaya konservasi mengingat kawasan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak merupakan kawasan dengan keanekaragaman hayati yang tinggi dan memiliki sumber mata air namun kebutuhan hidup masyarakat pun harus terdesak untuk dipenuhi. Sehingga hal inilah yang menjadi sumber konflik pada akhirnya.

83 Tabel-9 Peta Kepentingan Tiap Pihak atas Hutan

Hutan Tutupan/Zona Inti/Hutan Lindung

Hutan Titipan/Zona Rimba/Hutan Produksi

Hutan Bukaan/Zona Rehabilitasi/Hutan Produksi

Perhutani Merupakan kawasan penyimpan cadangan air dan menjaga keseimbangan ekosistem.

Sebagai kawasan hutan yang dikelola untuk menghasilkan keuntungan bagi Negara

Sebagai kawasan hutan yang dikelola untuk menghasilkan keuntungan bagi Negara Masyarakat Adat Merupakan hutan titipan para

leluhur yang tidak boleh dimasuki oleh sembarang orang. Sebagai

leuweung sirah cai (penyimpan

cadangan air). Dan sebagai tempat spiritual masyarakat.

Merupakan hutan yang dialokasikan untuk pemukiman di masa mendatang (awisan) dan untuk lahan garapan nantinya. Hutan tutupan hanya boleh dimasuki atas izin abah dengan tujuan untuk pengambilan hasil hutan kayu dan non kayu.

Hutan yang telah dibuka untuk lahan garapan, guna memenuhi kebutuhan pangan dan papan (kayu) masyarakat.

Taman Nasional Gunung Halimun-Salak

Merupakan bagian dalam taman nasional yang mempunyai kondisi alam baik biota maupun fisiknya masih asli dan tidak atau belum diganggu oleh manusia, yang mutlak dilindungi, berfungsi untuk perlidungan keterwakilan keanekaragaman hayati yang asli dan khas.

Bagian dalam taman nasional yang karena letak, kondisi dan potensinya mampu mendukung kepentingan pelestarian pada zona inti dan zona pemanfaatan.

Bagian dari taman nasional yang karena mengalami kerusakan, sehingga perlu dilakukan kegiatan pemulihan komunitas hayati dan ekosistemnya yang mengalami kerusakan.

84 Konflik kehutanan yang terjadi di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak terjadi karena ada pihak-pihak yang memiliki banyak kepentingan atas hutan. Pihak-pihak yang terlibat merasa bahwa kepentingan mereka harus didahulukan dibanding yang lain. Misalnya kepentingan masyarakat adat atas hutan bukaan yang dalam zonasi taman nasional disebut zona rehabilitasi. Kepentingan masyarakat adat terhadap hutan bukaan adalah untuk memenuhi kebutuhan pangan dan papan karena fungsinya sebagai lahan garapan. Namun, taman nasional yang menganggap hutan bukaan sebagai zona rehabilitasi, berkepentingan untuk melakukan upaya pemulihan ekosistem hutan yang rusak, yang sebelumnya merupakan hutan produksi Perhutani.

5.4.4 Perbedaan Akuan Hak Kepemilikan terhadap Sumberdaya Hutan