BAB III PENYELESAIAN SENGKETA BIDANG PERTAMBANGAN
C. Penyelesaian Sengketa Antara Pengusaha Pertambangan Dengan
Mentah
Pertambangan merupakan salah satu bidang usaha terbuka bagi penanaman modal asing.161 Kasus-kasus atau sengketa di bidang penanaman modal pada dasarnya dapat dibagi atas tiga bentuk sengketa, yaitu: sengketa antar negara (“government to government”); sengketa antar negara tuan rumah (host
country) dengan investor asing; dan sengketa antara investor asing dengan mitra
lokalnya. Terhadap bentuk-bentuk kasus di atas, terdapat aspek-aspek hukum yang bersifat transnasional di dalamnya.162
Sengketa antar negara di Penanaman modal khususnya di bidang pertambangan, lazimnya terjadi antara home-country dengan host country.
160
Sjamsul Arifin, Dian Ediana Rae, Charles P.R.Joseph, Kerja Sama Perdagangan Internasional: Peluang dan Tantangan bagi Indonesia (Jakarta: PT. Gramedia, 2007), hlm.117.
161
Republik Indonesia, Peraturan Presiden Nomor 39 Tahun 2014 tentang Bidang Usaha Yang Tertutup Dan Bidang Usaha yang terbuka Dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal, Pasal 3.
162
Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan HAM RI, Penyelesaian Sengketa-Sengketa di Bidang Pertambangan (Jakarta, September 2009), hlm.3.
74
Sengketa dapat muncul karena perbedaan interpretasi dan implementasi perjanjian bilateral di bidang investasi.163 Sengketa host country dengan Investor dapat timbul sebagai akibat dilanggarnya kewajiban-kewajiban kontraktual maupun kewajiban hukum lainnya. Bentuk pelanggaran dimaksud dapat disebabkan oleh:164
a. Pelanggaran kewajiban oleh host country; b. Pelanggaran kewajiban oleh investor.
Jenis-jenis sengketa di bidang pertambangan terdiri atas 6 (enam) jenis, yaitu:
a. Sengketa kewenangan (vertikal dan horizontal)
Sengketa Vertikal adalah sengketa yang terjadi karena adanya silang kewenangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, hal ini berhubungan dengan ketentuan tentang otonomi daerah, sengketa ini berkaitan dengan kekuasaan yang dimiliki oleh masing-masing pihak, biasanya menyangkut perizinan, pengelolaan atau kepemilikan usaha di bidang pertambangan.165
Bentuk sengketa kewenangan lainnya adalah sengketa horizontal, yakni sengketa kewenangan yang terjadi antar Instansi Pemerintah Pusat, dalam hal ini departemen yang membawahi bidang energi dan sumber daya mineral, kehutanan dan lingkungan hidup.166
163 Ibid.,hlm.16. 164 Ibid.,hlm.18-19. 165
Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan HAM RI, Op.Cit.,hlm.11.
166 Ibid.
b. Sengketa administrasi/TUN
Dalam bidang pertambangan, sengketa ini timbul disebabkan oleh adanya kepentingan baik pelaku usaha, masyarakat, atau pihak-pihak lainnya yang dirugikan oleh karena diterbitkannya suatu keputusan TUN. Pada umumnya sengketa TUN yang terjadi dalam dunia pertambangan menyangkut penerbitan Izin Kuasa Pertambangan oleh bupati atau Kontrak Karya/PKP2B yang diterbitkan oleh pemerintah pusat.167
c. Sengketa kontraktual
Penanaman modal di bidang pertambangan adalah kegiatan yang padat modal, oleh karena itu biasanya dilakukan dalam suatu kerjasama antara dua pihak yakni antara investor dengan pemerintah maupun dengan mitra lokalnya. Dalam konteks tersebut maka ditandatangani berbagai perjanjian/kontrak di antara mereka.168 Baik dalam kontrak-kontrak transnasional maupun nasional, ada beberapa ketentuan-ketentuan pokok yang dapat memunculkan masalah, antara lain:169
1) hukum yang berlaku (“governing law”);
2) forum penyelesaian sengketa, baik melalui proses litigasi, arbitrase dan/atau Alternative Dispute Resolution (ADR);
3) wanprestasi(“event of default”);
4) HAKI(“property rights in inventions”); 5) force majeur;
6) jaminan (“Warranty and guarantee”); 7) dan lain-lain. 167 Ibid., hlm.12. 168 Ibid., hlm.13. 169 Ibid., hlm.14.
76
d. Sengketa lingkungan.
Sengketa lingkungan hidup adalah perselisihan antara dua pihak atau lebih yang timbul dari kegiatan yang berpotensi dan/atau telah berdampak pada lingkungan hidup.170 Sengketa lingkungan biasanya timbul oleh karena adanya pencemaran yang disebabkan oleh kegiatan pertambangan terhadap lingkungan.171
e. Sengketa dengan masyarakat setempat
Berdasarkan praktik atas beberapa kasus pertambangan, sengketa yang timbul antara masyarakat dengan perusahaan pertambangan disebabkan oleh kurangnya tanggung jawab sosial pengusaha terhadap kehidupan social masyarakat setempat.172
f. Sengketa kewilayahan (Untuk Pemegang KP)
Sengketa kewilayahan biasanya timbul disebabkan oleh
dikeluarkannya izin Kuasa Pertambangan yang menyebabkan kerugian terhadap pemilik Kuasa Pertambangan lainnya.173
Kegiatan usaha di bidang pertambangan dapat berbentuk penanaman modal dalam negeri ataupun asing oleh karenanya jika terjadi sengketa maka penyelesaiannya dapat merujuk kepada pasal 32 ayat 1, 2 dan 4 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal yang berbunyi sebagai berikut:
Ayat 1, dalam hal terjadi sengketa di bidang penanaman modal antara Pemerintah dengan penanam modal, para pihak terlebih dahulu menyelesaikan sengketa tersebut melalui musyawarah dan mufakat.
170
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Pasal 1 angka 25.
171
Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan HAM RI, Op.Cit., hlm.14
172
Ibid., hlm.16. 173
Ayat 2, dalam hal penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak tercapai, penyelesaian sengketa tersebut dapat dilakukan melalui arbitrase atau alternative penyelesaian sengketa atau pengadilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Ayat 4, dalam hal terjadi sengketa di bidang penanaman modal antara Pemerintah dengan penanam modal asing, para pihak akan menyelesaikan sengketa tersebut melalui arbitrase internasional yang harus disepakati oleh para pihak.
Undang-Undang Minerba juga mengatur mengenai penyelesaian sengketa yang terjadi dalam kegiatan pertambangan yaitu dalam Pasal 154 yang menyatakan bahwa setiap sengketa yang muncul dalam pelaksanaan IUP, IPR, atau IUPK diselesaikan melalui pengadilan dan arbitrase dalam negeri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Penyelesaian sengketa di bidang pertambangan berdasarkan keterangan diatas dapat dilakukan melalui litigasi maupun non-litigasi atau penyelesaian sengketa alternatif. Berkaitan dengan pembahasan penyelesaian sengketa yang terjadi antara pengusaha pertambangan dengan pemerintah akibat diterapkannya kebijakan pelarangan ekspor mineral mentah akan lebih jelas jika dibahas berdampingan dengan contoh kasus yaitu sengketa antara PT Newmont Nusa Tenggara selaku pengusaha pertambangan dengan Pemerintah Indonesia.
Pada tanggal 1 Juli 2014, melalui release174
174
Arbitrase Diajukan Terkait Larangan Ekspor di Indonesia, http://www.ptnnt.co.id/id/arbitrase-diajukan-terkait-larangan-ekspor-di-indonesia.aspx (diakses tanggal 10 Maret 2015).
yang disampaikan kepada media masa PT Newmont Nusa Tenggara (PTNNT) mengumumkan telah menggugat pemerintah Indonesia kepada Arbitrase International Center for
Settlement of Investment Dispute (ICSID). Pada dasarnya pengajuan gugatan
tersebut didasarkan karena adanya kebijakan untuk melakukan pengolahan dan pemurnian hasil penambangan di dalam negeri dalam rangka peningkatan nilai
78
tambah sebagaimana yang diatur dalam UU Minerba dan PP Nomor 1 Tahun 2014.
Kebijakan tersebut menyebabkan PTNNT menghentikan kegiatan produksi konsentrat tembaga di Batu Hijau karena keadaan kahar sesuai kontrak karya yang disebabkan oleh penerapan pelarangan ekspor mineral mentah175
Disamping PTNNT tidak mempunyai fasilitas pengolahan dan pemurnian (smelter) sendiri, Pemerintah mempunyai beberapa alasan mengapa tidak mengeluarkan izin ekspor konsentrat tembaga PTNNT.
yang membuat perusahaan tidak dapat melakukan kegiatan produksi, karena hasil penambangan mineral mentah yang sebelumnya langsung diekspor kini harus diolah dan/atau dimurnikan terlebih dahulu di dalam negeri sampai batasan minimum pengolahan sesuai Permen ESDM Nomor 1 Tahun 2014. Akibatnya stok bahan mineral mentah menumpuk dalam jumlah yang besar di penampungan-penampungan perusahaan tambang melebihi kapasitas penampungan-penampungan. Hal ini disebabkan PTNNT tidak mempunyai fasilitas pengolah dan pemurnian sendiri untuk mengolah dan memurnikan hasil penambangannya dan fasilitas pengolahan dan pemurnian dalam negeri belum maksimal karena belum dapat menampung semua hasil penambangan yang akan diolah dan dimurnikan.
176
175
PTNNT Menghentikan Operasi Tambang Batu Hijau, http://ptnnt.co.id/id/ptnnt-menghentikan-operasi-tambang-batu-hijau.aspx (diakses tanggal 14 Maret 2015).
Pertama, PTNNT tidak bersedia untuk membayar bea keluar ekspor sebagaimana yang tercantum dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 6 Tahun 2014; kedua, PTNNT tidak bersedia untuk membangun fasilitas pengolahan dan pemurnian di dalam negeri dengan alasan dari kajian sisi ekonomi tidak layak untuk membangun fasilitas smelter
176
Siti Nuraisyah Dewi, Arie Dwi Budiawati , “Alasan Newmont Gugat Indonesia ke Arbitrase Versi Pemerintah,” http://bisnis.news.viva.co.id/news/read/518483-alasan-newmont-gugat-indonesia-ke-arbitrase-versi-pemerintah (diakses tanggal 14 Maret 2015).
sendiri; ketiga, PTNNT tidak bersedia membayar royalti atas penjualan hasil penambangan; keempat, PTNNT tidak bersedia membayar uang jaminan sebagai tanda keseriusan PTNNT dalam berpartisipasi terhadap kebijakan peningkatan nilai tambah produk hasil penambangan melalui kegiatan pengolahan dan pemurnian.
Sementara berdasarkan Pasal 12 Permen ESDM Nomor 1 Tahun 2014 untuk mendapatkan Surat Persetujuan Ekspor dari Menteri Perdagangan, PTNNT terlebih dahulu harus memiliki rekomendasi Direktur Jenderal atas nama Menteri. Untuk mendapatkan rekomendasi tersebut PTNNT harus memenuhi beberapa syarat, diantaranya adalah menunjukkan keseriusan membangun fasilitas pemurnian baik secara langsung ataupun kerja sama dengan pihak lain dengan menyerahkan rencana pembangunan fasilitas pemurnian.
Perseroan Terbatas Newmont Nusa Tenggara beranggapan bahwa ketentuan baru mengenai ekspor mineral, bea keluar, dan pelarangan ekspor konsentrat tembaga yang akan dimulai pada Januari 2017 bertentangan dengan isi kontrak karya dan perjanjian investasi bilateral (BIT) antara Indonesia dan Belanda. Berlandaskan alasan tersebut PTNNT mengajukan gugatan ke ICSID dengan maksud mendapatkan putusan sela untuk dapat melakukan ekspor konsentrat tembaga. PTNNT berpendapat bahwa kontrak karya harus menjadi dasar untuk menjalankan hak dan kewajiban masing-masing pihak.177
177
Arbitrase Diajukan Terkait Larangan Ekspor di Indonesia, http://www.ptnnt.co.id/id/arbitrase-diajukan-terkait-larangan-ekspor-di-indonesia.aspx (diakses tanggal 10 Maret 2015).
Dipihak lain yaitu pemerintah mempunyai kewajiban untuk menjalankan kebijakan melakukan pengolahan dan pemurnian hasil penambangan di dalam negeri atau
80
melarang ekspor mineral mentah atas dasar amanat dari UU Minerba yang merupakan perpanjangan tangan dari amanat UUD 1945.
Terdapat perbedaan sudut pandang antara pemerintah yang berpegang dan berdasar pada UU Minerba dengan PTNNT yang berpegang dan mengacu pada kontrak karya. Atas dasar perbedaan itu, Pasal 169 UU Minerba telah mengamanatkan untuk melakukan renegosiasi terhadap kontrak karya agar menghasilkan kesepakatan ulang antara pemerintah dengan PTNNT terkait dengan poin-poin yang perlu disesuaikan dengan UU Minerba, termasuk diantaranya tentang kewajiban pengolahan dan pemurnian di dalam negeri. Berdasarkan Pasal 169 UU Minerba renegosiasi tersebut seharusnya sudah selesai 1 (tahun) sejak diterbitkannya UU Minerba, namun hingga kini proses renegosiasi berlarut tanpa ujung. Pemerintah beranggapan renegosiasi masih dalam proses, sedangkan PTNNT beranggapan renegosiasi tersebut bukan jalan keluar yang baik baginya, sehingga lebih memilih mengajukan gugatan ke arbitrase internasional
ICSID.
Tidak berselang lama setelah PTNNT mengajukan gugatan ke arbitrase internasional, pada tanggal 26 Agustus 2014 melalui releasenya178
178
PTNNT Menghentikan dan Mencabut Gugatan Arbitrase, http://ptnnt.co.id/id/ptnnt-menghentikan-dan-mencabut-gugatan-arbitrase.aspx (diakses tanggal 14 Maret 2015)
PTNNT menyatakan bahwa mereka menghentikan dan mencabut gugatan arbitrase yang diajukan ke badan arbitrase internasional ICSID. Hal tersebut dilakukan guna membuka kembali pintu renegosiasi kontrak karya dengan pemerintah. Pada proses renegosiasi sebelumnya yang sedang berjalan, PTNNT tanpa pemberitahuan terlebih dahulu kepada pemerintah Indonesia mengajukan gugatan ke arbitrase internasional. Pemerintah menganggap PTNNT tidak beritikad baik
dalam mencari penyelesaian terhadap renegosiasi kontrak karya yang sedang mereka jalankan, maka pemerintah dengan tegas menghentikan proses renegosiasi tersebut, sebelum PTNNT mencabut gugatan arbitrasenya pemerintah tidak akan melanjutkan renegosiasi kontrak karya PTNNT. Dengan dicabutnya gugatan arbitrase tersebut maka proses perundingan formal antara pemerintah dan PTNNT untuk menyelesaikan nota kesepahaman yang nantinya akan dituangkan dalam amandemen kontrak karya PTNNT dilanjutkan kembali.
Tanggal 3 September 2014 perundingan tersebut akhirnya menghasilkan kesepakatan oleh kedua belah pihak. Poin-poin renegosiasi kontrak tersebut tertuang dalam nota kesepahaman (MoU) yang telah ditandatangani kedua belah pihak. Nota kesepahaman tersebut berisikan beberapa poin penting terkait dengan renegosiasi kontrak karya PTNNT yaitu;179
1. Perusahaan akan mengikuti aturan dalam Peraturan Menteri Keuangan No. 153/PMK.011/2014 tanggal 25 Juli 2014 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 75/PMK.011/2012 tentang Penetapan Barang Ekspor Yang Dikenakan Bea Keluar dan Tarif Bea Keluar dengan mengacu kepada perkembangan pembangunan fasilitas pemurnian PT Freeport Indonesia.
2. Pengurangan luas lahan wilayah kontrak karya dari 87.000 ha menjadi 66.422 ha.180
179
Lukas Hendra TM , “Ini Dia Isi MoU Newmont Nusa Tenggara Yang Kandas,” http://industri.bisnis.com/read/20150303/44/408428/ini-dia-isi-mou-newmont-nusa-tenggara-yang-kandas (diakses tanggal 14 Maret 2015)
180
Akhirnya, Pemerintah dan Newmont Sepakati Renegosiasi Kontrak, http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt54084c3a7ee29/akhirnya--pemerintah-dan-newmont-sepakati-renegosiasi-kontrak (diakses tanggal 14 Maret 2015)
82
3. Perusahaan akan membayar Jaminan Kesungguhan pembangunan smelter sebesar US$25,000,000 (dua puluh lima juta dollar Amerika Serikat).
4. Perusahaan bersedia meningkatkan tarif Royalti atas tembaga, emas dan perak dari tarif-tarif sebagaimana diatur dalam Pasal 13 ayat 2 KK menjadi 4% untuk tembaga, 3.75% untuk emas, 3.25% untuk perak dan atas Mineral ikutan Para Pihak sepakat bahwa Perusahaan telah melaksanakan kewajiban divestasi sebesar 51% sesuai dengan ketentuan didalam KK PT NNT. 5. Perusahaan berkomitmen untuk mengutamakan pemanfaatan tenaga kerja
lokal dan barang dalam negeri, serta menggunakan perusahaan jasa pertambangan lokal dan/atau nasional yang terdaftar.
6. Sesudah ditandatanganinya Nota Kesepahaman ini, Pemerintah akan memberikan seluruh rekomendasi dan izin yang diperlukan agar dapat menyetujui dan memperbolehkan Perusahaan mengekspor dan menjual konsentrat tembaga.
Tanggal 22 September 2014 pemerintah mengeluarkan izin ekspor sesuai dengan yang disepakati dalam nota kesepahaman yang ditandatangani pada tanggal 3 September 2014. Pasca diterimanya izin ekspor PTNNT langsung kembali beroperasi. Kuota ekspor yang diterima PTNNT hingga 2015 adalah sebesar 304 ribu ton.181
Berdasarkan keterangan diatas maka dapat diketahui bahwa sengketa yang terjadi antara PTNNT selaku pengusaha pertambangan dengan Pemerintah Indonesia adalah sengketa kontraktual. Sengketa tersebut muncul karena terdapat perbedaan antara isi kontrak degan hukum yang berlaku (governing law) serta
181
Andrian, “Kembali Peroleh Izin Ekspor, Newmont Normalisasi Usaha Selama 6-8 Pekan,”http://www.jakpro.id/kembali-peroleh-izin-ekspor-newmont-normalisasi-usaha-selama-6-8-pekan/ (diakses tanggal 14 Maret 2015)
forum penyelesaian sengketanya dimana PTNNT memilih penyelesaian sengketa melalui arbitrase internasional ICSID sementara Pemerintah Indonesia memilih penyelesaian sengketa alternatif yaitu negosiasi. Pada akhirnya metode penyelesaian sengketa yang digunakan oleh kedua belah pihak adalah penyelesaian sengketa alternatif yaitu negosiasi, hal tersebut berlandaskan berbagai pertimbangan yang salah satunya adalah untuk menjaga hubungan baik kedua belah pihak dengan mencapai suatu kesepakatan win-win solution agar tidak ada pihak yang merasa dirugikan.
84
BAB IV
KEDUDUKAN LARANGAN EKSPOR MINERAL MENTAH TERHADAP PRINSIP-PRINSIP GENERAL AGREMENT ON TARIFFS AND TRADE
(GATT)