• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV PERJANJIAN INVESTASI ASEAN DALAM RANGKA

7. Penyelesaian Sengketa Investasi Asing

Hadirnya investasi khususnya investasi asing ke Indonesia tentunya akan memberikan atau membawa akibat terhadap negara Indonesia, sehingga dibutukan adanya pengaturan yang seimbang agar penanaman modal khususnya penanaman modal asing di satu pihak dan pemerintah di lain pihak dapat memetik manfaatnya.109

Dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal diatur mengenai penyelesaian sengketa yang timbul dalam penanaman modal antara pemerintah dengan investor asing, tepatnya diatur dalam pasal 32 ayat (1) dan (4). Dalam ketentuan ini, ditentukan dua cara dalam penyelesaian sengketa antar Pemerintah Indonesia dengan investor asing. Kedua cara itu adalah:

a. Musyawarah dan mufakat; dan b. Arbitrase Internasional

108

Salim, Budi Sutrisno, Hukum Investasi di Indonesia, Op. Cit., hlm. 274. 109

Dr. Aminuddin Ilmar, Hukum Penanaman Modal di Indonesia (Jakarta: Kencana, 2004) hlm. 149.

Penyelesaian sengketa dengan musyawarah dan mufakat dapat dilakukan dengan cara negosiasi dan mediasi. Negosiasi merupakan proses tawar- menawar atau pembicaraan untuk mencapai suatu kesepakatan terhadap masalah tertentu yang terjadi di antara pihak. Negosiasi dilakukan baik karena telah ada sengketa diantara para pihak, maupun hanya karena belum ada kata sepakat disebabkan belum pernah dibicarakan sebelumnya masalah tersebut.110 Sedangkan Mediasi merupakan suatu proses negosiasi untuk memecahkan masalah melalui pihak luar yang tidak memihak dan netral, yang akan bekerja untuk membantu menemukan solusi dalam menyelesaikan sengketa tersebut secara memuaskan bagi kedua belah pihak yang mana mediator tidak mempunyai kewenangan untuk memutus sengketa tersebut.111

Penyelesaian sengketa melalui arbitrase internasional merupakan cara untuk mengakhiri perselisihan yang timbul antara Pemerintah Indonesia dengan investor asing, di mana kedua belah pihak sepakat menggunakan lembaga arbitrase atau arbiter perorangan di luar wilayah hukum Republik Indonesia. Sifatnya internasional.Biasanya lembaga arbitrase yang dipilih adalah arbitrase internasional yang berkedudukan di Paris.112

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1968 tentang Persetujuan atas Konvensi tentang Penyelesaian Perselisihan antara Negara dan Warga Negara Asing Mengenai Penanaman Modal, telah ditentukan pola penyelesaian sengketa yang terjadi antara negara dengan warga negara asing. Undang-undang itu menentukan bahwa ketentuan

110

Suyud Margono, ADR (Alternative Dispute Resolution) & Arbitrase: Proses Pelembagaan dan Aspek Hukum (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2000), hlm. 36.

111

Dhaniswara K. Harjono, Hukum Penanaman Modal, Tinjauan terhadap Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007) hlm. 280.

112

yang digunakan untuk penyelesaian sengketa antar negara dengan warga negara asing adalah International Centre for the Settlement of Investment Dispute (ICSID).113

International Centre for the Settlement of Investment Dispute (ICSID) lahir dari Convention on the Settlement of Investment Dispute Between States and Nationals of Other States yang merupakan badan yang sengaja didirikan Bank Dunia. Lembaga ini ditetapkan tanggal 14 Oktober 1966 di Amerika Serikat.Tugas dan wewenagnya adalah menyelesaikan persengketaan yang timbul di bidang investasi antara suatu negara dengan negara asing di antara sesama negara peserta konvensi.114

Namun tidak berarti setiap sengketa antara investor asing dengan Pemerintah Republik Indonesia harus diselesaikan oleh dewan arbitrase ICSID. Yurisdiksi dewan arbitrase ICSID ditentukan oleh tiga unsur utama yakni: Pertama, sengketa harus merupakan sengketa yang muncul secara langsung dari penanaman Modal; Kedua, pihak yang bersengketa haruslah negara yang telah menjadi anggota ICSID; Ketiga, harus ada pernyataan tertulis, kesepakatan dari kedua belak pihak yang bersengketa, mengenai penyerahan penyelesaian sengketa kepada ICSID.

Konvensi lain yang berkaitan dengan lembaga arbitrase, yang juga sudah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia adalah konvensi mengenai Pengakuan dan Pelaksanaan Putusan-putusan Arbitrase Asing (Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbital Awards). Dari nama konvensinya, sudah jelas

“Pengakuan Putusan Arbitrase Asing” artinya para pihak yang bersengketa di mana

salah satu pihaknya adalah pebisnis yang berasal dari Indonesia, mereka bersepakat untuk menyelesaikan sengketa mereka lewat lembaga arbitrase asing. Konsekuensinya adalah para pihak harus mengakui dengan sukarela mau menjalankan putusan tersebut.Konvensi ini dikenal juga dengan konvensi New York

113

Ibid.

114

1958 (The New York Convention 1958).Konvensi ini diratifikasi oleh Pemerintah Republik Indonesia berdasarkan Keputusan Presiden RI Nomor 34 Tahun 1981. Dalam Pasal 3 konvensi ini disebutkan, tiap negara peserta dari konvensi ini akan mengakui keputusan arbitrase luar negeri dan menganggapnya sebagai mengikat serta melaksanakan keputusan arbitrase itu sesuai dengan ketentuan-ketentuan hukum acara yang berlaku di wilayah di mana keputusan itu diminta untuk dilaksanakan.115

B. Pengaturan Harmonisasi Hukum Investasi Langsung di Indonesia atas Ketentuan Investasi ASEAN dalam Rangka AEC 2015

Pengertian harmonisasi yang sering dijadikan rujukan ialah pendapat Goldring,

yang menganggap “harmonization to be a process whereby… the effects of a type of transaction in one legal system are brought as close as possible to the effects of similar transactions under the laws of other countries”. Ini berarti harmonisasi tidak hanya mentolerir perbedaan antar unsur-unsur hukum antar individu yang diselaraskan, tetapi juga perbedaan dalam penerapan ukuran harmonisasi, yang terlepas dari apakah mereka adalah konsekuensi dari perbedaan tafsir secara substantif.116

Sementara itu, dalam Kamus Perdagangan Internasional yang disusun oleh

Tumpal Rumapea, yang mana dikatakan “Harmonisasi adalah proses yang dilakukan

115

Sudargo Gautama, Perkembangan Arbitrase Dagang Internasional di Indonesia (Bandung: Eresco, 1989) hlm. 58.

116

Philip James Osborne, Unification or Harmonisation: A Critical Analysis of the United Nations Convention on Contracts for the International Sale of Goods 1980”, diakses dari

untuk membuat prosedur dan tindakan yang diberlakukan lebih serasi oleh berbagai

Negara”.117

Menurut Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman,

memberikan pengertian harmonisasi hukum, sebagai kegiatan ilmiah untuk menuju proses pengharmonisan hukum tertulis yang mengacu baik pada nilai-nilai filosofis, sosiologis, ekonomis maupun yuridis. Pengkajian terhadap rancangan peraturanperundang-undangan, dalam berbagai aspek apakah telah mencerminkan keselarasan dan kesesuaian dengan peraturan perundang-undangan yang lain, hukum tidak tertulis yang hidup dalam masyarakat, konvensi-konvensi dan perjanjian- perjanjian internasional baik bilateral maupun multilateral yang telah diratifikasi Indonesia.118

Bertolak dari perumusan pengertian diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa harmonisasi hukum adalah upaya atau proses yang hendak mengatasi batasan-batasan perbedaan, hal-hal yang bertentangan dan kejanggalan dalam hukum. Upaya atau proses untuk merealisasikan keselarasan, kesesuaian, keserasian, kecocokan, keseimbangan diantara norma-norma hukum di dalam peraturan perundang-undangan sebagai sistem hukum dalam satu kesatuan kerangka sistem hukum nasional.119

Harmonsasi hukum dapat dilakukan terhadap sistem maupun substansinya.Harmonisasi hukum ini didasarkan pada keselarasan asas, nilai, kaidah/ norma-norma yang diterapkan dalam bidang yang diatur. Pembentukan, perubahan, penambahan dan/ atau penggantian peraturan perundang-undangan yang baru, dapat dilakukan dengan pendekatan penggunaan norma penunjuk pada norma dalam

117

Tumpal Rumapea, Kamus Lengkap Perdagangan Internasional (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2000), hlm. 188.

118

Moh. Hasan Wargakusumah dalam Kusnu Goesniadhie, Harmonisasi Hukum dalam perspektif perundang-undangan (Surabaya: JP Book, 2006), hlm. 71.

119

undang-undang yang telah ada, dengan menyesuaikan perkembangan di masyarakat maupun dalam tata pergaulan internasional. Peraturan perundangundangan yang baru hendaknya memberikan perubahan/ penambahan/ penggantian dalam mengatur sesuatu hal yang sebelumnya memang belum diatur dalam peraturan perundangundangan.Disamping itu juga dimungkinkan pemanfaatan hukum internasional sesuai dengan materi yang diaturnya.

Pemanfaatan ketentuan-ketentuan hukum internasional tidak boleh bertentangan atau menghilangkan dasar, falsafah dan nilai-nilai yang dimiliki oleh negara, artinya peraturan perundang-undangan yang baru harus tetap mengakomodasi kebutuhan hukum nasional. Hal ini karena globalisasi tidak mungkin dihindarkan oleh negara manapun dan akan memberikan pengaruh pada hukum nasional negara.

Dalam era globalisasi ekonomi, negara-negara berkembang termasuk Indonesia tidak mungkin melawan arus globalisasi.Oleh karena itu, hukum nasional harus diselaraskan dengan ketentuan-ketentuan dalam hukum internasional dengan peraturan perundang-undangan nasional.Dalam globalisasi ekonomi seperti AEC, hukum tidak dapat hanya melindungi kepentingan nasional, tetapi juga harus melindungi kepentingan negara anggota lainnya.

Di ASEAN kerangka kerjasama dibidang penanaman modal ini diatur dalam piagam ASEAN sebagai Anggaran Dasar dan Rumah Tangga ASEAN yaitu didalam BAB I tentang Tujuan dan Prinsip Pasal 1 Ayat (5) yang berbunyi sebagai berikut:

“Menciptakan pasar tunggal dan basis produksi yang stabil, makmur, sangatkompetitif, dan terintegrasi secara ekonomis melalui fasilitas yang efektifuntuk perdagangan dan penanaman modal, yang didalalmnya terdapat aliranbebas barang, jasa, dan penanaman modal; terfasilitasinya pergerakan pelakuusaha, pekerja profesional, pekerja berbakat dan buruh; dan arus modal yanglebih bebas”.

Secara garis besar kita telah menyepakati untuk adanya pasar tunggal dan basis produksi yang dimuat dalam kerjasama Komunitas ASEAN yang akan dilaksanakan pada akhir tahun 2015. Salah satunya adalah kerangka kerjasama dibidang penanaman modal sehingga kita tidak bisa menghalangi para penanam modal untuk masuk ke Indonesia selama memenuhi ketentuan yang telah ditetapkan bersama bahkan berdasarkan Pasal 3 ayat (2) ASEAN Comprehensive Investment Agreement menjelaskan secara implisit yang menjadi ruang lingkup kerjasama yang meliputi Fabrikasi,Pertanian, Perikanan, Kehutanan, Pertambangan dan penggalian, jasa-jasa yang terkait dengan sektor-sektor fabrikasi, pertanian, perikanan, kehutanan, pertambangan dan penggalian dan setiap sektor lainnya, sebagaimana disepakati oleh semua negara anggota.

Di Indonesia pengaturan mengenai penanaman modal diatur dalam Undang- Undang No 25 Tahun 2007.Jika dianalisis sebagian besar Perubahan yang terdapat dalam Undang-Undang No 25 Tahun 2007 ini adalah bentuk kelonggaran bagi penanam modal asing guna mengembangkan penanaman modalnya di Indonesia.Sebagaimana diketahui diatas bahwa arah liberalisasi di bidang penanaman modal sebagaimana dalam Cetak Biru Komunitas Ekonomi ASEAN yang menginginkan adanya penghapusan atas diskriminasi serta perluasan atas prinsip national treatment dan Most Favoured Nation bagi penanam modal ASEAN, mengurangi bahkan menghapuskan hambatan bagi penanaman modal serta mengurangi dan menghapus batasan penanaman modal termasuk persyaratannya.

Selain itu Undang-undang ini juga memberikan ruang untuk adanya penyesuaian ataupun harmonisasi apabila adanya perubahan atau pembaharuan serta hal-hal penting lainnya mengenai penanaman modal yang diatur dalam hukum internasional

atau perjanjian internasional yakni dapat dilihat dalam BAB V tentang Perlakuan Terhadap Penanaman modal yang selengkapnya berbunyi sebagai berikut:120

Pasal 6 ayat (1)

“Pemerintah memberikan perlakuan yang sama kepada semua penanam modal yang berasal dari negara manapun yang melakukan kegiatan penanaman modal di Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”.

Pasal 6 ayat (2)

“Perlakuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi penanam modal dari suatu negara yang memperoleh hak istimewa berdasarkan perjanjian dengan

Indonesia”.

Jika ditelaah Pasal 6 ayat (1) UU aquo dapat dimaknai sebagai wujud dari prinsip perlakuan yang sama (most favored nation) sedangkan Pasal 6 ayat (2) merupakan pengingkaran atas prinsip tersebut dan sekaligus dapat dimaknai bahwa peraturan perundang-undangan di Indonesia tidak berlaku bagi negara-negara yang memiliki perjanjian dengan Indonesia. Salah satunya bagi negara-negara ASEAN yang diikat dengan Piagam ASEAN.

Selanjutnya BAB XVII ketentuan peralihan Pasal 35 UU aquo yang berbunyi sebagai berikut:

”perjanjian internasional, baik bilateral, regional, maupun multilateral dalam bidang penanaman modal yang telah disetujui oleh pemerintah Indonesia sebelum undang- undang ini berlaku tetap berlaku sampai dengan akhir perjanjian tersebut”.

120

Marina R Kurniawan, Hamonisasi Hukum Penanaman Modal Indonesia dalam Rangka Menuju Komunitas Ekonomi ASEAN (ASEAN Economic Community) pada Tahini 2015, diakses dari http://repository.unand.ac.id/22418/3/bab%201.pdf, pada tanggal 20 Mei 2015.

Demikian pula disebutkan dalam Pasal 36 UU aquo yaitu:

“Rancangan perjanjian internasional baik bilateral, regional, multilateral, dalam

penanaman modal yang belum disetujui oleh pemerintah indonesia pada saat undang- undang ini berlaku wajib disesuaikan dengan ketentuan undang-undang ini”.

C. Penyesuaian Peraturan di Indonesia dalam Rangka menghadapi Ketentuan Investasi Langsung ASEAN

Negara manapun, baik negara maju ataupun negara berkembang, tetap saja akan terjadi dilema pengaturan penanaman modal atau investasi. Dilema ini terjadi karena adanya dua sisi dari kebijakan penanaman modal yang sangat berpengaruh terhadap ekonomi nasional. Sisi positif dari kegiatan penanaman modal adalah peran dan manfaaat dari kegiatan penanaman modal tersebut terhadap pertumbuhan ekonomi nasional. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa juga terdapat sisi negatif dari kegiatan penanaman modal, seperti munculnya kesenjangan pendapatan, perubahan pola konsumsi masyarakat, kerusakan lingkungan dan sumber daya alam serta ketergantungan dan dominasi ekonomi asing yang sangat mungkin terjadi akibat liberalisasi investasi asing.121

Beberapa pihak pada sebuah negara host country meragukan bahwa liberalisasi investasi ini belum tentu akan di gunakan ataupun didukung oleh perusahaan- perusahaan PMA untuk membangun ekonomi negara tersebut. Dapat saja liberaliasai investasi ini hanya digunakan untuk kepentingan bisnis investor untuk melebarkann bisnis dan kepentingannya di wilayah tujuan investasi.Belum lagi kekhawatiran atas

121

Mahmul Siregar, Perdagangan Internasional dan Penanaman Modal: Studi Kesiapan Indonesia dalam Perjanjian Investasi Multilateral (Medan: Universitas Sumatera Utara, 2008), hlm. 525.

pemikiran bahwa desakan liberalisasi ini dapat menyebabkan berkurangnya kekuasaan permerintah dalam memperjuangkan kepentingan masyarakatnya.

Namun jika dianalisis sebagian besar Perubahan yang terdapat dalam Undang- Undang No.25 Tahun 2007 ini adalah bentuk kelonggaran bagi penanam modal asing guna mengembangkan penanaman modalnya di Indonesia.Sebagaimana diketahui diatas bahwa arah liberalisasi di bidang penanaman modal sebagaimana dalam Cetak Biru Komunitas Ekonomi ASEAN yang menginginkan adanya penghapusan atas diskriminasi serta perluasan atas prinsip national treatment dan Most Favoured Nation bagi penanam modal ASEAN, mengurangi bahkan menghapuskan hambatan bagi penanaman modal serta mengurangi dan menghapus batasan penanaman modal termasuk persyaratannya.

Sebagian ahli berpendapat, seperti Mahmul Siregar, dalam bukunya

“Perdagangan Internasional dan Penanaman Modal”, bahwa Undang-Undang

Penanaman Modal (UUPM) memang menjadi semangat liberalisasi investasi, dan liberalisasi yang diusung oleh UUPM adalah liberalisasi yang sesuai kebutuhan pembangunan dan kepentingan nasional Indonesia. Hal ini terlihat dari sejumlah ketentuan UUPM yang memberikan kewenangan kepada Pemerintah untuk mengatur lebih lanjut dengan tetap memperhatikan kepentingan nasional.122 Fleksibilitas kepada Pemerintah untuk memperjuangkan kepentingan nasional dapat dilihat dari ketentuan-ketentuan sebagai berikut:

1. Pengaturan dan Penundaan hak transfer dan repatriasi

Sebagaimana yang diatur dalam Pasal 8 ayat (3) UUPM, penanam modal diberi hak untuk melakukan transfer dan repatriasi dalam valuta asing, antara lain terhadap:

122

a) Modal;

b) keuntungan, bunga bank, deviden, dan pendapatan lain;

c) dana yang diperlukan untuk pembelian bahan baku dan penolong, barang setengah jadi, atau barang jadi; atau penggantian barang modal dalam rangka melindungi kelangsungan hidup penanaman modal;

d) tambahan dana yang diperlukan bagi pembiayaan penanaman modal;

e) dana untuk pembayaran kembali pinjaman f) royalti atau biaya yang harus dibayar

g) pendapatan dari perseorangan warga negara asing yang bekerja dalam perusahaan penanaman modal

h) hasil penjualan atau likuidasi penanaman modal i) kompensasi atas kerugian

j) kompensasi atas pengambilalihan

k) Pembayaran yang dilakukan dalam rangka bantuan teknis, biaya yang harus dibayar untuk jasa teknik dan manajemen, pembayaran yang dilakukan dibawah kontrak proyek, dan pembayaran ha katas kekayaan intelektual; dan

l) Hasil penjualan aset sebagaimana dimaksud pada ayat (1).123

2. Mengatur penggunaan Tenaga Kerja Asing

Dalam liberaliasai investasi, investor dan host country yang biasanya negara maju mendengungkan kebebasan pergerakan tenaga kerja (free personal movement) sesuai kebutuhan investor, hal ini dikarenakan pergerakan modal selalu diikuti dengan pergerakan tenaga kerja yang berdasarkan pertimbangan pasar yang mengacu pada totalitas kebutuhan investasi, oleh karena itu investor menghendaki tidak adanya pembatasan terhadap penggunanan ekspatriat124 dalam kegiatan penanaman modal.

Pengaturan mengenai penggunaan Tenaga Kerja Asing (TKA) di UUPM diatur dalam pasal 10 yang memberi hak bagi perusahaan

123

Republik Indonesia, Undang-Undang No.25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal, Pasal 8, ayat (3).

124

Ekspatriat artinya seseorang yang tinggal sementara maupun menetap di luar negara di mana dia dilahirkan dan dibesarkan, atau dengan kata lain, orang yang berkewarganegaraan asing yang tinggal di Indonesia, biasanya oleh karena suatu tugas negara atau profesional.

penanaman modal untuk menggunakan tenaga ahli warga negara asing untuk jabatan dan keahlian tertentu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

3. Menetapkan bidang usaha tertutup dan menetapkan persyaratan penanaman modal

Pada dasarnya, membuka seluruh bidang usaha untuk kegiatan penanaman modal akan mempersempit ruang untuk menyesuaikan kepentingan nasional dengan kegiatan investasi. Demikian juga akan semakin sulit untuk melindungi investor dalam negeri, khususnya mereka yang bergerak di sektor usaha kecil, menengah dan koperasi yang belum mampu bersaing dalam sebuah mekanisme pasar yang sangat terbuka. Oleh karena itu UUPM mengatur beberapa bidang usaha yang tidak dapat dilakukan penanaman modal serta bidang yang terbuka dengan persyaratan.

Pasal 12 ayat (1) UUPM pada prinsipnya membuka semua bidang usaha atau sejenis usaha terbuka bagi kegiatan penanaman modal, kecuali bidang usaha atau jenis usaha yang dinyatakan tertutup dan terbuka dengan persyaratan.Pasal ini tetap memberikan fleksibilitas bagi pemerintah untuk menetapkan bidang usaha tertutup atau terbuka dengan membebankan sejumlah persyaratan-persyaratan tertentu. Lalu, pembatasan ini ditindaklanjuti dengan membuat daftar negative investasi (DNI) sebagaimana yang telah dijelaskan dalam sub-bab Bidang Usaha Tertutup dan Terbuka dengan Persyaratan sebelumnya.

4. Pengembangan penanaman modal bagi usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi (UMKMK)

Kebebasan arus masuknya modal dapat menyebabkan terdesaknya UMKMK yang harus menghadapi persaingan justru dengan beban sejumlah yang sangat kompleks.Oleh karena itulah UUPM memberikan fleksibilitas bagi pemerintah untuk melindungi sektor UMKMK.Pasal 12 UUPM sebagaimana dijelaskan diatas adalah salah satu pasal terkait perlindungan UMKMK yakni dengan menetapkan kriteria perlindungan, pengembangan usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi sebagai kriteria untuk menetapkan suatu bidang usaha terbuka dengan persyaratan. Selanjutnya Pasal 13 UUPM menetapkan secara imperative dua kewajiban Pemerintah RI terkait UMKMK, yakni:

a) Menetapkan bidang usaha yang dicadangkan untuk usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi serta bidang usaha yang terbuka untuk usaha besar dengan syarat harus bekera sama dengan usaha mikro, kecil, menenga, dan koperasi.

b) Melakukan pembinaan dan pengambangan usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi melalui program kemitraan, peningkatan daya saing, pemberian dorongan inovasi dan perluasan pasar, serta penyebaran informasi yang seluas- luasnya.125

125

5. Menetapkan dengan tegas kewajiban dan tanggungjawab Penanam Modal

Salah satu kemajuan dari UUPM dibandingkan dengan pendahulunya adalah ketegasan UUPM menetapkan kewajiban dan tanggungjawab penanam modal.Pengaturan yang demikian tidak

ditemukan dalam UUPMA dan UUPMDN dan peraturan

pelaksananya. Berikut ada tiga alasan perlunya diatur kewajiban dan tanggungjawab penanam modal:126

Pertama, pemerintah host country berkepentingan untuk memastikan bahwa perusahaan penerima fasilitas penanaman modal yang berada di wilayah kedaulatannya melakukan kegiatan usahanya dengan sungguh-sungguh dan bertanggungjawab. Terkait dengan hal ini pasal 15 a, UUPM mewajibkan penanam modal menerapkan prinsip tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance) dan pasal 16 meletakkan tanggungjawab untuk menjamin tersedianya modal yang berasal dari sumber yang tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, menanggung dan menyelesaikan segala kewajiban dan kerugian jika penanam modal mengentikan atau meninggalkan atau menelantarkan kegiatan usahanya secara sepihak sesuai dengan ketentuan peraturan perunfang- undangan, menciptakan iklim usaha persaingan yang sehat, mencegah praktik monopoli, dan hal lain yang merugikan negara, mencegah kelestarian lingkungan hidup, menciptakan keselamatan, kesehatan,

126

kenyamanan, dan kesejahteraan pekerja dan mematuhi semua ketentuan peraturan perundang-undangan.

Kedua, pemerintah host country berkepentingan untuk memastiakn bahwa perusahaan penerima fasilitas penanaman modal bermanfaat secara langsung kepada masyarakat, khususnya masyarakat di lingkungan sekitar kegiatan usaha penanaman modal.Dalam konteks ini Pasal 15 b UUPM mewajibkan penanam modal melaksanakan tanggungjawab sosial perusahaan.

Ketiga, pemerintah host contry berkepentingan untuk memastikan bahwa perusahaan penanaman modalnyaman dalam melakukan kegiatan usaha dan tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau perbuatan yang dapat menimbulkan isntabilitas dalam masyarakat. Terkait dengan hal ini pasal 15 (c), (d), dan (e) mewajibkan penanam modal membuat laporan tentang kegiatan penanaman modal dan menyampaikan kepada Badan Koordinasi Penanaman Modal, menghormati tradisi budaya masyarakat sekitar lokasi kegiatan usaha penanaman modal, dan mematuhi semua ketentuan peraturan perundang-undangan.

Untuk lebih meningkatkan kegiatan penanaman modal di Indonesia dan dalam rangka pelaksanaan komitmen Indonesia dalam kaitannya dengan Association of Southeast Asian Nations / ASEAN Economic Community (AEC), maka selain UUPM pemerintah mengeluarkan dua peraturan baru, antara lain: Peraturan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) No. 5 Tahun 2013 tentang Pedoman dan Tata Cara Perizinan dan Non-perizinan

Penanaman Modal dan Peraturan Presiden No. 39 Tahun 2014 tentang Daftar Negatif Investasi (DNI).

Peraturan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) No. 5 Tahun 2013 Tentang Pedoman dan Tata Cara Perizinan dan Non-Perizinan Penanaman Modal

Pasal 25 huruf (b) ACIA (ASEAN Comprehensive Investment Agreement) yang telah di ratifikasi dengan Peraturan Pemerintah nomor 49