• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN

D. Penyelesaian Sengketa

Menurut Undang-Undang Perlindungan Konsumen Pasal 45 ayat 1, setiap konsumen yang dirugikan bisa menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada dilingkungan peradilan umum.

Ada empat kelompok penggugat yang bisa menggugat atas pelanggaran yang dilakukan pelaku usaha sebagai berikut;

1. Seorang konsumen yang dirugikan atau ahli waris yang bersangkutan.

2. Sekelompok konsumen yang mempunyai kepentingan yang sama.

3. Lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang

memenuhi syarat, yaitu berbentuk badan hukum atau yayasan, yang dalam anggaran dasar menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan

didirikannya organisasi tersebut adalah untuk kepentingan

perlindungan konsumen dan telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan aggaran dasarnya.

4. Pemerintah dan atau instansi terkait yang jika barang dan/atau jasa

yang dikonsumsi atau dimanfaatkan mengakibatkan kerugian materi yang besar dan/atau korban yang tidak sedikit.

Hal ini hanya merupakan aturan umum. Karena itu, dalam ketentuan pasal 46 ayat (2) ditentukan lebih lanjut bahwa gugatan yang diajukan sekelompok konsumen, lembaga perlindungan konsumen

swadaya masyarakat, atau pemerintah, sebagaimana dimaksud pada huruf

b, c, dan huruf d diatas, hanya dapat diajukan ke peradilan umum9.

Menurut Undang-Undang Perlindugan Konsumen Pasal 45 ayat 2 “Penyelesaian sengketa konsumen dapat ditempuh melalui pengadilan atau diluar pengadilan berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang bersengketa”. Berdasarkan ketentuan ini, bisa dikatakan bahwa ada dua bentuk penyelesaian sengketa konsumen yaitu melalui jalur pengadilan

ataupun diluar jalur pengadilan10.

a. Penyelesaian Sengketa di Pengadilan

Beberapa kasus sengketa di bidang perumahan, seperti tidak direalisasinya fasos dan fasum, konsumen sebagai korban bersifat massal. Apabila diselesaikan melalui pengadilan dengan prosedur konvensional, menjadi tidak praktis. Jalan keluarnya adalah dengan mekanisme gugatan perwakilan. Di mana gugatan secara formal cukup diwakili beberapa korban sebagai wakil kelas. Namun apabila gugatan dikabulkan dan telah mempunyai kekuatan hukum tetap, korban lain yang secara formal tidak ikut menggugat dapat langsung

menuntut ganti rugi berdasarkan putusan pengadilan tersebut11.

9

Gunawan Widjaja&Ahmad Yani, Hukum tentang Perlindungan Konsumen, (Jakarta:Gramedia,2000), h.75

10

Abdul Halim Barkatullah, Hak-hak Perlindungan………., h.85

11

Sudaryatmo, Kiat Menghindari Perumahan Bermasalah, (Jakarta: Piramedia, 2004), h.40

24

Dari peraturan perundang-undangan yang ada, untuk pertama kali

secara eksplisit kata class action terdapat dalam Undang-Undang

Perlindungan Konsumen. Dalam penjelasan pasal 46 ayat (1) huruf b disebutkan, undang-undang ini mengakui gugatan kelompok atau

class action. Gugatan kelompok atau class action harus diajukan oleh konsumen yang benar-benar merasa dirugikan dan dapat dibuktikan secara hukum, salah satunya adalah bukti transaksi.

Selain Undang-Undang Perlindungan Konsumen, gugatan class

action juga diatur dalam Undang-Undang Jasa Konstruksi. Dalam pasal 38 ayat (1) huruf c disebutkan, masyarakat yang dirugikan akibat penyelenggaraan pekerjaan konstruksi berhak mengajukan gugatan ke Pengadilan secara kelompok orang tidak dengan kuasa

melalui gugatan perwakilan12.

Selain itu ketentuan mengenai pembuktian berdasarkan diatur dalam pasal 163 HIR dan pasal 1865 KUH Perdata dapat dikatakan bahwa setiap pihak mendalilkan suatu hak, (yang dalam hal ini, konsumen sebagai pihak yang dirugikan), maka pihak konsumen

harus dapat membuktikan bahwa13:

1. Konsumen secara aktual telah mengalami kerugian;

12

Sudaryatmo, Kiat Menghindari Perumahan,………., h.41

13

Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Hukum tentang Perlindungan Konsumen, (Jakarta:Gramedia,2000), h.68-69

2. Konsumen juga harus membuktikan bahwa kerugian tersebut sebagai akibat dari penggunaan, pemanfaatan, atau pemakaian barang dan/atau jasa tertentu yang tidak layak;

3. Bahwa ketidaklayakan dari penggunaan, pemanfaatan, atau

pemakaian dari barang dan/atau jasa tersebut merupakan tanggung jawab dari pelaku usaha tertentu;

4. Konsumen tidak berkontribusi, baik secara langsung maupun tidak

langsung atas kerugian yang dideritanya tersebut.

Dua pasal yang mengatur beban pembuktian pidana dan perdata atas kesalahan pelaku usaha dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen, yaitu dalam pasal 22 dan pasal 28, kewajiban pembuktian tersebut “dibalikan” menjadi beban dan tanggung jawab dari pelaku usaha sepenuhnya. Dalam hal demikian selama pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut bukan merupakan kesalahan yang terletak pada pihaknya, maka demi hukum pelaku usaha bertanggung jawab dan wajib mengganti kerugian yang diderita tersebut14.

Usaha-usaha penyelesaian sengketa secara cepat terhadap tuntutan ganti kerugian oleh konsumen terhadap produsen telah dilakukan di Indonesia. Hal ini dapat dilihat dalam Undang-undang Perlindungan Konsumen yang memberikan kemungkinan konsumen untuk mengajukan penyelesaiannya sengketanya diluar pengadilan, yaitu

14

26

melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, yang putusannya dinyatakan final dan mengikat (Pasal 54 Ayat 3 Undang-Undang Perlindungan Konsumen), sehingga tidak dikenal lagi upaya hukum banding maupun kasasi dalam Badan Penyelesaian Sengketa

Konsumen15.

Penyelesaian sengketa dalam dunia bisnis diharapkan sedapat mungkin tidak merusak hubungan bisnis selanjutnya dengan siapa ia pernah terlibat suatu sengketa. Hal ini tentu sulir ditemukan apabila para pihak yang bersangkutan membawa sengketanya ke pengadilan, karena proses penyelesaian sengketa melalui pengadilan (litigasi), akan berakhir dengan kekalahan salah satu pihak dan kemenangan dipihak lainnya. Disamping itu secara umum dapat dikemukakan berbagai kritikan terhadap penyelesaian sengketa melalu pengadilan,

yaitu karena16:

1. Penyelesaian Sengketa Melalui Peradilan Sangat Lambat;

2. Biaya Perkara yang Mahal;

3. Pengadilan Pada Umumnya Tidak Responsif;

4. Putusan Pengadilan Tidak Menyelesaikan Masalah;

5. Kemampuan Para Hakim yang Bersifat Generalis.

15

Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan………., h.239

16

Yahya Harahap, Beberapa Tinjauan Mengenai Sistem Peradilan dan Penyelesaian Sengketa, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1997), h.239-247

Diantara sekian banyak kelemahan dalam penyelesaian sengketa melalui pengadilan tersebut, yang termasuk banyak dikeluhkan oleh pencari keadilan adalah lamanya penyelesaian perkara, karena pada umumnya para pihak yang mengajukan perkaranya ke pengadilan mengharapkan penyelesaian yang cepat, lebih-lebih kalau yang

terlibat dalam perkara tersebut adalah dari kalangan dunia usaha17.

b. Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan

Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) adalah lembaga yang memeriksa dan memutus sengketa konsumen, yang bekerja seolah-olah sebagai suatu pengadilan. Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen dibentuk oleh pemerintah di Daerah Tingkat II dengan susunan yang terdiri dari satu orang ketua merangkap anggota, satu wakil ketua merangkap anggota, serta sembilan sampai lima belas anggota. Anggota Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen terdiri dari unsur pemerintah, konsumen dan pelaku usaha yang masing-masing diwakili setidaknya tiga orang dan sebanyak-banyaknya lima orang yang ditetapkan oleh Menteri Perindustrian dan Perdagangan. Putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen merupakan bukti permulaan yang cukup bagi penyidik untuk melakukan penyidikan, dan dapat dimintakan eksekusinya ke Pengadilan Negeri di wilayah

tempat konsumen yang bersangkutan18.

17

Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan ………., h.237

18

28

Uraian mengenai kelembagaan dan keanggotaan, tugas dan wewenang serta penyelesaian sengketa oleh Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen dapat ditemukan secara khusus dalam Bab XI Undang-Undang Perlindungan Konsumen, yang dimuat dari pasal 49

sampai pasal 5819 dan diatur lebih lanjut pada Keputusan Menteri

Nomor 350/MPP/KEP/2001 tentang pelaksanaan tugas dan wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen.

Pada dasarnya penyelesaian sengketa yang dilakukan di luar pengadilan dapat dilakukan secara damai atau melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK). Yang dimaksud penyelesaian sengketa secara damai yaitu penyelesaian yang dilakukan oleh kedua belah pihak baik dengan ataupun tanpa bantuan pihak ketiga, untuk mencapai suatu kesepakatan yang menguntungkan dan tanpa yang merasa dirugikan atas kesepakatan tersebut. Biasanya perundingan perdamaian dapat dibantu oleh pihak ketiga lainnya, yang dapat berfungsi sebagai mediator, misalnya Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI). Cara penyelesaian sengketa damai ini maka diharapkan adanya suatu penyelesaian sengketa secara mudah, murah dan cepat. Dasar hukum dari penyelesaian sengketa secara damai diatur dalam Buku III, Bab 18, pasal 1851-1854 KUHPerdata

19

mengenai perdamaian/dading20 dan pasal 45 ayat (2)jo. Pasal 47

Undang-Undang Perlindungan Konsumen21.

Mekanisme penyelesaian sengketa di Badan Penyelesaian Sengkera Kosumen, baik secara konsiliasi, mediasi atau arbitrase dilakukan melalui majelis, dengan tahapan/tata cara penyelesaian

sengketa sebagai berikut22:

1. Sidang pertama dilaksanakan pada hari kerja ke 7 (tujuh) terhitung

sejak diterimanya permohonan pengaduan secara benar dan lengkap.

2. Bilamana dalam sidang I (pertama), konsumen dan pelaku usaha,

bukti-bukti yang ada dianggap cukup, dan tidak memerlukan keterangan tambahan saksi dan saksi ahli, maka majelis wajib memproses dan memberi putusan, selambat-lambatnya dalam waktu 21 (dua puluh satu) hari, terhitung sejak diterimanya.

3. Tetapi jika konsumen dan pelaku usaha tidak hadir pada sidang ke

I (pertama), maka majelis memanggil dan bila perlu dengan bantuan penyidik agar hadir pada sidang ke II (kedua), yang dilaksanakan selambat-lambatnya pada hari kerja ke 5 (lima) setelah sidang ke I (pertama).

20

Perdamaian/Dading adalah suatu perjanjian dengan mana kedua belah pihak, dengan menyerahkan, menjanjikan atau menahan suatu barang, mengakhiri suatu perkara yang sedang bergantung atau pun mencegah timbulnya suatu perkara. (Lihat Pasal 1851 KUH Perdata)

21

Az Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen……….,h.233-234

22

BPSK DKI Jakarta, Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, (Jakarta : BPSK DKI Jakarta, 2010), h.19

30

4. Sidang ke II (kedua), jika konsumen tidak hadir, maka gugatannya gugur demi hukum, sebaliknya, jika pelaku usaha tidak hadir, maka gugatan konsumen dikabulkan tanpa hadirnya pelaku usaha.

5. Bilamana dalam sidang berikutnya, yaitu sidang untuk mendengar

putusan, konsumen dan pelaku usaha, tidak hadir maka putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen wajib disampaikan selambat-lambatnya dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak putusan dibacakan.

6. Pelaku usaha yang menerima isi putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen wajib melaksanakan, dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak menyatakan menerima putusan Badan

Penyelesaian Sengketa Konsumen, jika menolak wajib

mengajukan keberatan dalam waktu 14 (empat belas) hari kerja, terhitung sejak menerima putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen.

Dokumen terkait