i
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H)
Oleh :
TIARA AGUSTAVIA NIM : 1112048000040
K O N S E N T R A S I H U K U M B I S N I S P R O G R A M S T U D I I L M U H U K U M
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A
v
Program Studi Ilmu Hukum, Konsentrasi Hukum Bisnis, Fakultas Syariah dan
Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta 1437 H/2016M. Isi
: ix+84 halaman + lampiran, 27 daftar pustaka (1980-2013)
Permasalahan utama dalam skripsi ini adalah perjanjian yang mengandung
klausula merugikan yang terdapat pada transaksi jual beli perumahan yang
berakibat pada hangusnya uang konsumen. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui akibat hukum atas perjanjian jual beli perumahan dengan klausula
baku.
Metode penelitian ini menggunakan pendekatan kepustakaan bersifat yuridis
normatif. Yuridis normatif artinya penelitian yang digunakan mengacu pada
norma hukum yang terdapat pada peraturan perundang-undangan dan
norma-norma yang berlaku di masyarakat atau juga yang menyangkut kebiasaan yang
berlaku di masyarakat.
Kesimpulan dari analisis yang dilakukan adalah klausul yang menyebabkan uang
muka hangus pada jual beli perumahan adalah klausul baku yang dilarang pada
pasal 18 ayat (1) karena klausula baku yang terdapat pada jual beli perumahan
menjadikan konsumen tidak memiliki bargaining power/ daya tawar pada saat
proses jual beli tersebut.
Kata Kunci : Perlindungan Konsumen, Klausula Baku
Pembimbing I : Dr. M. Ali Hanafiah, S.H, M.H
vi
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Wr.Wb
Alhamdulilahirrabil ‘alamin, segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam yang dengan rahmat dan karunia-Nya memberikan kesempatan bagi kita semua
untuk mengenyam pendidikan. Shalawat serta salam penulis tujukan kepada Nabi
SAW, yang telah membawa zaman kebodohan menuju zaman yang penuh dengan
ilmu pengetahuan dan teknologi.
Banyak ujian dan cobaan yang penulis hadapi dalam menyelesaikan
skripsi ini, namun atas izin Allah SWT penulis dapat menyelesaikan skripsi yang
berjudul Perlindungan Konsumen Terhadap Perjanjian Baku Jual Beli Perumahan
dengan baik. Selesainya skripsi ini tidak terlepas dari keilmuan yang penulis
dapatkan dari jenjang pendidikan yang komprehensif, serta dukungan banyak
pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan
terimakasih kepada :
1. Dr. Asep Saepudin Jahar, M.A, Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Drs. Asep Saefudin Hidayat, S.H, M.H, dan Drs. Abu Tamrin, S.H, M.Hum,
Ketua Program Studi dan Sekretaris Program Studi Ilmu Hukum Fakultas
vii
4. Seluruh Dosen Fakultas Syariah dan Hukum yang telah memberikan ilmu
yang bermanfaat selama kuliah kepada penulis, dan tidak lupa kepada seluruh
staf dan karyawan Fakultas Syariah dan Hukum.
5. Iklaswan dan Neneng Mujaenah selaku Ayahanda dan Ibunda yang penulis
sangat cintai, yang telah mencurahkan segala cinta dan kasih sayangnya
kepada penulis, memberikan nasehat dan do’a, semangat serta dukungan
sehingga penulis bisa menyelesaikan skripsi ini.
6. Nenek dan Kakek penulis yang dari kejauhan selalu merindukan, tetap
mendoakan dan memberikan semangatnya kepada penulis.
7. Rizki Ichlaswan, S.Kom, Winda Putria, S.S, Syifa Kamila, dan Septya Riani,
S.Si selaku Kakak dan Adik dari Penulis yang selalu mencintai penulis dan
memberikan semangat kepada penulis dalam keadaan apapun.
8. Sahar Afra Fauziyyah, Juwita Daningtyas, Tiffani Ratna Suri, selaku sahabat
penulis yang memberikan keceriaan dan semangat di setiap perjalanan kuliah
penulis. Bersama mereka penulis berproses bersama menjadi keluarga.
Terimakasih atas bantuan, pengalaman, dan kenangan yang indah selama
masa kuliah.
9. Mochammad Indriansyah, selaku teman dekat penulis yang memberikan
banyak motivasi, bantuan dan semangat yang sangat berarti dalam penyusunan
viii
viii
10.Teman-teman Ilmu Hukum Angkatan 2012 UIN Jakarta, baik konsentrasi
Hukum Bisnis maupun konsentrasi Hukum Kelembagaan Negara.
11.Teman-teman Saman Ilmu Hukum, Tabloid Justitia, dan Angkatan Muda
Peduli Hukum (AMPUH) yang telah memberikan banyak warna dan
kenangan indah selama masa kuliah.
12.Teman-teman KKN Melodi 2015, yang telah memberikan pengalaman dan
arti solidaritas dan kerjasama yang sesungguhnya.
13.Serta semua pihak yang membantu proses penulisan yang tidak bisa penulis
sebutkan satu persatu.
Tidak ada yang penulis bisa berikan kecuali do’a dan ucapan terima kasih
kepada kalian, semoga Allah membalas segala kebaikan kalian semua. Akhir kata
penulis berharap semoga skripsi yang penulis buat ini dapat bermanfaat bagi
penulis dan semua pembacanya.
ix
Lembar Pengesahan Panitia ... ii
Lembar Pernyataan ... iii
Abstrak…….. ... v
Kata Pengantar ... vi
Daftar Isi ……. ... ix
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Identifikasi Masalah ... 5
C. Pembatasan dan Rumusan Masalah ... 5
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 6
E. Kerangka Konseptual ... 7
F. Kajian (Review) Terdahulu ... 8
G. Metode Penelitian ... 9
H. Sistematika Penulisan ... 12
BAB II TINJAUAN HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN ... 14
A. Pengertian Hukum Perlindungan Konsumen ... 14
B. Asas dan Tujuan Perlindungan Konsumen ... 16
C. Hak dan Kewajiban Konsumen dan Pelaku Usaha ... 18
D. Penyelesaian Sengketa ... 22
a. Penyelesaian Sengketa di Pengadilan ... 23
b. Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan ... 27
E. Sanksi-Sanksi ... 30
BAB III TINJAUAN PERJANJIAN BAKU DAN UANG MUKA ... 34
A. Perjanjian pada Umumnya ... 34
B. Perjanjian Baku pada Umumnya ... 35
C. Definisi Perjanjian Baku ... 37
D. Ciri-Ciri Perjanjian Baku ... 39
E. Jenis Perjanjian dengan Klausula Baku ... 42
F. Perjanjian yang Dilarang ... 43
G. Uang Muka... 47
BAB IV ANALISIS AKIBAT HUKUM PERJANJIAN JUAL BELI PERUMAHAN DENGAN KLAUSULA BAKU ... 49
x
B. Upaya Hukum yang dapat Dilakukan Konsumen Terhadap
Pelanggaran yang Dilakukan Oleh Pelaku Usaha ... 51
C. Analisis Akibat Hukum Perjanjian Jual Beli Perumahan dengan Klausula Baku ... 54
BAB V PENUTUP ... 62
A. Kesimpulan ... 62
B. Saran ... 63
DAFTAR PUSTAKA... 65
1 A. Latar Belakang Masalah
Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
alinea ke-empat memiliki cita-cita luhur yakni melindungi segenap bangsa
Indonesia serta memajukan kesejahteraan umum. Menjabarkan arti dan makna
melindungi segenap bangsa Indonesia serta memajukan kesejahteraan umum
tersebut dituangkanlah dalam pasal-pasal melalui ketentuan yang
berhubungan dengan hak asasi manusia dalam Bab X huruf A
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Amandemen yang
Ke-4, yang terdiri dari Pasal 28 huruf A sampai Pasal 28 huruf J.
Pada Pasal 28 huruf H mengamanatkan bahwa ;
“Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”
Indonesia, kesejahteraan umum biasanya dikaitkan dengan tiga hal
yakni, pangan, sandang, papan. Sebagian besar masyarakat, selain sandang,
pangan, dan papan atau rumah sudah menjadi kebutuhan dasar yang tidak
dapat ditunda dalam menjalankan kehidupan sehari-hari1. Salah satu
kebutuhan pokok atau primer adalah kebutuhan akan papan atau rumah.
Perumahan merupakan representasi untuk memenuhi kebutuhan dasar
manusia. Setiap warga negara berhak hidup sejahtera lahir dan batin,
1
2
bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat,
yang merupakan kebutuhan dasar manusia, dan yang mempunyai peran yang
sangat strategis dalam pembentukan watak serta kepribadian bangsa sebagai
salah satu upaya membangun manusia Indonesia seutuhnya, berjati diri,
mandiri, dan produktif.
Berbagai kota besar di Indonesia, pesatnya peningkatan populasi manusia
mengharuskan pemerintah untuk berperan serta meningkatkan kualitas
perumahan bagi warga yang layak untuk dihuni. Sisi lain permasalahan
pemerintah yakni dalam pembangunan perumahan mengalami berbagai
kendala salah satunya adalah keterbatasan lahan perumahan.
Pesatnya pembangunan perumahan menimbulkan permasalahan lain
yang sering muncul dalam pemenuhan kebutuhan akan perumahan yakni
hak-hak konsumen yang dirugikan. Meningkatnya pembangunan perumahan,
seringkali tidak diselaraskan dengan pemenuhan kewajiban oleh pelaku usaha.
Permasalahan dalam bisnis perumahan yang sering muncul adalah
ketentuan mengenai pernyataan dan persetujuan untuk menerima segala
persyaratan dan ketentuan-ketentuan yang ditetapkan secara sepihak dan
ketentuan-ketentuan penandatanganan atas dokumen-dokumen yang telah
dipersiapkan lebih awal oleh pelaku usaha, tercantum dalam surat pemesanan
yang sering disebut perjanjian baku atau klausula baku.
Perjanjian baku adalah perjanjian yang hampir seluruh
tidak mempunyai peluang untuk merundingkan atau meminta perubahan2. Perjanjian baku yang selanjutnya disebut sebagai klausula baku, diadakan
dengan maksud untuk mencapai tujuan efisiensi, kepastian dan lebih bersifat
praktis meskipun kadang-kadang mengandung faktor negatif, karena dapat
merugikan pihak lain yaitu pihak konsumen yang lemah. Pada klausula baku,
konsumen dalam hal ini, hanya mempunyai dua pilihan yaitu menerima atau
menolak perjanjian yang disodorkan kepadanya.
Praktik perjanjian baku sering dibuat dalam kondisi yang tidak berimbang.
Produsen (Pelaku Usaha) memanipulasi perjanjian yang dibuat dalam
ketentuan klausula baku. Biasanya perjanjian tersebut lebih menguntungkan
salah satu pihak yaitu pelaku usaha3.
Selain itu, pihak pengembang properti juga tidak jarang mencantumkan
klausula baku dalam perjanjian jual beli perumahan. Klausula baku dalam
bidang perumahan misalnya terdapat dalam perjanjian jual beli perumahan
dalam klausula down payment(dp) atau booking fee yang menyebutkan bahwa
“…..seluruh uang yang telah dibayarkan oleh pihak kedua kepada pihak
kesatu menjadi hangus dan tidak dapat dituntut kembali….”
Rendahnya kesadaran dan pengetahuan konsumen, tidak mustahil
dijadikan lahan bagi pelaku usaha dalam transaksi yang tidak mempunyai
itikad baik dalam menjalankan usaha, yaitu berprinsip untuk mencari
2
Sutan Remy Sjahdeni, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang Bagi Para Pihak dalam Perjanjian Kredit di Indonesia, (Jakarta: Institut Bankir Indonesia, 1994), h.66
3
4
keuntungan yang sebesar-besarnya dengan memanfaatkan minimnya
pengetahuan konsumen.
Konsumen memiliki risiko yang lebih besar daripada pelaku usaha,
dengan kata lain hak-hak konsumen sangat rentan4. Disebabkan posisi tawar
konsumen yang lemah, maka hak-hak konsumen sangat riskan untuk
dilanggar5.
Posisi konsumen tersebut, ia harus dilindungi oleh hukum, karena
salah satu sifat sekaligus tujuan hukum adalah memberikan perlindungan
(pengayoman) kepada masyarakat6. Perlindungan kepada masyarakat tersebut
harus diwujudkan dalam bentuk kepastian hukum menjadi hak konsumen7.
Berdasarkan latar belakang permasalahan tersebut penulis tertarik
untuk melakukan penelitian dalam skripsi yang hasilnya akan dituangkan
dalam judul : Perlindungan Konsumen Terhadap Perjanjian Baku Jual
Beli Perumahan
4
Edmon Makarim, Kompilasi Hukum Telematika (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2003), h.242
5
Edmon Makarim, Kompilasi Hukum.………, h.243
6
Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Edisi Revisi (Jakarta:
Grasindo,2004), h.112
7
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas maka identifikasi masalah dari
penelitian ini adalah:
1. Apa sanksi yang dapat dijatuhkan terhadap pelaku usaha perumahan yang
mencantumkan klausula baku yang merugikan konsumen dalam perjanjian
jual beli.
2. Apa kriteria suatu perjanjian disebut sebagai perjanjian baku
3. Apa sajakah jenis perjanjian yang menggunakan klausula baku
4. Bagaimana penyelesaian sengketa dalam bidang hukum perlindungan
konsumen.
5. Apakah perbedaan antara perjanjian pada umumnya dengan perjanjian
baku.
C. Pembatasan dan Rumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Sesuai dengan latar belakang yang telah dikemukakan di atas, maka
pembahasan penelitian ini mengalami pembatasan masalah,
pembahasannya akan dibatasi pada perlindungan konsumen terhadap
perjanjian baku jual beli perumahan.
2. Rumusan Masalah
Untuk lebih mengerucutkan pokok permasalahan yang akan diteliti,
maka perlu untuk dibuat perumusan masalah terlebih dahulu. Berdasarkan
uraian latar belakang masalah, maka dapat dirumuskan permasalahan
6
a. Bagaimanakah akibat hukum atas perjanjian jual beli perumahan yang
mengandung klausula baku yang merugikan konsumen?
b. Upaya-upaya apa yang dapat dilakukan konsumen terhadap pelaku
usaha yang merugikan dalam ketentuan Undang-undang Perlindungan
Konsumen?
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
a. Untuk mengetahui akibat hukum atas perjanjian jual beli
perumahan dengan klausula baku.
b. Untuk mengkaji dan menganalisa perlindungan konsumen terhadap
perjanjian dengan klausula baku.
2. Manfaat Penelitian
a. Manfaat Akademis
1) Dengan dilakukannya penelitian ini penulis berharap dapat
memberikan kontribusi bagi pengembangan ilmu
pengetahuan.
2) Dengan dilakukan penelitian ini penulis berharap dapat
menambah wawasan dan memberikan ilmu pengetahuan
khususnya hukum perlindungan konsumen.
b. Manfaat Praktis
1) Diharapkan dapat memberikan masukan tentang bagaimana
perlindungan terhadap konsumen terhadap perjanjian baku
2) Diharapkan dapat ikut membantu untuk lebih
mengembangkan dan menginpirasi masyarakat dan mahasiswa
lainnya.
E. Kerangka Konseptual
Kerangka Konseptual adalah kerangka yang menggambarkan hubungan
antara konsep-konsep khusus yang ingin diteliti atau akan diteliti8.
Istilah-istilah yang penulis perlu jelaskan adalah:
1. Perlindungan Konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya
kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen (Lihat
Pasal 1 Angka 1 UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen).
2. Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang
tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga,
orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan
(Lihat Pasal 1 Angka 2 UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen).
3. Jual Beli adalah suatu perjanjian yang mana pihak yang satu
mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu benda dan pihak lain
membayarkan harga yang telah dijanjikan. (Lihat Pasal 1457 KUH
Perdata)
4. Perumahan adalah kumpulan rumah sebagai bagian dari permukiman,
baik perkotaan maupun perdesaan, yang dilengkapi dengan prasarana,
8
8
sarana, dan utilitas umum sebagai hasil upaya pemenuhan rumah yang
layak huni. (Lihat Pasal 1 Ayat 2 UU Nomor 1 Tahun 2011 Tentang
Perumahan dan Kawasan Pemukiman)
F. Kajian (Review) Terdahulu
No Nama Penulis/ Judul
Skripsi/Tahun
Substansi Perbedaan
dengan Penulis
1. Marwan/ Perlindungan
Konsumen dalam
Kontrak Jual Beli
Rumah di Perumahan
Harapan Indah Bekasi/
Skripsi, UIN Jakarta,
2015.
Skripsi tersebut
membahas mengenai
perlindungan konsumen
terhadap tidak
dipenuhinya janji-janji
dalam kontrak jual beli
pada Perumahan
Harapan Indah Bekasi.
Penulis membahas mengenai perlindungan konsumen terhadap
perjanjian baku
yang
menyebabkan
hangusnya uang
konsumen pada
praktik jual beli
perumahan.
2. Diana Sarawati
Purnamasari/
Perjanjian Baku dalam
kredit pemilikan rumah
Tesis tersebut
membahas tentang
klausula yang tidak
boleh dimuat dalam
Penulis
memfokuskan
penulisan
(KPR) : Studi kasus
analisis perjanjian
antara PT. Bank Panin
tbk dengan X/ Tesis,
Universitas Indonesia,
2011.
perjanjian KPR serta
bagaimanakah proses
penyelesaian sengketa
yang dilakukan salah
satu pihak dalam
perjanjian baku KPR
bank Panin.
satu klausula baku
yang
menyebabkan
hangusnya uang
konsumen ditinjau
dari hukum
perlindungan
konsumen.
G. Metode Penelitian
1. Tipe Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini
menggunakan metode pendekatan yuridis normatif (law in book).
Penelitian yuridis normatif adalah penelitian yang dilakukan mengacu
pada norma hukum yang terdapat pada peraturan perundang-undangan dan
keputusan pengadilan serta norma-norma yang berlaku di masyarakat atau
juga yang menyangkut kebiasaan yang berlaku di masyarakat.9
2. Pendekatan Masalah
Berkaitan dengan tipe penelitian penulis menggunakan penelitian
yuridis normatif, maka pendekatannya menggunakan pendekatan
9
Soerjono Soekanto dan Sri Mahmudji, Peranan dan Penggunaan Kepustakaan
10
perundang-undangan (Statute Approach)10 khususnya pada
Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
a. Sumber Data
Berkaitan dengan data yang digunakan, bahan hukum yang
digunakan dalam penelitian ini meliputi bahan hukum primer,
sekunder, dan tersier.
1. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang mempunyai
kekuatan mengikat berupa peraturan perundang-undangan.
Selain peraturan perundang-undangan, yang termasuk dalam
hukum primer yaitu catatan-catatan resmi atau risalah dalam
pembuatan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim.11
Dalam penelitian peraturan perundang-undangan yang
digunakan yaitu;
1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen Lembaran Negara Republik
Indonesia tahun 1999 No. 42 Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia No. 3821 .
3) Putusan Mahkamah Agung Nomor 937 K/Pdt.Sus/2010
10
Johnny Ibrahim, Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif, cet. III,
(Jawa Timur : Bayumedia Pubishing, 2007), h.302.
11
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Cet.IV (Jakarta: Kencana Prenada
2. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang erat kaitannya
dengan bahan hukum primer dan dapat membantu
menganalisa, memahami, dan menjelaskan bahan hukum
primer. Bahan hukum yang paling banyak digunakan dalam
penelitian ini adalah teori atau pendapat sarjana hukum, hasil
karya dari kalangan ahli hukum, skripsi, tesis, disertasi, artikel
ilmiah, jurnal, majalah, surat kabar, makalah, penelusuran
internet dan sebagainya.
3. Bahan non-hukum (tersier), yaitu bahan hukum yang
memberikan petunjuk maupun penjelasan atau bahan hukum
primer dan sekunder, misalnya Kamus Besar Bahasa Indonesia
(KBBI), ensiklopedia, dan lain-lain.
b. Teknik Pengumpulan data
Dalam penelitian ini penulis menggunakan teknik pengumpulan
data secara library research (studi kepustakaan) dalam hal ini penulis
menggunakan buku-buku berkaitan dengan perlindungan konsumen.
c. Pengolahan dan Analisis Bahan Hukum
Dari bahan hukum yang telah terkumpul tersebut baik bahan
hukum primer, bahan hukum sekunder, maupun bahan hukum tersier
di klasifikasikan sesuai dengan masalah hukum yang dibahas. Setelah
itu bahan hukum tersebut diuraikan dan diteliti secara sistematis. Dan
12
menarik kesimpulan dari pembahasan masalah yang ada. Sehingga
pertanyaan atas masalah dapat teruraikan dan terjawab.
H. Sistematika Penulisan
Skripsi ini disusun berdasarkan buku “Petunjuk Penulisan Skripsi
Fakutas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2012
yang telah direvisi pada tahun 2014 dengan sistematika yang terdiri dari
lima bab”. Masing-masing bab terdiri atas beberapa sub bab sesuai
pembahasan dan materi yang diteliti. Adapun perinciannya sebagai
berikut:
BAB I: Bab ini merupakan bagian pendahuluan penulisan yang
memuat latar belakang, rumusan masalah, tujuan dan
manfaat penelitian, tinjauan kajian terdahulu, kerangka
konseptual, metode penelitian dan sistematika penulisan.
BAB II: Bab ini memuat tentang hukum perlindungan konsumen
yang terbagi ke dalam beberapa sub bab. Di dalamnya
dibahas tentang Pengertian Hukum Perlindungan
Konsumen, dilanjutkan dengan Asas-Asas serta Tujuan
hukum Perlindungan Konsumen, Hak serta Kewajiban bagi
Pelaku Usaha dan Konsumen, Penyelesaian Sengketa, serta
Sanksi-Sanksinya.
BAB III: Bab ini memuat tentang tinjauan perjanjian baku yang
terbagi ke dalam beberapa sub bab. Di dalamnya dibahas
Umumnya, Definisi Perjanjian Baku, Ciri-ciri Perjanjian
Baku, Jenis Perjanjian dengan Klausula Baku, dan
Perjanjian Yang Dilarang, Uang Muka.
BAB IV: Bab ini memuat tentang Analisis Perlindungan Konsumen
Terhadap Perjanjian Jual Beli Perumahan dengan Klausula
Baku. Pembahasan dalam bab ini dimulai dengan uraian
tentang Kasus Perjanjian Jual Beli Perumahan yang
Mengandung Klausula Baku, Upaya Hukum yang dapat
Dilakukan oleh Konsumen terhadap Pelanggaran yang
Dilakukan oleh Pelaku Usaha, dan Analisis Akibat Hukum
terhadap Perjanjian Jual Beli Perumahan dengan Klausula
Baku.
BAB V: Bab ini merupakan bab penutup dari skripsi ini. Untuk itu
penulis menarik beberapa kesimpulan dari hasil penelitian,
disamping itu penulis memberikan pendapat dan saran yang
14 BAB II
TINJAUAN HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN
A. Pengertian Hukum Perlindungan Konsumen
Hukum Konsumen dan Hukum Perlindungan Konsumen
merupakan dua bidang hukum yang sulit di pisahkan dan ditarik
batasannya. Pada intinya hukum perlindungan konsumen merupakan
bagian dari hukum konsumen dan tidak dapat dipisahkan1. Dalam
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Pasal 1 ayat (1) tentang
Perlindungan Konsumen, menyebutkan bahwa “Perlindungan konsumen
adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk
memberi perlindungan kepada konsumen”.
Menurut Az. Nasution Hukum Konsumen adalah sebagai
keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah yang mengatur hubungan dan
masalah penyediaan penggunaan produk (barang dan/jasa) antara
penyedia dan penggunanya dalam kehidupan bermasyarakat. Sedangkan
hukum perlindungan konsumen adalah keseluruhan asas-asas dan
kaidah-kaidah yang mengatur dan melindungi konsumen dalam hubungannya
dengan masalah penyediaan dan pengunaan produk (barang dan/jasa)
antara penyedia dan penggunaanya dalam kehidupan bermasyarakat2.
1
Az. Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, (Jakarta: Diadit Media, 2007), h.20-21
2
Menurut N.H.T Siahaan sesungguhnya baik istilah hukum
konsumen dan hukum perlindungan konsumen tidak perlu dibedakan,
dengan dua alasan/pertimbangan yaitu3:
1. Jika membicarakan hukum dalam hubungannya dengan konsumen atau
hukum dalam hubungannnya dengan perlindungan konsumen, maka
keduanya tentu tidak luput dari pembahasan mengenai hak-hak
konsumen, kepentingannya, upaya-upaya pemberdayaannya, atau
kesetaraannya dalam hukum dengan pelaku usaha.
2. Seluruh kaidah hukum di negeri ini dapat hadir dan tunduk dibawah
sebuah payung hukum dasar yang bersumber dari Pancasila dan
Undang-undang Dasar 1945. Pancasila dan Undang-undang Dasar
1945 merupakan segala sumber hukum nasional, yang secara filosofis
memberikan perlindungan keadilan bagi semua bangsa dan golongan
di negeri ini termasuk dalam hukum konsumen. Jadi pada hakikatnya
hukum konsumen dan hukum perlindungan konsumen tidak perlu
dibedakan.
Perlindungan hukum kepada konsumen ini dapat berasal dari
lingkup berbagai disiplin hukum, diantaranya Hukum Privat (Hukum
Perdata), maupun dari Hukum Publik (Hukum Pidana dan Hukum
Administrasi Negara). Keterlibatan berbagai disiplin hukum ini
mempertegas kedudukan hukum perlindungan konsumen berada dalam
kajian hukum ekonomi. Hal ini sesuai dengan sifat hukum ekonomi, yang
3
16
tidak hanya melibatkan aspek hukum perdata namun pada saat yang
bersamaan juga melibatkan aspek hukum publik4.
B. Asas dan Tujuan Perlindungan Konsumen
Sudikno Mertokusumo mendefinisikan asas hukum bukan sebagai
hukum konkrit merupakan pikiran dasar yang umum dan abstrak atau
merupakan latar belakang peraturan konkrit yang terdapat dalam dan
dibelakang setiap sistem hukum yang terjelma dalam peraturan
perundang-undangan dan putusan hakim yang merupakan hukum positif5 dan dapat
ditemukan dengan mencari sifat-sifat atau ciri-ciri yang umum dalam
peraturan konkrit tersebut6.
Pada penjelasan pasal 2 Undang-Undang Perlindungan Konsumen
dijelaskan tentang asas-asas dalam perlindungan Konsumen. Perlindungan
Konsumen diselenggarakan sebagai usaha bersama berdasarkan 5 asas yang
relevan dalam pembangunan nasional yaitu:
1. Asas manfaat dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala upaya
dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberikan
manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha
secara keseluruhan.
4
Ahmadi Miru, Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2000), h.2-3
5
Ius constitutum adalah hukum positif. Ius constitutummerupakan hukum yang
dibentuk dan berlaku dalam suatu masyarakat negara pada suatu saat. Soerjono Soekanto, Purnadi Purbacaraka, Aneka Cara Pembedaan Hukum, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1994), h.5
6
2. Asas keadilan dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat
diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada
konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan
kewajibannya secara adil.
3. Asas keseimbangan dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara
kepentingan konsumen, pelaku usaha dan pemerintah dalam arti materiil
ataupun spiritual.
4. Asas keamanan dan keselamatan konsumen dimaksudkan untuk
memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen
dalam penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang
dikonsumsi atau digunakan.
5. Asas kepastian hukum7 dimaksudkan agar baik pelaku usaha maupun
konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam
penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian
hukum.
Selain merumuskan asas dalam Perlindungan Konsumen, Undang-undang
Perlindungan Konsumen juga merumuskan tujuan Perlindungan Konsumen
yang terdapat pada pasal 3 Undang-undang Perlindungan Konsumen, yaitu;
1. Meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk
melindungi diri;
7
18
2. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara
menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa;
3. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan dan
menuntut hak-haknya sebagai konsumen;
4. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur
kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan
informasi;
5. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan
konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam
berusaha;
6. Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan
usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan,
dan keselamatan konsumen:
C. Hak dan Kewajiban Konsumen dan Pelaku Usaha
1. Hak dan Kewajiban Konsumen
Menurut ketentuan pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen memiliki hak sebagai berikut:
a. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam
mengkonsumsi barang dan/atau jasa;
b. Hak untuk memilih barang dan/jasa serta mendapatkan barang
dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta
c. Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan
jaminan barang dan/atau jasa;
d. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau
jasa yang dipergunakan;
e. Hak untuk mendapatkan advokasi perlindungan konsumen secara
patut;
f. Hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen;
g. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta
tidak diskriminatif;
h. Hak untuk mendapatkan konpensasi, ganti rugi, dan/atau penggantian,
apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan
perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;
i. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan perundang-undangan lainnya.
Selain memperoleh hak tersebut, sebagai balance, konsumen juga
mempunyai diwajibkan untuk;
a. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian
atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan
keselamatan;
b. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau
jasa;
c. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang telah disepakati;
d. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan
20
2. Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha
Undang-undang dalam Perlindungan Konsumen juga mengatur
mengenai hak dan kewajiban pelaku usaha. Hal ini karena pada dasarnya
hubungan antara konsumen dengan pelaku usaha memiliki saling
ketergantungan satu sama lain dan saling membutuhkan, sehingga sudah
seharusnya kedudukan konsumen dan pelaku usaha berada pada posisi
yang seimbang.
Namun pada kenyataannya, kedudukan konsumen seringkali berada
pada posisi yang lemah bila dibandingkan dengan pelaku usaha8. Dalam
undang-undang Perlindungan Konsumen hak-hak pelaku usaha diatur
dalam Pasal 6 Undang-Undang Perlindungan Konsumen yaitu;
a. Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan
mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang
diperdagangkan;
b. Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen
yang beritikad tidak baik;
c. Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian
hukum sengketa konsumen;
d. Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa
kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang
diperdagangkan;
8
e. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan
lainnya.
Sedangkan kewajiban-kewajiban bagi pelaku usaha diatur dalam Pasal
7 Undang-Undang Perlindungan Konsumen yakni;
a. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;
b. Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi
dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan
penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;
c. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta
tidak diskriminatif;
d. Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau
diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau
jasa yang berlaku;
e. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau
mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan
dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang
diperdagangkan;
f. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian
akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa
yang diperdagangkan;
g. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang
dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan
22
D. Penyelesaian Sengketa
Menurut Undang-Undang Perlindungan Konsumen Pasal 45 ayat
1, setiap konsumen yang dirugikan bisa menggugat pelaku usaha melalui
lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan
pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada dilingkungan peradilan
umum.
Ada empat kelompok penggugat yang bisa menggugat atas
pelanggaran yang dilakukan pelaku usaha sebagai berikut;
1. Seorang konsumen yang dirugikan atau ahli waris yang bersangkutan.
2. Sekelompok konsumen yang mempunyai kepentingan yang sama.
3. Lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang
memenuhi syarat, yaitu berbentuk badan hukum atau yayasan, yang
dalam anggaran dasar menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan
didirikannya organisasi tersebut adalah untuk kepentingan
perlindungan konsumen dan telah melaksanakan kegiatan sesuai
dengan aggaran dasarnya.
4. Pemerintah dan atau instansi terkait yang jika barang dan/atau jasa
yang dikonsumsi atau dimanfaatkan mengakibatkan kerugian materi
yang besar dan/atau korban yang tidak sedikit.
Hal ini hanya merupakan aturan umum. Karena itu, dalam
ketentuan pasal 46 ayat (2) ditentukan lebih lanjut bahwa gugatan yang
swadaya masyarakat, atau pemerintah, sebagaimana dimaksud pada huruf
b, c, dan huruf d diatas, hanya dapat diajukan ke peradilan umum9.
Menurut Undang-Undang Perlindugan Konsumen Pasal 45 ayat 2
“Penyelesaian sengketa konsumen dapat ditempuh melalui pengadilan atau
diluar pengadilan berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang
bersengketa”. Berdasarkan ketentuan ini, bisa dikatakan bahwa ada dua
bentuk penyelesaian sengketa konsumen yaitu melalui jalur pengadilan
ataupun diluar jalur pengadilan10.
a. Penyelesaian Sengketa di Pengadilan
Beberapa kasus sengketa di bidang perumahan, seperti tidak
direalisasinya fasos dan fasum, konsumen sebagai korban bersifat
massal. Apabila diselesaikan melalui pengadilan dengan prosedur
konvensional, menjadi tidak praktis. Jalan keluarnya adalah dengan
mekanisme gugatan perwakilan. Di mana gugatan secara formal
cukup diwakili beberapa korban sebagai wakil kelas. Namun apabila
gugatan dikabulkan dan telah mempunyai kekuatan hukum tetap,
korban lain yang secara formal tidak ikut menggugat dapat langsung
menuntut ganti rugi berdasarkan putusan pengadilan tersebut11.
9
Gunawan Widjaja&Ahmad Yani, Hukum tentang Perlindungan Konsumen, (Jakarta:Gramedia,2000), h.75
10
Abdul Halim Barkatullah, Hak-hak Perlindungan………., h.85
11
24
Dari peraturan perundang-undangan yang ada, untuk pertama kali
secara eksplisit kata class action terdapat dalam Undang-Undang
Perlindungan Konsumen. Dalam penjelasan pasal 46 ayat (1) huruf b
disebutkan, undang-undang ini mengakui gugatan kelompok atau
class action. Gugatan kelompok atau class action harus diajukan oleh konsumen yang benar-benar merasa dirugikan dan dapat dibuktikan
secara hukum, salah satunya adalah bukti transaksi.
Selain Undang-Undang Perlindungan Konsumen, gugatan class
action juga diatur dalam Undang-Undang Jasa Konstruksi. Dalam pasal 38 ayat (1) huruf c disebutkan, masyarakat yang dirugikan
akibat penyelenggaraan pekerjaan konstruksi berhak mengajukan
gugatan ke Pengadilan secara kelompok orang tidak dengan kuasa
melalui gugatan perwakilan12.
Selain itu ketentuan mengenai pembuktian berdasarkan diatur
dalam pasal 163 HIR dan pasal 1865 KUH Perdata dapat dikatakan
bahwa setiap pihak mendalilkan suatu hak, (yang dalam hal ini,
konsumen sebagai pihak yang dirugikan), maka pihak konsumen
harus dapat membuktikan bahwa13:
1. Konsumen secara aktual telah mengalami kerugian;
12
Sudaryatmo, Kiat Menghindari Perumahan,………., h.41
13
2. Konsumen juga harus membuktikan bahwa kerugian tersebut
sebagai akibat dari penggunaan, pemanfaatan, atau pemakaian
barang dan/atau jasa tertentu yang tidak layak;
3. Bahwa ketidaklayakan dari penggunaan, pemanfaatan, atau
pemakaian dari barang dan/atau jasa tersebut merupakan tanggung
jawab dari pelaku usaha tertentu;
4. Konsumen tidak berkontribusi, baik secara langsung maupun tidak
langsung atas kerugian yang dideritanya tersebut.
Dua pasal yang mengatur beban pembuktian pidana dan perdata
atas kesalahan pelaku usaha dalam Undang-Undang Perlindungan
Konsumen, yaitu dalam pasal 22 dan pasal 28, kewajiban pembuktian
tersebut “dibalikan” menjadi beban dan tanggung jawab dari pelaku
usaha sepenuhnya. Dalam hal demikian selama pelaku usaha dapat
membuktikan bahwa kesalahan tersebut bukan merupakan kesalahan
yang terletak pada pihaknya, maka demi hukum pelaku usaha
bertanggung jawab dan wajib mengganti kerugian yang diderita
tersebut14.
Usaha-usaha penyelesaian sengketa secara cepat terhadap tuntutan
ganti kerugian oleh konsumen terhadap produsen telah dilakukan di
Indonesia. Hal ini dapat dilihat dalam Undang-undang Perlindungan
Konsumen yang memberikan kemungkinan konsumen untuk
mengajukan penyelesaiannya sengketanya diluar pengadilan, yaitu
14
26
melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, yang putusannya
dinyatakan final dan mengikat (Pasal 54 Ayat 3 Undang-Undang
Perlindungan Konsumen), sehingga tidak dikenal lagi upaya hukum
banding maupun kasasi dalam Badan Penyelesaian Sengketa
Konsumen15.
Penyelesaian sengketa dalam dunia bisnis diharapkan sedapat
mungkin tidak merusak hubungan bisnis selanjutnya dengan siapa ia
pernah terlibat suatu sengketa. Hal ini tentu sulir ditemukan apabila
para pihak yang bersangkutan membawa sengketanya ke pengadilan,
karena proses penyelesaian sengketa melalui pengadilan (litigasi),
akan berakhir dengan kekalahan salah satu pihak dan kemenangan
dipihak lainnya. Disamping itu secara umum dapat dikemukakan
berbagai kritikan terhadap penyelesaian sengketa melalu pengadilan,
yaitu karena16:
1. Penyelesaian Sengketa Melalui Peradilan Sangat Lambat;
2. Biaya Perkara yang Mahal;
3. Pengadilan Pada Umumnya Tidak Responsif;
4. Putusan Pengadilan Tidak Menyelesaikan Masalah;
5. Kemampuan Para Hakim yang Bersifat Generalis.
15
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan………., h.239
16
Diantara sekian banyak kelemahan dalam penyelesaian sengketa
melalui pengadilan tersebut, yang termasuk banyak dikeluhkan oleh
pencari keadilan adalah lamanya penyelesaian perkara, karena pada
umumnya para pihak yang mengajukan perkaranya ke pengadilan
mengharapkan penyelesaian yang cepat, lebih-lebih kalau yang
terlibat dalam perkara tersebut adalah dari kalangan dunia usaha17.
b. Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan
Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) adalah lembaga
yang memeriksa dan memutus sengketa konsumen, yang bekerja
seolah-olah sebagai suatu pengadilan. Badan Penyelesaian Sengketa
Konsumen dibentuk oleh pemerintah di Daerah Tingkat II dengan
susunan yang terdiri dari satu orang ketua merangkap anggota, satu
wakil ketua merangkap anggota, serta sembilan sampai lima belas
anggota. Anggota Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen terdiri
dari unsur pemerintah, konsumen dan pelaku usaha yang
masing-masing diwakili setidaknya tiga orang dan sebanyak-banyaknya lima
orang yang ditetapkan oleh Menteri Perindustrian dan Perdagangan.
Putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen merupakan bukti
permulaan yang cukup bagi penyidik untuk melakukan penyidikan,
dan dapat dimintakan eksekusinya ke Pengadilan Negeri di wilayah
tempat konsumen yang bersangkutan18.
17
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan ………., h.237
18
28
Uraian mengenai kelembagaan dan keanggotaan, tugas dan
wewenang serta penyelesaian sengketa oleh Badan Penyelesaian
Sengketa Konsumen dapat ditemukan secara khusus dalam Bab XI
Undang-Undang Perlindungan Konsumen, yang dimuat dari pasal 49
sampai pasal 5819 dan diatur lebih lanjut pada Keputusan Menteri
Nomor 350/MPP/KEP/2001 tentang pelaksanaan tugas dan
wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen.
Pada dasarnya penyelesaian sengketa yang dilakukan di luar
pengadilan dapat dilakukan secara damai atau melalui Badan
Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK). Yang dimaksud
penyelesaian sengketa secara damai yaitu penyelesaian yang
dilakukan oleh kedua belah pihak baik dengan ataupun tanpa bantuan
pihak ketiga, untuk mencapai suatu kesepakatan yang menguntungkan
dan tanpa yang merasa dirugikan atas kesepakatan tersebut. Biasanya
perundingan perdamaian dapat dibantu oleh pihak ketiga lainnya,
yang dapat berfungsi sebagai mediator, misalnya Yayasan Lembaga
Konsumen Indonesia (YLKI). Cara penyelesaian sengketa damai ini
maka diharapkan adanya suatu penyelesaian sengketa secara mudah,
murah dan cepat. Dasar hukum dari penyelesaian sengketa secara
damai diatur dalam Buku III, Bab 18, pasal 1851-1854 KUHPerdata
19
mengenai perdamaian/dading20 dan pasal 45 ayat (2)jo. Pasal 47
Undang-Undang Perlindungan Konsumen21.
Mekanisme penyelesaian sengketa di Badan Penyelesaian
Sengkera Kosumen, baik secara konsiliasi, mediasi atau arbitrase
dilakukan melalui majelis, dengan tahapan/tata cara penyelesaian
sengketa sebagai berikut22:
1. Sidang pertama dilaksanakan pada hari kerja ke 7 (tujuh) terhitung
sejak diterimanya permohonan pengaduan secara benar dan
lengkap.
2. Bilamana dalam sidang I (pertama), konsumen dan pelaku usaha,
bukti-bukti yang ada dianggap cukup, dan tidak memerlukan
keterangan tambahan saksi dan saksi ahli, maka majelis wajib
memproses dan memberi putusan, selambat-lambatnya dalam
waktu 21 (dua puluh satu) hari, terhitung sejak diterimanya.
3. Tetapi jika konsumen dan pelaku usaha tidak hadir pada sidang ke
I (pertama), maka majelis memanggil dan bila perlu dengan
bantuan penyidik agar hadir pada sidang ke II (kedua), yang
dilaksanakan selambat-lambatnya pada hari kerja ke 5 (lima)
setelah sidang ke I (pertama).
20
Perdamaian/Dading adalah suatu perjanjian dengan mana kedua belah pihak, dengan menyerahkan, menjanjikan atau menahan suatu barang, mengakhiri suatu perkara yang sedang bergantung atau pun mencegah timbulnya suatu perkara. (Lihat Pasal 1851 KUH Perdata)
21
Az Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen……….,h.233-234
22
30
4. Sidang ke II (kedua), jika konsumen tidak hadir, maka gugatannya
gugur demi hukum, sebaliknya, jika pelaku usaha tidak hadir,
maka gugatan konsumen dikabulkan tanpa hadirnya pelaku usaha.
5. Bilamana dalam sidang berikutnya, yaitu sidang untuk mendengar
putusan, konsumen dan pelaku usaha, tidak hadir maka putusan
Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen wajib disampaikan
selambat-lambatnya dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja terhitung
sejak putusan dibacakan.
6. Pelaku usaha yang menerima isi putusan Badan Penyelesaian
Sengketa Konsumen wajib melaksanakan, dalam waktu 7 (tujuh)
hari kerja terhitung sejak menyatakan menerima putusan Badan
Penyelesaian Sengketa Konsumen, jika menolak wajib
mengajukan keberatan dalam waktu 14 (empat belas) hari kerja,
terhitung sejak menerima putusan Badan Penyelesaian Sengketa
Konsumen.
E. Sanksi-Sanksi
Setiap perselisihan mengenai pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku
usaha atas pelaksanaan Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen
yang menerbitkan kerugian bagi konsumen, harus diselesaikan secara perdata.
Dalam Bab IX telah dijelaskan bahwa putusan Badan Penyelesaian Sengketa
Konsumen yang tidak dilaksanakan oleh pelaku usaha dapat dijadikan bukti
permulaan bagi penyidik. Ini berarti bahwa selain hubungan keperdataan
juga mengenakan sanksi pidana bagi pelanggar Undang-Undang Perlindungan
Konsumen tersebut23.
Sanksi yang dapat dikenakan pada pelaku usaha yang melanggar ketentuan
dapat ditemukan dalam bab XIII Undang-Undang Perlindungan Konsumen,
yang dimulai dari pasal 60 samapai dengan pasal 63.
Sanksi yang dapat dikenakan terdiri dari:
1) Sanksi administratif;
Sanksi administratif merupakan suatu “hak khusus” yang diberikan
oleh Undang-Undang Perlindungan Konsumen kepada Badan
Penyelesaian Sengketa Konsumen atas tugas dan/atau kewenangan yang
dibeikan oleh Undang-Undang Perlindungan Konsumen kepada Badan
Penyelesaian Sengketa Konsumen untuk menyelesaikan persengketaan
konsumen diluar pengadilan24.
Menurut kententuan pasal 60 ayat (2) jo. Pasal 60 ayat (1)
Undang-Undang Perlindungan Konsumen sanksi administratif yang dapat
dijatuhkan oleh Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen adalah berupa
penetapan ganti rugi sampai setinggi-tingginya Rp.200.000.000,00 (dua
ratus juta rupiah) terhadap para pelaku usaha yang melakukan pelanggaran
terhadap/dalam rangka;
23
Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Hukum tentang Perlindungan Konsumen, (Jakarta:PT.Gramedia Pustaka Utama,2000), h.82
24
32
a) Tidak dilaksanakannya pemberian ganti rugi oleh pelaku usaha kepada
konsumen, dalam bentuk pengembalian uang atau penggantian barang
dan/atau jasa yang sejenis, maupun perawatan kesehatan atau
pemberian santunan atas kerugian yang diderita oleh konsumen;
b) Terjadinya kerugian sebagai akibat kegiatan produksi iklan yang
dilakukan oleh pelaku usaha periklanan;
c) Pelaku usaha yang tidak dapat menyediakan fasilitas jaminan
purnajual, baik dalam bentuk suku cadang maupun pemeliharaannya,
serta pemberian jaminan atau garansi yang telah ditetapkan
sebelumnya; baik berlaku terhadap pelaku usaha yang
memperdagangkan barang dan/atau jasa.
2) Sanksi Pidana Pokok
Sanksi pidana pokok adalah sanksi yang dapat dikenakan dan
dijatuhkan oleh pengadilan atas tuntutan jaksa penuntut umum terhadap
pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku usaha. Undang-Undang
Perlindungan Konsu memungkinkan dilakukannya tuntutan pidana
terhadap pelaku usaha dan/atau pengurusnya. Ketentuan ini jelas
memperlihatkan suatu bentuk pertanggungjawaban pidana yang tidak saja
dapat dikenakan kepada pengurus tetapi juga kepada perusahaan25.
Rumusan Pasal 62 Undang-Undang Perlindungan Konsumen
menentukan bahwa pelaku usaha dan/atau pengurusnya yang melakukan
pelanggaran terhadap:
25
1. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam;
a) Pasal 8, mengenai barang dan/jasa yang tidak memenuhi standar
yang telah ditetapkan;
b)Pasal 9 dan pasal 10, mengenai informasi yang tidak benar;
c) Pasal 13 ayat (2), mengenai penawaran obat-obatan dan hal-hal yang
berhubungan dengan kesehatan;
d)Pasal 15, mengenai penawaran barang secara paksaan (fisik);
e) Pasal 17 ayat (1) huruf a, b,c, dan e mengenai iklan yang memuat
informasi yang tidak sesuai dengan kenyataan atau menyesatkan;
f) Pasal 17 ayat (2), mengenai peredaran iklan yang dilarang; dan
g) Pasal 18, mengenai pencantuman klausula baku;
Dapat dikenakan sanksi pidana dengan penjara paling lama 5
(lima) tahun atau pidana denda sebanyak Rp.2000.000.000,00 (dua
milyar rupiah)
2. Ketentuan sebagaimana dimaksudkan dalam:
a) Pasal 11, mengenai penjualan secara obral atau lelang;
b) Pasal 12, mengenai penawaran dengan tarif khusus;
c) Pasal 13 ayat (1) mengenai pemberian hadiah secara cuma-cuma;
d) Pasal 14, mengenai penawaran dengan memberikan hadiah melalui
undian;
34
f) Pasal 17 ayat (1) huruf d dan huruf f, mengenai produksi iklan
yang bertentangan dengan etika, kesusilaan dan ketentuan hukum
yang berlaku;
Dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun
atau pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta
rupiah).
3. Pelanggaran yang mengakibatkan luka berat, sakit berat, cacat
tetap, atau kematian, maka akan diberlakukan ketentuan pidana
yang berlaku secara umum.
3) Sanksi pidana tambahan
Ketentuan pasal 63 Undang-Undang Perlindungan Konsumen
memungkinkan diberikannya sanksi pidana tambahan diluar sanksi
pidana pokok yang dapat dijatuhkan berdasarkan ketentuan pasal 62
Undang-Undang Perlindungan Konsumen.
Sanksi-sanksi pidana tambahan yang dapat dijatuhkan berupa:
a) Perampasan barang tertentu;
b) Pengumuman keputusan hakim;
c) Pembayaran ganti kerugian;
d) Perintah penghentian kegiatan tertentu yang menyebabkan
timbulnya kerugian konsumen;
e) Kewajiban penarikan barang dari peredaran;
34 A. Perjanjian pada Umumnya
Perikatan adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua
pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu dari pihak
yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu.
Sedangkan suatu perjanjian adalah suatu peristiwa di mana seorang
berjanji kepada orang lain atau di mana dua orang itu saling berjanji untuk
melaksanakan sesuatu hal. Dari peristiwa ini, munculah suatu hubungan antara
dua orang tersebut yang dinamakan perikatan1.
Kitab Undang-undang Hukum Perdata tidak memberikan rumusan,
definisi, maupun istilah “perikatan”. Diawali dengan ketentuan Pasal 1233,
yang menyatakan bahwa “Tiap-tiap Perikatan dilahirkan baik karena
persetujuan, baik karena undang-undang”, ditegaskan bahwa setiap kewajiban
perdata dapat terjadi karena dikehendaki oleh pihak-pihak terkait dalam
perikatan yang secara sengaja dibuat oleh mereka, ataupun karena ditentukan
oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dengan demikian, berarti
perikatan adalah hubungan hukum antara dua orang atau lebih orang (pihak
dalam bidang/lapangan harta kekayaan, yang melahirkan kewajiban pada
salah satu pihak dalam hubungan hukum tersebut.
1
35
Perjanjian berdasarkan definisi yang diberikan dalam pasal 1313 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata adalah suatu perbuatan yang mengikatkan
dirinya antara satu orang atau lebih terhadap satu orang lain atau lebih.
Sedangkan menurut Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani pengikatan, seperti
telah diuraikan dalam Bab IV buku III KUH Perdata oleh pasal 1320 KUH
Perdata dirumuskan dalam bentuk2:
1. Kesepakatan yang bebas;
2. Dilakukan oleh pihak yang demi hukum dianggap cakap untuk bertindak;
3. Untuk melakukan suatu prestasi tertentu;
4. Prestasi tersebut haruslah suatu prestasi yang diperkenankan oleh hukum,
kepatuhan, kesusilaan, ketertiban umum dan kebiasaan yang berlaku dalam
masyarakat luas (atau biasa disebut dengan suatu klausa yang halal).
Undang-undang memberikan hak kepada setiap orang untuk secara bebas
membuat dan melaksanakan perjanjian, selama keempat unsur di atas
terpenuhi. Pihak-pihak dalam perjanjian adalah bebas menentukan aturan
main yang mereka kehendaki dalam perjanjian tersebut, dan selanjutnya untuk
melaksanakannya sesuai dengan kesepakatan yang telah tercapai diantara
mereka.
B. Perjanjian Baku pada Umumnya
Perjanjian baku telah dikenal sejak zaman Yunani Kuno. Plato
(423-347SM) pernah memaparkan praktik penjualan makanan yang harganya
ditentukan secara sepihak. Dalam perkembangannya, penentuan secara
2
sepihak oleh produsen/penyalur produk (penjual), tidak sekadar masalah harga
tetapi sudah mencakup syarat-syarat yang lebih detail3.
Setelah terjadi revolusi industri di Eropa Barat pada abad ke-19,
kebutuhan perjanjian baku makin berkembang. Jumlah transaksi perdagangan
makin meningkat, konsentrasi modal makin besar, sehingga penggunaan
kontrak-kontrak baku makin mendesak. Pada abad ke-20 pembakuan
syarat-syarat perjanjian makin meluas. Terjadilah penumpukan modal besar pada
kelompok golongan ekonomi kuat yang disebut kapitalis4.
Penggunaan perjanjian baku sudah dikenal secara umum oleh masyarakat
dalam kehidupan sehari, hari baik untuk pemasangan instalasi listrik, telepon,
air maupun pembukaan rekening di bank. Walaupun tidak diatur secara
khusus dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata, perjanjian baku telah
menjadi salah satu dari jenis-jenis perjanjian yang dikenal dalam sistem
hukum Indonesia.
Perjanjian baku sebagai perjanjian sepihak di mana satu pihak hanya
menuntut haknya saja dan membebaskan diri dari tanggungjawabnya dan
pihak lain harus melaksanakan kewajibannya saja sementara hak-haknya
dihilangkan. Pada perjanjian yang sepihak selalu timbul kewajiban-kewajiban
hanya bagi satu dari para pihak.
3
Adrian Sutendi, Tanggung Jawab Produk dan Tinjauan Hukum Publik dan Perdata, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2008),h.46
4
37
Meskipun sifatnya sepihak namun Perjanjian baku sudah diterima dalam
hubungan hukum antar subyek hukum terutama sangat dibutuhkan dalam
hubungan hukum antara produsen dalam menjual produksinya dan atau
jasanya memerlukan transaksi yang cepat, efektif, dan efisien sehingga
nampak jelas bahwa yang diutamakan adalah prinsip ekonomi.
C. Definisi Perjanjian Baku
Perjanjian Baku berasal dari dua kata yaitu kata “Perjanjian” dan kata
“Baku” yang menurut KBBI masing-masing berarti;
Perjanjian adalah persetujuan (tertulis atau dengan lisan) yang dibuat oleh dua pihak atau lebih, masing-masing bersepakat dalam menaati apa yang disebut dalam persetujuan itu5.
Baku adalah tolak ukur yang berlakku untuk kuantitas atau kualitas yang ditetapkan berdasarkan kesepakatan;standar6;
Menurut Prof.Sutan Remi Sjahdeni, S.H mengemukakan Perjanjian
baku adalah perjanjian yang hampir seluruh klausul-klausulnya sudah
dibakukan oleh pemakainya dan pihak yang lain pada dasarnya tidak
mempunyai peluang untuk merundingkan atau meminta perubahan7.
Menurut Prof. Abdulkadir Muhammad, Perjanjian Baku artinya
perjanjian yang menjadi tolak ukur yang dipakai sebagai patokan atau
pedoman bagi setiap konsumen yang mengadakan hubungan hukum dengan
5
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga, (Jakarta:Balai Pustaka, 2002), h.458
6
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia………., h.94
7
pengusaha. Yang dibukukan dalam perjanjian baku ialah meliputi model,
rumusan dan ukuran8.
Menurut Ahmadi Miru dan Sutarman Yudo, Perjanjian baku tetap
merupakan perjanjian yang mengikat para pihak yang menandatanganinya,
walaupun harus diakui bahwa klausula yang terdapat dalam perjanjian baku
banyak mengalihkan beban tanggung gugat dari pihak perancang perjanjian
baku kepada pihak lawannya, namun setiap kerugian yang timbul di kemudian
hari akan tetap ditanggung oleh para pihak yang bertanggung jawab
berdasarkan kalusula perjanjian tersebut, kecuali jika klausula tersebut
merupakan klausula yang dilarang berdasarkan pasal 18 Undang-Undang
Perlindungan Konsumen9.
Menurut Boyke A Sidharta, S.H, Perjanjian baku adalah perjanjian yang
menjadi standar bagi setiap transaksi yang dibuat oleh dan diantara pihak yang
dominan dengan pihak lain yang seluruh atau sebagian besar substansinya
telah ditentukan sebelumnya secara sepihak demi meletakkan kepastian
hukum, keamanan dan kontrol dipihak yang dominan10.
Menurut Munir Fuadi, Kontrak Baku adalah sutu kontrak tertulis yang
dibuat hanya oleh salah satu pihak dalam kontrak tersebut bahkan seringkali
kontrak tersebut sudah tercetak (boilerplate) dalam bentuk formulir-formulir
8
Departemen Perindustrian dan Perdagangan RI, Pemberdayaan Hak-Hak Konsumen di Indonesia, (Jakarta:Direktorat Perlindungan Konsumen,2001), h.183
9
Ahmadi Miru dan Sutarman Yudo, Hukum Perlindungan………., h.118
10
39
tertentu oleh salah satu pihak, yang dalam hal ini ketika kontrak tersebut di
tandatangani umumnya para pihak hanya mengisikan data-data informatif
tertentu saja dengan sedikit atau tanpa perubahan dalam klausula-klausulanya,
dimana pihak lain dalam kontrak tersebut tidak mempunyai kesempatan atau
hanya sedikit kesempatan untuk menegosiasi atau mengubah
klausula-klausula yang sudah dibuat oleh salah satu pihak tersebut, sehingga biasanya
kontrak baku sangat berat sebelah11.
D. Ciri-Ciri Perjanjian Baku
Sesuai dengan perkembangan kebutuhan masyarakat, maka ciri-ciri
perjanjian baku mengikuti dan menyesuaikan dengan perkembangan tuntutan
masyaratkat. Ciri-ciri tersebut yakni12;
1. Bentuk Perjanjian Tertulis
Yang dimaksud dengan perjanjian ialah naskah perjanjian keseluruhan
dan dokumen bukti perjanjian yang memuat syarat-syarat baku. Kata-kata
atau kalimat pernyataan kehendak yang termuat dalam syarat-syarat baku
dibuat secara tertulis berupa akta otientik atau akta di bawah tangan.
Karena dibuat secara tertulis maka, perjanjian yang memuat syarat-syarat
baku itu menggunakan kata-kata atau susunan kalimat yang teratur dan
rapi. Jika huruf yang dipakai kecil-kecil kelihatan isinya sangat padat dan
sulit dibaca dalam waktu singkat. Contoh perjanjian baku ialah perjanjian
jual beli, perjanjian polis asuransi, charter party, kredit dengan jaminan
11
Munir Fuadi, Hukum Kontrak Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis, Buku Kedua (Bandung: PT.Citra Aditya Bakti, 2003), h.76
12
sedangkan contoh dokumen bukti perjanjian ialah konosemen, nota
pesanan, nota pembelian, tiket pengangkutan.
2. Format Perjanjian Dibakukan
Format perjanjian meliputi model, rumusan dan ukuran. Format ini
dibakukan artinya sudah ditentukan model, rumusan, dan ukurannya,
sehingga tidak dapat diganti, diubah atau dibuat dengan cara lain karena
sudah dicetak. Model perjanjian dapat berupa blanko, naskah perjanjian
lengkap, atau blanko formulir yang dilampiri dengan naskah syarat-syarat
perjanjian yang memuat syarat-syarat baku. Contoh format perjanjian baku
ialah polis asuransi, akta pejabat pembuat akta tanah, perjanjian sewa beli,
penggunaan kartu kredit dan sertifikat obligasi.
3. Syarat-Syarat Perjanjian Ditentukan oleh Pengusaha
Syarat-syarat perjanjian yang merupakan pernyataan kehendak
ditentukan sendiri oleh pengusaha atau organisasi pengusaha. Karena
syarat-syarat perjanjian itu dimonopoli oleh pengusaha, maka sifatnya
cenderung lebih menguntungkan pengusaha daripada konsumen. Hal ini
tergambar dari klausula eksonerasi berupa pembebasan tanggung jawab
pengusaha, tanggung jawab tersebut menjadi beban konsumen. Penentuan
secara sepihak oleh pengusaha dapat diketahui melalui format perjanjian
yang sudah siap pakai, jika konsumen setuju, maka di tanda tanganilah
41
4. Konsumen Hanya Menerima atau Menolak
Jika konsumen bersedia menerima syarat-syarat perjanjian yang
disodorkan kepadanya, maka ditandatanganilah perjanjian tersebut.
Penandatanganan itu menunjukan bahwa konsumen bersedia memikul
beban tanggung jawab walaupun mungkin ia tidak bersalah. Jika
konsumen tidak setuju dengan syarat-syarat perjanjian yang disodorkan
itu, ia tidak boleh menawar syarat yang sudah dibakukan itu. Menawar
syarat-syarat baku berarti menolak perjanjian.
5. Penyelesaian Sengketa Melalui Musyawarah/Peradilan
Syarat-syarat perjanjian terdapat standar baku mengenai penyelesaian
sengketa. Jika terjadi sengketa dalam pelaksanaan perjanjian, maka
penyelesaiannya dilakukan melalui arbitrase. Tetapi jika ada pihak yang
menghendaki, tidak tertutup kemungkinan penyelesaian sengketa melalui
Pengadilan Negeri.
6. Perjanjian Baku Menguntungkan Pengusaha
Kenyataan menunjukkan bahwa kencenderungan perkembangan
perjanjian ialah dari lisan ke bentuk tulisan, dari perjanjian tertulis biasa ke
perjanjian tertulis yang dibakukan, syarat-syarat baku dimuat lengkap
dalam naskah perjanjian atau ditulis sebagai lampiran yang tidak terpisah
dengan formulir perjanjian, atau ditulis dalam dokumen bukti perjanjian.
Dengan demikian, dapat diketahui bahwa perjanjian baku yang dirancang
a. Efisiensi biaya,waktu dan tenaga;
b. Praktis karena sudah tersedia naskah yang dicetak berupa formulir atau
blanko yang siap diisi dan ditandatangani;
c. Penyelesaian cepat karena konsumen hanya menyetujui dan atau
menandatangani perjanjian yang disodorkan kepadanya;
d. Homogenitas perjanjian yang dibuat dalam jumlah yang banyak.
E. Jenis Perjanjian dengan Klausula Baku
Pada prakteknya perjanjian baku yang terdapat di masyarakat dibedakan
dalam beberapa jenis, sebagai berikut13;
a. Perjanjian baku sepihak, adalah perjanjian yang isinya ditentukan oleh
pihak yang kedudukannya kuat dalam perjanjian tersebut. Pihak yang kuat
dalam hal ini ialah pihak pelaku usaha, yang lazimnya memiliki posisi
kuat dibandingkan pihak konsumen.
b. Perjanjian baku yang ditetapkan oleh pemerintah adalah perjanjian baku
yang isinya ditentukan oleh pemerintah terhadap perbuatan hukum
tertentu. Dalam bidang agraria misalnya, dapat dilihat formulir-formulir
perjanjian sebagaimana yang diatur dalam SK Menteri Dalam Negeri
tanggal 6 Agustus 1977 mengenai akta jual-beli model 1156727 dan akta
hipotik model 1945055.
c. Perjanjian baku yang ditentukan di lingkungan notaris atau advokat adalah
perjanjian yang konsepnya sejak semula sudah disediakan untuk
memenuhi permintaan dari anggota masyarakat yang meminta bantuan
13
43
notaris atau advokat yang bersangkutan, yang dalam kepustakaan Belanda
disebut dengan “contract model”.
F. Perjanjian yang Dilarang
Jenis-jenis perjanjian yang dilarang oleh Undang-undang Anti monopoli
diatur dalam pasal 4 sampai dengan Pasal 16. Dilarangnya jenis-jenis
perjanjian sebagaimana diuraikan dibawah ini karena dapat mengakibatkan
terjadinya praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. adapun
perjanjian tersebut adalah;
1. Perjanjian yang bersifat oligopoli, dari rumusan Pasal 4 dari
Undang-undang Anti Monopoli terlihat bahwa suatu perjanjian yang menimbulkan
oligopoli dilarang jika terpenuhi unsur-unsur sebagai berikut14:
a. Adanya suatu perjanjian
b. Perjanjian tersebut dibuat antara pelaku usaha
c. Tujuan dibuatnya perjanjian tersebut adalah untuk secara
bersama-sama melakukan penguasaan produksi dan atau pemasaran barang
atau jasa
d. Perjanjian tersebut dapat mengakibatkan terjadinya praktek
monopoli dan atau persaingan curang.
e. Praktek monopoli atau persaingan curang patut diduga telah terjadi
jika dua atau tiga pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha
menguasai lebih dari 75% pangsa pasar dari satu jenis barang atau
jasa.
14
Jadi dapat dikatakan bahwa pasar oligopoli adalah pasar yang dikuasai
oleh beberapa produsen saja (untuk produksi satu jenis barang). Bagi pihak
y