• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERLINDUNGAN KONSUMEN TERHADAP PERJANJIAN BAKU JUAL BELI PERUMAHAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PERLINDUNGAN KONSUMEN TERHADAP PERJANJIAN BAKU JUAL BELI PERUMAHAN"

Copied!
95
0
0

Teks penuh

(1)

i

Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H)

Oleh :

TIARA AGUSTAVIA NIM : 1112048000040

K O N S E N T R A S I H U K U M B I S N I S P R O G R A M S T U D I I L M U H U K U M

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A

(2)
(3)
(4)
(5)

v

Program Studi Ilmu Hukum, Konsentrasi Hukum Bisnis, Fakultas Syariah dan

Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta 1437 H/2016M. Isi

: ix+84 halaman + lampiran, 27 daftar pustaka (1980-2013)

Permasalahan utama dalam skripsi ini adalah perjanjian yang mengandung

klausula merugikan yang terdapat pada transaksi jual beli perumahan yang

berakibat pada hangusnya uang konsumen. Penelitian ini bertujuan untuk

mengetahui akibat hukum atas perjanjian jual beli perumahan dengan klausula

baku.

Metode penelitian ini menggunakan pendekatan kepustakaan bersifat yuridis

normatif. Yuridis normatif artinya penelitian yang digunakan mengacu pada

norma hukum yang terdapat pada peraturan perundang-undangan dan

norma-norma yang berlaku di masyarakat atau juga yang menyangkut kebiasaan yang

berlaku di masyarakat.

Kesimpulan dari analisis yang dilakukan adalah klausul yang menyebabkan uang

muka hangus pada jual beli perumahan adalah klausul baku yang dilarang pada

pasal 18 ayat (1) karena klausula baku yang terdapat pada jual beli perumahan

menjadikan konsumen tidak memiliki bargaining power/ daya tawar pada saat

proses jual beli tersebut.

Kata Kunci : Perlindungan Konsumen, Klausula Baku

Pembimbing I : Dr. M. Ali Hanafiah, S.H, M.H

(6)

vi

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr.Wb

Alhamdulilahirrabil ‘alamin, segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam yang dengan rahmat dan karunia-Nya memberikan kesempatan bagi kita semua

untuk mengenyam pendidikan. Shalawat serta salam penulis tujukan kepada Nabi

SAW, yang telah membawa zaman kebodohan menuju zaman yang penuh dengan

ilmu pengetahuan dan teknologi.

Banyak ujian dan cobaan yang penulis hadapi dalam menyelesaikan

skripsi ini, namun atas izin Allah SWT penulis dapat menyelesaikan skripsi yang

berjudul Perlindungan Konsumen Terhadap Perjanjian Baku Jual Beli Perumahan

dengan baik. Selesainya skripsi ini tidak terlepas dari keilmuan yang penulis

dapatkan dari jenjang pendidikan yang komprehensif, serta dukungan banyak

pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan

terimakasih kepada :

1. Dr. Asep Saepudin Jahar, M.A, Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Drs. Asep Saefudin Hidayat, S.H, M.H, dan Drs. Abu Tamrin, S.H, M.Hum,

Ketua Program Studi dan Sekretaris Program Studi Ilmu Hukum Fakultas

(7)

vii

4. Seluruh Dosen Fakultas Syariah dan Hukum yang telah memberikan ilmu

yang bermanfaat selama kuliah kepada penulis, dan tidak lupa kepada seluruh

staf dan karyawan Fakultas Syariah dan Hukum.

5. Iklaswan dan Neneng Mujaenah selaku Ayahanda dan Ibunda yang penulis

sangat cintai, yang telah mencurahkan segala cinta dan kasih sayangnya

kepada penulis, memberikan nasehat dan do’a, semangat serta dukungan

sehingga penulis bisa menyelesaikan skripsi ini.

6. Nenek dan Kakek penulis yang dari kejauhan selalu merindukan, tetap

mendoakan dan memberikan semangatnya kepada penulis.

7. Rizki Ichlaswan, S.Kom, Winda Putria, S.S, Syifa Kamila, dan Septya Riani,

S.Si selaku Kakak dan Adik dari Penulis yang selalu mencintai penulis dan

memberikan semangat kepada penulis dalam keadaan apapun.

8. Sahar Afra Fauziyyah, Juwita Daningtyas, Tiffani Ratna Suri, selaku sahabat

penulis yang memberikan keceriaan dan semangat di setiap perjalanan kuliah

penulis. Bersama mereka penulis berproses bersama menjadi keluarga.

Terimakasih atas bantuan, pengalaman, dan kenangan yang indah selama

masa kuliah.

9. Mochammad Indriansyah, selaku teman dekat penulis yang memberikan

banyak motivasi, bantuan dan semangat yang sangat berarti dalam penyusunan

(8)

viii

viii

10.Teman-teman Ilmu Hukum Angkatan 2012 UIN Jakarta, baik konsentrasi

Hukum Bisnis maupun konsentrasi Hukum Kelembagaan Negara.

11.Teman-teman Saman Ilmu Hukum, Tabloid Justitia, dan Angkatan Muda

Peduli Hukum (AMPUH) yang telah memberikan banyak warna dan

kenangan indah selama masa kuliah.

12.Teman-teman KKN Melodi 2015, yang telah memberikan pengalaman dan

arti solidaritas dan kerjasama yang sesungguhnya.

13.Serta semua pihak yang membantu proses penulisan yang tidak bisa penulis

sebutkan satu persatu.

Tidak ada yang penulis bisa berikan kecuali do’a dan ucapan terima kasih

kepada kalian, semoga Allah membalas segala kebaikan kalian semua. Akhir kata

penulis berharap semoga skripsi yang penulis buat ini dapat bermanfaat bagi

penulis dan semua pembacanya.

(9)

ix

Lembar Pengesahan Panitia ... ii

Lembar Pernyataan ... iii

Abstrak…….. ... v

Kata Pengantar ... vi

Daftar Isi ……. ... ix

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 5

C. Pembatasan dan Rumusan Masalah ... 5

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 6

E. Kerangka Konseptual ... 7

F. Kajian (Review) Terdahulu ... 8

G. Metode Penelitian ... 9

H. Sistematika Penulisan ... 12

BAB II TINJAUAN HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN ... 14

A. Pengertian Hukum Perlindungan Konsumen ... 14

B. Asas dan Tujuan Perlindungan Konsumen ... 16

C. Hak dan Kewajiban Konsumen dan Pelaku Usaha ... 18

D. Penyelesaian Sengketa ... 22

a. Penyelesaian Sengketa di Pengadilan ... 23

b. Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan ... 27

E. Sanksi-Sanksi ... 30

BAB III TINJAUAN PERJANJIAN BAKU DAN UANG MUKA ... 34

A. Perjanjian pada Umumnya ... 34

B. Perjanjian Baku pada Umumnya ... 35

C. Definisi Perjanjian Baku ... 37

D. Ciri-Ciri Perjanjian Baku ... 39

E. Jenis Perjanjian dengan Klausula Baku ... 42

F. Perjanjian yang Dilarang ... 43

G. Uang Muka... 47

BAB IV ANALISIS AKIBAT HUKUM PERJANJIAN JUAL BELI PERUMAHAN DENGAN KLAUSULA BAKU ... 49

(10)

x

B. Upaya Hukum yang dapat Dilakukan Konsumen Terhadap

Pelanggaran yang Dilakukan Oleh Pelaku Usaha ... 51

C. Analisis Akibat Hukum Perjanjian Jual Beli Perumahan dengan Klausula Baku ... 54

BAB V PENUTUP ... 62

A. Kesimpulan ... 62

B. Saran ... 63

DAFTAR PUSTAKA... 65

(11)

1 A. Latar Belakang Masalah

Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

alinea ke-empat memiliki cita-cita luhur yakni melindungi segenap bangsa

Indonesia serta memajukan kesejahteraan umum. Menjabarkan arti dan makna

melindungi segenap bangsa Indonesia serta memajukan kesejahteraan umum

tersebut dituangkanlah dalam pasal-pasal melalui ketentuan yang

berhubungan dengan hak asasi manusia dalam Bab X huruf A

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Amandemen yang

Ke-4, yang terdiri dari Pasal 28 huruf A sampai Pasal 28 huruf J.

Pada Pasal 28 huruf H mengamanatkan bahwa ;

Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan

Indonesia, kesejahteraan umum biasanya dikaitkan dengan tiga hal

yakni, pangan, sandang, papan. Sebagian besar masyarakat, selain sandang,

pangan, dan papan atau rumah sudah menjadi kebutuhan dasar yang tidak

dapat ditunda dalam menjalankan kehidupan sehari-hari1. Salah satu

kebutuhan pokok atau primer adalah kebutuhan akan papan atau rumah.

Perumahan merupakan representasi untuk memenuhi kebutuhan dasar

manusia. Setiap warga negara berhak hidup sejahtera lahir dan batin,

1

(12)

2

bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat,

yang merupakan kebutuhan dasar manusia, dan yang mempunyai peran yang

sangat strategis dalam pembentukan watak serta kepribadian bangsa sebagai

salah satu upaya membangun manusia Indonesia seutuhnya, berjati diri,

mandiri, dan produktif.

Berbagai kota besar di Indonesia, pesatnya peningkatan populasi manusia

mengharuskan pemerintah untuk berperan serta meningkatkan kualitas

perumahan bagi warga yang layak untuk dihuni. Sisi lain permasalahan

pemerintah yakni dalam pembangunan perumahan mengalami berbagai

kendala salah satunya adalah keterbatasan lahan perumahan.

Pesatnya pembangunan perumahan menimbulkan permasalahan lain

yang sering muncul dalam pemenuhan kebutuhan akan perumahan yakni

hak-hak konsumen yang dirugikan. Meningkatnya pembangunan perumahan,

seringkali tidak diselaraskan dengan pemenuhan kewajiban oleh pelaku usaha.

Permasalahan dalam bisnis perumahan yang sering muncul adalah

ketentuan mengenai pernyataan dan persetujuan untuk menerima segala

persyaratan dan ketentuan-ketentuan yang ditetapkan secara sepihak dan

ketentuan-ketentuan penandatanganan atas dokumen-dokumen yang telah

dipersiapkan lebih awal oleh pelaku usaha, tercantum dalam surat pemesanan

yang sering disebut perjanjian baku atau klausula baku.

Perjanjian baku adalah perjanjian yang hampir seluruh

(13)

tidak mempunyai peluang untuk merundingkan atau meminta perubahan2. Perjanjian baku yang selanjutnya disebut sebagai klausula baku, diadakan

dengan maksud untuk mencapai tujuan efisiensi, kepastian dan lebih bersifat

praktis meskipun kadang-kadang mengandung faktor negatif, karena dapat

merugikan pihak lain yaitu pihak konsumen yang lemah. Pada klausula baku,

konsumen dalam hal ini, hanya mempunyai dua pilihan yaitu menerima atau

menolak perjanjian yang disodorkan kepadanya.

Praktik perjanjian baku sering dibuat dalam kondisi yang tidak berimbang.

Produsen (Pelaku Usaha) memanipulasi perjanjian yang dibuat dalam

ketentuan klausula baku. Biasanya perjanjian tersebut lebih menguntungkan

salah satu pihak yaitu pelaku usaha3.

Selain itu, pihak pengembang properti juga tidak jarang mencantumkan

klausula baku dalam perjanjian jual beli perumahan. Klausula baku dalam

bidang perumahan misalnya terdapat dalam perjanjian jual beli perumahan

dalam klausula down payment(dp) atau booking fee yang menyebutkan bahwa

“…..seluruh uang yang telah dibayarkan oleh pihak kedua kepada pihak

kesatu menjadi hangus dan tidak dapat dituntut kembali….”

Rendahnya kesadaran dan pengetahuan konsumen, tidak mustahil

dijadikan lahan bagi pelaku usaha dalam transaksi yang tidak mempunyai

itikad baik dalam menjalankan usaha, yaitu berprinsip untuk mencari

2

Sutan Remy Sjahdeni, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang Bagi Para Pihak dalam Perjanjian Kredit di Indonesia, (Jakarta: Institut Bankir Indonesia, 1994), h.66

3

(14)

4

keuntungan yang sebesar-besarnya dengan memanfaatkan minimnya

pengetahuan konsumen.

Konsumen memiliki risiko yang lebih besar daripada pelaku usaha,

dengan kata lain hak-hak konsumen sangat rentan4. Disebabkan posisi tawar

konsumen yang lemah, maka hak-hak konsumen sangat riskan untuk

dilanggar5.

Posisi konsumen tersebut, ia harus dilindungi oleh hukum, karena

salah satu sifat sekaligus tujuan hukum adalah memberikan perlindungan

(pengayoman) kepada masyarakat6. Perlindungan kepada masyarakat tersebut

harus diwujudkan dalam bentuk kepastian hukum menjadi hak konsumen7.

Berdasarkan latar belakang permasalahan tersebut penulis tertarik

untuk melakukan penelitian dalam skripsi yang hasilnya akan dituangkan

dalam judul : Perlindungan Konsumen Terhadap Perjanjian Baku Jual

Beli Perumahan

4

Edmon Makarim, Kompilasi Hukum Telematika (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,

2003), h.242

5

Edmon Makarim, Kompilasi Hukum.………, h.243

6

Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Edisi Revisi (Jakarta:

Grasindo,2004), h.112

7

(15)

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah diatas maka identifikasi masalah dari

penelitian ini adalah:

1. Apa sanksi yang dapat dijatuhkan terhadap pelaku usaha perumahan yang

mencantumkan klausula baku yang merugikan konsumen dalam perjanjian

jual beli.

2. Apa kriteria suatu perjanjian disebut sebagai perjanjian baku

3. Apa sajakah jenis perjanjian yang menggunakan klausula baku

4. Bagaimana penyelesaian sengketa dalam bidang hukum perlindungan

konsumen.

5. Apakah perbedaan antara perjanjian pada umumnya dengan perjanjian

baku.

C. Pembatasan dan Rumusan Masalah

1. Pembatasan Masalah

Sesuai dengan latar belakang yang telah dikemukakan di atas, maka

pembahasan penelitian ini mengalami pembatasan masalah,

pembahasannya akan dibatasi pada perlindungan konsumen terhadap

perjanjian baku jual beli perumahan.

2. Rumusan Masalah

Untuk lebih mengerucutkan pokok permasalahan yang akan diteliti,

maka perlu untuk dibuat perumusan masalah terlebih dahulu. Berdasarkan

uraian latar belakang masalah, maka dapat dirumuskan permasalahan

(16)

6

a. Bagaimanakah akibat hukum atas perjanjian jual beli perumahan yang

mengandung klausula baku yang merugikan konsumen?

b. Upaya-upaya apa yang dapat dilakukan konsumen terhadap pelaku

usaha yang merugikan dalam ketentuan Undang-undang Perlindungan

Konsumen?

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

a. Untuk mengetahui akibat hukum atas perjanjian jual beli

perumahan dengan klausula baku.

b. Untuk mengkaji dan menganalisa perlindungan konsumen terhadap

perjanjian dengan klausula baku.

2. Manfaat Penelitian

a. Manfaat Akademis

1) Dengan dilakukannya penelitian ini penulis berharap dapat

memberikan kontribusi bagi pengembangan ilmu

pengetahuan.

2) Dengan dilakukan penelitian ini penulis berharap dapat

menambah wawasan dan memberikan ilmu pengetahuan

khususnya hukum perlindungan konsumen.

b. Manfaat Praktis

1) Diharapkan dapat memberikan masukan tentang bagaimana

perlindungan terhadap konsumen terhadap perjanjian baku

(17)

2) Diharapkan dapat ikut membantu untuk lebih

mengembangkan dan menginpirasi masyarakat dan mahasiswa

lainnya.

E. Kerangka Konseptual

Kerangka Konseptual adalah kerangka yang menggambarkan hubungan

antara konsep-konsep khusus yang ingin diteliti atau akan diteliti8.

Istilah-istilah yang penulis perlu jelaskan adalah:

1. Perlindungan Konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya

kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen (Lihat

Pasal 1 Angka 1 UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

Konsumen).

2. Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang

tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga,

orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan

(Lihat Pasal 1 Angka 2 UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

Konsumen).

3. Jual Beli adalah suatu perjanjian yang mana pihak yang satu

mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu benda dan pihak lain

membayarkan harga yang telah dijanjikan. (Lihat Pasal 1457 KUH

Perdata)

4. Perumahan adalah kumpulan rumah sebagai bagian dari permukiman,

baik perkotaan maupun perdesaan, yang dilengkapi dengan prasarana,

8

(18)

8

sarana, dan utilitas umum sebagai hasil upaya pemenuhan rumah yang

layak huni. (Lihat Pasal 1 Ayat 2 UU Nomor 1 Tahun 2011 Tentang

Perumahan dan Kawasan Pemukiman)

F. Kajian (Review) Terdahulu

No Nama Penulis/ Judul

Skripsi/Tahun

Substansi Perbedaan

dengan Penulis

1. Marwan/ Perlindungan

Konsumen dalam

Kontrak Jual Beli

Rumah di Perumahan

Harapan Indah Bekasi/

Skripsi, UIN Jakarta,

2015.

Skripsi tersebut

membahas mengenai

perlindungan konsumen

terhadap tidak

dipenuhinya janji-janji

dalam kontrak jual beli

pada Perumahan

Harapan Indah Bekasi.

Penulis membahas mengenai perlindungan konsumen terhadap

perjanjian baku

yang

menyebabkan

hangusnya uang

konsumen pada

praktik jual beli

perumahan.

2. Diana Sarawati

Purnamasari/

Perjanjian Baku dalam

kredit pemilikan rumah

Tesis tersebut

membahas tentang

klausula yang tidak

boleh dimuat dalam

Penulis

memfokuskan

penulisan

(19)

(KPR) : Studi kasus

analisis perjanjian

antara PT. Bank Panin

tbk dengan X/ Tesis,

Universitas Indonesia,

2011.

perjanjian KPR serta

bagaimanakah proses

penyelesaian sengketa

yang dilakukan salah

satu pihak dalam

perjanjian baku KPR

bank Panin.

satu klausula baku

yang

menyebabkan

hangusnya uang

konsumen ditinjau

dari hukum

perlindungan

konsumen.

G. Metode Penelitian

1. Tipe Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini

menggunakan metode pendekatan yuridis normatif (law in book).

Penelitian yuridis normatif adalah penelitian yang dilakukan mengacu

pada norma hukum yang terdapat pada peraturan perundang-undangan dan

keputusan pengadilan serta norma-norma yang berlaku di masyarakat atau

juga yang menyangkut kebiasaan yang berlaku di masyarakat.9

2. Pendekatan Masalah

Berkaitan dengan tipe penelitian penulis menggunakan penelitian

yuridis normatif, maka pendekatannya menggunakan pendekatan

9

Soerjono Soekanto dan Sri Mahmudji, Peranan dan Penggunaan Kepustakaan

(20)

10

perundang-undangan (Statute Approach)10 khususnya pada

Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

a. Sumber Data

Berkaitan dengan data yang digunakan, bahan hukum yang

digunakan dalam penelitian ini meliputi bahan hukum primer,

sekunder, dan tersier.

1. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang mempunyai

kekuatan mengikat berupa peraturan perundang-undangan.

Selain peraturan perundang-undangan, yang termasuk dalam

hukum primer yaitu catatan-catatan resmi atau risalah dalam

pembuatan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim.11

Dalam penelitian peraturan perundang-undangan yang

digunakan yaitu;

1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang

Perlindungan Konsumen Lembaran Negara Republik

Indonesia tahun 1999 No. 42 Tambahan Lembaran

Negara Republik Indonesia No. 3821 .

3) Putusan Mahkamah Agung Nomor 937 K/Pdt.Sus/2010

10

Johnny Ibrahim, Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif, cet. III,

(Jawa Timur : Bayumedia Pubishing, 2007), h.302.

11

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Cet.IV (Jakarta: Kencana Prenada

(21)

2. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang erat kaitannya

dengan bahan hukum primer dan dapat membantu

menganalisa, memahami, dan menjelaskan bahan hukum

primer. Bahan hukum yang paling banyak digunakan dalam

penelitian ini adalah teori atau pendapat sarjana hukum, hasil

karya dari kalangan ahli hukum, skripsi, tesis, disertasi, artikel

ilmiah, jurnal, majalah, surat kabar, makalah, penelusuran

internet dan sebagainya.

3. Bahan non-hukum (tersier), yaitu bahan hukum yang

memberikan petunjuk maupun penjelasan atau bahan hukum

primer dan sekunder, misalnya Kamus Besar Bahasa Indonesia

(KBBI), ensiklopedia, dan lain-lain.

b. Teknik Pengumpulan data

Dalam penelitian ini penulis menggunakan teknik pengumpulan

data secara library research (studi kepustakaan) dalam hal ini penulis

menggunakan buku-buku berkaitan dengan perlindungan konsumen.

c. Pengolahan dan Analisis Bahan Hukum

Dari bahan hukum yang telah terkumpul tersebut baik bahan

hukum primer, bahan hukum sekunder, maupun bahan hukum tersier

di klasifikasikan sesuai dengan masalah hukum yang dibahas. Setelah

itu bahan hukum tersebut diuraikan dan diteliti secara sistematis. Dan

(22)

12

menarik kesimpulan dari pembahasan masalah yang ada. Sehingga

pertanyaan atas masalah dapat teruraikan dan terjawab.

H. Sistematika Penulisan

Skripsi ini disusun berdasarkan buku “Petunjuk Penulisan Skripsi

Fakutas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2012

yang telah direvisi pada tahun 2014 dengan sistematika yang terdiri dari

lima bab”. Masing-masing bab terdiri atas beberapa sub bab sesuai

pembahasan dan materi yang diteliti. Adapun perinciannya sebagai

berikut:

BAB I: Bab ini merupakan bagian pendahuluan penulisan yang

memuat latar belakang, rumusan masalah, tujuan dan

manfaat penelitian, tinjauan kajian terdahulu, kerangka

konseptual, metode penelitian dan sistematika penulisan.

BAB II: Bab ini memuat tentang hukum perlindungan konsumen

yang terbagi ke dalam beberapa sub bab. Di dalamnya

dibahas tentang Pengertian Hukum Perlindungan

Konsumen, dilanjutkan dengan Asas-Asas serta Tujuan

hukum Perlindungan Konsumen, Hak serta Kewajiban bagi

Pelaku Usaha dan Konsumen, Penyelesaian Sengketa, serta

Sanksi-Sanksinya.

BAB III: Bab ini memuat tentang tinjauan perjanjian baku yang

terbagi ke dalam beberapa sub bab. Di dalamnya dibahas

(23)

Umumnya, Definisi Perjanjian Baku, Ciri-ciri Perjanjian

Baku, Jenis Perjanjian dengan Klausula Baku, dan

Perjanjian Yang Dilarang, Uang Muka.

BAB IV: Bab ini memuat tentang Analisis Perlindungan Konsumen

Terhadap Perjanjian Jual Beli Perumahan dengan Klausula

Baku. Pembahasan dalam bab ini dimulai dengan uraian

tentang Kasus Perjanjian Jual Beli Perumahan yang

Mengandung Klausula Baku, Upaya Hukum yang dapat

Dilakukan oleh Konsumen terhadap Pelanggaran yang

Dilakukan oleh Pelaku Usaha, dan Analisis Akibat Hukum

terhadap Perjanjian Jual Beli Perumahan dengan Klausula

Baku.

BAB V: Bab ini merupakan bab penutup dari skripsi ini. Untuk itu

penulis menarik beberapa kesimpulan dari hasil penelitian,

disamping itu penulis memberikan pendapat dan saran yang

(24)

14 BAB II

TINJAUAN HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN

A. Pengertian Hukum Perlindungan Konsumen

Hukum Konsumen dan Hukum Perlindungan Konsumen

merupakan dua bidang hukum yang sulit di pisahkan dan ditarik

batasannya. Pada intinya hukum perlindungan konsumen merupakan

bagian dari hukum konsumen dan tidak dapat dipisahkan1. Dalam

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Pasal 1 ayat (1) tentang

Perlindungan Konsumen, menyebutkan bahwa “Perlindungan konsumen

adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk

memberi perlindungan kepada konsumen”.

Menurut Az. Nasution Hukum Konsumen adalah sebagai

keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah yang mengatur hubungan dan

masalah penyediaan penggunaan produk (barang dan/jasa) antara

penyedia dan penggunanya dalam kehidupan bermasyarakat. Sedangkan

hukum perlindungan konsumen adalah keseluruhan asas-asas dan

kaidah-kaidah yang mengatur dan melindungi konsumen dalam hubungannya

dengan masalah penyediaan dan pengunaan produk (barang dan/jasa)

antara penyedia dan penggunaanya dalam kehidupan bermasyarakat2.

1

Az. Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, (Jakarta: Diadit Media, 2007), h.20-21

2

(25)

Menurut N.H.T Siahaan sesungguhnya baik istilah hukum

konsumen dan hukum perlindungan konsumen tidak perlu dibedakan,

dengan dua alasan/pertimbangan yaitu3:

1. Jika membicarakan hukum dalam hubungannya dengan konsumen atau

hukum dalam hubungannnya dengan perlindungan konsumen, maka

keduanya tentu tidak luput dari pembahasan mengenai hak-hak

konsumen, kepentingannya, upaya-upaya pemberdayaannya, atau

kesetaraannya dalam hukum dengan pelaku usaha.

2. Seluruh kaidah hukum di negeri ini dapat hadir dan tunduk dibawah

sebuah payung hukum dasar yang bersumber dari Pancasila dan

Undang-undang Dasar 1945. Pancasila dan Undang-undang Dasar

1945 merupakan segala sumber hukum nasional, yang secara filosofis

memberikan perlindungan keadilan bagi semua bangsa dan golongan

di negeri ini termasuk dalam hukum konsumen. Jadi pada hakikatnya

hukum konsumen dan hukum perlindungan konsumen tidak perlu

dibedakan.

Perlindungan hukum kepada konsumen ini dapat berasal dari

lingkup berbagai disiplin hukum, diantaranya Hukum Privat (Hukum

Perdata), maupun dari Hukum Publik (Hukum Pidana dan Hukum

Administrasi Negara). Keterlibatan berbagai disiplin hukum ini

mempertegas kedudukan hukum perlindungan konsumen berada dalam

kajian hukum ekonomi. Hal ini sesuai dengan sifat hukum ekonomi, yang

3

(26)

16

tidak hanya melibatkan aspek hukum perdata namun pada saat yang

bersamaan juga melibatkan aspek hukum publik4.

B. Asas dan Tujuan Perlindungan Konsumen

Sudikno Mertokusumo mendefinisikan asas hukum bukan sebagai

hukum konkrit merupakan pikiran dasar yang umum dan abstrak atau

merupakan latar belakang peraturan konkrit yang terdapat dalam dan

dibelakang setiap sistem hukum yang terjelma dalam peraturan

perundang-undangan dan putusan hakim yang merupakan hukum positif5 dan dapat

ditemukan dengan mencari sifat-sifat atau ciri-ciri yang umum dalam

peraturan konkrit tersebut6.

Pada penjelasan pasal 2 Undang-Undang Perlindungan Konsumen

dijelaskan tentang asas-asas dalam perlindungan Konsumen. Perlindungan

Konsumen diselenggarakan sebagai usaha bersama berdasarkan 5 asas yang

relevan dalam pembangunan nasional yaitu:

1. Asas manfaat dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala upaya

dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberikan

manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha

secara keseluruhan.

4

Ahmadi Miru, Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2000), h.2-3

5

Ius constitutum adalah hukum positif. Ius constitutummerupakan hukum yang

dibentuk dan berlaku dalam suatu masyarakat negara pada suatu saat. Soerjono Soekanto, Purnadi Purbacaraka, Aneka Cara Pembedaan Hukum, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1994), h.5

6

(27)

2. Asas keadilan dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat

diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada

konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan

kewajibannya secara adil.

3. Asas keseimbangan dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara

kepentingan konsumen, pelaku usaha dan pemerintah dalam arti materiil

ataupun spiritual.

4. Asas keamanan dan keselamatan konsumen dimaksudkan untuk

memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen

dalam penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang

dikonsumsi atau digunakan.

5. Asas kepastian hukum7 dimaksudkan agar baik pelaku usaha maupun

konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam

penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian

hukum.

Selain merumuskan asas dalam Perlindungan Konsumen, Undang-undang

Perlindungan Konsumen juga merumuskan tujuan Perlindungan Konsumen

yang terdapat pada pasal 3 Undang-undang Perlindungan Konsumen, yaitu;

1. Meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk

melindungi diri;

7

(28)

18

2. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara

menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa;

3. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan dan

menuntut hak-haknya sebagai konsumen;

4. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur

kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan

informasi;

5. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan

konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam

berusaha;

6. Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan

usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan,

dan keselamatan konsumen:

C. Hak dan Kewajiban Konsumen dan Pelaku Usaha

1. Hak dan Kewajiban Konsumen

Menurut ketentuan pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999

tentang Perlindungan Konsumen memiliki hak sebagai berikut:

a. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam

mengkonsumsi barang dan/atau jasa;

b. Hak untuk memilih barang dan/jasa serta mendapatkan barang

dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta

(29)

c. Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan

jaminan barang dan/atau jasa;

d. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau

jasa yang dipergunakan;

e. Hak untuk mendapatkan advokasi perlindungan konsumen secara

patut;

f. Hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen;

g. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta

tidak diskriminatif;

h. Hak untuk mendapatkan konpensasi, ganti rugi, dan/atau penggantian,

apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan

perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;

i. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan perundang-undangan lainnya.

Selain memperoleh hak tersebut, sebagai balance, konsumen juga

mempunyai diwajibkan untuk;

a. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian

atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan

keselamatan;

b. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau

jasa;

c. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang telah disepakati;

d. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan

(30)

20

2. Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha

Undang-undang dalam Perlindungan Konsumen juga mengatur

mengenai hak dan kewajiban pelaku usaha. Hal ini karena pada dasarnya

hubungan antara konsumen dengan pelaku usaha memiliki saling

ketergantungan satu sama lain dan saling membutuhkan, sehingga sudah

seharusnya kedudukan konsumen dan pelaku usaha berada pada posisi

yang seimbang.

Namun pada kenyataannya, kedudukan konsumen seringkali berada

pada posisi yang lemah bila dibandingkan dengan pelaku usaha8. Dalam

undang-undang Perlindungan Konsumen hak-hak pelaku usaha diatur

dalam Pasal 6 Undang-Undang Perlindungan Konsumen yaitu;

a. Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan

mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang

diperdagangkan;

b. Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen

yang beritikad tidak baik;

c. Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian

hukum sengketa konsumen;

d. Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa

kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang

diperdagangkan;

8

(31)

e. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan

lainnya.

Sedangkan kewajiban-kewajiban bagi pelaku usaha diatur dalam Pasal

7 Undang-Undang Perlindungan Konsumen yakni;

a. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;

b. Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi

dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan

penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;

c. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta

tidak diskriminatif;

d. Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau

diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau

jasa yang berlaku;

e. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau

mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan

dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang

diperdagangkan;

f. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian

akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa

yang diperdagangkan;

g. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang

dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan

(32)

22

D. Penyelesaian Sengketa

Menurut Undang-Undang Perlindungan Konsumen Pasal 45 ayat

1, setiap konsumen yang dirugikan bisa menggugat pelaku usaha melalui

lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan

pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada dilingkungan peradilan

umum.

Ada empat kelompok penggugat yang bisa menggugat atas

pelanggaran yang dilakukan pelaku usaha sebagai berikut;

1. Seorang konsumen yang dirugikan atau ahli waris yang bersangkutan.

2. Sekelompok konsumen yang mempunyai kepentingan yang sama.

3. Lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang

memenuhi syarat, yaitu berbentuk badan hukum atau yayasan, yang

dalam anggaran dasar menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan

didirikannya organisasi tersebut adalah untuk kepentingan

perlindungan konsumen dan telah melaksanakan kegiatan sesuai

dengan aggaran dasarnya.

4. Pemerintah dan atau instansi terkait yang jika barang dan/atau jasa

yang dikonsumsi atau dimanfaatkan mengakibatkan kerugian materi

yang besar dan/atau korban yang tidak sedikit.

Hal ini hanya merupakan aturan umum. Karena itu, dalam

ketentuan pasal 46 ayat (2) ditentukan lebih lanjut bahwa gugatan yang

(33)

swadaya masyarakat, atau pemerintah, sebagaimana dimaksud pada huruf

b, c, dan huruf d diatas, hanya dapat diajukan ke peradilan umum9.

Menurut Undang-Undang Perlindugan Konsumen Pasal 45 ayat 2

“Penyelesaian sengketa konsumen dapat ditempuh melalui pengadilan atau

diluar pengadilan berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang

bersengketa”. Berdasarkan ketentuan ini, bisa dikatakan bahwa ada dua

bentuk penyelesaian sengketa konsumen yaitu melalui jalur pengadilan

ataupun diluar jalur pengadilan10.

a. Penyelesaian Sengketa di Pengadilan

Beberapa kasus sengketa di bidang perumahan, seperti tidak

direalisasinya fasos dan fasum, konsumen sebagai korban bersifat

massal. Apabila diselesaikan melalui pengadilan dengan prosedur

konvensional, menjadi tidak praktis. Jalan keluarnya adalah dengan

mekanisme gugatan perwakilan. Di mana gugatan secara formal

cukup diwakili beberapa korban sebagai wakil kelas. Namun apabila

gugatan dikabulkan dan telah mempunyai kekuatan hukum tetap,

korban lain yang secara formal tidak ikut menggugat dapat langsung

menuntut ganti rugi berdasarkan putusan pengadilan tersebut11.

9

Gunawan Widjaja&Ahmad Yani, Hukum tentang Perlindungan Konsumen, (Jakarta:Gramedia,2000), h.75

10

Abdul Halim Barkatullah, Hak-hak Perlindungan………., h.85

11

(34)

24

Dari peraturan perundang-undangan yang ada, untuk pertama kali

secara eksplisit kata class action terdapat dalam Undang-Undang

Perlindungan Konsumen. Dalam penjelasan pasal 46 ayat (1) huruf b

disebutkan, undang-undang ini mengakui gugatan kelompok atau

class action. Gugatan kelompok atau class action harus diajukan oleh konsumen yang benar-benar merasa dirugikan dan dapat dibuktikan

secara hukum, salah satunya adalah bukti transaksi.

Selain Undang-Undang Perlindungan Konsumen, gugatan class

action juga diatur dalam Undang-Undang Jasa Konstruksi. Dalam pasal 38 ayat (1) huruf c disebutkan, masyarakat yang dirugikan

akibat penyelenggaraan pekerjaan konstruksi berhak mengajukan

gugatan ke Pengadilan secara kelompok orang tidak dengan kuasa

melalui gugatan perwakilan12.

Selain itu ketentuan mengenai pembuktian berdasarkan diatur

dalam pasal 163 HIR dan pasal 1865 KUH Perdata dapat dikatakan

bahwa setiap pihak mendalilkan suatu hak, (yang dalam hal ini,

konsumen sebagai pihak yang dirugikan), maka pihak konsumen

harus dapat membuktikan bahwa13:

1. Konsumen secara aktual telah mengalami kerugian;

12

Sudaryatmo, Kiat Menghindari Perumahan,………., h.41

13

(35)

2. Konsumen juga harus membuktikan bahwa kerugian tersebut

sebagai akibat dari penggunaan, pemanfaatan, atau pemakaian

barang dan/atau jasa tertentu yang tidak layak;

3. Bahwa ketidaklayakan dari penggunaan, pemanfaatan, atau

pemakaian dari barang dan/atau jasa tersebut merupakan tanggung

jawab dari pelaku usaha tertentu;

4. Konsumen tidak berkontribusi, baik secara langsung maupun tidak

langsung atas kerugian yang dideritanya tersebut.

Dua pasal yang mengatur beban pembuktian pidana dan perdata

atas kesalahan pelaku usaha dalam Undang-Undang Perlindungan

Konsumen, yaitu dalam pasal 22 dan pasal 28, kewajiban pembuktian

tersebut “dibalikan” menjadi beban dan tanggung jawab dari pelaku

usaha sepenuhnya. Dalam hal demikian selama pelaku usaha dapat

membuktikan bahwa kesalahan tersebut bukan merupakan kesalahan

yang terletak pada pihaknya, maka demi hukum pelaku usaha

bertanggung jawab dan wajib mengganti kerugian yang diderita

tersebut14.

Usaha-usaha penyelesaian sengketa secara cepat terhadap tuntutan

ganti kerugian oleh konsumen terhadap produsen telah dilakukan di

Indonesia. Hal ini dapat dilihat dalam Undang-undang Perlindungan

Konsumen yang memberikan kemungkinan konsumen untuk

mengajukan penyelesaiannya sengketanya diluar pengadilan, yaitu

14

(36)

26

melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, yang putusannya

dinyatakan final dan mengikat (Pasal 54 Ayat 3 Undang-Undang

Perlindungan Konsumen), sehingga tidak dikenal lagi upaya hukum

banding maupun kasasi dalam Badan Penyelesaian Sengketa

Konsumen15.

Penyelesaian sengketa dalam dunia bisnis diharapkan sedapat

mungkin tidak merusak hubungan bisnis selanjutnya dengan siapa ia

pernah terlibat suatu sengketa. Hal ini tentu sulir ditemukan apabila

para pihak yang bersangkutan membawa sengketanya ke pengadilan,

karena proses penyelesaian sengketa melalui pengadilan (litigasi),

akan berakhir dengan kekalahan salah satu pihak dan kemenangan

dipihak lainnya. Disamping itu secara umum dapat dikemukakan

berbagai kritikan terhadap penyelesaian sengketa melalu pengadilan,

yaitu karena16:

1. Penyelesaian Sengketa Melalui Peradilan Sangat Lambat;

2. Biaya Perkara yang Mahal;

3. Pengadilan Pada Umumnya Tidak Responsif;

4. Putusan Pengadilan Tidak Menyelesaikan Masalah;

5. Kemampuan Para Hakim yang Bersifat Generalis.

15

Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan………., h.239

16

(37)

Diantara sekian banyak kelemahan dalam penyelesaian sengketa

melalui pengadilan tersebut, yang termasuk banyak dikeluhkan oleh

pencari keadilan adalah lamanya penyelesaian perkara, karena pada

umumnya para pihak yang mengajukan perkaranya ke pengadilan

mengharapkan penyelesaian yang cepat, lebih-lebih kalau yang

terlibat dalam perkara tersebut adalah dari kalangan dunia usaha17.

b. Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan

Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) adalah lembaga

yang memeriksa dan memutus sengketa konsumen, yang bekerja

seolah-olah sebagai suatu pengadilan. Badan Penyelesaian Sengketa

Konsumen dibentuk oleh pemerintah di Daerah Tingkat II dengan

susunan yang terdiri dari satu orang ketua merangkap anggota, satu

wakil ketua merangkap anggota, serta sembilan sampai lima belas

anggota. Anggota Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen terdiri

dari unsur pemerintah, konsumen dan pelaku usaha yang

masing-masing diwakili setidaknya tiga orang dan sebanyak-banyaknya lima

orang yang ditetapkan oleh Menteri Perindustrian dan Perdagangan.

Putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen merupakan bukti

permulaan yang cukup bagi penyidik untuk melakukan penyidikan,

dan dapat dimintakan eksekusinya ke Pengadilan Negeri di wilayah

tempat konsumen yang bersangkutan18.

17

Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan ………., h.237

18

(38)

28

Uraian mengenai kelembagaan dan keanggotaan, tugas dan

wewenang serta penyelesaian sengketa oleh Badan Penyelesaian

Sengketa Konsumen dapat ditemukan secara khusus dalam Bab XI

Undang-Undang Perlindungan Konsumen, yang dimuat dari pasal 49

sampai pasal 5819 dan diatur lebih lanjut pada Keputusan Menteri

Nomor 350/MPP/KEP/2001 tentang pelaksanaan tugas dan

wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen.

Pada dasarnya penyelesaian sengketa yang dilakukan di luar

pengadilan dapat dilakukan secara damai atau melalui Badan

Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK). Yang dimaksud

penyelesaian sengketa secara damai yaitu penyelesaian yang

dilakukan oleh kedua belah pihak baik dengan ataupun tanpa bantuan

pihak ketiga, untuk mencapai suatu kesepakatan yang menguntungkan

dan tanpa yang merasa dirugikan atas kesepakatan tersebut. Biasanya

perundingan perdamaian dapat dibantu oleh pihak ketiga lainnya,

yang dapat berfungsi sebagai mediator, misalnya Yayasan Lembaga

Konsumen Indonesia (YLKI). Cara penyelesaian sengketa damai ini

maka diharapkan adanya suatu penyelesaian sengketa secara mudah,

murah dan cepat. Dasar hukum dari penyelesaian sengketa secara

damai diatur dalam Buku III, Bab 18, pasal 1851-1854 KUHPerdata

19

(39)

mengenai perdamaian/dading20 dan pasal 45 ayat (2)jo. Pasal 47

Undang-Undang Perlindungan Konsumen21.

Mekanisme penyelesaian sengketa di Badan Penyelesaian

Sengkera Kosumen, baik secara konsiliasi, mediasi atau arbitrase

dilakukan melalui majelis, dengan tahapan/tata cara penyelesaian

sengketa sebagai berikut22:

1. Sidang pertama dilaksanakan pada hari kerja ke 7 (tujuh) terhitung

sejak diterimanya permohonan pengaduan secara benar dan

lengkap.

2. Bilamana dalam sidang I (pertama), konsumen dan pelaku usaha,

bukti-bukti yang ada dianggap cukup, dan tidak memerlukan

keterangan tambahan saksi dan saksi ahli, maka majelis wajib

memproses dan memberi putusan, selambat-lambatnya dalam

waktu 21 (dua puluh satu) hari, terhitung sejak diterimanya.

3. Tetapi jika konsumen dan pelaku usaha tidak hadir pada sidang ke

I (pertama), maka majelis memanggil dan bila perlu dengan

bantuan penyidik agar hadir pada sidang ke II (kedua), yang

dilaksanakan selambat-lambatnya pada hari kerja ke 5 (lima)

setelah sidang ke I (pertama).

20

Perdamaian/Dading adalah suatu perjanjian dengan mana kedua belah pihak, dengan menyerahkan, menjanjikan atau menahan suatu barang, mengakhiri suatu perkara yang sedang bergantung atau pun mencegah timbulnya suatu perkara. (Lihat Pasal 1851 KUH Perdata)

21

Az Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen……….,h.233-234

22

(40)

30

4. Sidang ke II (kedua), jika konsumen tidak hadir, maka gugatannya

gugur demi hukum, sebaliknya, jika pelaku usaha tidak hadir,

maka gugatan konsumen dikabulkan tanpa hadirnya pelaku usaha.

5. Bilamana dalam sidang berikutnya, yaitu sidang untuk mendengar

putusan, konsumen dan pelaku usaha, tidak hadir maka putusan

Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen wajib disampaikan

selambat-lambatnya dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja terhitung

sejak putusan dibacakan.

6. Pelaku usaha yang menerima isi putusan Badan Penyelesaian

Sengketa Konsumen wajib melaksanakan, dalam waktu 7 (tujuh)

hari kerja terhitung sejak menyatakan menerima putusan Badan

Penyelesaian Sengketa Konsumen, jika menolak wajib

mengajukan keberatan dalam waktu 14 (empat belas) hari kerja,

terhitung sejak menerima putusan Badan Penyelesaian Sengketa

Konsumen.

E. Sanksi-Sanksi

Setiap perselisihan mengenai pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku

usaha atas pelaksanaan Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen

yang menerbitkan kerugian bagi konsumen, harus diselesaikan secara perdata.

Dalam Bab IX telah dijelaskan bahwa putusan Badan Penyelesaian Sengketa

Konsumen yang tidak dilaksanakan oleh pelaku usaha dapat dijadikan bukti

permulaan bagi penyidik. Ini berarti bahwa selain hubungan keperdataan

(41)

juga mengenakan sanksi pidana bagi pelanggar Undang-Undang Perlindungan

Konsumen tersebut23.

Sanksi yang dapat dikenakan pada pelaku usaha yang melanggar ketentuan

dapat ditemukan dalam bab XIII Undang-Undang Perlindungan Konsumen,

yang dimulai dari pasal 60 samapai dengan pasal 63.

Sanksi yang dapat dikenakan terdiri dari:

1) Sanksi administratif;

Sanksi administratif merupakan suatu “hak khusus” yang diberikan

oleh Undang-Undang Perlindungan Konsumen kepada Badan

Penyelesaian Sengketa Konsumen atas tugas dan/atau kewenangan yang

dibeikan oleh Undang-Undang Perlindungan Konsumen kepada Badan

Penyelesaian Sengketa Konsumen untuk menyelesaikan persengketaan

konsumen diluar pengadilan24.

Menurut kententuan pasal 60 ayat (2) jo. Pasal 60 ayat (1)

Undang-Undang Perlindungan Konsumen sanksi administratif yang dapat

dijatuhkan oleh Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen adalah berupa

penetapan ganti rugi sampai setinggi-tingginya Rp.200.000.000,00 (dua

ratus juta rupiah) terhadap para pelaku usaha yang melakukan pelanggaran

terhadap/dalam rangka;

23

Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Hukum tentang Perlindungan Konsumen, (Jakarta:PT.Gramedia Pustaka Utama,2000), h.82

24

(42)

32

a) Tidak dilaksanakannya pemberian ganti rugi oleh pelaku usaha kepada

konsumen, dalam bentuk pengembalian uang atau penggantian barang

dan/atau jasa yang sejenis, maupun perawatan kesehatan atau

pemberian santunan atas kerugian yang diderita oleh konsumen;

b) Terjadinya kerugian sebagai akibat kegiatan produksi iklan yang

dilakukan oleh pelaku usaha periklanan;

c) Pelaku usaha yang tidak dapat menyediakan fasilitas jaminan

purnajual, baik dalam bentuk suku cadang maupun pemeliharaannya,

serta pemberian jaminan atau garansi yang telah ditetapkan

sebelumnya; baik berlaku terhadap pelaku usaha yang

memperdagangkan barang dan/atau jasa.

2) Sanksi Pidana Pokok

Sanksi pidana pokok adalah sanksi yang dapat dikenakan dan

dijatuhkan oleh pengadilan atas tuntutan jaksa penuntut umum terhadap

pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku usaha. Undang-Undang

Perlindungan Konsu memungkinkan dilakukannya tuntutan pidana

terhadap pelaku usaha dan/atau pengurusnya. Ketentuan ini jelas

memperlihatkan suatu bentuk pertanggungjawaban pidana yang tidak saja

dapat dikenakan kepada pengurus tetapi juga kepada perusahaan25.

Rumusan Pasal 62 Undang-Undang Perlindungan Konsumen

menentukan bahwa pelaku usaha dan/atau pengurusnya yang melakukan

pelanggaran terhadap:

25

(43)

1. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam;

a) Pasal 8, mengenai barang dan/jasa yang tidak memenuhi standar

yang telah ditetapkan;

b)Pasal 9 dan pasal 10, mengenai informasi yang tidak benar;

c) Pasal 13 ayat (2), mengenai penawaran obat-obatan dan hal-hal yang

berhubungan dengan kesehatan;

d)Pasal 15, mengenai penawaran barang secara paksaan (fisik);

e) Pasal 17 ayat (1) huruf a, b,c, dan e mengenai iklan yang memuat

informasi yang tidak sesuai dengan kenyataan atau menyesatkan;

f) Pasal 17 ayat (2), mengenai peredaran iklan yang dilarang; dan

g) Pasal 18, mengenai pencantuman klausula baku;

Dapat dikenakan sanksi pidana dengan penjara paling lama 5

(lima) tahun atau pidana denda sebanyak Rp.2000.000.000,00 (dua

milyar rupiah)

2. Ketentuan sebagaimana dimaksudkan dalam:

a) Pasal 11, mengenai penjualan secara obral atau lelang;

b) Pasal 12, mengenai penawaran dengan tarif khusus;

c) Pasal 13 ayat (1) mengenai pemberian hadiah secara cuma-cuma;

d) Pasal 14, mengenai penawaran dengan memberikan hadiah melalui

undian;

(44)

34

f) Pasal 17 ayat (1) huruf d dan huruf f, mengenai produksi iklan

yang bertentangan dengan etika, kesusilaan dan ketentuan hukum

yang berlaku;

Dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun

atau pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta

rupiah).

3. Pelanggaran yang mengakibatkan luka berat, sakit berat, cacat

tetap, atau kematian, maka akan diberlakukan ketentuan pidana

yang berlaku secara umum.

3) Sanksi pidana tambahan

Ketentuan pasal 63 Undang-Undang Perlindungan Konsumen

memungkinkan diberikannya sanksi pidana tambahan diluar sanksi

pidana pokok yang dapat dijatuhkan berdasarkan ketentuan pasal 62

Undang-Undang Perlindungan Konsumen.

Sanksi-sanksi pidana tambahan yang dapat dijatuhkan berupa:

a) Perampasan barang tertentu;

b) Pengumuman keputusan hakim;

c) Pembayaran ganti kerugian;

d) Perintah penghentian kegiatan tertentu yang menyebabkan

timbulnya kerugian konsumen;

e) Kewajiban penarikan barang dari peredaran;

(45)

34 A. Perjanjian pada Umumnya

Perikatan adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua

pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu dari pihak

yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu.

Sedangkan suatu perjanjian adalah suatu peristiwa di mana seorang

berjanji kepada orang lain atau di mana dua orang itu saling berjanji untuk

melaksanakan sesuatu hal. Dari peristiwa ini, munculah suatu hubungan antara

dua orang tersebut yang dinamakan perikatan1.

Kitab Undang-undang Hukum Perdata tidak memberikan rumusan,

definisi, maupun istilah “perikatan”. Diawali dengan ketentuan Pasal 1233,

yang menyatakan bahwa “Tiap-tiap Perikatan dilahirkan baik karena

persetujuan, baik karena undang-undang”, ditegaskan bahwa setiap kewajiban

perdata dapat terjadi karena dikehendaki oleh pihak-pihak terkait dalam

perikatan yang secara sengaja dibuat oleh mereka, ataupun karena ditentukan

oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dengan demikian, berarti

perikatan adalah hubungan hukum antara dua orang atau lebih orang (pihak

dalam bidang/lapangan harta kekayaan, yang melahirkan kewajiban pada

salah satu pihak dalam hubungan hukum tersebut.

1

(46)

35

Perjanjian berdasarkan definisi yang diberikan dalam pasal 1313 Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata adalah suatu perbuatan yang mengikatkan

dirinya antara satu orang atau lebih terhadap satu orang lain atau lebih.

Sedangkan menurut Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani pengikatan, seperti

telah diuraikan dalam Bab IV buku III KUH Perdata oleh pasal 1320 KUH

Perdata dirumuskan dalam bentuk2:

1. Kesepakatan yang bebas;

2. Dilakukan oleh pihak yang demi hukum dianggap cakap untuk bertindak;

3. Untuk melakukan suatu prestasi tertentu;

4. Prestasi tersebut haruslah suatu prestasi yang diperkenankan oleh hukum,

kepatuhan, kesusilaan, ketertiban umum dan kebiasaan yang berlaku dalam

masyarakat luas (atau biasa disebut dengan suatu klausa yang halal).

Undang-undang memberikan hak kepada setiap orang untuk secara bebas

membuat dan melaksanakan perjanjian, selama keempat unsur di atas

terpenuhi. Pihak-pihak dalam perjanjian adalah bebas menentukan aturan

main yang mereka kehendaki dalam perjanjian tersebut, dan selanjutnya untuk

melaksanakannya sesuai dengan kesepakatan yang telah tercapai diantara

mereka.

B. Perjanjian Baku pada Umumnya

Perjanjian baku telah dikenal sejak zaman Yunani Kuno. Plato

(423-347SM) pernah memaparkan praktik penjualan makanan yang harganya

ditentukan secara sepihak. Dalam perkembangannya, penentuan secara

2

(47)

sepihak oleh produsen/penyalur produk (penjual), tidak sekadar masalah harga

tetapi sudah mencakup syarat-syarat yang lebih detail3.

Setelah terjadi revolusi industri di Eropa Barat pada abad ke-19,

kebutuhan perjanjian baku makin berkembang. Jumlah transaksi perdagangan

makin meningkat, konsentrasi modal makin besar, sehingga penggunaan

kontrak-kontrak baku makin mendesak. Pada abad ke-20 pembakuan

syarat-syarat perjanjian makin meluas. Terjadilah penumpukan modal besar pada

kelompok golongan ekonomi kuat yang disebut kapitalis4.

Penggunaan perjanjian baku sudah dikenal secara umum oleh masyarakat

dalam kehidupan sehari, hari baik untuk pemasangan instalasi listrik, telepon,

air maupun pembukaan rekening di bank. Walaupun tidak diatur secara

khusus dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata, perjanjian baku telah

menjadi salah satu dari jenis-jenis perjanjian yang dikenal dalam sistem

hukum Indonesia.

Perjanjian baku sebagai perjanjian sepihak di mana satu pihak hanya

menuntut haknya saja dan membebaskan diri dari tanggungjawabnya dan

pihak lain harus melaksanakan kewajibannya saja sementara hak-haknya

dihilangkan. Pada perjanjian yang sepihak selalu timbul kewajiban-kewajiban

hanya bagi satu dari para pihak.

3

Adrian Sutendi, Tanggung Jawab Produk dan Tinjauan Hukum Publik dan Perdata, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2008),h.46

4

(48)

37

Meskipun sifatnya sepihak namun Perjanjian baku sudah diterima dalam

hubungan hukum antar subyek hukum terutama sangat dibutuhkan dalam

hubungan hukum antara produsen dalam menjual produksinya dan atau

jasanya memerlukan transaksi yang cepat, efektif, dan efisien sehingga

nampak jelas bahwa yang diutamakan adalah prinsip ekonomi.

C. Definisi Perjanjian Baku

Perjanjian Baku berasal dari dua kata yaitu kata “Perjanjian” dan kata

“Baku” yang menurut KBBI masing-masing berarti;

Perjanjian adalah persetujuan (tertulis atau dengan lisan) yang dibuat oleh dua pihak atau lebih, masing-masing bersepakat dalam menaati apa yang disebut dalam persetujuan itu5.

Baku adalah tolak ukur yang berlakku untuk kuantitas atau kualitas yang ditetapkan berdasarkan kesepakatan;standar6;

Menurut Prof.Sutan Remi Sjahdeni, S.H mengemukakan Perjanjian

baku adalah perjanjian yang hampir seluruh klausul-klausulnya sudah

dibakukan oleh pemakainya dan pihak yang lain pada dasarnya tidak

mempunyai peluang untuk merundingkan atau meminta perubahan7.

Menurut Prof. Abdulkadir Muhammad, Perjanjian Baku artinya

perjanjian yang menjadi tolak ukur yang dipakai sebagai patokan atau

pedoman bagi setiap konsumen yang mengadakan hubungan hukum dengan

5

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga, (Jakarta:Balai Pustaka, 2002), h.458

6

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia………., h.94

7

(49)

pengusaha. Yang dibukukan dalam perjanjian baku ialah meliputi model,

rumusan dan ukuran8.

Menurut Ahmadi Miru dan Sutarman Yudo, Perjanjian baku tetap

merupakan perjanjian yang mengikat para pihak yang menandatanganinya,

walaupun harus diakui bahwa klausula yang terdapat dalam perjanjian baku

banyak mengalihkan beban tanggung gugat dari pihak perancang perjanjian

baku kepada pihak lawannya, namun setiap kerugian yang timbul di kemudian

hari akan tetap ditanggung oleh para pihak yang bertanggung jawab

berdasarkan kalusula perjanjian tersebut, kecuali jika klausula tersebut

merupakan klausula yang dilarang berdasarkan pasal 18 Undang-Undang

Perlindungan Konsumen9.

Menurut Boyke A Sidharta, S.H, Perjanjian baku adalah perjanjian yang

menjadi standar bagi setiap transaksi yang dibuat oleh dan diantara pihak yang

dominan dengan pihak lain yang seluruh atau sebagian besar substansinya

telah ditentukan sebelumnya secara sepihak demi meletakkan kepastian

hukum, keamanan dan kontrol dipihak yang dominan10.

Menurut Munir Fuadi, Kontrak Baku adalah sutu kontrak tertulis yang

dibuat hanya oleh salah satu pihak dalam kontrak tersebut bahkan seringkali

kontrak tersebut sudah tercetak (boilerplate) dalam bentuk formulir-formulir

8

Departemen Perindustrian dan Perdagangan RI, Pemberdayaan Hak-Hak Konsumen di Indonesia, (Jakarta:Direktorat Perlindungan Konsumen,2001), h.183

9

Ahmadi Miru dan Sutarman Yudo, Hukum Perlindungan………., h.118

10

(50)

39

tertentu oleh salah satu pihak, yang dalam hal ini ketika kontrak tersebut di

tandatangani umumnya para pihak hanya mengisikan data-data informatif

tertentu saja dengan sedikit atau tanpa perubahan dalam klausula-klausulanya,

dimana pihak lain dalam kontrak tersebut tidak mempunyai kesempatan atau

hanya sedikit kesempatan untuk menegosiasi atau mengubah

klausula-klausula yang sudah dibuat oleh salah satu pihak tersebut, sehingga biasanya

kontrak baku sangat berat sebelah11.

D. Ciri-Ciri Perjanjian Baku

Sesuai dengan perkembangan kebutuhan masyarakat, maka ciri-ciri

perjanjian baku mengikuti dan menyesuaikan dengan perkembangan tuntutan

masyaratkat. Ciri-ciri tersebut yakni12;

1. Bentuk Perjanjian Tertulis

Yang dimaksud dengan perjanjian ialah naskah perjanjian keseluruhan

dan dokumen bukti perjanjian yang memuat syarat-syarat baku. Kata-kata

atau kalimat pernyataan kehendak yang termuat dalam syarat-syarat baku

dibuat secara tertulis berupa akta otientik atau akta di bawah tangan.

Karena dibuat secara tertulis maka, perjanjian yang memuat syarat-syarat

baku itu menggunakan kata-kata atau susunan kalimat yang teratur dan

rapi. Jika huruf yang dipakai kecil-kecil kelihatan isinya sangat padat dan

sulit dibaca dalam waktu singkat. Contoh perjanjian baku ialah perjanjian

jual beli, perjanjian polis asuransi, charter party, kredit dengan jaminan

11

Munir Fuadi, Hukum Kontrak Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis, Buku Kedua (Bandung: PT.Citra Aditya Bakti, 2003), h.76

12

(51)

sedangkan contoh dokumen bukti perjanjian ialah konosemen, nota

pesanan, nota pembelian, tiket pengangkutan.

2. Format Perjanjian Dibakukan

Format perjanjian meliputi model, rumusan dan ukuran. Format ini

dibakukan artinya sudah ditentukan model, rumusan, dan ukurannya,

sehingga tidak dapat diganti, diubah atau dibuat dengan cara lain karena

sudah dicetak. Model perjanjian dapat berupa blanko, naskah perjanjian

lengkap, atau blanko formulir yang dilampiri dengan naskah syarat-syarat

perjanjian yang memuat syarat-syarat baku. Contoh format perjanjian baku

ialah polis asuransi, akta pejabat pembuat akta tanah, perjanjian sewa beli,

penggunaan kartu kredit dan sertifikat obligasi.

3. Syarat-Syarat Perjanjian Ditentukan oleh Pengusaha

Syarat-syarat perjanjian yang merupakan pernyataan kehendak

ditentukan sendiri oleh pengusaha atau organisasi pengusaha. Karena

syarat-syarat perjanjian itu dimonopoli oleh pengusaha, maka sifatnya

cenderung lebih menguntungkan pengusaha daripada konsumen. Hal ini

tergambar dari klausula eksonerasi berupa pembebasan tanggung jawab

pengusaha, tanggung jawab tersebut menjadi beban konsumen. Penentuan

secara sepihak oleh pengusaha dapat diketahui melalui format perjanjian

yang sudah siap pakai, jika konsumen setuju, maka di tanda tanganilah

(52)

41

4. Konsumen Hanya Menerima atau Menolak

Jika konsumen bersedia menerima syarat-syarat perjanjian yang

disodorkan kepadanya, maka ditandatanganilah perjanjian tersebut.

Penandatanganan itu menunjukan bahwa konsumen bersedia memikul

beban tanggung jawab walaupun mungkin ia tidak bersalah. Jika

konsumen tidak setuju dengan syarat-syarat perjanjian yang disodorkan

itu, ia tidak boleh menawar syarat yang sudah dibakukan itu. Menawar

syarat-syarat baku berarti menolak perjanjian.

5. Penyelesaian Sengketa Melalui Musyawarah/Peradilan

Syarat-syarat perjanjian terdapat standar baku mengenai penyelesaian

sengketa. Jika terjadi sengketa dalam pelaksanaan perjanjian, maka

penyelesaiannya dilakukan melalui arbitrase. Tetapi jika ada pihak yang

menghendaki, tidak tertutup kemungkinan penyelesaian sengketa melalui

Pengadilan Negeri.

6. Perjanjian Baku Menguntungkan Pengusaha

Kenyataan menunjukkan bahwa kencenderungan perkembangan

perjanjian ialah dari lisan ke bentuk tulisan, dari perjanjian tertulis biasa ke

perjanjian tertulis yang dibakukan, syarat-syarat baku dimuat lengkap

dalam naskah perjanjian atau ditulis sebagai lampiran yang tidak terpisah

dengan formulir perjanjian, atau ditulis dalam dokumen bukti perjanjian.

Dengan demikian, dapat diketahui bahwa perjanjian baku yang dirancang

(53)

a. Efisiensi biaya,waktu dan tenaga;

b. Praktis karena sudah tersedia naskah yang dicetak berupa formulir atau

blanko yang siap diisi dan ditandatangani;

c. Penyelesaian cepat karena konsumen hanya menyetujui dan atau

menandatangani perjanjian yang disodorkan kepadanya;

d. Homogenitas perjanjian yang dibuat dalam jumlah yang banyak.

E. Jenis Perjanjian dengan Klausula Baku

Pada prakteknya perjanjian baku yang terdapat di masyarakat dibedakan

dalam beberapa jenis, sebagai berikut13;

a. Perjanjian baku sepihak, adalah perjanjian yang isinya ditentukan oleh

pihak yang kedudukannya kuat dalam perjanjian tersebut. Pihak yang kuat

dalam hal ini ialah pihak pelaku usaha, yang lazimnya memiliki posisi

kuat dibandingkan pihak konsumen.

b. Perjanjian baku yang ditetapkan oleh pemerintah adalah perjanjian baku

yang isinya ditentukan oleh pemerintah terhadap perbuatan hukum

tertentu. Dalam bidang agraria misalnya, dapat dilihat formulir-formulir

perjanjian sebagaimana yang diatur dalam SK Menteri Dalam Negeri

tanggal 6 Agustus 1977 mengenai akta jual-beli model 1156727 dan akta

hipotik model 1945055.

c. Perjanjian baku yang ditentukan di lingkungan notaris atau advokat adalah

perjanjian yang konsepnya sejak semula sudah disediakan untuk

memenuhi permintaan dari anggota masyarakat yang meminta bantuan

13

(54)

43

notaris atau advokat yang bersangkutan, yang dalam kepustakaan Belanda

disebut dengan “contract model”.

F. Perjanjian yang Dilarang

Jenis-jenis perjanjian yang dilarang oleh Undang-undang Anti monopoli

diatur dalam pasal 4 sampai dengan Pasal 16. Dilarangnya jenis-jenis

perjanjian sebagaimana diuraikan dibawah ini karena dapat mengakibatkan

terjadinya praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. adapun

perjanjian tersebut adalah;

1. Perjanjian yang bersifat oligopoli, dari rumusan Pasal 4 dari

Undang-undang Anti Monopoli terlihat bahwa suatu perjanjian yang menimbulkan

oligopoli dilarang jika terpenuhi unsur-unsur sebagai berikut14:

a. Adanya suatu perjanjian

b. Perjanjian tersebut dibuat antara pelaku usaha

c. Tujuan dibuatnya perjanjian tersebut adalah untuk secara

bersama-sama melakukan penguasaan produksi dan atau pemasaran barang

atau jasa

d. Perjanjian tersebut dapat mengakibatkan terjadinya praktek

monopoli dan atau persaingan curang.

e. Praktek monopoli atau persaingan curang patut diduga telah terjadi

jika dua atau tiga pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha

menguasai lebih dari 75% pangsa pasar dari satu jenis barang atau

jasa.

14

(55)

Jadi dapat dikatakan bahwa pasar oligopoli adalah pasar yang dikuasai

oleh beberapa produsen saja (untuk produksi satu jenis barang). Bagi pihak

y

Referensi

Dokumen terkait

Kebutuhan sistem dalam pengerjaan Tugas Akhir ini adalah sebuah pesawat mini RC sebagai plant , Inertial Measurement Unit board untuk mengetahui orientasi

Program Director yang berada dalam devisi program, telah mampu bekerja sama dengan devisi lain (seperti devisi teknik, devisi marketing, devisi administrasi dan umum, serta para

$. 2ross hedging! melakukan lindung nilai posisi terbuka pada satu mata uang dengan melakukan lindung nilai pada mata uang lainnya yang amat erat korelasinya dengan mata

Pengabdian kepada Masyarakat (PkM) ini bertjuan untuk meningkatkan wawasan dan keterampilan guru-guru mata pelajaran PPKn dalam mengembangkan Media Pembelajaran

Dari hasil analisa yang dilakukan dengan memvariasikan beban yang diberikan pada lengan ayun mesin gurdi maka dapat dinyatakan bahwa beban yang diberikan pada

Wawancara pertama dilakukan terhadap seorang narasumber yang dianggap memiliki pengetahuan tentang pengelolaan air di Desa Tajuk, kemudian metode snowballing digunakan

Karena itu penyerangan Mongol di Irak menjadikan Mesir sebagai ka’bah peradaban Islam di era dinasti Mamalik sebagaimana dikatakan Ibnu Khaldun bahwa

Secara umum Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan pengaruh strategi pembelajaran tipe Card Sort terhadap pemerolehan belajar peserta didik kelas IV