• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan

14 BAB II

TINJAUAN HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN A. Pengertian Hukum Perlindungan Konsumen

Hukum Konsumen dan Hukum Perlindungan Konsumen merupakan dua bidang hukum yang sulit di pisahkan dan ditarik batasannya. Pada intinya hukum perlindungan konsumen merupakan

bagian dari hukum konsumen dan tidak dapat dipisahkan1. Dalam

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Pasal 1 ayat (1) tentang Perlindungan Konsumen, menyebutkan bahwa “Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen”.

Menurut Az. Nasution Hukum Konsumen adalah sebagai

keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah yang mengatur hubungan dan masalah penyediaan penggunaan produk (barang dan/jasa) antara penyedia dan penggunanya dalam kehidupan bermasyarakat. Sedangkan hukum perlindungan konsumen adalah keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah yang mengatur dan melindungi konsumen dalam hubungannya dengan masalah penyediaan dan pengunaan produk (barang dan/jasa)

antara penyedia dan penggunaanya dalam kehidupan bermasyarakat2.

1

Az. Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, (Jakarta: Diadit Media, 2007), h.20-21

2

Menurut N.H.T Siahaan sesungguhnya baik istilah hukum konsumen dan hukum perlindungan konsumen tidak perlu dibedakan,

dengan dua alasan/pertimbangan yaitu3:

1. Jika membicarakan hukum dalam hubungannya dengan konsumen atau

hukum dalam hubungannnya dengan perlindungan konsumen, maka keduanya tentu tidak luput dari pembahasan mengenai hak-hak konsumen, kepentingannya, upaya-upaya pemberdayaannya, atau kesetaraannya dalam hukum dengan pelaku usaha.

2. Seluruh kaidah hukum di negeri ini dapat hadir dan tunduk dibawah

sebuah payung hukum dasar yang bersumber dari Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945. Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 merupakan segala sumber hukum nasional, yang secara filosofis memberikan perlindungan keadilan bagi semua bangsa dan golongan di negeri ini termasuk dalam hukum konsumen. Jadi pada hakikatnya hukum konsumen dan hukum perlindungan konsumen tidak perlu dibedakan.

Perlindungan hukum kepada konsumen ini dapat berasal dari lingkup berbagai disiplin hukum, diantaranya Hukum Privat (Hukum Perdata), maupun dari Hukum Publik (Hukum Pidana dan Hukum Administrasi Negara). Keterlibatan berbagai disiplin hukum ini mempertegas kedudukan hukum perlindungan konsumen berada dalam kajian hukum ekonomi. Hal ini sesuai dengan sifat hukum ekonomi, yang

3

N.H.T. Siahaan, Hukum Konsumen : Perlindungan Konsumen dan Tanggung Jawab Produk, (Jakarta: Panta Rei, 2005) , h.33

16

tidak hanya melibatkan aspek hukum perdata namun pada saat yang

bersamaan juga melibatkan aspek hukum publik4.

B. Asas dan Tujuan Perlindungan Konsumen

Sudikno Mertokusumo mendefinisikan asas hukum bukan sebagai hukum konkrit merupakan pikiran dasar yang umum dan abstrak atau merupakan latar belakang peraturan konkrit yang terdapat dalam dan dibelakang setiap sistem hukum yang terjelma dalam peraturan

perundang-undangan dan putusan hakim yang merupakan hukum positif5 dan dapat

ditemukan dengan mencari sifat-sifat atau ciri-ciri yang umum dalam

peraturan konkrit tersebut6.

Pada penjelasan pasal 2 Undang-Undang Perlindungan Konsumen dijelaskan tentang asas-asas dalam perlindungan Konsumen. Perlindungan Konsumen diselenggarakan sebagai usaha bersama berdasarkan 5 asas yang relevan dalam pembangunan nasional yaitu:

1. Asas manfaat dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala upaya dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan.

4

Ahmadi Miru, Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2000), h.2-3

5

Ius constitutum adalah hukum positif. Ius constitutummerupakan hukum yang dibentuk dan berlaku dalam suatu masyarakat negara pada suatu saat. Soerjono Soekanto, Purnadi Purbacaraka, Aneka Cara Pembedaan Hukum, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1994), h.5

6

Yusuf Shofie, Pelaku Usaha, Konsumen dan Tindak Pidana Korporasi, cet.1 (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2002), h.25

2. Asas keadilan dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil.

3. Asas keseimbangan dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara

kepentingan konsumen, pelaku usaha dan pemerintah dalam arti materiil ataupun spiritual.

4. Asas keamanan dan keselamatan konsumen dimaksudkan untuk

memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan.

5. Asas kepastian hukum7 dimaksudkan agar baik pelaku usaha maupun

konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam

penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum.

Selain merumuskan asas dalam Perlindungan Konsumen, Undang-undang

Perlindungan Konsumen juga merumuskan tujuan Perlindungan Konsumen yang terdapat pada pasal 3 Undang-undang Perlindungan Konsumen, yaitu;

1. Meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk

melindungi diri;

7

Perjanjian sebagai figur hukum harus mengandung kepastian hukum. Kepastian ini terungkap dari kekuatan mengikatnya perjanjian, yaitu sebagai undang-undang bagi yang membuatnya. Salim H.S, Hukum Kontrak Teori & Teknik Penyusunan Kontrak (Jakarta:Sinar Grafika,2013), h.14

18

2. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara

menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa;

3. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan dan

menuntut hak-haknya sebagai konsumen;

4. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur

kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi;

5. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan

konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha;

6. Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan

usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen:

C. Hak dan Kewajiban Konsumen dan Pelaku Usaha

1. Hak dan Kewajiban Konsumen

Menurut ketentuan pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen memiliki hak sebagai berikut:

a. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam

mengkonsumsi barang dan/atau jasa;

b. Hak untuk memilih barang dan/jasa serta mendapatkan barang

dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;

c. Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa;

d. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau

jasa yang dipergunakan;

e. Hak untuk mendapatkan advokasi perlindungan konsumen secara

patut;

f. Hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen;

g. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta

tidak diskriminatif;

h. Hak untuk mendapatkan konpensasi, ganti rugi, dan/atau penggantian,

apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;

i. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan perundang-undangan lainnya.

Selain memperoleh hak tersebut, sebagai balance, konsumen juga

mempunyai diwajibkan untuk;

a. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian

atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan;

b. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau

jasa;

c. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang telah disepakati;

d. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan

20

2. Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha

Undang-undang dalam Perlindungan Konsumen juga mengatur mengenai hak dan kewajiban pelaku usaha. Hal ini karena pada dasarnya hubungan antara konsumen dengan pelaku usaha memiliki saling ketergantungan satu sama lain dan saling membutuhkan, sehingga sudah seharusnya kedudukan konsumen dan pelaku usaha berada pada posisi yang seimbang.

Namun pada kenyataannya, kedudukan konsumen seringkali berada

pada posisi yang lemah bila dibandingkan dengan pelaku usaha8. Dalam

undang-undang Perlindungan Konsumen hak-hak pelaku usaha diatur dalam Pasal 6 Undang-Undang Perlindungan Konsumen yaitu;

a. Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan

mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;

b. Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen

yang beritikad tidak baik;

c. Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian

hukum sengketa konsumen;

d. Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa

kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;

8

Zumrotin K. Susilo, Penyambung Lidah Konsumen, cet.1, (Jakarta: Puspa Suara, 1996), h.11

e. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

Sedangkan kewajiban-kewajiban bagi pelaku usaha diatur dalam Pasal 7 Undang-Undang Perlindungan Konsumen yakni;

a. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;

b. Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi

dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;

c. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta

tidak diskriminatif;

d. Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau

diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;

e. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau

mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan

dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang

diperdagangkan;

f. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian

akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;

g. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang

dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.

22

D. Penyelesaian Sengketa

Menurut Undang-Undang Perlindungan Konsumen Pasal 45 ayat 1, setiap konsumen yang dirugikan bisa menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada dilingkungan peradilan umum.

Ada empat kelompok penggugat yang bisa menggugat atas pelanggaran yang dilakukan pelaku usaha sebagai berikut;

1. Seorang konsumen yang dirugikan atau ahli waris yang bersangkutan.

2. Sekelompok konsumen yang mempunyai kepentingan yang sama.

3. Lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang

memenuhi syarat, yaitu berbentuk badan hukum atau yayasan, yang dalam anggaran dasar menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan

didirikannya organisasi tersebut adalah untuk kepentingan

perlindungan konsumen dan telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan aggaran dasarnya.

4. Pemerintah dan atau instansi terkait yang jika barang dan/atau jasa

yang dikonsumsi atau dimanfaatkan mengakibatkan kerugian materi yang besar dan/atau korban yang tidak sedikit.

Hal ini hanya merupakan aturan umum. Karena itu, dalam ketentuan pasal 46 ayat (2) ditentukan lebih lanjut bahwa gugatan yang diajukan sekelompok konsumen, lembaga perlindungan konsumen

swadaya masyarakat, atau pemerintah, sebagaimana dimaksud pada huruf

b, c, dan huruf d diatas, hanya dapat diajukan ke peradilan umum9.

Menurut Undang-Undang Perlindugan Konsumen Pasal 45 ayat 2 “Penyelesaian sengketa konsumen dapat ditempuh melalui pengadilan atau diluar pengadilan berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang bersengketa”. Berdasarkan ketentuan ini, bisa dikatakan bahwa ada dua bentuk penyelesaian sengketa konsumen yaitu melalui jalur pengadilan

ataupun diluar jalur pengadilan10.

a. Penyelesaian Sengketa di Pengadilan

Beberapa kasus sengketa di bidang perumahan, seperti tidak direalisasinya fasos dan fasum, konsumen sebagai korban bersifat massal. Apabila diselesaikan melalui pengadilan dengan prosedur konvensional, menjadi tidak praktis. Jalan keluarnya adalah dengan mekanisme gugatan perwakilan. Di mana gugatan secara formal cukup diwakili beberapa korban sebagai wakil kelas. Namun apabila gugatan dikabulkan dan telah mempunyai kekuatan hukum tetap, korban lain yang secara formal tidak ikut menggugat dapat langsung

menuntut ganti rugi berdasarkan putusan pengadilan tersebut11.

9

Gunawan Widjaja&Ahmad Yani, Hukum tentang Perlindungan Konsumen, (Jakarta:Gramedia,2000), h.75

10

Abdul Halim Barkatullah, Hak-hak Perlindungan………., h.85

11

Sudaryatmo, Kiat Menghindari Perumahan Bermasalah, (Jakarta: Piramedia, 2004), h.40

24

Dari peraturan perundang-undangan yang ada, untuk pertama kali

secara eksplisit kata class action terdapat dalam Undang-Undang

Perlindungan Konsumen. Dalam penjelasan pasal 46 ayat (1) huruf b disebutkan, undang-undang ini mengakui gugatan kelompok atau

class action. Gugatan kelompok atau class action harus diajukan oleh konsumen yang benar-benar merasa dirugikan dan dapat dibuktikan secara hukum, salah satunya adalah bukti transaksi.

Selain Undang-Undang Perlindungan Konsumen, gugatan class

action juga diatur dalam Undang-Undang Jasa Konstruksi. Dalam pasal 38 ayat (1) huruf c disebutkan, masyarakat yang dirugikan akibat penyelenggaraan pekerjaan konstruksi berhak mengajukan gugatan ke Pengadilan secara kelompok orang tidak dengan kuasa

melalui gugatan perwakilan12.

Selain itu ketentuan mengenai pembuktian berdasarkan diatur dalam pasal 163 HIR dan pasal 1865 KUH Perdata dapat dikatakan bahwa setiap pihak mendalilkan suatu hak, (yang dalam hal ini, konsumen sebagai pihak yang dirugikan), maka pihak konsumen

harus dapat membuktikan bahwa13:

1. Konsumen secara aktual telah mengalami kerugian;

12

Sudaryatmo, Kiat Menghindari Perumahan,………., h.41

13

Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Hukum tentang Perlindungan Konsumen, (Jakarta:Gramedia,2000), h.68-69

2. Konsumen juga harus membuktikan bahwa kerugian tersebut sebagai akibat dari penggunaan, pemanfaatan, atau pemakaian barang dan/atau jasa tertentu yang tidak layak;

3. Bahwa ketidaklayakan dari penggunaan, pemanfaatan, atau

pemakaian dari barang dan/atau jasa tersebut merupakan tanggung jawab dari pelaku usaha tertentu;

4. Konsumen tidak berkontribusi, baik secara langsung maupun tidak

langsung atas kerugian yang dideritanya tersebut.

Dua pasal yang mengatur beban pembuktian pidana dan perdata atas kesalahan pelaku usaha dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen, yaitu dalam pasal 22 dan pasal 28, kewajiban pembuktian tersebut “dibalikan” menjadi beban dan tanggung jawab dari pelaku usaha sepenuhnya. Dalam hal demikian selama pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut bukan merupakan kesalahan yang terletak pada pihaknya, maka demi hukum pelaku usaha bertanggung jawab dan wajib mengganti kerugian yang diderita tersebut14.

Usaha-usaha penyelesaian sengketa secara cepat terhadap tuntutan ganti kerugian oleh konsumen terhadap produsen telah dilakukan di Indonesia. Hal ini dapat dilihat dalam Undang-undang Perlindungan Konsumen yang memberikan kemungkinan konsumen untuk mengajukan penyelesaiannya sengketanya diluar pengadilan, yaitu

14

26

melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, yang putusannya dinyatakan final dan mengikat (Pasal 54 Ayat 3 Undang-Undang Perlindungan Konsumen), sehingga tidak dikenal lagi upaya hukum banding maupun kasasi dalam Badan Penyelesaian Sengketa

Konsumen15.

Penyelesaian sengketa dalam dunia bisnis diharapkan sedapat mungkin tidak merusak hubungan bisnis selanjutnya dengan siapa ia pernah terlibat suatu sengketa. Hal ini tentu sulir ditemukan apabila para pihak yang bersangkutan membawa sengketanya ke pengadilan, karena proses penyelesaian sengketa melalui pengadilan (litigasi), akan berakhir dengan kekalahan salah satu pihak dan kemenangan dipihak lainnya. Disamping itu secara umum dapat dikemukakan berbagai kritikan terhadap penyelesaian sengketa melalu pengadilan,

yaitu karena16:

1. Penyelesaian Sengketa Melalui Peradilan Sangat Lambat;

2. Biaya Perkara yang Mahal;

3. Pengadilan Pada Umumnya Tidak Responsif;

4. Putusan Pengadilan Tidak Menyelesaikan Masalah;

5. Kemampuan Para Hakim yang Bersifat Generalis.

15

Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan………., h.239

16

Yahya Harahap, Beberapa Tinjauan Mengenai Sistem Peradilan dan Penyelesaian Sengketa, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1997), h.239-247

Diantara sekian banyak kelemahan dalam penyelesaian sengketa melalui pengadilan tersebut, yang termasuk banyak dikeluhkan oleh pencari keadilan adalah lamanya penyelesaian perkara, karena pada umumnya para pihak yang mengajukan perkaranya ke pengadilan mengharapkan penyelesaian yang cepat, lebih-lebih kalau yang

terlibat dalam perkara tersebut adalah dari kalangan dunia usaha17.

b. Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan

Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) adalah lembaga yang memeriksa dan memutus sengketa konsumen, yang bekerja seolah-olah sebagai suatu pengadilan. Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen dibentuk oleh pemerintah di Daerah Tingkat II dengan susunan yang terdiri dari satu orang ketua merangkap anggota, satu wakil ketua merangkap anggota, serta sembilan sampai lima belas anggota. Anggota Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen terdiri dari unsur pemerintah, konsumen dan pelaku usaha yang masing-masing diwakili setidaknya tiga orang dan sebanyak-banyaknya lima orang yang ditetapkan oleh Menteri Perindustrian dan Perdagangan. Putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen merupakan bukti permulaan yang cukup bagi penyidik untuk melakukan penyidikan, dan dapat dimintakan eksekusinya ke Pengadilan Negeri di wilayah

tempat konsumen yang bersangkutan18.

17

Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan ………., h.237

18

28

Uraian mengenai kelembagaan dan keanggotaan, tugas dan wewenang serta penyelesaian sengketa oleh Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen dapat ditemukan secara khusus dalam Bab XI Undang-Undang Perlindungan Konsumen, yang dimuat dari pasal 49

sampai pasal 5819 dan diatur lebih lanjut pada Keputusan Menteri

Nomor 350/MPP/KEP/2001 tentang pelaksanaan tugas dan wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen.

Pada dasarnya penyelesaian sengketa yang dilakukan di luar pengadilan dapat dilakukan secara damai atau melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK). Yang dimaksud penyelesaian sengketa secara damai yaitu penyelesaian yang dilakukan oleh kedua belah pihak baik dengan ataupun tanpa bantuan pihak ketiga, untuk mencapai suatu kesepakatan yang menguntungkan dan tanpa yang merasa dirugikan atas kesepakatan tersebut. Biasanya perundingan perdamaian dapat dibantu oleh pihak ketiga lainnya, yang dapat berfungsi sebagai mediator, misalnya Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI). Cara penyelesaian sengketa damai ini maka diharapkan adanya suatu penyelesaian sengketa secara mudah, murah dan cepat. Dasar hukum dari penyelesaian sengketa secara damai diatur dalam Buku III, Bab 18, pasal 1851-1854 KUHPerdata

19

mengenai perdamaian/dading20 dan pasal 45 ayat (2)jo. Pasal 47

Undang-Undang Perlindungan Konsumen21.

Mekanisme penyelesaian sengketa di Badan Penyelesaian Sengkera Kosumen, baik secara konsiliasi, mediasi atau arbitrase dilakukan melalui majelis, dengan tahapan/tata cara penyelesaian

sengketa sebagai berikut22:

1. Sidang pertama dilaksanakan pada hari kerja ke 7 (tujuh) terhitung

sejak diterimanya permohonan pengaduan secara benar dan lengkap.

2. Bilamana dalam sidang I (pertama), konsumen dan pelaku usaha,

bukti-bukti yang ada dianggap cukup, dan tidak memerlukan keterangan tambahan saksi dan saksi ahli, maka majelis wajib memproses dan memberi putusan, selambat-lambatnya dalam waktu 21 (dua puluh satu) hari, terhitung sejak diterimanya.

3. Tetapi jika konsumen dan pelaku usaha tidak hadir pada sidang ke

I (pertama), maka majelis memanggil dan bila perlu dengan bantuan penyidik agar hadir pada sidang ke II (kedua), yang dilaksanakan selambat-lambatnya pada hari kerja ke 5 (lima) setelah sidang ke I (pertama).

20

Perdamaian/Dading adalah suatu perjanjian dengan mana kedua belah pihak, dengan menyerahkan, menjanjikan atau menahan suatu barang, mengakhiri suatu perkara yang sedang bergantung atau pun mencegah timbulnya suatu perkara. (Lihat Pasal 1851 KUH Perdata)

21

Az Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen……….,h.233-234

22

BPSK DKI Jakarta, Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, (Jakarta : BPSK DKI Jakarta, 2010), h.19

30

4. Sidang ke II (kedua), jika konsumen tidak hadir, maka gugatannya gugur demi hukum, sebaliknya, jika pelaku usaha tidak hadir, maka gugatan konsumen dikabulkan tanpa hadirnya pelaku usaha.

5. Bilamana dalam sidang berikutnya, yaitu sidang untuk mendengar

putusan, konsumen dan pelaku usaha, tidak hadir maka putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen wajib disampaikan selambat-lambatnya dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak putusan dibacakan.

6. Pelaku usaha yang menerima isi putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen wajib melaksanakan, dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak menyatakan menerima putusan Badan

Penyelesaian Sengketa Konsumen, jika menolak wajib

mengajukan keberatan dalam waktu 14 (empat belas) hari kerja, terhitung sejak menerima putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen.

E. Sanksi-Sanksi

Setiap perselisihan mengenai pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku usaha atas pelaksanaan Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen yang menerbitkan kerugian bagi konsumen, harus diselesaikan secara perdata. Dalam Bab IX telah dijelaskan bahwa putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen yang tidak dilaksanakan oleh pelaku usaha dapat dijadikan bukti permulaan bagi penyidik. Ini berarti bahwa selain hubungan keperdataan antara pelaku usaha dan konsumen, Undang-Undang Perlindungan Konsumen

juga mengenakan sanksi pidana bagi pelanggar Undang-Undang Perlindungan

Konsumen tersebut23.

Sanksi yang dapat dikenakan pada pelaku usaha yang melanggar ketentuan dapat ditemukan dalam bab XIII Undang-Undang Perlindungan Konsumen, yang dimulai dari pasal 60 samapai dengan pasal 63.

Sanksi yang dapat dikenakan terdiri dari:

1) Sanksi administratif;

Sanksi administratif merupakan suatu “hak khusus” yang diberikan

oleh Undang-Undang Perlindungan Konsumen kepada Badan

Penyelesaian Sengketa Konsumen atas tugas dan/atau kewenangan yang dibeikan oleh Undang-Undang Perlindungan Konsumen kepada Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen untuk menyelesaikan persengketaan

konsumen diluar pengadilan24.

Menurut kententuan pasal 60 ayat (2) jo. Pasal 60 ayat (1) Undang-Undang Perlindungan Konsumen sanksi administratif yang dapat dijatuhkan oleh Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen adalah berupa penetapan ganti rugi sampai setinggi-tingginya Rp.200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) terhadap para pelaku usaha yang melakukan pelanggaran terhadap/dalam rangka;

23

Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Hukum tentang Perlindungan Konsumen, (Jakarta:PT.Gramedia Pustaka Utama,2000), h.82

24

32

a) Tidak dilaksanakannya pemberian ganti rugi oleh pelaku usaha kepada

konsumen, dalam bentuk pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis, maupun perawatan kesehatan atau pemberian santunan atas kerugian yang diderita oleh konsumen;

b) Terjadinya kerugian sebagai akibat kegiatan produksi iklan yang

dilakukan oleh pelaku usaha periklanan;

c) Pelaku usaha yang tidak dapat menyediakan fasilitas jaminan

purnajual, baik dalam bentuk suku cadang maupun pemeliharaannya, serta pemberian jaminan atau garansi yang telah ditetapkan

sebelumnya; baik berlaku terhadap pelaku usaha yang

memperdagangkan barang dan/atau jasa.

2) Sanksi Pidana Pokok

Sanksi pidana pokok adalah sanksi yang dapat dikenakan dan dijatuhkan oleh pengadilan atas tuntutan jaksa penuntut umum terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku usaha. Undang-Undang Perlindungan Konsu memungkinkan dilakukannya tuntutan pidana terhadap pelaku usaha dan/atau pengurusnya. Ketentuan ini jelas

Dokumen terkait