• Tidak ada hasil yang ditemukan

PIDANA DAN DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI

B. Tindak Pidana Bersama-sama dan Berkelanjutan di Dalam Tindak Pidana Korupsi Pidana Korupsi

1. Penyertaan dalam Tindak Pidana Korupsi

Di dalam suatu Tindak Pidana Korupsi dikenal adanya perbuatan penyertaan (deelneming), yang mana korupsi tersebut dilakukan secara bersama-sama guna memperoleh keuntungan bagi pihak-pihak yang melakukannya,

sehingga dampaknya akan menyebabkan kerugian keuangan/perekonomian pada negara.

Penyertaan di dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yaitu Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 disebut sebagai pembantuan. Adapun Pasal 15 berbunyi sebagai berikut :

“Setiap orang yang melakukan percobaan, pembantuan atau pemufakatan

jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai

dengan Pasal 14.”

Ketentuan yang terdapat di dalam Pasal 15 tersebut, sebenarnya terdiri dari ketentuan-ketentuan sebagai berikut :56

a. setiap orang yang melakukan Percobaan (Pasal 53 ayat (1) KUHP) untuk melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, pasal 5 sampai dengan Pasal 14 dipidana dengan pidana yang sama dengan setiap orang yang melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14;

b. setiap orang yang melakukan pembantuan (Pasal 56 KUHP) untuk melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14 dipidana dengan pidana yang sama dengan setiap orang yang melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14;

c. Setiap orang yang melakukan pemufakatan jahat (Pasal 88 KUHP) untuk melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14 dipidana dengan pidana yang saam dengan setiap orang yang melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 15 sampai dengan Pasal 14.

Bila melihat isi Pasal 15 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di atas, maka adapun yang dikatakan pembantuan, yaitu adalah hal-hal yang telah

56 R. Wiyono, Pembahasan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Penerbit: Sinar Grafika, Jakarta, 2005, halaman 121

diatur sebelumnya pada Pasal 56 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yang berbunyi sebagai berikut :

Dipidana sebagai pembantu kejahatan :

1. mereka yang sengaja memberi bantuan pada waktu kejahatan dilakukan;

2. mereka yang sengaja memberi kesempatan, sarana atau keterangan untuk melakukan kejahatan.

Apabila terdapat seseorang atau suatu korporasi yang memenuhi unsur-unsur Pasal 56 KUHP di atas, maka dapat disimpulkan orang atau korporasi tersebut telah ikut bersama-sama melakukan pembantuan kejahatan khususnya dalam Tindak Pidana Korupsi.

Bila melihat defenisi yang diberikan oleh Pasal 56 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) di atas, dapat dilihat bahwa pembantuan merupakan suatu bagian dari penyertaan tindak pidana. Maka akan berkaitan dengan Pasal 55 KUHP yang mengatur mengenai penyertaan di dalam tindak pidana, dan berlaku pula dalam Tindak Pidana Korupsi.

Pasal 55 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) menyebutkan : 1. mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan ikut serta

melakukan tindak pidana;

2. mereka yang dengan pemberian, perjanjian, menyalahgunakan kekuasaan atau pengaruh, dengan kekerasan, ancaman atau tipu daya atau dengan memberi kesempatan, sarana atau keterangan, sengaja menggerakkan orang lain agar melakukan tindak pidana. Berdasarkan Pasal 55 KUHP tersebut dapat diketahui bahwa orang yang dapat dihukum sebagai pelaku tindak pidana dapat diklasifikasikan atas:57

a. mereka yang melakukan; b. yang menyuruh melakukan; c. dan yang turut serta melakukan; d. serta penganjur;

e. mereka yang memberi bantuan pada waktu kejahatan dilakukan;

f. mereka yang sengaja memberi kesempatan, sarana atau keterangan untuk melakukan kejahatan.

Dalam hal melakukan tindak pidana korupsi, maka akan lebih mendalam pembahasan mengenai ikut serta dalam tindak pidana korupsi. Ikut serta (medeplegen) merupakan salah satu bagian yang tidak dapat terpisahkan dari penyertaan (deelneming). Dengan kata lain, ikut serta adalah merupakan penyertaan. Menurut MvT pelaku dalam ikut serta (medeplegen)58 adalah orang yang langsung mengambil bagian dalam pelaksanaan perbuatan yang oleh undang-undang dilarang dan diancam dengan hukuman atau melakukan perbuatan-perbuatan atau salah satu perbuatan yang merupakan bagian dari sesuatu pidana.

Banyak pendapat yang dikemukakan khususnya terkait dengan masalah pemenuhan unsur-unsur bagi para peserta dalam bentuk ikut serta ini, antara lain sebagai berikut :

1. Menurut Pompe,59 dalam mewujudkan tindak pidana itu ada tiga kemungkinan, yaitu :

58

P.A.F. Lamintang Dalam Muhammad Ekaputra dan Abdul Khair, Ibid, halaman 55

59

Sudarto dan Wonosutanto, Catatan Kuliah Hukum Pidana II, (Surakarta: Program Kekhususan Hukum Kepidanaan Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah, 1987), halaman 40-41

a. mereka masing-masing memenuhi semua unsur dalam rumusan delik. Mereka ini masing-masing dapat juga disebut melakukan delik.

b. salah seorang memenuhi rumusan delik/unsur-unsur dan ada orang lain ikut serta.

c. tidak seorangpun yang melakukan perbuatan yang memenuhi unsur-unsur delik seluruhnya, tetap mereka bersama-sama mewujudkan delik itu.

2. Menurut Simons dalam Loebby Loqman,60 bahwa dalam ikut serta semua peserta harus memenuhi semua unsur dari tindak pidana yang dilakukan.

3. Menurut van Hamel dalam E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi,61 bahwa dianggap ada persoalan ikut serta (medeplegen) jika setiap pelaku yang ikut serta harus memenuhi semua unsur delik. Jadi mereka satu sama lain menjadi pelaku peserta. Di luar hal-hal itu maka adalah bentuk penyertaan yang berupa pembantuan.

4. Menurut Hoge Raad, bahwa tidak perlu semua peserta, dalam penyertaan yang berbentuk ikut serta harus memnuhi semua unsur tindak pidana yang dilakukan. Ada kalanya memang harus memenuhi tetapi dapat pula tidak memenuhi unsur tindak pidana yang dilakukan. Yang terpenting menurut Hoge Raad adalah dipenuhinya syarat-syarat ikut serta. Begitu pula Mahkamah Agung Republik Indonesia juga berpendapat bahwa dalam ikut serta peserta tidak harus memenuhi semua unsur dalam tindak pidana.62

60

Loebby Loqman Dalam Muhammad Ekaputra dan Abdul Khair, Percobaan dan

Penyertaan,Op.Cit, halaman 56

61 E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi Dalam Muhammad Ekaputra dan Abdul Khair,

Bila dikaitkan dengan tindak pidana korupsi, penyertaan (deelneming) adalah keturutsertaan seseorang atau orang-orang yang terlibat dalam korupsi, ataupun yang membantu seseorang dalam melakukan tindak pidana korupsi baik dalam penganjuran untuk melakukan tindak pidana korupsi, atau memberi pembantuan. Pembantuan diberikan baik dalam bentuk sarana dan prasarana, kesempatan dan pemberian/penyampaian informasi kepada seseorang yang akan melakukan tindak pidana korupsi.

Bila dilihat lebih jauh, maka dalam tindak pidana korupsi yang lebih banyak terjadi adalah seseorang yang turut serta melakukan atau bersama-sama melakukan tindak pidana korupsi sebagimana yang telah diatur di dalam Pasal 55 ayat 1 KUHP.

Adapun perbedaan antara pembantuan dan turut serta, terdapat tiga teori, antara lain:63

1. Teori Obyektif (de obyectieve deelnenings theorie)

Untuk membedakan antara turut serta dengan pembantuan dilihat dari sifat perbuatan yang merupakan obyek tindak pidana. Apabila seseorang melakukan perbuatan yang menurut sifatnya adalah merupakan perbuatan yang dilarang undang-undang, maka orang

tersebut melakukan dalam bentuk “turut serta”. Sedangkan apabila

orang tersebut perbuatannya tidak bersifat tindak pidana, dia

dianggap melakukan “pembantuan”.

2. Teori Subyektif (de subyectieve deelnemings theorie)

Dasar teori ini adalah niat dari para peserta dalam suatu penyertaan. Di dalam turut serta pelaku memang mempunyai kehendak terhadap terjadinya tindak pidana. Sedangkan dalam pembantuan kehendak ditujukan kearah memberi bantuan kepada orang yang melakukan tindak pidana.

Disamping perbedaan kehendak, dalam turut serta pelaku mempunyai tujuan yang berdiri sendiri. Apakah ia dibantu atau tidak tetap dia mempunyai tujuan melakukan tindak pidana.

63

http://hegarsandro.wordpress.com/2010/12/07/teori-penyertaan-tindak-pidana-prof-lobby-luqman. Diakses pada hari Sabtu, tanggal 13 April 2013

Sedangkan dalam pembantuan tidak mempunyai tujuan yang berdiri sendiri. Artinya tujuan disandarkan kepada tujuan si pelaku utama. Artinya pembantu hanya memberikan bantuan apabila ia mengetahui ada orang lain yang akan melakukan tindak pidana. Dalam hal kepentingan, peserta dalam turut serta mempunyai kepentingan dalam tindak pidana, sedangkan pembantuan kepentingannya tidak langsung terhadap terjadinya tindak pidana itu, tetapi terbatas atas bantuan yang diberikan.

3. Teori Gabungan (verenigings theorie)

Artinya dalam hal penerapan delik digunakan teori obyektif. Karena delik formil melarang perbuatan seseorang. Sehingga tepat apabila digunakan teori obyektif. Dalam delik materil digunakan teori subyektif. Karena lebih melihat akibat yang dilarang undang-undang. Dengan digunakannya teori subyektif dapat dilihat kehendak, tujuan serta kepentingan masing-masing peserta.

Dalam membedakan antara turut serta dengan pembantuan di dalam praktek sering dilihat apakah seseorang memenuhi syarat dari bentuk turut serta yakni terdapat kesadaran kerja sama dan kerja sama itu secara fisik. Apabila memang memenuhi syarat tersebut maka peserta itu diklasifikasikan sebagai turut serta. Sedangkan apabila tidak memenuhi syarat diatas, peserta diklasifikasikan sebagai pembantuan.

Selanjutnya, dalam hal pemberian kesempatan, sarana atau keterangan di dalam Pasal 55 ayat 2 KUHP yang terjadinya Tindak Pidana Korupsi diluar wilayah Indonesia bahwa pemberian bantuan, kesempatan, sarana atau keterangan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, sedangkan adapun pencantuman dari hal ini adalah untuk mencegah dan memberantas Tindak Pidana Korupsi yang bersifat transional atau lintas batas teritorial sehingga segala bentuk transfer keuangan/harta kekayaan hasil Tindak Pidana Korupsi antarnegara dapat dicegah secara optimal dan efektif.

Bila berbicara permasalahan ikut serta/penyertaan dalam Tindak Pidana Korupsi, maka juga akan dijabarkan adanya ancaman Pidana Korupsi bagi seseorang yang turut serta melakukan perbuatan korupsi tersebut. Ancaman ikut seta dalam tindak pidana korupsi adalah sama dengan yang melakukan Tindak Pidana Korupsi. Adapun ancaman hukuman yang diberikan yaitu :

Ancaman pidana penjara berupa :64

a. pidana penjara seumur hidup/pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah) (Pasal 2 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999);

b. pidana penjara seumur hidup/pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah) (Pasal 3 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999);

c. pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) (Pasal 5 Undang-undang No. 31 Tahun 1999); dan

d. pidana penjara dan atau pidana denda sebagaimna diatur dalam ketentuan Pasal 5 sampai dengan Pasal 14 Undang-Undang No. 31 tahun 1999.

Pidana tambahan, dapat berupa :65

a. perampasan barang bergerak yang berwujud atau tidak berwujud atau barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari Tindak Pidana Korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana tempat Tindak Pidana Kmorupsi dilakukan, begitu pula dari barang yang menggantikan barang-barang tersebut;

b. pembayaran uang ganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya saama dengan harta benda yang diperoleh dari Tindak Pidana Korupsi;

c. pentutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama 1 (satu) tahun; dan

64

Lilik Mulyadi, Tindak Pidana Korupsi di indonesia, Normatif, Teoritis, Parktik dan

Masalahnya, penerbit : PT. Alumni, Bandung, 2007, halaman 99 65

d. pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan seluruh atau sebagian keuntungan tertentu, yang telah atau dapat diberikan oleh pemerintah kepada terpidana.

Bila dilihat dari Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi Nomor 31 tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001, maka dapat terlihat adanya pengaturan mengenai keikutsertaan, atau dengan kata lain terdapat pengaturan mengenai penyertaan (deelneming).

Sebagaimana yang diketahui, bahwa Tindak Pidana Khusus yang mengatur adanya penyertaan tidak hanya terdapat pada Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi saja. Tetapi, terdapat juga Undang-Undang Tindak Pidana Khusus yang lain yang juga mengatur penyertaan dalam tindak pidananya.

Undang-Undang yang mempunyai pengaturan yang sama mengenai ikut serta dalam penyertaan, yaitu adalah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, yaitu terdapat pada Pasal 10 yang berbunyi :

“Setiap orang yang berada di dalam atau di luar wilayah Negara Kesatuan

Republik Indonesia yang turut serta melakukan percobaan, pembantuan, atau pemufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana pencucian uang dipidana dengan pidana yang sama sebagaimna dimaksud dalam Pasal 3,

Pasal 4, dan Pasal 5.”

Selain Undang-undang Tindak Pencucian Uang (money laundering) juga terdapat peraturan perundang-undangan yang lain yang mengatur penyertaan, yaitu terdapat dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (Human Traffic King).

Adapun Pasal 10 berbunyi :

“Setiap orang yang membantu atau melakukan percobaan untuk

melakukan tindak pidana perdagangan orang, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5,

dan Pasal 6.”

Selain dua Undang-Undang diatas, terdapat juga Undang-Undang Tindak Pidana Khusus yang juga mengatur mengenai ikut serta dalam penyertaan (deelneming) di dalam tindak pidananya, yaitu Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

Adapun bunyi Pasal 1 ayat (18) Undang-Undang Narkotika yaitu sebagai berikut :

“Pemufakatan Jahat adalah perbuatan dua orang atau lebih yang

bersengkongkol atau bersepakat untuk melakukan, melaksanakan, membantu, turut serta melakukan, menyuruh, menganjurkan, memfasilitasi, memberi konsultasi, atau mengorganisasikan suatu Tindak Pidana Narkotika.”

Melihat bunyi Pasal Undang-Undang di atas, maka dapat dilihat bahwa tidak hanya Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi saja yang memberikan pengaturan mengenai ikut serta dalam penyertaan. Ada juga undang-undang Tindak Pidana Khusus yang mengatur permasalahan penyertaan.

Dari bunyi Undang-Undang di atas, dapat kita lihat bahkan dalam penjatuhan pidananya, orang yang ikut serta melakukan kejahatan dalam Pencucian Uang, Perdagangan Orang dan Narkotika juga mendapatkan ancaman hukuman yang sama dengan orang yang melakukan. Sehingga, tidak hanya Tindak Pidana Korupsi saja yang memberikan ancaman yang sama orang yang melakukan penyertaan seperti pelaku yang melakukan kejahatan, tetapi tindak

pidana yang lain juga mengatur hal yang sama mengenai ikutserta dalam penyertaan (deelneming), khususnya dalam penjatuhan pidananya.