• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tindak Pidana Bersama-Sama Dab Berkleanjutan Dalam Tindak Pidana Korupsi ( Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor 996 K/Pid//2006)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Tindak Pidana Bersama-Sama Dab Berkleanjutan Dalam Tindak Pidana Korupsi ( Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor 996 K/Pid//2006)"

Copied!
91
0
0

Teks penuh

(1)

DAFTAR PUSTAKA A. Buku-Buku

Amiruddin Dan Zainal Asikin, 2009, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Chazawi, Adami, 2002, Percobaan, Penyertaan, Pelajaran Hukum Pidana 3, Jakarta: Rajawali Press.

Chazawi, Adami, 2002, Penafsiran Hukum Pidana, Dasar Peniadaan, Pemberatan & peringanan, Kejahatan Aduan, Perbarengan & Ajaran Kasulaitas, Pelajaran Hukum Pidana 2, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.

Danil, H. Elwi, 2011, Korupsi: Konsep, Tindak Pidana, dan Pembaharuan, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Djaja, Ermansyah, 2008, Memberantas Korupsi Bersama KPK, Jakarta: Sinar Grafika.

Eka Putra, Muhammad dan Abdul Khair, 2009, Percobaan dan Penyertaan, Medan: USUpress.

Girsang, Juniver, 2012, Abuse of Power, Penyalahgunaan Kekuasaan Aparat Penegak Hukum Dalam Penanganan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta: PT. JG. Publishing.

Ibrahim, Johnny, 2006, Teori dan Metedeologi Penelitian Hukum Normatif, Malang: Bayumedia Publishing.

(2)

Moeloeng, Lexy J., 1995, Metedeologi Penelitian Kualitatif, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Mulyadi, Lilik, 2007, Tindak Pidana Korupsi di Indonesia (Normatif, Teoritis, Praktik, dan Masalahnya), Jakarta: PT. Alumni.

Pradjonggo, Tjandra Sridjaja, 2010, Sifat Melawan Hukum dalam Tindak Pidana Korupsi, Surabaya: Indonesian Lawyers Club (ILC).

Prasetyo, Teguh, 2012, Hukum Pidana, Jakarta: RajaGrafindo Persada. Schaffmeiser, D dkk, 2007, Hukum Pidana, Bandung: Citra Aditya Bakti.

Soekanto, Soerjono Dan Sri Mamuji, 2009, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Sudarto dan Wonosutanto, 1987, Catatan Kuliah Hukum Pidana II, Surakarta: Program Kekhususan Hukum Pidana FH Universitas Muhammadiyah.

Sutedi, Adrian, 2011, Hukum Keuangan Negara, Jakarta: Sinar Grafindo. Syamsuddin, Azis, 2011, Tindak Pidana Khusus, Jakarta: Sinar Grafika. Winata, Frans H., 2009, Suara Rakyat Hukum Tertinggi, Jakarta: Kompas.

Wiryono, 2005, Pembahasan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta: Sinar Grafika.

B. Undang-Undang

(3)

Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan tindak Pidana Pencucian Uang.

C. Internet

http://id.shvoong.com/law-and-politics/law/2027081-pengertian-korupsi-dan-tindak-pidana/#ixzz1aAXOjzOd. Diakses pada tanggal 27 Desember 2012. http://www.bogorplus.com/index.php/artikel/5396-delik-percobaan-cukup-untuk-menindak-korupsi.html, diakses pada tanggal 9 Maret 2013.

http://hegarsandro.wordpress.com/2010/12/07/teori-penyertaan-tindak-pidana-prof-lobby-luqman. Diakses pada hari Sabtu, tanggal 13 April 2013.

(4)

BAB III

PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG DALAM PERKARA PIDANA NOMOR 996 K/Pid/2006 TENTANG TINDAK PIDANA KORUPSI YANG

DILAKUKAN BERSAMA-SAMA DAN BERKELANJUTAN A. Duduk Perkara69

Terdakwa Hamdani Amin baik bertindak secara sendiri-sendiri atau bersama-sama dengan saksi Prof. Dr. Nazaruddin Sjamsuddin (yang berkas perkaranya diajukan secara terpisah), pada hari dan tanggal yang tidak dapat dipastikan lagi di dalam bulan Juni 2004 atau setidak-tidaknya sekitar waktu antara bulan April 2004 dan Desember 2004 atau setidak-tidaknya dalam tahun 2004, bertempat di kantor Komisi Pemilihan Umum (KPU) Jl. Imam Bonjol No. 29 Jakarta atau setidak-tidaknya di tempat-tempat lain telah menutup perjanjian asuransi bagi jaminan kematian/kecelakaan petugas penyelenggara Pemilihan Umum (PEMILU) tahun 2004 dalam bentuk asuransi sejumlah Rp. 14.800.000.000 (empat belas milyar delapan ratus juta rupiah); tanpa membentuk panitia pengadaan jasa penutupan asuransi, tidak mengadakan prakualifikasi, tidak membuat penentuan harga, dan tidak melakukan penjelasan pekerjaan (aanwijzing), yang kesemuanya merupakan persyaratan yang harus dipenuhi menurut ketentuan Keputusan Presiden Nomor 80 tahun 2003 tanggal 3 November 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, dengan demikian penandatanganan surat perjanjian kerjasama penutupan asuransi adalah bertentangan dengan Keputusan Presiden Nomor 80 tahun 2003 tanggal 3 November 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan

69

(5)

Barang/Jasa Pemerintah. Atas penutupan asuransi tersebut terdakwa menerima sejumlah US$ 566.795 (lima ratus enam puluh enam ribu tujuh ratus sembilan puluh lima dolar Amerika Serikat) dari perusahaan asuransi, yang kemudian dibagi-bagikan dan dipergunakan sendiri oleh terdakwa.

Perbuatan terdakwa itu didakwakan :

PRIMAIR; Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 ayat (1) huruf b, ayat (2) dan ayat (3) UU Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 tahun 2001 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

SUBSIDAIR; Pasal 3 jo Pasal 18 ayat (1) huruf b, ayat (2) dan ayat (3) UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

LEBIH SUBSIDAIR; Pasal 8 jo Pasal 18 ayat (1) huruf b, ayat (2) dan ayat (3) UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

KEDUA; Pasal 11 jo Pasal 18 ayat (1) huruf b, ayat (2) dan ayat (3) UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo Pasal 64 ayat (1) KUHP.

B. Analisis Kasus

(6)

Mengenai Amar Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tanggal 2 Desember 2005 No. 05/Pid.B/TPK/2005/PN.JKT.Pst menyatakan bahwa terdakwa secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan Tindak Pidana Korupsi secara Bersama-sama sebagaimana dimaksud dalam dakwaan ke-1 PRIMAIR telah melanggar ketentuan Pasal 3 jo Pasal 18 ayat (1) huruf b, ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaiamna telah dirubah dalam Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 jo Pasal 55 ayat (1) KUHP.

Bila melihat kasus tersebut, dapat diketahui bahwa terdakwa Hamdani Amin yang telah diangkat selaku Kepala Biro Keuangan Komisi Pemilihan Umum (KPU), baik bertindak secara sendiri-sendiri atau bersama-sama dengan Dr. Nazaruddin Sjamsuddin Ketua Komisi Pemilihan Umum, telah melakukan serangkaian perbuatan yang berthubungan dengan Tindak Pidana Korupsi sehingga dipandang sebagai suatu perbuatan yang berlanjut (voorgezetle handeling). Sebagaimana diketahui bahwa Hamdani Amin sebagai pegawai negeri yang menjabat Kepala Biro Keuangan KPU telah menerima hadiah berupa uang dalam bentuk mata uang rupiah dan mata uang dolar Amerika Serikat dari rekanan pengadaan barang dan jasa di KPU.

Adapun isi dari Pasal 18 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) yang didakwakan kepada terdakwa tersebut adalah sebagai berikut :

1. Selain pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, sebagai pidana tambahan adalah :

(7)

milik terpidana di mana tindak pidana korupsi dilakukan, begitu pula dari barang yang menggantikan barang-barang tersebut; b. pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya

sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi;

c. penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama 1 (satu) tahun;

d. pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan seluruh atau sebagian keuntungan tertentu, yang telah atau dapat diberikan oleh Pemerintah kepada terpidana.

2. Jika terpidana tidak membayar uang pengganti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b paling lama dalam waktu 1 (satu) bulan sesudah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka harta bendanya dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut.

3. Dalam hal terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, maka dipidana dengan pidana penjara yang lamanya tidak melebihi ancaman maksimum dari pidana pokoknya sesuai dengan ketentuan dalam Undang-undang ini dan lamanya pidana tersebut sudah ditentukan dalam putusan pengadilan.

Pasal 55 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) menyebutkan : “Mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan ikut serta melakukan tindak pidana.”

Pasal 18 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di atas berbicara mengenai perampasan harta milik dari pelaku yang melakukan Tindak Pidana Korupsi, dalam bentuk penyitaan barang-barang atau harta yang merupakan hasil dari perbuatan korupsi. Selain itu berbicara mengenai uang pengganti yang harus disetorkan pelaku untuk mengganti kerugian negara yang diakibatkan oleh perbuatannya tersebut.

(8)

Sedangkan pada Pengadilan Tinggi, memjatuhkan putusan sebagaimana yang tercantum di dalam amar Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tanggal 2 Desember 2005 No. 05/Pid.B/TPK/2005/PN.JKT, yaitu :

4. Menyatakan terdakwa Hamdani Amin tersebut di atas, secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan Tindak Pidana Korupsi bersama-sama sebagaimana di dakwakan pada dakwaan Primair dan melakukan tindak pidana Korupsi secara bersama-sama dan Berlanjut sebgaimana di dakwakan pada dakwaan Kedua

5. Menjatuhkan pidana kepada terdakwa Hamdani Amin tersebut dengan pidana penjara selama 5 tahun dan pidana denda sebesar Rp. 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dengan ketentuan apabila pidana denda tersebut tidak dibayar diganti dengan pidana kurungan selama 6 (enam) bulan.

Berdasarkan putusan-putusan terdahulu Hakim Tindak Pidana Korupsi baik di tingkat Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi maka, maka Jaksa Penuntut Umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi dan juga Terdakwa telah mengajukan permohonan Kasasi terhadap Putusan Pengadilan Tinggi Tindak Pidana Korupsi tersebut karena merasa belum puas terhadap keputusan yang dijatuhkan kepada terdakwa.

1. Pertimbangan Hakim

(9)

Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tanggal 2 Desember 2005 No. 05/Pid.B/TPK/2005/PN.JKT.Pst;

Hakim pada tingkat Kasasi di Mahkamah Agung telah menyatakan Terdakwa Hamdani Amin tersebut di atas terbukti secara sah dan meyakinkan telah bersalah melakukan tindak pidana :

a. Korupsi yang dilakukan secara bersama-sama;

b. Korupsi yang merupakan beberapa perbuatan yang dipandang sebagai perbuatan berlanjut;

Oleh karenanya hakim menghukum terdakwa Hamndani Amin dengan pidana penjara selama 6 (enam) tahun dan denda sebesar Rp. 300.000.000-, (tiga ratus juta rupiah) dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar akan diganti dengan pidana kurungan selama 6 (enam) bulan.

(10)

Hakim juga menetapkan masa penahanan yang telah dijalankan Terdakwa akan dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan kepada Terdakwa, dan memerintahkan supaya Terdakwa tetap ditahan dalam Rumah Tahanan Negara;

Menetapkan seluruh barang-barang bukti dikembalikan kepada Penuntut Umum untuk kepentingan perkara lain dan membebankan Termohon Kasasi/Terdakwa tersebut untuk membayar baiay perkara dalam semua tingkat pengadilan dan dalam tingkat kasasi ini ditetapkan sebesar Rp. 2.500-, (dua ribu lima ratus rupiah).

2. Tentang Putusan

Seperti terlihat dari putusan Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 996 K/Pid/2006 yang menganut bahwa perbuatan berlanjut merupakan bentuk khusus dari tindak pidana, secara tegas hakim menyatakan bahwa soal perbuatan berlanjut (Voortgezette handeling) hanya mengenai soal penjatuhan hukuman (straftoemating).

Adanya indikasi bahwa Putusan Mahkamah Agung tersebut menganut aliran bahwa perbuatan berlanjut merupakan salah satu bentuk khusus dari tindak pidana. Hal ini dapat dilihat dari amar putusan mengenai kualifikasi tindak pidana yakni adanya penambahan kalimat “yang dilakukan secara berlanjut /yang merupakan beberapa perbuatan yang dipandang sebagai perbuatan berlanjut” dibelakang tindak pidana pokok yang terbukti.

(11)

perbuatan berlanjut tersebut, apakah sebagai bentuk khusus tindak pidana atau penjatuhan pidana (Straftoemating). Hal ini juga terlihat dari putusan-putusan pengadilan di bawahnya, bukan merupakan suatu kelaziman jika Hakim dalam putusannya mempertimbangkan tentang kedudukan perbuatan berlanjut tersebut, jarang sekali Hakim dalam mempertimbangankan terbukti tidaknya perbuatan berlanjut mempertimbangkan pula kedudukannya . Bila dikatikan dengan Pasal 64 ayat (1) KUHP yang di dakwakan hakim agung kepada terdakwa terlihat hanya sebagai sekedar penjatuhan pidana (straftoemating) semata.

Dengan demikian melihat konstruksi yuridis perbuatan berlanjut maka terlihat perbuatan berlanjut bukan merupakan suatu hal yang sederhana dan mudah dibuktikan. Dengan kata lain perbuatan berlanjut merupakan hal yang kompleks dan membutuhkan pembuktian yang cermat untuk 3 unsurnya tersebut. Dimana hampir semua unsur dari adanya perbuatan berlanjut secara teoritis tidak memiliki pengaturan yang jelas, misalnya mengenai pengertian dari satu keputusan kehendak, mengenai tenggang waktu.

Adapun 3 (tiga) unsur yang dimaksud dalam perbuatan berkleanjutan adalah sebagai berikut :70

2. harus ada satu keputusan kehendak; 3. masing-masing perbuatan harus sejenis;

4. tenggang waktu antara perbuatan-perbuatan itu tidak terlalu lama.

(12)

Akan tetapi disisi lain, apabila kita memperhatikan kalimat penutup dari ketentuan Pasal 64 ayat (1) KUHP, yakni hanya dikenakan satu aturan pidana, jika berbeda-beda, yang dikenakan yang memuat ancaman pidana pokok yang paling berat, (penjatuhan pidana dengan sistem absorpsi) maka dari hal tersebut terlihat pada pokoknya, terbukti adanya perbuatan berlanjut tidak dapat dijadikan dasar untuk memperberat dalam penjatuhan pidana.

Hakim Mahkamah Agung dalam Putusan Nomor 996 K/Pid/2006 di atas setelah adanya pembuktian mengenai perbuatan berlanjut dalam korupsi yang dilakukan terdakwa, menjatuhkan pidana yang tidak lebih berat dari ancaman pidana maksimal dalam aturan pasalnya oleh karena hukum mengatur hanya dikenakan satu aturan pidana yaitu pidana pokok yang paling berat bukan hukuman yang melewati hukuman maksimalnya. Di dalam putusan lain, mungkin adanya masih adanya kesalahan hakim dalam menjatuhkan hukuman kepada terdakwa, ternyata kebanyakan hakim dalam memberikan keputusan biasanya dibawah ketentuan pidana maksimal. Tetapi Hakim Agung Dalam perkara tersebut di atas telah tepat dalam penafsiran mengenai ancaman penjatuhan hukuman terhadap perbuatan berlanjut yang dilakukan oleh terdakwa.

(13)

Dengan demikian konsepsi awal yang harus dipegang adalah adanya perbuatan berlanjut tidak mempunyai korelasi dengan penjatuhan pidana lebih berat dari ancaman pidananya, kecuali yang diatur dalam Pasal 64 ayat (3) KUHP. Sehingga dalam tindak pidana korupsi, terutama pada Putusan Hakim diatas dapat dilihat bahwa ancaman pidana dari perbuatan berlanjut tidak melebihi dari ancaman pokok dari tindak pidana yang dijatuhkan tersebut. Hal ini dapat kita lihat dalam hal kejahatan-kejahatan ringan yang terdapat dalam Pasal Pasal 364 (pencurian ringan), 373 (penggelapan ringan), 379 (penipuan ringan), dan 407 ayat 1 (perusakan barang ringan) yang dilakukan sebagai perbuatan berlanjut dikenakan aturan pidana untuk kejahatan biasa, berarti yang dikenakan adalah Pasal 362 (pencurian), 372 (Penggelapan), 378 (Penipuan) atau 406 (Perusakan barang).

Selanjutnya jika kita mengkonsepsikan perbuatan berlanjut adalah bentuk khusus dari tindak pidana, maka perbuatan berlanjut dalam hal ini konstruksi hukumnya sama dengan percobaan dan penyertaan dalam tindak pidana, yakni terkualifikasi sebagai unsur-unsur yang menyatu dengan tindak pidana pokok yang didakwakan.

(14)

dipersidangan konsekuensi yuridisnya seharusnya tindak pidana yang di dakwakan juga tidak terbukti, karena hal ini juga berlaku dalam hal terjadi percobaan dan penyertaan dalam tindak pidana, apabila percobaan (Pasal 53 KUHP) dan penyertaan (Pasal 55, 56 KUHP) tidak terbukti maka tindak pidana yang menjadi pokok dakwaan harus juga dinyatakan tidak terbukti.

Contoh kasus misalnya; Terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana koruspi (dakwaan Pokok), tetapi ternyata tindak pidana korupsi tersebut tidak terkualifikasi sebagai perbuatan berlanjut, jika Hakim berpendirian perbuatan berlanjut adalah bentuk khusus dari tindak pidana, maka nyata tindak pidana korupsi tersebut seharusnya tidak terbukti dan Terdakwa haruslah dibebaskan dari dakwaan.

Tetapi dilain pihak apabila ternyata unsur-unsur tindak pidana dan unsur perbuatan berlanjut tersebut terbukti maka Hakim tidak dapat menjatuhkan pidana melebihi ancaman pidana dari pasal yang didakwakan (memperberat pidana melebihi ancaman pidananya).

(15)

Lain halnya jika perbuatan berlanjut tersebut dalam konsep sebagai sistem pengenaan pidana semata (Straftoemating), maka ketentuan perbuatan berlanjut tersebut hanya merupakan pedoman / pegangan bagi Hakim dalam penjatuhan pidana. Dimana sesuai dengan ketentuan Pasal 64 ayat (1) KUHP, penjatuhan pidana terhadap terdakwa yang melakukan tindak pidana yang dilakukan secara berlanjut adalah dengan menggunakan sistem absorpsi yakni hanya dikenakan satu aturan pidana, jika berbeda-beda, yang dikenakan yang memuat ancaman pidana pokok yang paling berat

Konsekuesi dari perbuatan berlanjut sebatas pedoman penjatuhan pidana maka Penuntut Umum tetap harus menguraikan adanya perbuatan berlanjut dalam dakwaannya dan Hakim dalam putusannya tetap harus mempertimbangkan ada tidaknya perbuatan berlanjut tersebut, tetapi dalam konsepsi ini ada hal yang menguntungkan yakni pembuktian terpenuhi atau tidaknya perbuatan berlanjut tidak berpengaruh pada pembuktian unsur-unsur tindak pidana pokok yang didakwakan tetapi hanya berpengaruh pada masalah pengenaan pidana yang dijatuhkan semata.

(16)

telah dinyatakan oleh Hakim Mahkamah Agung telah terbukti melakukan perbuatan berkelanjutan yang pidana pokoknya adalah ikut seta dalam perbuatan Tindak Pidana Korupsi.

Lantas bagaimana legalitas dari perbuatan berlanjut yang tidak terbukti tersebut, apabila terjadi hal yang demikian, maka aturan mengenai perbuatan berlanjut tersebut harus dikesampingkan dan tidak dijadikan dasar bagi Hakim dalam penjatuhan pidana terhadap terdakwa.

Sebagai contoh Hakim dalam putusannya menyatakan sebagai berikut Menimbang, bahwa dari fakta-fakta tersebut di atas nyata perbuatan terdakwa haruslah dipandang sebagai perbuatan yang berdiri sendiri-sendiri karena perbuatan-perbuatan tersebut dihasilkan dari keputusan kehendak yang berbeda-beda dan berdiri sendiri, sehingga tidaklah dapat dikualifikasikan sebagai perbuatan berlanjut.

Menimbang, bahwa dengan demikian ketentuan Pasal 64 Ayat (1) KUHP tentang pengenaan pidana terhadap perbuatan berlanjut yang ikut didakwakan kepada Terdakwa haruslah dikesampingkan dan tidak dijadikan dasar oleh Majelis dalam pengenaan atau penjatuhan pidana kepada Terdakwa.

(17)

Dalam perkembangan selanjutnya ternyata “perbuatan berlanjut” menurut

pembuat undang-undang masih patut diatur, hal ini seperti yang terlihat dari RUU tentang KUHP yang dibuat oleh Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, yakni dalam Pasal 138 RUU KUHP dinyatakan :

1. Jika terjadi perbarengan beberapa tindak pidana yang saling berhubungan sehingga dipandang sebagai perbuatan berlanjut dan diancam dengan ancaman pidana yang sama maka hanya dijatuhkan satu pidana;

2. Jika tindak pidana perbarengan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diancam dengan pidana yang berbeda maka hanya dijatuhkan pidana pokok yang terberat;

Ketentuan mengenai penjatuhan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat 1 berlaku juga terhadap tindak pidana pemalsuan atau merusak mata uang dan menggunakan uang palsu atau uang yang dirusak tersebut. Dari rancangan tersebut terlihat tidak ada perubahan yang mendasar dari perbuatan berlanjut yang diatur dalam Pasal 64 KUHP, baik itu kualifikasinya maupun sistem pengenaan pidananya yang menggunakan sistem absorpsi, dimana dalam praktek pengadilan ketentuan Pasal 64 ayat (1) KUHP ini jarang diperhatikan oleh karena kecenderungan Hakim memutus kurang atau dibawah ancaman maksimal pidana.

(18)

dengan adanya kekuatan hukum dalam penjatuhan keputusan terkait erat dengan penjatuhan hukuman dalam Tindak Pidana Korupsi yang dilakukan bersama-sama dan berkelanjutan.

Bila dilihat dalam ketentuan pasal 64 ayat (1) KUHP yang mengatur tentang pengenaan pidana terhadap perbuatan berlanjut dalam praktek aturannya jarang diperhatikan oleh Hakim, oleh karena Hakim dalam memutus suatu perkara pidana cenderung pidananya dibawah ancaman pidana maksimal.

Hal yang memudahkan, menguntungkan dalam praktek dan memenuhi rasa keadilan jika perbuatan berlanjut tersebut dikonsepsikan dan dikonstruksikan sebagai aturan pengenaan pidana semata (bukan sebagai bentuk khusus dari tindak pidana) oleh karena jika “perbuatan berlanjut” tidak terbukti maka tidak

menyebabkan dakwaan tidak terbukti jika ternyata unsur-unsur tindak pidana pokok yang didakwakan telah terbukti.

(19)

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan

1. Penyertaan (deelneming) adalah pengertian yang meliputi semua bentuk turut serta/terlibatnya orang atau orang-orang baik secara psikis maupun fisik dengan melakukan masing-masing perbuatan sehingga melahirkan suatu tindak pidana. Adapun bentuk-bentuk penyertaan terdapat dan diterangkan dalam Pasal 55 dan 56. Pasal 55 mengenai golongan disebut dengan mededader (disebut para peserta, atau para pembuat), dan Pasal 56 mengenai medeplichtige (pembuat pembantu).

Dari kedua Pasal (55 dan 56) tersebut, dapatlah diketahui bahwa menurut KUHP penyertaan itu dibedakan dalam dua kelompok, yaitu :

1. Pertama, kelompok orang-orang yang perbuatannya disebabkan dalam Pasal 55 ayat (1), yang dalam hal ini disebut dengan para pembuat (mededader), adalah mereka : a. yang melakukan (plegen), orangnya disebut dengan

pembuat pelaksanaan (pleger);

b. yang menyuruh melakukan (doen plegen), orangnya disebut dengan pembuat penyuruh (doen pleger);

(20)

d. yang disengaja menganjurkan (uitlokken), yang orangnya disebut dengan pembuat penganjur (uitlokker).

2. Kedua, yakni orang yang disebut dengan pembuat pembantu (medeplichtige) kejahtan, yang dibedakan menjadi :

(21)

Di dalam suatu Tindak Pidana Korupsi dikenal adanya perbuatan penyertaan (deelneming), yang mana korupsi tersebut dilakukan secara bersama-sama guna memperoleh keuntungan bagi pihak-pihak yang melakukannya, sehingga dampaknya akan menyebabkan kerugian keuangan/perekonomian pada negara. Penyertaan di dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yaitu Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 disebut sebagai pembantuan. Adapun Pasal 15 berbunyi sebagai berikut :

“Setiap orang yang melakukan percobaan, pembantuan atau pemufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14.”

Dalam Tindak Pidana Korupsi ada juga dikenal perbuatan berkelanjutan tetapi tidak ada pengaturan secara khusus di dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Nomor 31 Tahun 1999 jo Nomor 20 Tahun 2001. Bila dilihat dalam pemutusan perkara korupsi, sering kali ditemukan putusan hakim baik di Pengadilan Negeri ataupun Hakim di Mahkamah Agung yang mengikutkan perbuatan berlanjut setelah kata “bersama-sama

melakukan tindak pidana korupsi”.

(22)

perbuatan tersebut dilakukan secara berlanjut baik dengan pidana sejenis dalam Tindak Pidana Korupsi.

Misalnya saja, dalam perbuatan korupsi, bahwasanya telah terjadi korupsi yang dilakukan seseorang atau lebih dari satu orang yang ikut serta dalam korupsi dan telah mengakibatkan kerugian terhadap keuangan negara. Lalu untuk menutupi kejahatannya, orang tersebut menyuap aparat penegak hukum atau pihak-pihak terkait yang mengetahui bahwa ia melakukan Tindak Pidana Korupsi. Dalam contoh tersebut, dapat dilihat adanya perbuatan berkelanjutan yang masih dikategorikan sebagai perbuatan pidana sejenis, karena penyuapan merupakan bagian dari Tindak Pidana Korupsi.

(23)

Perbuatan terdakwa itu didakwakan :

PRIMAIR; Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 ayat (1) huruf b, ayat (2) dan ayat (3) UU Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 tahun 2001 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. SUBSIDAIR; Pasal 3 jo Pasal 18 ayat (1) huruf b, ayat (2) dan ayat (3) UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

LEBIH SUBSIDAIR; Pasal 8 jo Pasal 18 ayat (1) huruf b, ayat (2) dan ayat (3) UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

KEDUA; Pasal 11 jo Pasal 18 ayat (1) huruf b, ayat (2) dan ayat (3) UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo Pasal 64 ayat (1) KUHP.

Seperti terlihat dari putusan Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 996 K/Pid/2006 yang menganut bahwa perbuatan berlanjut merupakan bentuk khusus dari tindak pidana, secara tegas hakim menyatakan bahwa soal perbuatan berlanjut (Voortgezette handeling) hanya mengenai soal penjatuhan hukuman (straftoemating).

(24)

dalam korupsi yang dilakukan terdakwa, menjatuhkan pidana yang tidak lebih berat dari ancaman pidana maksimal dalam aturan pasalnya oleh karena hukum mengatur hanya dikenakan satu aturan pidana yaitu pidana pokok yang paling berat bukan hukuman yang melewati hukuman maksimalnya. Di dalam putusan lain, mungkin adanya masih adanya kesalahan hakim dalam menjatuhkan hukuman kepada terdakwa, ternyata kebanyakan hakim dalam memberikan keputusan biasanya dibawah ketentuan pidana maksimal. Tetapi Hakim Agung Dalam perkara tersebut di atas telah tepat dalam penafsiran mengenai ancaman penjatuhan hukuman terhadap perbuatan berlanjut yang dilakukan oleh terdakwa.

B. Saran

1. Bahwa perlu ada pengaturan tertulis dalam bentuk peraturan perundang-undangan yang membahas adanya perbuatan berlanjut dalam Tindak Pidana Khusus terutama di dalam tindak pidana korupsi itu sendiri. Dan akan lebih baik lagi jika diberikan penjelasan rinci di dalam peraturan tersebut mengenai kata “perbuatan berlanjut” yang sering digandeng dengan kata “bersama-sama” dalam tindak pidana korupsi didepannya.

(25)
(26)

BAB II

KONSEP TINDAK PIDANA YANG DILAKUKAN SECARA BERSAMA-SAMA DAN TINDAK PIDANA BERKELANJUTAN DALAM HUKUM

PIDANA DAN DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI

A. Tindak Pidana Bersama-sama dan Berkelanjutan Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

1. Penyertaan (deelneming)

Penyertaan (deelneming)31 adalah pengertian yang meliputi semua bentuk turut serta/terlibatnya orang atau orang-orang baik secara psikis maupun fisik dengan melakukan masing-masing perbuatan sehingga melahirkan suatu tindak pidana. Orang-orang yang terlibat dalam kerja sama yang mewujudkan tindak pidana, perbuatan masing-masing dari mereka berbeda satu dengan lain, demikian juga bisa tidak sama apa yang ada dalam sikap batin mereka terhadap tindak pidana maupun terhadap peserta yang lain. Tetapi dari perbedaan-perbedaan yang ada pada masing-masing itu terjalinlah suatu hubungan yang sedemikian rupa eratnya, di mana perbuatan yang satu menunjang perbuatan yang lainnya, yang smuanya mengarah pada satu ialah terwujudnya tindak pidana.

Adapun bentuk-bentuk penyertaan terdapat dan diterangkan dalam Pasal 55 dan 56. Pasal 55 mengenai golongan disebut dengan mededader (disebut para peserta, atau para pembuat), dan Pasal 56 mengenai medeplichtige (pembuat pembantu).

Pasal 55 merumuskan sebagai berikut :

1. Dipidana sebagai pembuat tindak pidana :

31 Adami Chazawi, Percobaan, Penyertaan, Pelajaran Hukum Pidana 3, Penerbit:

(27)

a. mereka yang melakukan, yang menyuruh lakukan, dan yang turut seta melakukan perbuatan;

b. mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu, dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman atau pemyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan

2. Terhadap penganjur, hanya perbuatan yang sengaja dianjurkan sajalah yang diperhitungkan, beserta akibat-akibatnya.

Pasal 56 merumuskan sebagai berikut : Dipidana sebagai pembantu kejahatan :

1. Mereka yang sengaja memberi bantuan pada waktu kejahatan dilakukan;

2. Mereka yang sengaja memberi kesempatan, sarana atau keterangan untuk melakukan kejahatan.

Dari kedua Pasal (55 dan 56) tersebut, dapatlah diketahui bahwa menurut KUHP penyertaan itu dibedakan dalam dua kelompok, yaitu :32

1. Pertama, kelompok orang-orang yang perbuatannya disebabkan dalam Pasal 55 ayat (1), yang dalam hal ini disebut dengan para pembuat (mededader), adalah mereka :

a. yang melakukan (plegen), orangnya disebut dengan pembuat pelaksanaan (pleger);

b. yang menyuruh melakukan (doen plegen), orangnya disebut dengan pembuat penyuruh (doen pleger);

c. yang turut serta melakukan (mede plegen), orangnya disebut dengan pembuat peserta (mede pleger); dan

d. yang disengaja menganjurkan (uitlokken), yang orangnya disebut dengan pembuat penganjur (uitlokker).

2. Kedua, yakni orang yang disebut dengan pembuat pembantu (medeplichtige) kejahtan, yang dibedakan menjadi :

a. pemberibantuan pada saat pelaksanaan kejahatan; dan b. pemberian bantuan sebelum pelaksanaan kejahatan.

Bila dikaitkan dengan tindak pidana korupsi, penyertaan (deelneming) adalah keturutsertaan seseorang atau orang-orang yang terlibat dalam korupsi,

(28)

ataupun yang membantu seseorang dalam melakukan tindak pidana korupsi baik dalam penganjuran untuk melakukan tindak pidana korupsi, atau memberi pembantuan. Pembantuan diberikan baik dalam bentuk sarana dan prasarana, kesempatan dan pemberian/penyampaian informasi kepada seseorang yang akan melakukan tindak pidana korupsi.

Yang dihukum sebagai orang yang melakukan dapat dibagi atas (empat) macam, yaitu sebagai berikut :

1. Orang yang melakukan (pleger).33 Orang ini ialah seseorang yang sendirian telah berbuat mewujudkan segala anasir atau elemen dari peristiwa pidana. Dalam peristiwa pidana yang dilakukan dalam jabatan misalnya orang itu harus pula memenuhi elemen status sebagai pegawai negeri.

Kedudukan pleger dalam Pasal 55 KUHP: janggal karena pelaku bertanggung jawab atas perbuatannya (pelaku tunggal) dapat dipahami:34

a. Pasal 55 menyebut siapa-siapa yang disebut sebagai pembuat, jadi pleger masuk di dalamnya (Hazewinkel Suringa).

b. Mereka yang bertanggung jawab adalah yang berkedudukan sebagai pembuat (pompe).

2. Orang yang menyuruh melakukan (doen pleger).35 Di sini sedikitnya ada dua orang, yang menyuruh (doen pleger) dan yang disuruh

33Adami Chazawi, Op.Cit, halaman 84

34 Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, Penerbit: PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2012,

halaman 206

(29)

(pleger). Jadi, bukan orang itu sendiri yang melakukan peristiwa pidana, tetapi ia menyuruh orang lain, meskipun demikian ia dipandang dan dihukum sebagai orang yang melakukan sendiri atau melakukan peristiwa pidana. Disuruh (pleger) itu harus hanya merupakan suatu alat (instrument) saja, maksudnya ia tidak dapat dihukum karena tidak dipertanggungjawabkan atas perbuatannya misalnya dalam hal-hal sebagai berikut :

a. Tidak dapat dipertanggungjawabkan menurut Pasal 44 KUHP, umpamanya A berniat akan membunuh B, tetapi karena tidak berani melakukan sendiri, telah menyuruh C (seorang gila) untuk melemparkan granat kepada B, bila C betul-betul telah melemparkan granat itu, sehingga B mati, maka C tidak dapat dihukum karena tidak dapat dipertanggungjawabkan, sedangkan yang dihukum sebagai pembunuh ialah A.

b. Telah melakukan perbuatan itu karena terpaksa oleh kekuasaan yang tidak dapat dihindarkan (overmacht) menurut Pasal 48, umpamanya A berniat membakar rumah B dan dengabn menodong memakai pistol menyuruh C supaya membakar rumah itu. Jika C membakar rumah itu, ia tidak dapat dihukum karena dipaksa, sedangkan A meskipun tidak membakar sendiri, dihukum sebagai pembakar.

(30)

membalas dendam pada seorang musuhnya dengan memasukkan orang itu dalam kamar tahanan. Ia menyuruh B seorang agen polisi di bawah perintahnya supaya menangkap dan memasukkan dalam tahanan orang tersebut, ia tidak dapat dihukum atas merampas kemerdekaan orang karena ia menyangka perintah itu sah, sedangkan yang dihukum sebagai perampas kemerdekaan ialah tetap si Inspektur Polisi.

d. Telah melakukan perbuatan itu dengan tidak ada kesalahan sama sekali, misalnya A berniat akan mencuri sepeda motor yang sedang ditaruh di muka kantor pajak. Ia tidak berani menjalankan sendiri, tetapi ia menunggu di tempat yang agak jauh minta tolong kepada B untuk mengambil sepeda itu dengan mengatakan bahwa sepeda itu miliknya. Jika B memenuhi permintaan itu, ia tidak dipersalahkan mencuri, karena dengan elemen sengaja tidak ada. Yang dihukum sebagai pencuri tetap A.

3. Orang yang turut melakukan (medepleger).36 Turut melakukan dalam arti kata, bersama-sama melakukan. Sedikit-dikitnya harus ada dua orang, ialah orang yang melakukan pleger dan orang yang turut serta melakukan (medepleger) peristiwa pidana. Di sini diminta, bahwa kedua orang itu semuanya melakukan perbuatan pelaksanaan, jadi melakukan anasir atau elemen dari peristiwa pidana itu. Tidak boleh misalnya hanya melakukan perbautan persiapan saja atau perbuatan

(31)

yang sifatnya hanya menolong, sebab jika demikian, maka orang yang menolong itu tidak masuk medepleger, tetapi dihukum sebagai membantu melakukan (medeplichtige) tersebut dalam Pasal 56.

4. Orang yang dengan pemberian, salah memakai kekuasaan, memakai kekerasan, dan sebagainya. Dengan sengaja membujuk melakukan perbuatan itu (uitlokker).37 Orang itu harus sengaja membujuk orang lain, sedangkan membujuknya harus memakai salah satu dari jalan-jalan seperti dengan pemberian, salah memakai kekuasaan, dan sebagainya. Yang disebutkan dalam pasal itu, artinya tidak boleh memakai jalan lain. Disini sama halnya dengan suruh melakukan sedikit-dikitnya harus ada dua orang ialah orang yang membujuk dan yang dibujuk, hanya bedanya pada membujuk melakukan, orang yang dibujuk itu dapat dihukum juga sebagai pleger, sedangkan pada suruh melakukan, orang yang disuruh itu tidak dapat dihukum.

Penganjuran (uitloken) mirip dengan menyuruh melakukan (doenplegen), yaitu melalui perbuatan orang lain sebagai perantara. Namun perbedaannya terletak pada :38

a. pada penganjuran, menggerakkan dengan sarana-sarana tertentu (limitatif) yang tersebut dalam undang-undang (KUHP), sedangkan menyuruhlakukan menggerakannya dengan sarana yang tidak ditentukan;

b. pada penganjuran, pembuat materiil dapat dipertanggungjawabkan, sedang dalam menyuruh pembuat materiil tidak dapat dipertanggungjawabkan.

(32)

2. Perbarengan Tindak Pidana (Concursus atau Samenloop) dan Perbuatan Berlanjut (voortgezette Handeling)

Pada dasarnya yang dimaksud dengan perbarengan ialah terjadinya dua atau lebih tindak pidana oleh satu orang dimana tindak pidana yang dilakukan pertama kali belum dijatuhi pidana, atau antara tindak pidana yang awal dengan tindak pidana berikutnya belum dibatasi oleh suatu putusan hakim.39 Pada penggulangannya juga terdapat lebih dari suatu tindak pidana yang dilakukan oleh satu orang. Perbedaan pokoknya ialah bahwa pada penggulangan tindak pidana yang dilakukan pertama atau lebih awal telah diputus oleh hakim dengan memidana pada si pembuat, bahkan telah dijalaninya baik sebagian atau seluruhnya. Sedangkan pada perbarengan syarat seperti pada penggulangan tidaklah diperlukan, karena syarat perbarengan adalah bahwa perbuatan yang pertama dan perbuatan pidana yang dilakukan kemudian belum dijatuhi vonis/hukuman oleh hakim.

Sebagaimana yang kita ketahui, perbarengan merupakan permasalahan yang berkaitan dengan pemberian pidana. Dalam ajaran umum tentang pembarengan dibicarakan maksimal ancaman pidana yang hendak diterapkan dalam hal :40

1. Beberapa pembuatan pidana yang dilakukan harus diadili pada waktu yang sama atau secara bertahap. Bentuk berbarengan jangan dicampur aduk dengan residif. Ada perbarengan dimana dilakukan beberapa perbuatan pidana sebelum salah satu perbuatan pidana itu

39 Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, Op.Cit ,halaman 109

40 D.Shcaffmeister, dkk, Hukum Pidana, Penerbit: PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2007,

(33)

diajukan ke pengadilan. Tidaklah penting apakah perbuatan-perbuatan pidana itu diajukan ke pengadilan pada waktu yang sama atau bertahap (Pasal 71 KUHP) .

Residif memiliki kesamaan dengan perberengan karena dalam residif dilakukan beberapa perbuatan pidana. Yang khusus dari residif, yaitu setelah si pelaku diadili karena melakukan perbuatan pidana, yang bersangkutan melakukan suatu perbuatan pidana lagi. Adanya perbarengan apabila ada beberapa perbuatan pidana yang dilakukan dan di antara beberapa perbuatan pidana itu si pembuat tidak diadili bertalian dengan salah satu perbuatan pidana yang dilakuakan itu. Adanya residif apabila ada beberapa perbuatan pidana. Setelah si epmbuat diadili karena ia melakukan perbuatan pidana lagi.

(34)

Sehubungan dengan lebih dari satu tindak pidana yang dilakukan oleh saru orang ini, UTRECHT (1965:197) mengemukakan tentang 3 (tiga) kemungkinan yang terjadi, yaitu :41

a. Terjadinya perbarengan, dalam hal apabila dalam waktu antara dilakukannya dua tindak pidana tidak telah ditetapkan satu pidana karena tindak pidana yang paling awal di antara kedua tindak pidana itu. Dalam hal ini, dua atau lebih tindak pidana itu akan diberkas dan diperiksa dalam satu perkara dan kepada si pembuat akan dijatuhkan satu pidana, dan oleh karenanya praktis di sini tidak ada pemberatan pidana, yang terjadi justru peringanan pidana, karena dari beberapa tindak pidana itu tidak dipidana sendiri-sendiri dan menjadi suatu total yang besar, tetapi cukup dengan satu pidana saja tanpa memperhitungkan pidana sepenuhnya sesuai dengan yang diancamkan pada masing-masing tindak pidana.

b. Apabila tindak pidana yang lebih awal telah diputus dengan memidana pada si pembuat oleh hakim dengan putusan yang telah menjadi tetap, maka di sini terdapat penggulangan. Pada pemidanaan si pembuat karena tindak pidana yang kedua ini terjadi penggulangan, dan di sini terdapat pemberatan pidana dengan sepertiganya.

c. Dalam hal tindak pidana yang dilakukan pertama kali telah dijatuhkan pidana pada si pembuatnya, namun putusan itu belum mempunyai kekuatan hukum pasti, maka di sini tidak terjadi perbarengan maupun penggulangan, melainkan tiap-tiap tindak pidana itu dijatuhkan sendiri-sendiri sesuai dengan pidana maksimum masing-masing yang diancamkan pada beberapa tindak pidana tersebut.

Dalam hal kemungkinan yang pertama dimana terjadi perbarengan dan disana tidak terjadi pemberatan tetapi justru terdapat adanya peringanan terhadap pemidanaan atau penjatuhan pidananya. Akan tetapi pemberlakuan terdapat hal-hal yang demikian tersebut tidaklah mencakup keseluruhan tindak pidana, hanya dapat diberlakukan terhadap tindak pidana tertentu saja atau biasa dijatuhkan terhadap tindak pidana sejenis. Apabila sudah berlainan tindak pidana yang dilakukan, maka dapat menjadi pemberat terhadap penjatuhan pidananya. Hal ini

41 Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana 2, Penafsiran Hukum Pidana, Dasar Peniadaan, Pemberatan & Peringanan, Kejahatan Aduan, Perbarengan & Ajaran Kausalitas,

(35)

dikarenakan akan dipilih pidana yang paling berat ancaman hukumannya dari perbuatan pidana yang dilakukan oleh si pelaku.

Jadi apakah perbarengan ini merupakan dasar pemberat pidana atau peringanan pidana, bergantung pada hal yang menjadi dasar pandangannya terhadap peristiwa konkret tertentu, tidak bersifat general untuk segala kejadian. Bila semata-mata dilihat dari pandangan bahwa hanya dijatuhkan satu pidana kemudian dapat diperberat dengan sepertiga ancaman pidana yang terberat, tanpa melihat di sana ada beberapa tindak pidana, maka di sini perbarengan dapat dianggap sebagai alasan pemberatan pidana. Akan tetapi apabila dilihat semata-mata ada beberapa tindak pidana, tetapi hanya dijatuhkan satu pidana saja yakni terhadap aturan pidana yang terberat ancaman pidananya, walaupun dapat ditambah sepertiga dari yang terberat (seperti Pasal 65) maka tampaknya pada perbarengan tidak ada pemberatan pidana. Contoh orang yang dua kali melakukan pembunuhan yang masing-masing diancam pidana penjara maksimum 15 (lima belas) tahun, yang artinya untuk dua kali pembunuhan itu dapat dijatuhi pidana penjara dua kali masing-masing 15 (lima belas) tahun, sehingga berjumlah 30 (tiga puluh) tahun. Namun karena ketentuan perbarengan dia tidak dijatuhi pidana penjara dua kali sehingga berjumlah 30 (tiga puluh) tahun, tapi satu kali maksimum 20 tahun (15 tahun ditambah sepertiga).

(36)

pidana (sistem panjatuhan pidana) dalam hal apabila satu orang telah melakukan lebih dari satu tindak pidana di mana semua tindak pidana itu belum diperiksa dan diputus oleh pengadilan. Konkretnya ketentuan perbarengan itu mengatur dan menentukan mengenai : (a). cara menyidangkan atau memeriksa (menyelesaikan) perkara; dan (b) cara atau sistem penjatuhan pidananya terhadap satu orang pembuat yang telah melakukan tindak pidana lebih dari satu yang semuanya belum diperiksa dan diputus oleh pengadilan.

KUHP mengatur perbarengan tindak pidana dalam Bab VI Pasal 63-71. Dalam rumusan pasal maupun dalam Bab IX, KUHP tidak memberikan defenisi/pengertian perberengan tindak pidana (concursus) ini. Namun demikian, dari rumusan pasal-pasalnya, dapat diperoleh pengertian dan sistem pemberian pidana bagi concursus sebagai berikut :

A. Perbarengan Peraturan (Concursus Idealis atau Eendaadse Samenloop)

Apa yang disebut eendaadse samenloop atau concursus idealis atau samenloop van strafbepalingen di atas, oleh pembentuk undang-undang telah diatur di dalam Pasal 63 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang berbunyi :42

“Valt een in meer dan eene strafbepaling, dan wordt slechts eene dier

bepalingen toegepast, bij verschil die daarbij de zwaarste hoofdstraf is gesteld”.

42

(37)

yang artinya : “Apabila suatu prilaku itu termasuk ke dalam lebih dari pada

satu ketentuan pidana, maka hanyalah salah satu dari ketentuan-ketentuan pidana tersebut yang diberlakukan, dan apabila terdapat perbedaan, maka yang diberlakukan adalah ketentuan pidana yang mempunyai ancaman hukuman pokok yang terberat”.

Tim penerjemah Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman telah menerjemahkan rumusan Pasal 63 ayat 1 KUHP tersebut dengan rumusan yang berbunyi :

“Jika suatu perbuatan masuk dalam lebih dari satu aturan pidana, maka

yang dikenakan hanya salah satu di antara aturan-aturan itu, jika berbeda-beda, yang dikenakan yang memuat ancaman pidana pokok yang paling berat”.

Rumusan Pasal 63 ayat 1 KUHP di atas tampaknya sangat sederhana, akan tetapi dari hal-hal yang dituliskan di atas akan diketahui, bahwa pemberian arti kepada ketentuan yang telah diatur di dalamnya itu tidaklah semudah yang diperkirakan orang.

Kesulitan mengenai pemberian arti kepada ketentuan yang telah diatur di dalam Pasal 63 ayat 1 KUHP itu justru terletak pada penafsiran perkataan feit yang terdapat di dalam rumusan Pasal 63 ayat 1 KUHP itu sendiri.

Sistem pemberian pidana yang dipakai dalam concursus idealis adalah sistem absorbsi, yaitu hanya dikenakan pidana pokok yang terberat,43 sedangkan keetntuan-ketentuan yang lain tidak diperhatikan. Misalnya terjadi pemerkosaan

(38)

di jalan umum, maka pelaku dapat diancam dengan pidana penjara selama 12 tahun menurut Pasal 285, dan pidana penajara 2 tahun 8 bulan menurut Pasal 281. Dengan menggunakan sistem absorbsi, maka akan diambil pidana yang terberat, yaitu 12 tahun penjara.

Dalam Pasal 63 ayat (2) terkandung adagium lex specialis derogat legi generali (aturan undang-undang yang khusus meniadakan aturan yang umum). Jadi misalkan ada seorang ibu melakukan aborsi/pengguguran kandungan, maka dia dapat diancam dengan Pasal 338 tentang pembunuhan dengan pidana penjara 15 tahun. Namun, karena Pasal 341 telah mengatur secara khusus tentang tindak pidana ibu yang membunuh anaknya (aborsi), maka dalam hal ini tidak berlaku sistem absorbsi. Ibu tersebut hanya diancam dengan Pasal 341 disebabkan pengaturan yang lebih khusus tersebut.

B. Meerdaadse Samenloop Atau Concursus Realis

Apa yang disebut meerdaadse samenloop atau concursus Realis ataupun apa yang oleh Profesor van Hamel44 juga telah disebut sebagai samenloop van delikten itu, oleh pembentuk undang-undang telah diatur di dalam Pasal-Pasal 65 sampai dengan 71 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Tim penerjemah Wetboek van Strafrecht dari Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman telah menerjemahkan rumusan Pasal 65 ayat 1 KUHP di atas dengan perkataan-perkataan :45

“Dalam hal perbarengan beberapa perbuatan yang harus dipandang sebagai

perbuatan yang berdiri sendiri sehingga merupakan beberapa kejahatan,

44

van HAMEL dalam P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Op.Cit, halaman 696

45

(39)

yang diancam dengan pidana pokok yang sejenis, maka dijatuhkan hanya

satu pidana.”

Rumusan Pasal 66 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana itu antara lain berbunyi sebagai berikut :

“Dalam hal perbarengan bebrapa perbuatan yang masing-masing harus dipandang sebagai sebagai perbuatan yang berdiri sendiri sehingga merupakan beberapa kejahatan yang diancam dengan pidana pokok yang tidak sejenis maka dijatuhkan pidana atas tiap-tiap kejahatan, tetapi jumlahnya tidak boleh melebihi

maksimum pidana terberat ditambah sepertiga.”

Dari terjemahan-terjemahan mengenai bunyi rumusan Pasal-Pasal 65 ayat 1 dan Pasal 66 ayat 1 KUHP oleh tim penerjemah Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman di atas dapat diketahui bahwa tim penerjemah telah menafsirkan perkataan-perkataan meerdaadse feiten di dalam Pasal-Pasal 65 dan 66 KUHP itu sebagai beberapa perbuatan (dalam arti material).

Sistem penjatuhan pidana pada perbarengan perbuatan dibedakan menurut jenis-jenis perbarengan perbuatan. Mengenai pebarengan perbuatan undang-undang telah membedakan menjadi 4 (empat) macam, yaitu :46

1. perbarengan perbuatan yang terdiri dari beberapa kejahatan yang masing-masing diancam dengan pidana pokok yang sama jenisnya (Pasal 65), penjatuhan pidananya dengan menggunakan sistem bisapan yang diperberat (verscherpte absorbsi stelsel), yaitu dijatuhi satu pidana saja (ayat 1) dan maksimum pidana yang dijatuhkan itu ialah jumlah maksimum pidana yang diancamkan terhadap tindak pidana itu, tetapi tidak boleh blebih dari maksimum pidana yang terberat ditambah sepertiganya (ayat 2). 2. perbarengan perbuatan yang terdiri dari beberapa kejahatan yang

diancam dengan pidana pokok yang tidak sama jenisnya (Pasal 66), penjatuhan pidananya dengan menggunakan sistem kumulasi terbatas (het gematigde cumulatie stelsel), artinya masing-masing kejahatan itu diterapkan; yakni pada si pembuatnya dijatuhi pidana sendiri-sendiri sesuai dengan kejahatan-kejahatan yang dibuatnya, tetapi jumlahnya tidak boleh lebih berat dari maksimum pidana

(40)

yang terberat ditambah sepertiganya (ayat 1). Apabila kejahatan yang satu diancam dengan pidana denda sedangkan kejahatan yang lain dengan pidana hilang kemerdekaan (penjara atau kurungan), maka untuk pidana denda dihitung dari lamanya kurungan pengganti denda.

3. perbarengan perbuatan yang terdiri dari kejahatan dengan pelanggaran, penjatuhan pidananya menggunakan sistem kumulasi murni (het zuivere cumulatie stelsel), demikian juga;

4. perbarengan perbuatan yang terdiri dari pelanggaran dengan pelanggaran, menggunakan sistem kumulasi murni, artinya semua kejahatan maupun pelanggaran itu diterapkan sendiri-sendiri dengan menjatuhkan pidana pada si pembuat sesuai dengan ancaman pidana pada kejahatan maupun pelanggaran itu tanpa adanya pengurangan ataupun penambahan batas tertentu.

Untuk menentukan lamanya hukuman yang terberat, sebagaimana yang dimaksudkan di dalam bunyi Pasal 66 ayat 1 KUHP , maka perbandingan berat antara hukuman-hukuman pokok yang tidak sejenis itu ditentukan oleh urutan hukuman-hukuman pokok seperti yang telah diatur di dalam Pasal 10 KUHP.

Mengenai concursus realis ini telah diatur didalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dimulai dari Pasal 65 sampai dengan Pasal 71. Di dalam Pasal 70 diatur mengenai penjatuhan pidana atau hukuman.

Rumusan ketentuan pidana di dalam Pasal 70 KUHP itu berbunyi :

1. Jika ada perbarengan seperti yang dimaksudkan dalam Pasal 65 dan 66, baik perbarengan pelanggaran dengan kejahatan, maupun pelanggaran dengan pelanggaran, maka untuk tiap-tiap pelanggaran dijatuhkan pidana sendiri-sendiri tanpa dikurangi. 2. Mengenai pelanggaran, jumlah lamanya pidana kurungan dan

pidana kurungan pengganti paling banyak atu tahun empat bulan, sedangkan jumlah lamanya pidana kurungan pengganti, paling banyak delapan bulan.

(41)

yang besifat murni di dalam suatu pelanggaran-pelanggaran yang telah dilakukan pelaku.

C. Perbuatan Berlanjut (Voortgezzete Handeling)

Perbuatan berlanjut terjadi apabila seseorang melakukan beberapa perbuatan (kejahatan atau pelanggaran), dan perbuatan-perbuatan itu ada hubungan sedemikian rupa sehingga harus dipandang sebagai satu perbuatan berlanjut.47

Mengenai perbuatan berlanjut ini diatur dalam Pasal 64 yang rumusannya adalah sebagai berikut :

1. jika antara beberapa perbuatan, meskipun masing-masing merupakan kejahatan atau pelanggaran, ada hubungannya sedemikian rupa sehingga harus dipandang sebagai satu perbuatan berlanjut (voorgezette bandeling), maka hanya diterapkan yang memuat ancaman pidana pokok yang paling berat.

2. demikian pula hanya dikenakan satu aturan pidana, jika orang yang dinyatakan bersalah melakukan pemalsuan atau perusakan mata uang, dan menggunakan barang yang dipalsu atau yang dirusak itu.

3. Akan tetapi, jika orang yang melakukan kejahatan-kejahatan tersebut dalam pasal-pasal 364, 373, 379, 407 ayat 1, sebagai perbuatan berlanjut dan nilai kerugian yang ditimbulkan jumlahnya melebihi dari tiga ratus tujuh puluh lima juta rupiah, maka ia dikenakan aturan pidana ersebut dalam Pasal 362, 378, dan 406.

Perbuatan di sini adalah berupa perbuatan yang melahirkan tindak pidana, bukan semata-mata perbuatan jasmani atau juga bukan perbuatan yang menjadi unsur tindak pidana. Pengertian ini lebih sesuai dengan keterangan kalimat di belakangnya yang berbunyi “meskipun masing-masing merupakan pelanggraan

maupun kejahatan”. Tidaklah mempunyai arti apa-apa jika perbuatan di situ

diartikan sebagai perbuatan jasmani belaka, apabila dari wujud perbuatan jasmani

(42)

itu tidak mewujudkan suatu kejahatan maupun pelanggaran, dan pengertian ini lebih sesuai dengan syarat kedua dari perbuatan berlanjut, yang dibelakang akan dijelaskan.

Bila dilihat dari bunyi pasal di atas, dapat dipahami bahwa perbuatan berlanjut di sini, yaitu adanya suatu perbuatan pidana sejenis yang dilakukan berulang kali oleh si pelaku atau bisa merupakan suatu perbuatan yang mirip atau dapat dikategorikan masuk dalam kategori perbuatan tersebut. Misalnya saja seperti, korupsi dengan grativikasi dan juga penyuapan merupakan perbuatan pidana yang termasuk ke dalam suatu golongan pidana, sehingga apabila melakukan dua diantaranya dapat dikatakan berkelanjutan.

Mengenai unsur kedua, yaitu antara perbuatan yang satu dengan perbuatan yang lain harus ada hubungan yang sedemikian rupa tidak ada keterangan lebih lanjut dalam undang-undang. Namun, demikian ada sedikit keterangan di dalam Memorie van Toelichting (MvT) WvS Belanda mengenai pembentukan pasal ini

yaitu : “bahwa berbagai perilaku harus merupakan pelaksanaan satu keputusan

yang terlarang, dan bahwa suatu kejahatan yang berlanjut itu hanya dapat terjadi

dari sekumpulan tindak pidana yang sejenis.”

Para ahli dan demikian juga dalam praktik oleh berbagai putusan Hoge Raad menarik kesimpulan tentang 3 (tiga) syarat adanya voortgezette handeling

yang harus dipenuhi, yang sekaligus juga menggambarkan tentang “ada

hubungan” sebagai ciri pokok dari perbuatan berlanjut itu, ialah :48

1. harus adanya satu keputusan kehendak (wilsbesluit) si pembuat;

48

(43)

2. tindak pidana-tindak pidana dilakukan itu haruslah sejenis;

3. jarak waktu antara melakukan tindak pidana yang saru dengan yang berikutnya (berurutan) tidak boleh terlalu lama.

Mengenai yang pertama, yaitu adanya suatu keputusan kehendak (Wilbesluit). Dalam hal perbuatan berlanjut, keadaan batin kelalaian tidaklah mungkin, berhubung karena syarat pertama perbuatan ialah adanya satu keputusan kehendak, satu keputusan kehendak mana ditujukan pada suatu tindak pidana, dan bukan sekedar pada perbuatan, oleh sebab itu itu pastilah perbuatan yang wujud nyatanya berupa suatu tindak pidana itu dilakukan dengan kesengajaan.49

Dengan adanya satu kehendak untuk melakukan tindak pidana, karena telah sekali direalisasikan dalam suatu perbuatan pidana, maka di lain hari juga terdapat niat dari si pelaku apabila terdapat kesempatan-kesempatan yang ada. Dengan kata lain, niat yang terbentuk yang ditujukan untuk melakukan satu tindak pidana sekaligus juga terbentuk niat yang ditujukan untuk melakukannya lagi pada kesempatan yang lain.

Kedua, Agar tidak menimbulkan persoalan-persoalan maka syarat kedua yaitu Tindak Pidana yang sejenis haruslah terpenuhi. Sebagaimana yang ditulis oleh Lamintang50 “perilaku-perilaku yang menyebabkan telah terjadinya tindak

pidana yang sejenis”. Menggunakan istilah perbuatan dalam syarat kedua masih

dapat menimbulkan persoalan, tetapi dengan menyebut tindak pidana sudahlah jelas bahwa yang harus berulang kali itu adalah tindak pidana, bukan perbuatan semata.

(44)

Ketiga ialah jarak waktu antara tindak pidana yang satu dengan tindak pidana yang berikutnya tidak boleh terlalu lama.Maksudnya ialah, bahwa perbuatan berlanjut ini boleh saja berlangsung sampai dengan bertahun-tahun lamanya, tetapi jarak antara satu dengan yang berikutnya tidaklah boleh terlalu lama temponya51. Jika waktu itu telah terlalu lama akan terdapat kesulitan untuk mencari suatu hubungan antara tindak pidana yang dilakukan itu dengan tindak pidana (sejenis) sebelumnya, dan ini artinya jika waktu itu sudah sekian lamanya maka tidak lagi menggambarkan suatu kelanjutan atau berlanjut. Hal tersebut akan berubah maknanya yang semulanya bisa merupakan perbuatan berkelanjutan akan tetapi karena jarak dengan perbuatan pidana pertama dengan seterusnya yang terlalu jauh maka dikategorikan sebagai suatu perbuatan berulang.

Di dalam putusan kasasi tanggal 5 Maret 1963 No. 162 K/Kr./196252, Mahkamah Agung Republik Indonesia telah memutuskan antara lain :

“penghinaan-penghinaan ringan yang telah dilakukan terhadap lima orang

pada hari-hari yang berlainan, tidaklah mungkin didasarkan pada satu keputusan kehendak (wilsbesluit), maka perbuatan itu tidak dapat dipandang sebagai satu perbuatan daan tidak dapat semua perkaranya itu

diberikan satu putusan.”

Sedangkan di dalam putusan kasasinya tanggal 28 April 1964 No. 156/K/Kr./196353, Mahkamah Agung Republik Indonesia telah emmutuskan anatar lain :

51 Adami Chazawi, Ibid, halaman 136

(45)

“masalah tindakan yang berlanjut atau voortgezette handeling itu hanyalah

mengenai masalah pejatuhan hukuman (straftoemeting) dan tidak mengenai

pembatasan dari tuntutan”.

Menurut Profesor van Bemmelen,54 untuk menetukan apakah beberapa perilaku itu dapat dianggap sebagai satu tindakan berlanjut atau bukan, biasanya tidak begitu mudah, oleh karena semua perilaku itu biasanya juga terdiri dari sejumlah besar tindakan kecil.

Di dalam memori penjelasan mengenai pembentukan Pasal 64 ayat 1 KUHP itu antara lain telah dikatakan, bahwa suatu voortgezet misdrijf itu hanya dapat terjadi apabila di situ terdapat sekumpulan tindak pidana yang sejenis. Tindakan-tindakan ysng telah dilakukan oleh orang itu telah memenuhi kriteria seperti yang pernah dikemukakan di atas, yakni :55

a. bahwa perbuatan berulang kali mengambil sejumlah kecil batu dengan mempergunakan sebuah gerobak dorong itu merupakan pelaksanaan keputusannya yang terlarang menurut undang-undang;

b. bahwa perbuatan-perbuatan orang tersebut telah menghasilkan beberapa tindak pidana ysng sejenis, yaitu tindak-tindak pidaan pencurian;

c. bahwa antara perbuatannya yang satu dengan perbuatannya yang lain tidak diputuskan suatu jangka waktu yang relatif cukup lama.

B. Tindak Pidana Bersama-sama dan Berkelanjutan di Dalam Tindak Pidana Korupsi

1. Penyertaan dalam Tindak Pidana Korupsi

Di dalam suatu Tindak Pidana Korupsi dikenal adanya perbuatan penyertaan (deelneming), yang mana korupsi tersebut dilakukan secara bersama-sama guna memperoleh keuntungan bagi pihak-pihak yang melakukannya,

(46)

sehingga dampaknya akan menyebabkan kerugian keuangan/perekonomian pada negara.

Penyertaan di dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yaitu Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 disebut sebagai pembantuan. Adapun Pasal 15 berbunyi sebagai berikut :

“Setiap orang yang melakukan percobaan, pembantuan atau pemufakatan

jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai

dengan Pasal 14.”

Ketentuan yang terdapat di dalam Pasal 15 tersebut, sebenarnya terdiri dari ketentuan-ketentuan sebagai berikut :56

a. setiap orang yang melakukan Percobaan (Pasal 53 ayat (1) KUHP) untuk melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, pasal 5 sampai dengan Pasal 14 dipidana dengan pidana yang sama dengan setiap orang yang melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14;

b. setiap orang yang melakukan pembantuan (Pasal 56 KUHP) untuk melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14 dipidana dengan pidana yang sama dengan setiap orang yang melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14;

c. Setiap orang yang melakukan pemufakatan jahat (Pasal 88 KUHP) untuk melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14 dipidana dengan pidana yang saam dengan setiap orang yang melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 15 sampai dengan Pasal 14.

Bila melihat isi Pasal 15 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di atas, maka adapun yang dikatakan pembantuan, yaitu adalah hal-hal yang telah

56 R. Wiyono, Pembahasan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,

(47)

diatur sebelumnya pada Pasal 56 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yang berbunyi sebagai berikut :

Dipidana sebagai pembantu kejahatan :

1. mereka yang sengaja memberi bantuan pada waktu kejahatan dilakukan;

2. mereka yang sengaja memberi kesempatan, sarana atau keterangan untuk melakukan kejahatan.

Apabila terdapat seseorang atau suatu korporasi yang memenuhi unsur-unsur Pasal 56 KUHP di atas, maka dapat disimpulkan orang atau korporasi tersebut telah ikut bersama-sama melakukan pembantuan kejahatan khususnya dalam Tindak Pidana Korupsi.

Bila melihat defenisi yang diberikan oleh Pasal 56 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) di atas, dapat dilihat bahwa pembantuan merupakan suatu bagian dari penyertaan tindak pidana. Maka akan berkaitan dengan Pasal 55 KUHP yang mengatur mengenai penyertaan di dalam tindak pidana, dan berlaku pula dalam Tindak Pidana Korupsi.

Pasal 55 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) menyebutkan : 1. mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan ikut serta

melakukan tindak pidana;

2. mereka yang dengan pemberian, perjanjian, menyalahgunakan kekuasaan atau pengaruh, dengan kekerasan, ancaman atau tipu daya atau dengan memberi kesempatan, sarana atau keterangan, sengaja menggerakkan orang lain agar melakukan tindak pidana. Berdasarkan Pasal 55 KUHP tersebut dapat diketahui bahwa orang yang dapat dihukum sebagai pelaku tindak pidana dapat diklasifikasikan atas:57

(48)

a. mereka yang melakukan; b. yang menyuruh melakukan; c. dan yang turut serta melakukan; d. serta penganjur;

e. mereka yang memberi bantuan pada waktu kejahatan dilakukan;

f. mereka yang sengaja memberi kesempatan, sarana atau keterangan untuk melakukan kejahatan.

Dalam hal melakukan tindak pidana korupsi, maka akan lebih mendalam pembahasan mengenai ikut serta dalam tindak pidana korupsi. Ikut serta (medeplegen) merupakan salah satu bagian yang tidak dapat terpisahkan dari penyertaan (deelneming). Dengan kata lain, ikut serta adalah merupakan penyertaan. Menurut MvT pelaku dalam ikut serta (medeplegen)58 adalah orang yang langsung mengambil bagian dalam pelaksanaan perbuatan yang oleh undang-undang dilarang dan diancam dengan hukuman atau melakukan perbuatan-perbuatan atau salah satu perbuatan yang merupakan bagian dari sesuatu pidana.

Banyak pendapat yang dikemukakan khususnya terkait dengan masalah pemenuhan unsur-unsur bagi para peserta dalam bentuk ikut serta ini, antara lain sebagai berikut :

1. Menurut Pompe,59 dalam mewujudkan tindak pidana itu ada tiga kemungkinan, yaitu :

58

P.A.F. Lamintang Dalam Muhammad Ekaputra dan Abdul Khair, Ibid, halaman 55

59

(49)

a. mereka masing-masing memenuhi semua unsur dalam rumusan delik. Mereka ini masing-masing dapat juga disebut melakukan delik.

b. salah seorang memenuhi rumusan delik/unsur-unsur dan ada orang lain ikut serta.

c. tidak seorangpun yang melakukan perbuatan yang memenuhi unsur-unsur delik seluruhnya, tetap mereka bersama-sama mewujudkan delik itu.

2. Menurut Simons dalam Loebby Loqman,60 bahwa dalam ikut serta

semua peserta harus memenuhi semua unsur dari tindak pidana yang dilakukan.

3. Menurut van Hamel dalam E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi,61 bahwa dianggap ada persoalan ikut serta (medeplegen) jika setiap pelaku yang ikut serta harus memenuhi semua unsur delik. Jadi mereka satu sama lain menjadi pelaku peserta. Di luar hal-hal itu maka adalah bentuk penyertaan yang berupa pembantuan.

4. Menurut Hoge Raad, bahwa tidak perlu semua peserta, dalam penyertaan yang berbentuk ikut serta harus memnuhi semua unsur tindak pidana yang dilakukan. Ada kalanya memang harus memenuhi tetapi dapat pula tidak memenuhi unsur tindak pidana yang dilakukan. Yang terpenting menurut Hoge Raad adalah dipenuhinya syarat-syarat ikut serta. Begitu pula Mahkamah Agung Republik Indonesia juga berpendapat bahwa dalam ikut serta peserta tidak harus memenuhi semua unsur dalam tindak pidana.62

60

Loebby Loqman Dalam Muhammad Ekaputra dan Abdul Khair, Percobaan dan

Penyertaan,Op.Cit, halaman 56

(50)

Bila dikaitkan dengan tindak pidana korupsi, penyertaan (deelneming) adalah keturutsertaan seseorang atau orang-orang yang terlibat dalam korupsi, ataupun yang membantu seseorang dalam melakukan tindak pidana korupsi baik dalam penganjuran untuk melakukan tindak pidana korupsi, atau memberi pembantuan. Pembantuan diberikan baik dalam bentuk sarana dan prasarana, kesempatan dan pemberian/penyampaian informasi kepada seseorang yang akan melakukan tindak pidana korupsi.

Bila dilihat lebih jauh, maka dalam tindak pidana korupsi yang lebih banyak terjadi adalah seseorang yang turut serta melakukan atau bersama-sama melakukan tindak pidana korupsi sebagimana yang telah diatur di dalam Pasal 55 ayat 1 KUHP.

Adapun perbedaan antara pembantuan dan turut serta, terdapat tiga teori, antara lain:63

1. Teori Obyektif (de obyectieve deelnenings theorie)

Untuk membedakan antara turut serta dengan pembantuan dilihat dari sifat perbuatan yang merupakan obyek tindak pidana. Apabila seseorang melakukan perbuatan yang menurut sifatnya adalah merupakan perbuatan yang dilarang undang-undang, maka orang

tersebut melakukan dalam bentuk “turut serta”. Sedangkan apabila

orang tersebut perbuatannya tidak bersifat tindak pidana, dia

dianggap melakukan “pembantuan”.

2. Teori Subyektif (de subyectieve deelnemings theorie)

Dasar teori ini adalah niat dari para peserta dalam suatu penyertaan. Di dalam turut serta pelaku memang mempunyai kehendak terhadap terjadinya tindak pidana. Sedangkan dalam pembantuan kehendak ditujukan kearah memberi bantuan kepada orang yang melakukan tindak pidana.

Disamping perbedaan kehendak, dalam turut serta pelaku mempunyai tujuan yang berdiri sendiri. Apakah ia dibantu atau tidak tetap dia mempunyai tujuan melakukan tindak pidana.

63

(51)

Sedangkan dalam pembantuan tidak mempunyai tujuan yang berdiri sendiri. Artinya tujuan disandarkan kepada tujuan si pelaku utama. Artinya pembantu hanya memberikan bantuan apabila ia mengetahui ada orang lain yang akan melakukan tindak pidana. Dalam hal kepentingan, peserta dalam turut serta mempunyai kepentingan dalam tindak pidana, sedangkan pembantuan kepentingannya tidak langsung terhadap terjadinya tindak pidana itu, tetapi terbatas atas bantuan yang diberikan.

3. Teori Gabungan (verenigings theorie)

Artinya dalam hal penerapan delik digunakan teori obyektif. Karena delik formil melarang perbuatan seseorang. Sehingga tepat apabila digunakan teori obyektif. Dalam delik materil digunakan teori subyektif. Karena lebih melihat akibat yang dilarang undang-undang. Dengan digunakannya teori subyektif dapat dilihat kehendak, tujuan serta kepentingan masing-masing peserta.

Dalam membedakan antara turut serta dengan pembantuan di dalam praktek sering dilihat apakah seseorang memenuhi syarat dari bentuk turut serta yakni terdapat kesadaran kerja sama dan kerja sama itu secara fisik. Apabila memang memenuhi syarat tersebut maka peserta itu diklasifikasikan sebagai turut serta. Sedangkan apabila tidak memenuhi syarat diatas,

Referensi

Dokumen terkait

Hasil riset menunjukkan bahwa faktor heterogenitas dan karakteristik (individu dan organisasi) yang mempunyai hubungan erat dan berpengaruh terhadap partisipasi masyarakat

Puji Syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah membimbing saya selaku peneliti telah menyelesaikan proposal penelitian dengan judul “Analisis Perbedaan Kepuasan Mahasiswa

Pada hari ini Senin tanggal Dua Puluh Tujuh bulan Agustus Tahun Dua Ribu Dua Belas , kami selaku Pokja Pengadaan Barang/Jasa Satker MAN 8 Jakarta Kementerian Agama

JADWAL PERKULIAHAN SEMESTER V (GANJIL) TAHUN AKADEMIK 2015/2016 PROGRAM STUDI TEKNIK INFORMATIKA (S1). KELAS

Kuasa Pengguna Anggaran Madrasah Aliyah Negeri Laburunci Alamat Desa Laburunci Kecamatan PasaMajo KabupaEn Buion mengumumkan Rencana Umum Pengadaan Barang/Jasa untuk

[r]

Jenis pertanyaan yang diajukan oleh Siswa secara umum dapat diklasifikasi ke dalam tiga tingkatan proses metakognitif, yaitu: (1) proses metakognitif tingkat rendah ( low

Rumah sakit merupakan salah satu sarana kesehatan yang digunakan sebagai upaya penyelenggaraan dan pembangunan kesehatan dituntut untuk terus meningkatkan dan