PIDANA DAN DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI
B. Tindak Pidana Bersama-sama dan Berkelanjutan di Dalam Tindak Pidana Korupsi Pidana Korupsi
3. Pidana Berkelanjutan dalam Tindak Pidana Korupsi
Perbuatan berlanjut (voortgezette handeling) pada dasarnya adalah beberapa tindak pidana yang satu sama lain saling berhubungan sehingga dipandang sebagai satu tindak pidana yang terjadi secara berlajut. Untuk dapat dikatakan ada perbuatan berlanjut beberapa tindak pidana tersebut harus terjadi karena satu keputusan kehendak, waktu antara perbuatan yang satu dan yang lain tidak boleh lama, dan perbuatan-perbuatan tersebut sama atau sama jenisnya. Dengan demikian, perbuatan-perbuatan tersebut merupakan beberapa tindak pidana yang dilakukan dengan tempus dan locus delicti sendiri-sendiri, tetapi karena lahir dari satu keputusan kehendak dipandang sebagai perbuatan berlanjut.
Dilihat dari segi pemidanaan, sebenarnya hampir tidak ada perbedaan apakah perbuatan itu dipandang sebagai delik tunggal, ataupun dipandang sebagai gabungan delik (samenloop), terutama dalam hal perbuatan berlanjut (voortgezette handeling). Mengingat hanya dijatuhkan satu pidana saja dari serangakain pidana sejenis, atau jika berbeda-berbeda diterapkan ancaman pidana yang paling berat , sedangkan ketentuan yang lain tidak diperhatikan (absobsi). Dalam yurisprudensi dan ilmu pengetahuan perbuatan berlanjut dipandang jika bermacam-macam perbuatan yang dilakukan, jarak perbuatan antara perbuatan yang satu dengan perbuatan seterusnya tidak terlalu jauh dan diakibatkan oleh satu kehendak.
Adapun pengaturan mengenai perbuatan berlanjut (voortgezzette handeling) diatur dalam pasal 64 yang rumusannya adalah sebagai berikut :
1. Jika antara beberapa perbuatan, meskipun masing-masing merupakan kejahatan atau pelanggaran, ada hubungannya sedemikian rupa sehingga harus dipandang sebagai satu perbuatan berlanjut, maka hanya diterapkan satu aturan pidana; jika berbeda-beda, yang diterapkan yang memuat ancaman pidana pokok yang paling berat.
2. Demikian pula hanya dikenakan satu aturan pidana, jika orang yang dinyatakan bersalah melakukan pemalsua atau perusakan mata uang, dan menggunakan barang yang dipalsu atau yang dirusak itu.
3. Akan tetapi, jika orang yang melakukan kejahatan-kejahatan tersebut dalam Pasal-Pasal 364, 373, 379, dan 407 ayat 1, sebagai perbuatan berlanjut dan nilai kerugian yang ditimbulkan jumlahnya melebihi dari tiga ratus tujuh puluh lima rupiah, maka ia dikenakan aturan pidana tersebut dalam Pasal 362, 372, dan 406.
Jika dicermati ketentuan tentang perbuatan berlanjut sebagaimana ditentukan dalam Pasal 64 ayat (1) KUHP di atas, yang dimaksud dengan kata perbuatan dalam ketentuan tersebut adalah tindak pidana, mengingat kata perbuatan tersebut diperjelas dengan anak kalimat meskipun masing-masing merupakan kejahatan atau pelanggaran. Kejahatan dan pelanggaran adalah tindak pidana, sehingga beberapa perbuatan yang berlanjut tersebut adalah beberapa tindak pidana yang berlajut. Dengan demikian, maka perbuatan berlanjut dalam tindak pidana korupsi harus memenuhi unsur tersebut, yaitu: perbuatan itu harus sama atau sama macamnya dan harus ditafsirkan sebagai “tindak pidana-tindak
pidana itu harus sama atau sama macamnya”.
Banyak ahli hukum menerjemahkan voorgezette handeling66 itu dengan perbuatan berlanjut. Utrecht menyebutkan dengan “perbuatan terus menerus”,
Schravendijk-sama juga dengan Wirjono Pro-djodikoro menyebutkan dengan “perbuatan yang dilanjutkan”, dan Soesilo menyebutkan dengan “perbuatan yang diteruskan.”
Apapun istilah yang digunakan, mengenai apa yang dimaksud dengan perbuatan yang berlanjut pada rumusan ayat pertama, pada dasarnya adalah67
“beberapa perbuatan baik berupa pelanggaran maupun kejahatan, yang satu
dengan yang lain terdapat hubungan yang sedemikian rupa sehingga harus
dipandang sebagai satu perbuatan yang berlanjut.” Berdasarkan rumusan ayat (1) tadi, dapat ditarik unsur-unsur dari perbuatan berlanjut ialah :
1. adanya beberapa perbuatan, meskipun berupa; a. pelanggaran; atau
b. kejahatan;
2. antara perbuatan yang satu dengan yang lain terdapat hubungan yang sedemikain rupa sehingga dipandang sebagai perbuatan yang berlanjut;
Perbuatan di sini adalah berupa perbuatan yang melahirkan tindak pidana, bukan semata-mata perbuatan jasmani atau juga bukan perbuatan yang menjadi unsur tindak pidana. Pengertian ini lebih sesuai dengan keterangan kalimat di
belakangnya yang berbunyi “meskipun masing-masing merupakan pelanggaran
maupun kejahatan”. Pelanggaran dan kejahatan adalah sesuatu tindak pidana (penafsiran sistematis). Tidaklah mempunyai arti apa-apa jika perbuatan di situ diartikan sebagai perbuatan jasmani belaka, apabila dari wujud perbuatan jasmani
itu tidak mewujudkan suatu kejahatan maupun pelanggaran, dan pengertian ini lebih sesuai dengan syarat kedua dari perbuatan berlanjut, yang dibelakang akan dijelaskan.
Di dalam Tindak Pidana Korupsi, mengenai perbuatan berkelanjutan tidak ada pengaturan secara khusus di dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Nomor 31 Tahun 1999 jo Nomor 20 Tahun 2001. Akan tetapi dalam pemutusan perkara korupsi, sering kali ditemukan putusan hakim baik di Pengadilan Negeri ataupun Hakim di Mahkamah Agung yang mengikutkan
perbuatan berlanjut setelah kata “bersama-sama melakukan tindak pidana
korupsi”.
Dengan kata lain dalam korupsi, perbuatan berlanjut seringkali terjadi bersamaan dengan perbuatan ikut serta (medeplegen) dalam penyertaan Tindak Pidana korupsi. Dikatakan perbuatan berkelanjutan dalam tindak pidana korupsi dikarenakan bahwa perbuatan tersebut dilakukan secara berlanjut baik dengan pidana sejenis dalam Tindak Pidana Korupsi.
Misalnya saja, dalam perbuatan korupsi, bahwasanya telah terjadi korupsi yang dilakukan seseorang atau lebih dari satu orang yang ikut serta dalam korupsi dan telah mengakibatkan kerugian terhadap keuangan negara. Lalu untuk menutupi kejahatannya, orang tersebut menyuap aparat penegak hukum atau pihak-pihak terkait yang mengetahui bahwa ia melakukan Tindak Pidana Korupsi. Dalam contoh tersebut, dapat dilihat adanya perbuatan berkelanjutan yang masih dikategorikan sebagai perbuatan pidana sejenis, karena penyuapan merupakan bagian dari Tindak Pidana Korupsi.
Melihat dari hal-hal yang telah dikemukakan banyak sekali terdapat kasus Tindak Pidana Korupsi yang dilakukan secara berkelanjutan, dan tentu saja masih berkaitan dengan pidana ikut serta dalam korupsi. Contohnya dapat dilihat pada Putusan Pengadilan Negeri Negara, dengan nomor perkara 29/Pid.Sus/ 2011/PN.NGR atas nama terdakwa Prof.Dr. drg. I Gede Winasa yang dikenakan Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 ayat (1) huruf b Undang-Undang No. 31 tahun 1999 jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo Pasal 64 ayat (1) KUHP, karena telah terbukti bersama-sama dan berkelanjutan melakukan tindak pidana korupsi pada saat sebagai Bupati Jembrana, Bali.68
Selain itu ada juga kasus pidana korupsi bersama-sama dan berkelanjutan yang lainnya yang akan dibahas lebih lanjut, yaitu Putusan Mahkamah Agung Nomor 996 K/Pid/2006 atas nama terdakwa Hamdani Amin yang berprofesi sebagai Pegawai Negeri Sipil/Kepala Biro di Komisi Pemilihan Umum (KPU). Terdakwa didakwakan Pasal 11 jo Pasal 18 ayat (1) huruf b, ayat (2) dan ayat (3) UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Dengan melihat perkara-perkara tindak korupsi tersebut, dapat dilihat bahwa dalam tindak pidana korupsi bahwasanya pengaturan perbuatan berlanjut harus diikutsertakan dengan penyertaan (deelneming) di dalam Tindak Pidana Korupsi.
68
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
Sebagaimana diketahui bersama menurut pandangan doktrin, pada asasnya ketentuan Hukum Pidana dapat diklasifikasikan menjadi Hukum Pidana Umum (ius commune) dan Hukum Pidana Khusus ( ius singulare, ius speciale, atau bijzonder strafrecht). Ketentuan Hukum Pidana Umum dimaksudkan berlaku secara umum seperti termaktub dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), sedangkan ketentuan Hukum Pidana Khusus menurut Pompe1, A. Nolten, Sudarto, dan E.Y. Kanter diartikan sebagai ketentuan hukum pidana yang mengatur mengenai kekhususan subjeknya dan perbuatan yang khusus (bijzondelijk feiten).
Tindak pidana korupsi merupakan salah satu bagian dari hukum pidana khusus di samping mempunyai spesifikasi tertentu yag berbeda dengan hukum pidana umum, seperti adanya penyimpangan hukum acara serta apabila ditinjau dari materi yang diatur. Karena itu tindak pidana korupsi secara langsung maupun tidak langsung dimaksudkan menekan seminimal mungkin penyimpangan tersebut, diharapkan roda perekonomian dan pembangunan dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya sehingga lambat laun akan membawa dampak adanya peningkatan pembangunan dan kesejahteraan masyarakat pada umumnya.2
1 Lilik Mulyadi, Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia, Normatif, Teoritis, Praktik dan
Masalahnya, Penerbit : PT. Alumni, Bandung, 2007, halaman 1
2
Dengan tolak ukur bahwasanya tindak pidana korupsi bersifat tindak pidana yang luar biasa (extra ordinary crimes) karena bersifat sistemik, endemik yang berdampak luar biasa
(systematic and widespread) yang tidak hanya merugikan keuangan negara tetapi juga melanggar
Lord Acton pernah membuat ungkapan yang menghubungkan antara
“korupsi” dengan “kekuasaan”, yakni “Power tends to corrupt, and absolut
power corrupts absolutely” bahwa kekuasaan cenderung untuk korupsi dan
kekuasaan yang absolut cenderung korupsi absolut.3 Artinya, kekuasaan adalah bagian yang sangat rentan terhadap penyakit korupsi. Secara tidak langsung hal ini mengisyaratkan bahwa kekuasaan dapat dijadikan sebagai sarana yang dapat mempermudah bagi pemangkunya untuk menjelma menjadi seorang koruptor.
Permasalahan korupsi juga merupakan bagian dari persoalan hukum, sebab melalui hukum, korupsi diharapkan dapat diberantas. Hukum itu sendiri menurut Hamaker dirumuskan sebagai suatu refleksi dalam kehidupan masyarakat. Dengan demikian, hukum tidak terlepas dalam kehidupan masyarakat. Sedangkan Roscoe Pound menegaskan “law is a tool of social
engineering” atau hukum sebagai alat mengatur dan mengelola masyarakat.
Dengan kata lain, hukum harus mengarahkan menuju masyarakat yang lebih
ordinary measure sehingga banyak peraturan, lembaga dan komisi yang telah dibentuk oleh Pemerintah Republik Indonesia seperti Era Presiden Soekarno (1945-1965) adalah Peraturan Penguasa Militer No. PRT/PM/06/1957, Peraturan Pemberatasan Korupsi Penguasa Perang Pusat No. Prt/Perpu/013/1958 dan UU No. 24/Prp/1960, kemudian pada Era Presiden Soeharto (Orde Baru) berupa Keppres No. 228 Tahun 1967 tanggal 2 Desember 1967 tentang Pembentukan Tim Pemberantasan Korupsi, Keppres No. 12 Tahun 1970 tanggal 31 Januari 1970 tentang Pembentukan Komisi Empat, UU No. 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Inpres No. 9 Tahun 1977 tentang Pembentuka Tim Operasi Tertib Kewibawaan dan Pemberantasan Korupsi Tahun 1982, kemudian pada Era Presiden BJ Habibie berupa TAP MPR No. XI/MPR/1998 tentang Pemerintah yang bersih dan bebas KKN, Keppres No. 27 Tahun 1998 dan UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, berikutnya pada Era Presiden Abdurrahman Wahid adalah Keppres No. 127 Tahun 1999 tentang Pembentukan Komisi Pengawasan Kekayaan Pejabat Negara (KPKPN), Keppres No. 44 Tahun 2000 tentang Komisi Ombudsman dan PP No. 19 Tahun 2000 Pembentukan Tim Gabungan Tindak Pidana Pemberantasan Korupsi (TGPTPK), pada Era Presiden Megawati Soekarno Putri adalah UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) seta pada Era Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono adalah Instruksi Presiden Republik Indonesia No. 5 Tahun 2004 tanggal 9 Desember 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi, Keppres No. 11 Tahun 2005 tanggal 2 Mei 2005 tentang Tim Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Timtas Tipikor).
baik.4 Sudikno Mertokusumo mengartikan hukum sebagai kumpulan peraturan atau kaedah, mempunyai isi yang bersifat umum dan normatif. Umum karena berlaku bagi setiap orang dan normatif karena menentukan apa yang seyogyanya dilakukan, apa yang tidak boleh dilakukan serta menetukan bagaimana cara melaksanakan kepatuhan pada kaedah-kaedah.5
Tindak pidana korupsi telah menjadi permasalahan serius di Indonesia, karena telah merebak ke segala bidang dan sektor kehidupan masyarakat secara meluas dan sistematis.6 Korupsi adalah wujud nyata pelanggaran terhadap hak-hak sosial masyarakat mulai endemis dan sistematis. Korupsi juga dilakukan oleh pejabat atau mantan kepala pemerintahan pada masa kepemerintahan/kepemimpinannya bahkan setelah tidak menjabat (high profile crime) dan sebagian besar hasil korupsi tersebut disimpan diluar negeri.7 Korupsi juga salah satu akar permasalahan yang memperburuk roda perekonomian yang menyebabkan krisis ekonomi yang terjadi di negara ini dan menghambat jalannya sistem hukum yang dimanfaatkan undang-undang.
Korupsi tidak lagi dirasakan sebagai sesuatu yang merugikan keuangan dan/atau perekonomian negara saja, tetapi juga sepatutnya dilihat sebagai sesuatu yang melanggar hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat sebagai bagian dari hak asasi manusia. Oleh karena itu, terdapat cukup alasan yang rasional untuk mengkatagorikan korupsi sebagai sebuah kejahatan luar biasa (extraordinary
4 Firman Wijaya, Peradilan Korupsi Teori dan Praktik, Penaku berkerjasama dengan Maharani Pres, Jakarta, 2008, halaman 1
5 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, Suatu Pengantar, Liberti, Jogjakarta, 1995, halaman 41
6 Penjelasan atas Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, Paragraf ke-2
crime) dan dengan menggunakan instrumen-instrumen hukum yang luar biasa pula (extraordinary instrument).8
Marwan Effendy mengemukakan bahwa korupsi semakin terpola dan sistematis, lingkupnya juga telah menyentuh ke seluruh aspek kehidupan masyarakat dan lintas batas negara. Atas dasar hal tersebut, korupsi secara nasional disepakati tidak saja sebagai extraordinary crime saja, tetapi juga sebagai kejahatan transnasional.9
Korupsi dalam praktik pelaksanaannya sangat erat kaitannya dengan keuangan negara. Keuangan negara dalam arti luas meliputu APBN, APBD, keuangan negara pada Perkebunan Nusantara, dan sebagainya. Keuangan negara dalam arti sempit hanya meliputi setiap badan hukum yang berwenang mengelola dan mempertanggungjawabkan keuangan negara.10 Korupsi adalah bagian dari aktivitas-aktivitas buruk yang menjauhkan negara ini dari pemerintahan yang bersih, jujur dan jauh dari rasa keadilan. Dengan kata lain, korupsi telah menggoyahkan sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Korupsi juga selalu mendapatkan perhatian yang lebih dibanndingkan dengan tindak pidana lainnya di berbagai belahan dunia. Fenomena ini dapat dimaklumi mengingat dampak negatif yang ditimbulkan dan menyentuh berbagai bidang kehidupan. Korupsi merupakan masalah serius, tindak pidana ini dapat membahayakan stabilitas dan keamanan masyarakat, membahayakan pembangunan sosial ekonomi, dan juga politik, serta dapat merusak nilai-nilai
8 Elwi Danil, Korupsi : Konsep, Tindak Pidana, dan Pemberantasannya. PT. Rajagrafindo, Jakarta, 2011, halaman ; 76
9 Tjandra Sridjaja Pradjonggo, Sifat Melawan Hukum Dalam Tindak Pidana Korupsi, Indonesia Lawyers Club (ILC), Surabaya, 2010, halaman 4
demokratis dan moralitas karena lambat laun perbuatan ini seakan menjadi sebuah budaya tersendiri. Korupsi merupakan ancaman terhadap cita-cita menuju masyarakat adil dan makmur.11
Berbagai peraturan perundang-undangan yang lahir dengan maksud untuk memberantas korupsi telah diterbitkan, namun praktik korupsi masih terus berulang dan semakin kompleks dalam realisasinya. Bahkan hal ini diperparah lagi dengan korupsi yang dilakukan aparat penegak hukum yang seharusnya bertugas memberantas korupsi dan menegakkan peraturan yang berlaku.
Pasal 32 UU PTPK secara harafiah sudah mengatur bahwa kalau tidak ada bukti adanya “perbuatan melawan hukum” namun kerugian Negara secara nyata telah ada maka penyidik harus melimpahkan kepada jaksa Negara untuk dilakukan gugatan perdata. Sebaliknya dapat dipahami bahwa bila bukti adanya “perbuatan melawan hukum” telah cukup dan kerugian Negara itu belum terjadi (tetapi berpotensi terjadi),12 maka seburuk-buruknya bila tidak dituntut dengan pasal 2 ayat 1 UU PTPK, pelakunya harus dituntut dengan Pasal 15 UU PTPK yaitu “Setiap orang yang melakukan percobaan, pembantuan, atau permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14”.
Di dalam Tindak Pidana Korupsi, kita mengenal adanya bersama-sama melakukan atau yang disebut penyertaan (deelneming), yang mana didalam
11 Korupsi yang terjadi di lingkungan peradilan mengakibatkan lembaga peradilan menjadi tidak independen dan tidak imparsial, sehingga timbul ketidakpastian hukum, ketidakmandirian lembaga peradilan dan isntitusi hukum (polisi, jaksa penuntut umum, advokat dan hakim) kemudian selanjutnya inilah yang disebut sebagai judicial corruption, (Frans H. Winarta, Opcit, halaman 289-290)
12
http://www.bogorplus.com/index.php/artikel/5396-delik-percobaan-cukup-untuk-menindak-korupsi.html, diakses pada tanggal 9 Maret 2013.
penjatuhan putusan korupsi yang dilakukan bersama-sama itu terkait dengan adanya perbuatan berkelanjutan. Sehingga sering ditemukan adanya putusan hakim yang memvonis “bersama-sama melakukan dan perbuatan atau pidana berkelanjutan” di dalam kasus korupsi. Hal ini dapat kita lihat memalui kasus pidana kasasi dengan nomer register 996/K/Pid/2006. Doktrin hukum pidana sudah dahulu mengatur dengan apa yang dinamakan sebagai perbuatan pidana berlanjut (concursus). Pengertian dari concursus berlanjut adalah suatu perbuatan yang dilakukan secara berulang-ulang atau berangsur-angsur dimana perbuatan itu sejenis berhubungan dan dilihat dalam satu perbuatan.
Batasan waktu yang terciri dalam concursus berlanjut adalah dibatasi pada putusan hakim (in kracht). Sistem pemberian pidana bagi perbuatan berlanjut menggunakan sistem absorbs, yaitu hanya dikenakan ancaman terberat. Dan apabila berbeda-beda, maka dikenakan ketentuan pidana pokok yang terberat.
Sebagaimana yang kita ketahui hakim merupakan salah satu aparat penegak hukum memiliki kewenangan dalam menjatuhkan hukuman atau pemidaan seadil-adilnya sesuai dengan rasa keadilan yang hidup di dalam suatu masyarakat. Tetapi masih saja menjadi pertanyaan besar bagi beberapa orang mengenai keadilan hakim dari vonis ataupun penjatuhan hukum didalam korupsi tersebut, misalnya saja penjatuhan pidana tindak pidana korupsi yang dilakukan secara bersama-sama dan berkelanjutan, mulai timbul pertanyaan apakah sudah tepat hakim menjatuhkan vonis mengenai perkara tersebut, sesuai sebagaimana yang diketahui bahwa pidana berkelanjutan (concursus) haruslah dijatuhkan
hukuman pidana yang terberat dari perbuatan-perbuatan pidana yang dilakukan khususnya di dalam Tindak Pidana Korupsi.