• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI

D. Penyesuaian Diri Individu Tuna Rungu dalam Melanjutkan

Tinggi)

Sepanjang rentang kehidupannya, manusia akan selalu melakukan penyesuaian diri terhadap segala hal terutama pada lingkungannya. Begitu juga dengan individu tuna rungu, mereka harus lebih dapat menyesuaikan diri dengan adanya keterbatasan kemampuan dalam mendengar, yang mempengaruhi komunikasi dengan orang lain. Hambatan dalam perkembangan sosialnya ini dapat mengakibatkan bertambah minimnya penguasaan bahasa, kecenderungan untuk menyendiri serta kecenderungan untuk memiliki sifat-sifat egosentris (Somantri, 2006).

Somantri (2006) juga menjelaskan bahwa dengan keterbatasan pendengaran yang dimiliki, individu tuna rungu juga memiliki sensitivitas yang lebih baik pada indera-indera lainnya. Misalnya, penglihatan dimana mereka menangkap semua informasi dengan menggunakan mata. Selain itu, fungsi motorik individu tuna rungu juga berkembang lebih cepat. Individu tuna rungu sama seperti individu normal lainnya mereka juga punya hati dan perasaan, inteligensi dan keterampilan untuk mandiri yang tidak kalah dengan orang normal. Mereka hanya terhambat dalam hal komunikasi (Albertus, 2007). Hambatan dalam berkomunikasi ini menurut Hallahan dan Kauffman (1982) membuat individu tuna rungu mengisolasi diri dari kehidupan sosialnya. Mereka cenderung

berinteraksi hanya dengan teman-teman yang juga mengalami gangguan pendengaran.

Individu tuna rungu juga diindikasikan mengalami kecemasan, karena mereka harus berhadapan dengan lingkungan yang memiliki beraneka ragam cara berkomunikasi, yang membingungkan bagi tuna rungu. Selain kecemasan, Somantri (2006) juga mengungkapkan bahwa tuna rungu juga menghadapi konflik, kebingungan, dan ketakutan karena hidup dalam lingkungan yang bermacam-macam. Terlebih lagi ketika mereka menempuh pendidikan di sekolah reguler/ umum, dimana mereka harus berhadapan dan berinteraksi dengan orang normal.

Seseorang yang berkebutuhan khusus, dimana ia memiliki kecacatan atau kekurangan biasanya memperoleh pendidikan di sekolah khusus, yaitu Sekolah Luar Biasa (SLB). Belakangan ini muncul usaha-usaha yang dilakukan untuk mengurangi dampak-dampak negatif terhadap sistem pendidikan di Sekolah Luar Biasa. Usaha tersebut dilakukan dengan memasukkan mereka ke sekolah-sekolah reguler/ umum. Hal tersebut diungkapkan oleh Partowisastro (1983), dimana ia menjelaskan bahwa usaha tersebut dilakukan dengan tujuan supaya membiasakan mereka bergaul dengan orang-orang biasa, sebagai persiapan untuk menghadapi tantangan ketika mereka terjun dalam masyarakat. Persamaan hak antara orang dengan kebutuhan khusus dan orang-orang normal untuk memperoleh pendidikan yang sama sedang digalakkan di Indonesia. Orang-orang dengan kebutuhan khusus tersebut diberi kesempatan untuk mengenyam pendidikan di sekolah

reguler/ umum. Sistem pendidikan seperti ini dikenal dengan pendidikan inklusi (Royanto, 2005).

Saat ini, Departemen Pendidikan Nasional menetapkan bahwa pendidikan inklusi ditujukan bagi mereka yang memiliki hambatan penglihatan, pendengaran serta kesulitan belajar. Aspek psikologis yang dapat dikembangkan dari individu yang berkebutuhan khusus tersebut, yang paling utama adalah pengembangan keterampilan sosial, tanggung jawab dan kemandirian individu. Dari keterampilan sosialnya, individu berkebutuhan khusus memiliki kesempatan untuk belajar bagaimana membina persahabatan, berkomunikasi ataupun menyelesaikan masalah dalam pergaulan. Di dalam kelas reguler, individu berkebutuhan khusus tidak diperlakukan secara khusus sehingga mereka harus dapat mandiri dan bertanggung jawab atas tugas-tugasnya.

Dwihastuti (2003) menjelaskan bahwa di sekolah tentunya terdapat kegiatan akademis dan juga kegiatan ekstrakurikuler. Dalam kegiatan akademis, individu dituntut untuk dapat mengikuti proses belajar-mengajar yang ada. Ia dapat mengikuti pelajaran yang diberikan oleh pengajar, dapat menyelesaikan tugas-tugas yang diberikan dan juga diharapkan dapat terlibat aktif dalam proses belajar-mengajar tersebut. Selain kegiatan belajar-mengajar, individu juga diharapkan dapat mengasah kemampuannya selain yang berhubungan dengan kemampuan akademis, misalnya yang berkaitan dengan keterampilan, hobi atau kegemaran, atau kemampuan lainnya yang ia miliki. Bagi individu dengan kebutuhan khusus, ini dapat dijadikan bekal hidupnya kelak. Relasi yang muncul

dalam ruang lingkup sekolah meliputi relasi antar individu sebaya atau antar siswa dan juga relasi individu dengan pengajar.

Lebih lanjut Asyanti, dkk. (2002) mengungkapkan bahwa di sekolah individu dituntut untuk bisa menerima kekuasaan yang ada, menaruh perhatian dan berpartisipasi terhadap kegiatan yang ada di sekolah baik kegiatan akademis maupun kegiatan non-akademis. Selain itu, individu juga diharapkan untuk memiliki hubungan yang sehat dan akrab dengan teman sekelas, guru, dan pembimbing sekolah, bertanggung jawab dan mentaati peraturan yang ada di sekolah, dan membantu mewujudkan tujuan sekolah. Woolfolk (1990) menambahkan bahwa individu berkebutuhan khusus terutama yang mengalami gangguan pendengaran tidak hanya membutuhkan peralatan yang menunjang seperti alat bantu dengar, tetapi juga membutuhkan dukungan emosional yang lebih besar. Hubungan yang baik serta dukungan dari teman sebaya dan guru yang ia peroleh, dapat membantu individu tuna rungu dalam mengambil bagian saat proses belajar mengajar di kelas.

Pada umumnya, perkembangan kognitif individu tuna rungu sama potensialnya dengan orang normal. Akan tetapi, secara fungsional dipengaruhi oleh tingkat kemampuan berbahasanya, keterbatasan informasi yang dapat ia terima, dan daya abstraksinya (Somantri, 2006). Tingkat intelegensi yang rendah pada individu tuna rungu bukan berasal dari hambatan intelektualnya melainkan karena kurangnya kesempatan untuk mengembangkan intelegensinya. Aspek intelegensi yang terhambat pada individu tuna rungu ini berkaitan dengan kemampuan verbal, misalnya untuk merumuskan pengertian, menghubungkan,

menarik kesimpulan, dan meramalkan kejadian. Oleh sebab itu, pengajaran individu tuna rungu pada dasarnya sama dengan pengajaran anak normal lainnya, hanya saja membutuhkan teknik berkomunikasi yang khusus dalam mengajar supaya mereka dapat benar-benar memahami materi yang diberikan (Kirk,1972).

Somantri (2006) juga menjelaskan bahwa kurangnya pemahaman bahasa baik lisan maupun tulisan sering mengakibatkan kesalahan penafsiran secara negatif sehingga sering membuat mereka merasakan tekanan emosi. Perkembangan pribadinya pun menjadi terhambat akibat tekanan emosi tersebut. Biasanya mereka menjadi bersikap menutup diri, bertindak agresif atau menampakkan rasa bimbang dan ragu-ragu.

Dalam menempuh pendidikan di sekolah reguler/ umum ini, individu tuna rungu dapat menunjukkan bahwa selain dirinya mempunyai kekurangan, ia juga mempunyai kelebihan. Mereka dapat mengembangkan segala potensi yang mereka miliki secara optimal jika mereka diberi kesempatan, meskipun mereka lebih lambat dibandingkan dengan individu normal lainnya. Mereka juga sangat membutuhkan dukungan perhatian dan kasih sayang terutama dari orang-orang terdekatnya. Menurut Hallahan dan Kauffman (1982), penerimaan dari lingkungan sekitar akan ketidakmampuan yang dimilikinya terutama dari orang tua dan keluarga dapat mempengaruhi perkembangan pribadi individu dengan kebutuhan khusus menjadi lebih baik. Kepercayaan diri sangat dibutuhkan sebagai modal dasar untuk sukses dan cara untuk bertahan dari depresi atas tekanan sosial, kecemasan dan frustrasi. Kebanyakan individu dengan kebutuhan khusus mempunyai kepercayaan diri yang rendah karena mereka tidak mampu untuk

belajar, bekerjasama dalam kelompok atau melakukan hal-hal lainnya semudah orang normal, dan terkadang merasa terasingkan karena mereka dianggap berbeda.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa penyesuaian diri yang dilakukan individu tuna rungu di sekolah reguler/ umum dapat dilihat sebagai hasil – apakah berhasil atau tidak, dan dapat dilihat sebagai proses – apakah penyesuaian yang dilakukan baik atau tidak. Penyesuaian diri tersebut dilihat dari seberapa besar hambatan sebagai individu tuna rungu muncul dan mempengaruhi proses penyesuaian dirinya serta bagaimana individu tersebut mengatasi hambatan itu sehingga ia mampu menyesuaikan dirinya baik dalam kegiatan akademis dan non-akademis, serta dalam relasi interpersonal mereka, baik dengan individu (siswa) lain ataupun dengan pengajar/ pembimbing.

Dokumen terkait