• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORETIS

C. Hakikat Maksim Cara

1. Penyimpangan Maksim Cara

Jadi, maksim cara menekankan pada peserta tutur untuk berbahasa dan berbicara langsung, tidak ambigu, jelas, tidak berlebihan, dan teratur agar maksud dan tujuan dari pembicaraan dapat tercapai dengan baik. penutur juga harus memperhatikan apa yang dituturkan oleh lawan tutur agar mampu menafsirkan maksud dan tujuan pembicaraan berdasarkan konteks tuturannya yang dapat berupa situasi waktu dan situasi tempat pembicaraan.

Dengan demikian, maksim cara merupakan maksim yang menekankan penutur dan lawan tuturnya untuk berbahasa dan berbicara yang ringkas, padat, dan jelas agar maksud dan tujuan tuturan dapat dengan mudah dimengerti oleh setiap peserta tutur. Maksim cara haruslah mudah dipahami. Maksud dari mudah dipahami, maksim cara menekankan peserta tutur agar dalam percakapan hindari ketidakjelasan ekspresi, hindari ambiguitas, tidak berbelit-belit atau jadilah singkat, dan berjalan teratur. Bila peserta tutur tidak menerapakan aturan maksim cara ini di dalam percakapannya, berarti telah melanggar prinsip kerjasama Grice.Penutur juga harus memperhatikan apa yang dituturkan oleh lawan tutur agar mampu menafsirkan maksud dan tujuan pembicaraan. Percakapan penutur dan mitra tutur juga harus disesuaikan dengan konteks tuturannya, karena lawan tutur akan menafsirkan maksud dan tujuan dari pembicaraan berdasarkan konteks pembicaraannya yang dapat berupa situasi waktu dan situasi tempat dari pembicaraan.

1. Penyimpangan maksim cara

Berkenaan dengan maksim cara, Rahardi menyatakan dengan memberikan contoh sebagai berikut :

(10) A : “Ayo, cepat dibuka!” B : “Sebentar dulu, masih dingin.”

Wacana (10) di atas memiliki kadar kejelasan yang rendah, karena berkadar kejelasan rendah dengan sendirinya kadar kekaburannya tinggi. Tuturan (A) sama sekali tidak memberikan kejelasan tentang apa yang

20

sebenarnya diminta oleh si mitra tutur. Dapat dikatakan demikian karena tuturan itu dimungkinkan untuk ditafsirkan bermacam-macam. Demikian pula tuturan yang disampaikan (B) mengandung kadar ketaksaan yang cukup tinggi. Tuturan-tuturan demikian dapat dikatakan melanggar prinsip kerja sama karena tidak mematuhi maksim pelaksanaan dalam prinsip kerjasama Grice.21

Jadi, tuturan yang mematuhi maksim pelaksanaan atau cara merupakan tuturan yang jelas, langsung, tepat dan tidak berlebihan. Pelanggaran maksim cara dapat terjadi bila peserta tutur tidak menerapkan aturan utama mengenai maksim cara, yaitu mudah dipahami. Bila di dalam tuturan, ketaksaan masih tinggi, maka maksud dan tujuan dari tuturan sulit untuk dipahami. Sehingga, terjadilah pelanggaran maksim cara, karena maksud dari tuturan tidak tercapai.

Kushartanti, dkk menyatakan “Untuk memenuhi maksim cara, adakalanya kelugasan tidak selalu bermanfaat di dalam interaksi verbal (hal ini dapat kita lihat pula pada bagian yang membicarakan interaksi dan sopan santun)”.22

Jadi, pelanggaran maksim cara dapat terjadi karena berbagai hal, salah satunya kesopansantunan. Pelanggaran maksim cara ini dapat terjadi karena banyak masyarakat Indonesia khususnya masyarakat suku-suku tertentu yang masih mengutamakan kesopansantunan berbahasa pada orang yang lebih tua. Kesopansantunan di sini bernilai sangat penting karena telah menjadi kebiasaan dan adab dalam kebudayaan mereka. Contohnya, orang Jawa banyak yang melakukan penyimpangan maksim cara ini karena orang Jawa banyak yang masih mengutamakan kesopansantunan. Sehingga, penutur seringkali mengungkapkan ujarannya secara tidak langsung, berbelit-belit dan terkadang bersifat ambiguitas untuk orang yang tak mengerti maksud dari ujarannya.

Parker di dalam Wijana “Menyatakan contoh (10) sebagai tuturan yang menyimpangkan maksim pelaksanaan atau yang dikenal dengan maksim cara ini.

(10) + Let’s stop and get something to eat

21

Kunjana Rahardi, Pragmatik; Kesantunan Imperatif Bahasa Indonesia, (Jakarta:Erlangga,2005), h. 57-58.

22

- Okay, but not M-C-D-O-N-A-L-D-S.

Dalam wacana (10) tokoh (-) menjawab ajakan (+) secara tidak langsung, yakni dengan mengeja satu persatu kata McDonalds. Penyimpangan ini dilakukan secara sengaja bukan untuk tujuan berhumor, tetapi karena ia tidak menginginkan anaknya yang sangat menggemari makanan itu mengetahui maksudnya. Anak-anak kecil dalam batas-batas umur tertentu memang akan kesulitan atau tidak mampu menangkap makna kata dieja hurufnya satu persatu. Cara ini sering dilakukan kalau anaknya meminta barang-barang atau mainan yang mahal bila berbelanja di toko atau pasar swalayan. Contoh lain:

(11) +17 tahun penjara tidak boleh ditawar-tawar. -kalau sales modelnya begitu mana ada yang mau beli.

Tokoh (+) adalah seorang hakim, sedangkan (-) adalah seorang terdakwa. Bila (-) seorang peserta percakapan yang kooperatif, maka ia harus menyadari dirinya sebagai seorang terdakwa, dan lawan bicaranya adalah seorang hakim. Sehubungan dengan ini tidak pada tempatnya ia memperluas makna kata ditawar-tawar. Kata ditawar-tawar diucapkan oleh seorang hakim tidak sama degan yang diucapkan oleh pedagang, atau sales. Bagi seorang hakim, ketegasan putusan merupakan sesuatu yang mutlak diperlukan.23

Jadi, penyimpangan maksim cara dapat terjadi dengan disengaja. Hal ini dapat terjadi, karena penutur memiliki tujuan tertentu. penyimpangan juga dapat terjadi bila antar peserta percakapan yaitu penutur dan lawan tuturnya tidak saling berkerjasama dalam percakapan mereka. Sehingga, maksud dan tujuan dari pembicaraan tidak tercapai.

Dengan demikian, tuturan yang mematuhi maksim pelaksanaan atau cara merupakan tuturan yang jelas, langsung, tepat dan tidak berlebihan. Pelanggaran maksim cara dapat terjadi bila peserta tutur tidak menerapkan aturan utama mengenai maksim cara, yaitu mudah dipahami. Bila di dalam tuturan, ketaksaan masih tinggi, maka maksud dan tujuan dari tuturan sulit untuk dipahami. Sehingga, terjadilah pelanggran maksim cara, karena maksud dari tuturan tidak tercapai. Pelanggaran maksim cara dapat terjadi karena berbagai hal, salah satunya kesopansantunan. Pelanggaran maksim cara ini dapat terjadi karena

23

banyak masyarakat Indonesia khususnya masyarakat suku-suku tertentu yang masih mengutamakan kesopansantunan berbahasa pada orang yang lebih tua. Kesopansantunan di sini bernilai sangat penting karena telah menjadi kebiasaan dan adab dalam kebudayaan mereka. Contohnya, orang Jawa banyak yang melakukan penyimpangan maksim cara ini karena orang Jawa banyak yang masih mengutamakan kesopansantunan. Sehingga, penutur seringkali mengungkapkan ujarannya secara tidak langsung, berbelit-belit dan terkadang bersifat ambiguitas untuk orang yang tak mengerti maksud dari ujarannya. Hal ini dapat terjadi, karena penutur memiliki tujuan tertentu. Penyimpangan juga dapat terjadi bila antar peserta percakapan yaitu penutur dan lawan tuturnya tidak saling berkerjasama dalam percakapan mereka.

Dokumen terkait