• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penggunaan Maksim Cara Grice dalam Novel Masih Ada Kereta yang Akan Lewat Karya Mira W dan Implikasinya terhadap Pembelajaran Keterampilan Berbicara di SMA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Penggunaan Maksim Cara Grice dalam Novel Masih Ada Kereta yang Akan Lewat Karya Mira W dan Implikasinya terhadap Pembelajaran Keterampilan Berbicara di SMA"

Copied!
108
0
0

Teks penuh

(1)

PENGGUNAAN MAKSIM CARA GRICE DALAM NOVEL

MASIH ADA KERETA YANG AKAN LEWAT

KARYA MIRA W

DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PEMBELAJARAN

KETERAMPILAN BERBICARA DI SMA

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai Gelar Sarjana

Pendidikan

Oleh:

Herlina Wahyu K

NIM 1110013000031

JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(2)

KARYA MIRA W DAIY IMPLIKASINYA

TERHADAP PEMBELAJARAN KETERAMPILAN BERBICARA DI SMA

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk Memenuhi Persyaratan Mencapai Gelar Sarjana pendidikan (S.pd.)

Oleh

Herlina lVahvu

K

NIM. 1110013000031

yang mengesahkan,

Jurusan Pendidikan

Bahasa dan

sastra

rndonesia

Fakultas

Iimu Tarbiyah

dan

Keguruan

Universitas

Islam

Negeri

Syarif

llidyatullah

Jakarta

2014

(3)
(4)

Saya yang bertanda tangan di bawah ini,

Nama

TempatiTgl.Lahir

NIM

Jurusan / Prodi

Judul Skripsi

Herlina Wahyu K

Pontianak, 10 Januari 1993

I 1 10013000031

Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

Penggunaan Maksim Cara dalam Novel Masih Ada Kereta yang Almn Lewat Kuryu

Mira

W

dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran Keterampilan Berbicara di SMA

Dr. Nuryani, S.pd, M.A.

Dosen Pembimbing

dengan

ini

menyatakan bahwa skripsi yang saya buat benar-benar hasil karya sendiri dan saya bertanggung jawab secara akademis atas apa yang saya tulis.
(5)

i

ABSTRAK

Herlina Wahyu K, 1110013000031, 2014. “Penggunaan Maksim Cara dalam Novel Masih Ada Kereta yang Akan Lewat Karya Mira W dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran Keterampilan Berbicara di SMA”. Jurusan Pendidikan

Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Pembimbing: Dr. Nuryani, S.pd, M.A.

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan penggunaan maksim cara dalam novel Masih Ada Kereta yang Akan Lewat karya Mira W dan implikasinya terhadap pembelajaran keterampilan berbicara di SMA. Metode penelitian yang digunakan adalah metode observasi dan pengamatan langsung dengan teknik analisis isi teks. Penelitian ini termasuk ke dalam jenis penelitian deskriptif kualitatif. Sumber data dalam penelitian ini adalah novel Masih Ada Kereta yang Akan Lewat karya Mira W.

Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan pada novel Masih Ada Kereta yang Akan Lewat karya Mira W, ditemukan 61 maksim cara, dengan rincian 33 penyimpangan maksim cara dan 28 maksim cara yang sesuai dengan prinsip kerja sama Grice. Beberapa faktor yang menyebabkan penyimpangan maksim cara dalam novel dapat terjadi dikarenakan banyak hal. Di antaranya dalam dialog tokoh terdapat kesopansantunan berbahasa pada orang yang lebih tua, suasana, waktu dan tempat saat percakapan berlangsung juga mampu menyebabkan penyimpangan maksim cara terjadi. Implikasi penelitian terhadap pembelajaran bahasa Indonesia dapat diterapkan pada materi wawancara sehingga penelitian ini

mampu menunjang keterampilan berbicara siswa untuk berbahasa Indonesia yang baik dan benar saat wawancara.

(6)

ii

ABSTRACT

Herlina Wahyu K, 1110013000031, 2014. “The Using of Maxim of Manner in the Novel Masih Ada Kereta yang Akan Lewat by Mira W and the implication

toward Speaking Skill Learning in Senior High School”. Department of Indonesian Education and Literature, Faculty of Tarbiyah and Teaching Science.

Syarif Hidayatullah State Islamic University. Advisor: Dr. Nuryani, S.pd, M.A.

Key words: pragmatics, cooperative principle by Grice, maxim of manner

The objective of this study is to know and describe the using of maxim of manner in the novel Masih Ada Kereta yang Akan Lewat by Mira W and the implication toward Speaking Skill Learning in Senior High School. The writer used observation and direct observation method with content analysis technique. This study is included in descriptive qualitative research. Unit of analysis of this study is the novel Masih Ada Kereta yang Akan Lewat by Mira W.

Based on the result of annalysis, and explanation in the novel Masih Ada Kereta yang Akan Lewat by Mira W, it was found 61 maxim of manner. In detail, 33 the

violation of maxim of manner and 28 maxim of manner which is appropriate with the cooperative principle by Grice. Some factors that influenced the violation of maxim of manner in the novel can occur because of many things. Some of them were the presence of politeness in the dialogue of characters, milieu, time and place where the conversations happened also can cause the violation of maxim of

(7)

iii

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah Swt., yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis mendapatkan kemudahan dalam menyelesaikan skripsi yang berjudul “Penggunaan Maksim Cara dalam Novel Masih Ada Kereta yang Akan Lewat Karya Mira W dan Implikasinya Terhadap

PembelajaranKeterampilan Berbicara di SMA”. Salawat dan salam semoga tercurahkan kepada Nabi Muhammad Saw., yang telah memberikan bimbingan kebaikan kepada seluruh umat.

Penulis menyusun skripsi ini untuk memenuhi salah satu syarat agar mendapatkan gelar sarjana pendidikan pada Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan. Penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi kepentingan pembacanya.

Dalam penulisan skripsi ini, penulis tidak luput dari berbagai hambatan dan rintangan. Tanpa bantuan dan peran serta berbagai pihak, skripsi ini tidak mungkin terwujud. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terima kasih kepada:

1. Dra. Nurlena Rifa’i, MA., Ph. D., selaku Dekan FITK UIN Jakarta.

2. Dra. Mahmudah Fitriyah Z.A., M.Pd., selaku Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UIN Jakarta.

3. Dr. Nuryani, S.pd, M.A., selaku dosen pembimbing skripsi yang sangat membantu penulis dalam penyusunan skripsi ini. Terima kasih atas arahan, motivasi, dan bimbingan Ibu, hingga akhirnya skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik.

4. Seluruh Dosen Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UIN Jakarta yang selama ini telah membekali penulis berbagai ilmu pengetahuan.

(8)

iv

penulis lebih berwarna. Terima kasih juga untuk kakak adik saya yang selalu memberikan semangat dan doa untuk kelancaran penyusunan skripsi ini.

6. Sahabat dan teman-teman saya tersayang Niar, Shervita, Rere, Rifka, Wiwin, dan teman-teman saya lainnya yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu. Terimakasih karena telah memberi motivasi, doa, dan membantu penulis sehingga skripsi ini dapat diselesaikan. Semoga persahabatan kita dapat terus terjalin sampai akhir waktu yang memisahkan.

7. Terima kasih juga untuk BIGBANG yang musik dan lagunya secara tidak

langsung telah menyemangati hidup saya.

8. Teman-teman PBSI A dan seluruh angkatan PBSI 2010 yang senantiasa mendukung dan berjuang bersama semasa perkuliahan.

9. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam penyelesaian skripsi ini. Semoga semua doa, bimbingan, bantuan, serta motivasi yang telah diberikan mendapatkan balasan kebaikan dari Allah Swt. Selain itu, penulis berharap semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat agar dapat membantu meningkatkan mutu pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia.

Jakarta, 13 Juli 2014

(9)

v

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN BIMBINGAN SKRIPSI

LEMBAR PENGESAHAN UJIAN MUNAQASAH

SURAT PERNYATAAN KARYA SENDIRI

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ..ii

KATA PENGANTAR ... .iii

DAFTAR ISI ... ..v

DAFTAR TABEL………vii

DAFTAR LAMPIRAN ...viii

BAB I PENDAHULUAN ... ..1

A. Latar Belakang Masalah... ….1

B. Identifikasi Masalah ...…..6

C. Pembatasan Masalah ...6

D. Perumusan Masalah ...6

E. Tujuan Penelitian ...7

F. Manfaat Penelitian ...7

BAB II LANDASAN TEORETIS ... ..9

A. Pragmatik ..………... 9

B. Prisip Kerjasama Grice ...13

C. Hakikat Maksim Cara ...15

1. Penyimpangan Maksim Cara ……...18

D. Hakikat Novel ...21

E. Penelitian yang Relevan... 23

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ...27

A. Waktu Penelitian ...27

B. Metode Penelitian...28

C. Sumber Data…………... 29

D. Fokus Penelitian... .29

(10)

vi

F. Instrumen Penelitian ...30

G. Teknik Analisis Data ...30

BAB IV HASIL PENELITIAN ………...32

A. Biografi Penulis …………...32

B. Sinopsis Novel Masih Ada Kereta yang Akan Lewat………...32

C. Penyajian Data Penggunaan Maksim Cara dalam Novel ...33

D. Analisis Penggunaan Maksim Cara dalam Novel………...41

E. Interpretasi Hasil Analisis……… 68

F. Pembahasan……….. 70

G. Implikasi Terhadap Pembelajaran bahasa Indonesia………72

H. Keterbatasan Penelitian……….73

BAB V PENUTUP ...75

A. Simpulan ...75

B. Saran... ..76

DAFTAR PUSTAKA ...77

(11)

vii

[image:11.595.111.499.185.594.2]

DAFTAR TABEL

Tabel 4.1 : Data penggunaan Maksim Cara dalam Novel Masih Ada Kereta yang Akan Lewat dari Keseluruhan Bab

(12)

viii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 : Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP)

Lampiran 2 : Sampul depan dan belakang novel Masih Ada Kereta yang Akan Lewat karya Mira W

(13)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Manusia hidup penuh dengan aktivitas sosial. Berbahasa termasuk dalam aktivitas sosial. Seperti halnya aktivitas-aktivitas sosial yang lain, kegiatan berbahasa akan terwujud apabila manusia terlibat langsung di dalamnya. Sebagai makhluk sosial, manusia tidak mampu memenuhi kebutuhan hidupnya sendirian. Ia membutuhkan kehadiran orang lain, karena itu diperlukan interaksi. Dalam berinteraksi, manusia menggunakan bahasa saat bertutur.

Kemampuan berkomunikasi secara lisan yang dilakukan manusia dikenal dengan berbicara. Berbicara dapat menjadi jembatan penghubung manusia saat terjadinya komunikasi. Komunikasi yang baik dapat terjadi, bila dapat memberikan timbal-balik mengenai suatu informasi. Kehidupan manusia

berkembang dengan dinamis. Dalam berkomunikasi manusia membutuhkan penyesuaian setiap waktunya. Karena saat berkomunikasi, kode etik berbicara sangatlah diperlukan agar tidak terjadi kesalahpahaman.

Kode etik yang masih kental di Indonesia adalah kesopansantunan berbahasa. Kesopansantunan berbahasa masih banyak digunakan masyarakat Indonesia, karena budaya telah tertanam lama pada diri masyarakat Indonesia. Bahkan, budaya itu telah diterima sedari kecil. Khusunya masyarakat Jawa, yang lebih mengutamakan kesopansantunan berbahasa dan ketaklangsungan berbahasa daripada berbicara secara lugas atau langsung.

(14)

kesopansantunan berbahasa pun tetap dibutuhkan manusia dalam berkomunikasi. Karena, berbahasa bukan sekedar asal ucap, tapi juga sebagai alat komunikasi yang penting. Kesalahpahaman dan hilangnya kesopansantunan bahasa sering kali menjadi konflik yang tak berujung.

Dalam realitas kehidupan berbahasa sehari-hari, tidak jarang kita menemukan atau mengalami kesalahpahaman dalam berkomunikasi. Maksud yang disampaikan oleh penutur adalah A, tetapi yang diterima oleh mitra tutur B. Begitu juga sebaliknya. Hal demikian sangat memungkinkan dalam

berkomunikasi sebab ketika berkomunikasi, terlibat banyak unsur: tata bahasa, makna, penutur dan mitra tutur yang dipengaruhi juga situasi dan konteks. Dalam linguistik, apa yang diujarkan oleh penutur dan mitra tutur ketika berkomunikasi dipelajari dalam pragmatik.

Kesalahpahaman dalam berkomunikasi dapat terjadi dikarenakan bahasa yang digunakan tidak lugas dan terlalu berbelit-belit. Terkadang, konteks dan pembicaraan penutur sering tak sesuai, sehingga membuat mitra tutur bingung untuk menyimpulkan maksud dari ujarannya.

Di dalam pragmatik, prinsip yang harus ditaati oleh peserta petuturan dalam berinteraksi, baik secara tekstual maupun interpersonal dalam upaya melancarkan jalannya proses komunikasi lebih dikenal dengan maksim. Salah satu maksim menurut prinsip kerjasama Grice yang akan dibahas lebih lanjut yaitu maksim cara. Maksim cara menghendaki setiap peserta petuturan harus berbicara langsung dan lugas serta tidak berlebihan. Penutur harus menafsirkan kata-kata yang dipergunakan oleh petutur bedasarkan konteks pemakainya. Contoh:

(1)A: Mau beli apa, novel atau komik?

B: Novel saja. Ceritanya sangat bagus.

(2)A: Mau beli apa, novel atau komik?

(15)

C: Jadi…. Kamu mau beli yang mana?

Dalam kedua penggalan percakapan di atas, dapat kita lihat bahwa jawaban B (1) adalah jawaban yang lugas dan tidak berlebihan. Pelanggaran terhadap maksim cara terdapat pada jawaban B (2).

Banyak masyarakat yang menggunakan maksim cara yang sesuai dan melanggar prinsip kerjasama Grice saat berkomunikasi. Hal tersebut dikarenakan

kehidupan bermasyarakat Indonesia yang memang tak terbiasa mengungkapkan maksud secara langsung. Namun lebih menggunakan kata-kata yang tak jelas,

kabur dan lebih sopan untuk mengungkapkan keinginan mereka. Menurut prinsip kerjasama Grice kesopansantunan sendiri dapat dianggap sebagai pelanggaran terhadap penggunaan maksim cara. hal ini pun dapat kita teliti dan kaitkan dengan kehidupan masyarakat Indonesia khusunya masyarakat Jawa, yang lebih mengutamakan kesopansantunan dan ketaklangsungan berbahasa daripada berbicara secara lugas atau langsung. Contoh:

A : Bu, besok Ida pulang ke Surabaya.

B : Uangnya sudah Ibu titipkan ke kakakmu.

Bahasa yang digunakan pada penggalan percakapan di atas tampak tak langsung. Maksud A (anak) meminta uang kepada (B) ibunya. Ibunya pun menjawab seadanya. Kemungkinan percakapan tersebut memang terbiasa terjadi antara anak dan ibunya. Ketaklangsungan terjadi karena adanya kesopansantunan berbahasa antara anak dan ibu yang telah melahirkannya.

Di dalam lingkungan pendidikan, khususnya komunikasi antar siswa pun sering terjadi pelanggaran terhadap penggunaan maksim cara menurut prinsip kerjasama Grice. Baik disengaja atau tidak, siswa banyak lebih memilih bahasa informal yang notabenenya tak lugas, dan berbelit-belit. Sehingga, maksud siswa sebagai penutur tidak dapat dimengerti oleh siswa mitra tutur. Selain itu, karena

(16)

bercerita, berdiskusi atau mempresentasikan tugasnya. Penggunaan maksim cara yang sesuai dengan prinsip kerjasama Grice sangat dibutuhkan agar siswa dapat terbiasa berbahasa dan berbicara dengan baik.

Berbicara secara lugas dan langsung tidaklah mudah. Karena, seringkali konteks tidak sesuai dengan topik yang akan dibicarakan. Oleh karena itu, butuh latihan agar dapat terbiasa berbahasa yang baik dan benar. Bila sudah terbiasa, maka penggunaan maksim cara yang sesuai dengan prinsip kerjasama Grice pun

dapat terwujud.

Penggunaan maksim cara yang sesuai dan melanggar prinsip kerjasama Grice tidak hanya terjadi dalam komunikasi sehari-hari. Banyak penulis dan sastrawan yang menggunakan maksim cara di dalam karya sastranya. Begitu pula dengan penggunaan maksim cara di dalam novel Masih Ada Kereta yang Akan Lewat karya Mira W. Mira banyak menggunakan maksim cara yang sesuai dan melanggar prinsip kerjasama Grice di dalam novelnya.

Contoh:

(1) Arini :Tidur di mana?

Nick : Dekat stasiun.1

(2) Arini : Kamu ceritakan hubungan kita kepada mereka?

Nick : Memang kenapa?2

Dalam kedua penggalan percakapan di atas. Dapat dilihat bahwa jawaban Nick (1) adalah jawaban yang lugas dan tidak berlebihan. Pelanggaran terhadap maksim cara tampak pada jawaban Nick (2) yang tidak sesuai dengan pertanyaan yang disampaikan Arini.

Seorang penulis tentu saja memiliki alasan tersendiri saat memutuskan menggunakan maksim cara di dalam karya sastra ditulisnya. Baik penggunaan maksim cara yang sesuai dan yang melanggar prinsip kerjasama Grice. Karena hal

1

Mira W, Masih Ada Kereta yang Akan Lewat, 9th ed. (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2009), h. 75.

2

(17)

itulah peneliti ingin mengetahui lebih mendalam mengenai maksim cara yang ada di dalam novel tersebut.

Dalam pembelajaran Bahasa Indonesia novel ini baik digunakan untuk kalangan siswa SMA khususnya dalam aspek berbicara yaitu dalam pembelajaran keterampilan berbicara. Karena di dalam novel ini banyak menggunakan maksim cara dan terdapat hikmah yang dapat dipetik dari alur ceritanya. Sehingga, mampu menambah pengetahuan siswa dalam berbahasa. Khususnya keterampilan berbicara.

Temuan ini membuktikan bahwa penggunaan maksim cara di dalam novel Masih Ada Kereta yang Akan Lewat karya Mira mempunyai suatu makna

tersendiri. Oleh karena itu, penelitian tentang penggunaan maksim cara yang sesuai dan tidak sesuai dengan prinsip kerjasama Grice sangatlah penting untuk dilakukan. Berdasarkan hal tersebut, peneliti tertarik untuk mengetahui lebih lanjut mengenai penggunaan maksim cara menurut prinsip kerjasama Grice di dalam novel Masih Ada Kereta yang Akan Lewat Mira W.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang diuraikan di atas, maka muncullah identifikasi masalah sebagai berikut:

1. Banyaknya faktor yang dapat menyebabkan penggunaan maksim cara yang sesuai dan yang melanggar prinsip kerjasama Grice dalam novel Masih Ada Kereta yang Akan Lewat karya Mira W.

2. Banyaknya penggunaan maksim cara yang melanggar prinsip kerjasama ditemukan dalam novel Masih Ada Kereta yang Akan Lewat.

3. Kurangnya pengetahuan siswa terhadap keterampilan berbicara yang baik.

C. Pembatasan Masalah

(18)

dikemukakan oleh Grice di dalam novel Masih Ada Kereta yang Akan Lewat cetakan ke Sembilan: September 2009 karya Mira W. Novel ini ditulis oleh Mira W, berjumlah 237 halaman dan diterbitkan pada tahun 1982 oleh PT Gramedia Pustaka Utama. Aspek yang akan dianalisis dari novel tersebut adalah penggunaan maksim cara yang sesuai dan yang melanggar prinsip kerjasama Grice di dalam dialog tokoh yang ada di novel.

D. Perumusan Masalah

Berdasarkan pembatasan masalah di atas, dapat dirumuskan masalah sebagai berikut, yaitu

1. Bagaimanakah penggunaan maksim cara Grice yang digunakan pengarang

dalam novel Masih Ada Kereta yang Akan Lewat karya Mira W?

2. Bagaimanakah implikasinya dalam pembelajaran bahasa Indonesia

khususnya pada aspek keterampilan berbicara?

E. Tujuan Penelitian

Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah:

1. Mengetahui bagaimana penggunaan maksim cara Grice dalam novel Masih

Ada Kereta yang Akan Lewat karya Mira.

2. Mengetahui bagaimana implikasinya dalam pembelajaran bahasa Indonesia

khususnya pada aspek keterampilan berbicara.

F. Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini diharapkan berguna untuk berbagai pihak, baik secara teoretis maupun secara praktis, di antaranya sebagai berikut:

1. Manfaat teoretis

(19)

Akan Lewat karya Mira W dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran

Keterampilan Berbicara Bahasa Indonesia di SMA. Diharapkan dapat dijadikan sebagai pedoman dalam upaya meningkatkan pembelajaran berbahasa khususnya kemampuan berbicara yang lebih kreatif dan memberikan sumbangan pemikiran sebagai perkembangan dunia bahasa Indonesia khususnya pada tataran pembelajaran berbahasa.

2. Manfaat praktis

Secara praktis penelitian ini dapat memberikan sumbangan kepada: a) Peneliti

Penelitian ini dapat dijadikan untuk tolok ukur oleh peneliti sendiri dalam kajian penelitian berikutnya. Peneliti juga dapat mengetahui sejauh mana penggunaan maksim cara yang bisa dipelajari oleh siswa SMA dalam berbahasa Indonesia, khususnya keterampilan berbicara.

b) Guru

Guru dapat mengoptimalkan fungsi dari media pembelajaran dan mengaplikasikannya dalam kegiatan belajar mengajar. Guru juga diharapkan bisa lebih kreatif dalam membuat media pembelajaran baik secara manual maupun elektronik, sehingga proses belajar jadi lebih menyenangkan. Semoga penelitian ini juga dapat menjadi sumber referensi ataupun acuan bagi guru untuk menerapkan dan mengembangkan media serta teknik yang telah digunakan oleh peneliti. Agar keterampilan berbicara siswa dapat lebih baik lagi.

c) Siswa

(20)

untuk berbahasa khususnya kemampuan berbicara siswa agar dapat lebih baik lagi.

d) Peneliti Lain

(21)

9

BAB II

LANDASAN TEORETIS

Pada bagian ini disajikan teori-teori yang dikemukakan oleh beberapa ahli. Dalam rangka memperoleh kerangka berpikir akan dibahas mengenai pragmatik, prinsip kerjasama Grice, hakikat maksim cara, penyimpangan maksim cara, hakikat novel, dan penelitian yang relevan

A. Pragmatik

Subroto menyatakan “Pragmatik mengkaji arti yang disebut the speaker’s

meaning atau arti menurut tafsiran penutur yang disebut maksud”.1

Dalam hal ini dimaksudkan bahwa pragmatik mempelajari maksud dari apa yang disampaikan penutur. Maksud dari penutur dapat dipengaruhi oleh konteks tuturan yang dapat berupa situasi waktu dan tempat.

Selain itu, Leech di dalam Wijana menyatakan pragmatik merupakan cabang ilmu linguistik yang semakin dikenal pada masa sekarang ini walaupun pada kira-kira dua dekade yang silam ilmu ini jarang atau hampir tidak pernah disebut oleh para linguis. Hal ini dilandasi oleh semakin sadarnya para linguis bahwa upaya menguak hakikat bahasa tidak akan membawa hasil yang diharapkan tanpa didasari pemahaman terhadap pragmatik, yakni bagaimana bahasa itu digunakan dalam komunikasi.2

Jadi, penggunaan bahasa merupakan hal yang penting saat berkomunikasi.

Apa yang manusia pikirkan dan inginkan, dapat disampaikan melalui bahasa yang dituturkan. Saat bertutur, pemahaman terhadap pragmatik mampu mempengaruhi hasil pembicaraan, sehingga pragmatik merupakan ilmu yang penting untuk dipelajari agar hakikat bahasa dalam berkomunikasi dapat dipelajari dengan baik.

Purwo menyatakan “Pragmatik dapat dibedakan atas dua hal, yaitu: 1. pragmatik sebagai sesuatu yang diajarkan dan 2. pragmatik sebagai sesuatu yang mewarnai tindakan mengajar. Butir nomor 1 masih dapat dibedakan lagi atas dua hal : a.

1

Edi subroto, Pengantar Studi Semantik dan Pragmatik, (Surakarta: Cakrawala Media, 2011), h.8.

2

(22)

pragmatik sebagai bidang kajian linguistik, b. pragmatik sebagai salah satu segi di dalam bahasa”.3

Dalam hal ini dimaksudkan bahwa penggunaan pragmatik dapat disesuaikan dengan konteks ujaran dan tujuan penuturnya. Pragmatik dapat digunakan sebagai sesuatu yang diajarkan dan juga dapat digunakan sebagai sesuatu yang mewarnai tindakan mengajar. Hal ini berarti penggunaan pragmatik dapat disesuaikan dengan kebutuhan orang yang menggunakannya. Seorang dosen dapat mengajarkan kembali pragmatik sebagai bidang kajian linguistik pada

mahasiswanya. Tetapi saat mengajar, dosen juga dapat menggunakan pragmatik sebagai sesuatu yang mewarnai kegiatan belajar mengajarnya. Sehingga materi yang dosen ajarkan dapat diterima mahasiswa dengan baik.

Fasold menyatakan “Pragmatics is fundamentally about how to context of use

contributes to meaning both semantic meaning and speaker’s meaning”.4 Artinya: Pragmatik pada dasarnya merupakan tentang penggunaan konteks yang berkontribusi pada kedua makna baik makna dari semantik dan makna penutur.

Jadi, penggunaan konteks pada pragmatik mampu mempengaruhi makna dari semantik dan makna pembicaranya. Tujuan dan maksud dari penggunaan konteks mampu mempengaruhi makna yang akan diterima lawan tutur sehingga kesesuaian konteks haruslah dipertimbangkan dengan baik.

Green di dalam Cummings menyatakan Pragmatik linguistik… berada di persimpangan antara sejumlah bidang di dalam dan di luar ilmu pengetahuan kognitif: bukan hanya ilmu linguistik, psikologi kognitif, antropologi kultural, dan filsafat (logika, semantik, teori tindakan), tetapi juga sosiologi (dinamika interpersonal dan konvensi sosial) dan retorika memberikan kontribusi terhadap bidang kajian ini.5

Dalam hal ini dimaksudkan bahwa terdapat banyak bidang ilmu lain yang berkontribusi di dalam pragmatik. Hal ini dikarenakan makna yang diterima lawan

3

Bambang Kaswanti Purwo, Pragmatik dan Pengajaran Bahasa; Menyibak Kurikulum 1984, (Yogyakarta: Kanisius, 1990), h.1-2.

4

Ralph W. Fasold, an introduction to language and linguistics, (New York: Cambridge University Press, 2006), h. 163.

5

(23)

tutur tidak hanya dipengaruhi oleh ilmu linguistik saja, tetapi juga ilmu lainnya seperti psikologi, sosiologi, dan retorika yang saling berkaitan.

Hindun menyatakan “Pragmatik adalah telaah umum tentang cara kita

menafsirkan kalimat dalam suatu konteks”.6

Jadi, pragmatik merupakan suatu ilmu yang berkaitan dengan konteks (unsur waktu dan tempat sangat mempengaruhi ujaran). Berarti, menafsirkan suatu ujaran dalam pragmatik dapat dilihat berdasarkan konteksnya agar tak terjadi kesalahpahaman.

Huang menyatakan “Pragmatics is a rapidly growing field in contemporary linguistics. In recent years, it has not only become a centre of interest in

linguistics and the philosophy of language, it has also attracted a considerable

amount of attention from anthropologists, and semioticians”.7

Artinya: Pragmatik adalah bidang yang berkembang pesat dalam linguistik kontemporer. Dalam beberapa tahun terakhir, hal itu tidak hanya menjadi pusat perhatian dalam linguistik dan filsafat bahasa, juga telah menarik cukup banyak perhatian dari antropolog, dan ahli semiotik.

Dalam hal ini menyatakan bahwa pragmatik telah menjadi magnet yang mampu menarik banyak perhatian para ahli bahasa. Pragmatik menarik untuk

dipelajari para ahli bahasa, karena pragmatik berada di persimpangan banyak bidang ilmu lainnya seperti antropologi dan sosiologi.

Raad menyatakan “The pragmatic meaning of an utterance cannot simply be understood from its content. The utterance can only be understood contextually,

through a recourse to the relation between the content of the utterance and the

intentions of the communicators”.8

6

Hindun, PRAGMATIK untuk Perguruan Tinggi, (Depok: Nufa Citra Mandiri, 2012), h.3.

7

Yan Huang, Pragmatics, (UK: Oxford University Press, 2007), h.1.

8

(24)

Artinya, Makna dari pragmatik adalah sebuah ucapan yang tidak bisa hanya dipahami dari isinya. Namun, ucapan itu juga harus dipahami secara kontekstual, melalui hubungan antara isi ucapan dan maksud dari penutur.

Jadi, pragmatik berhubungan dengan konteks ujaran. Isi ucapan dan maksud dari penutur dapat dilihat berdasarkan konteksnya, yaitu unsur tempat dan waktunya. Bila lawan tutur tidak memperhatikan konteks pembicaraan, maka maksud dari penutur akan sulit ditangkap oleh lawan tuturnya sehingga terjadilah kesalahpahaman makna.

Gazdar di dalam Nadar menyatakan “Topik pragmatik adalah beberapa aspek

yang tidak dapat dijelaskan dengan acuan langsung pada kondisi sebenarnya dari kalimat yang dituturkan”.9

Jadi pemahaman makna yang dituturkan sangat berkaitan dengan konteks, baik situasi waktu maupun tempatnya. Bila lawan tutur hanya memahami isi dari kalimat yang dituturkan, maka maksud dari penutur tidak akan tersampaikan.

Levinson di dalam Surastina menyatakan “Pragmatik adalah kajian hubungan

antara bahasa dan konteks yang mendasari penjelasan pengertian”.10

Dalam hal ini menyatakan bahwa peserta tutur seharusnya mamahami konteks tuturan bila ingin mengerti maksud dan tujuan dari tuturan. Karena pemahaman makna tidak hanya didapatkan hanya dari bahasa saja, tetapi juga dipengaruhi konteks tuturan yang ada.

Cruse di dalam Fatimah menyatakan Pragmatik dapat dikaji dari empat konsentrasi, yakni: (1) kajian linguistik, dipahami sebagai kajian dalam memadukan komponen tanda bunyi dan makna serta subsistemnya (fonologi, gramatika morfologi – sintaksis, dan leksikon); (2) kajian pragmatik ujaran (Tema-Rema), tema adalah bagian ujaran yang memberi informasi tentang apa yang sedang dibicarakan, rema yang memberi informasi tentang tema; atau fokus-latar, fokus memberi informasi tentang unsur yang dianggap paling penting, dan latar yang memberi informasi dari mana ujaran dilihat; atau fokus-kontras (memberi informasi unsur positif-negatif); (3) kajian pragmatik wacana melalui pemahaman wacana

9

F.X. Nadar, Pragmatik dan penelitian pragmatik, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2009), h. 5.

10

(25)

(konteks wacana) sebagai satuan terlengkap; (4) kajian kesantunan dan kearifan.11

Jadi, terdapat empat konsentrasi kajian dalam pragmatik. Setiap kajian memiliki bagian terpenting dalam mengkaji pragmatik. Salah satunya kajian pragmatik wacana, kajian ini berdasarkan pemahaman wacana (konteks wacana) dengan memperhatikan konteks wacana, maka pragmatik akan lebih mudah untuk dikaji karena pragmatik berkaitan dengan konteks wacana tersebut.

Dengan demikian, pragmatik merupakan suatu ilmu yang berkaitan dengan

konteks (unsur waktu dan tempat sangat mempengaruhi ujaran). Bila lawan tutur tidak memperhatikan konteks pembicaraan, maka maksud dari penutur akan sulit ditangkap oleh lawan tuturnya sehingga terjadilah kesalahpahaman makna. penggunaan pragmatik dapat disesuaikan dengan konteks ujaran dan tujuan penuturnya. Penggunaan konteks pada pragmatik mampu mempengaruhi makna dari semantik dan makna pembicaranya. Tujuan dan maksud dari penggunaan konteks mampu mempengaruhi makna yang akan diterima lawan tutur sehingga kesesuaian konteks haruslah dipertimbangkan dengan baik. Terdapat banyak bidang ilmu lain yang berkontribusi di dalam pragmatik. Hal ini dikarenakan makna yang diterima lawan tutur tidak hanya dipengaruhi oleh ilmu linguistik saja, tetapi juga ilmu lainnya seperti psikologi, sosiologi, dan retorika yang saling berkaitan. Terdapat empat konsentrasi kajian dalam pragmatik. Salah satunya kajian pragmatik wacana, kajian ini berdasarkan pemahaman wacana (konteks wacana) dengan memperhatikan konteks wacana, maka pragmatik akan lebih mudah untuk dikaji karena pragmatik berkaitan dengan konteks wacana tersebut.

B. Prinsip Kerjasama Grice

Grice di dalam Wijana menyatakan “Bahwa suatu percakapan biasanya

membutuhkan kerja sama antara penutur dan mitra tutur untuk mencapai suatu tujuan yang diinginkan. Prinsip yang mengatur kerja sama antara penutur dan mitra tutur dalam suatu percakapan dinamakan prinsip kerja sama (cooperative principle). Di dalam rangka melaksanakan prinsip kerja sama, setiap penutur harus menaati empat maksim percakapan (conversational maxim), yaitu maksim kuantitas (maxim of quantity),

11

(26)

maksim kualitas (maxim of quality), maksim relevansi (maxim of relevance), dan maksim pelaksanaan (maxim of manner). Selain itu, Grice di dalam Wijana juga menyatakan wacana yang wajar terbentuk karena kepatuhan terhadap prinsip kerja sama komunikasi (cooperative principles)”.12

Jadi, prinsip kerjasama yang dikemukakan oleh Grice adalah prinsip yang mengatur kerjasama antar penutur dan lawan tutur dalam sebuah percakapan. Di dalam percakapan, kerjasama penutur dan lawan tutur hasruslah bersifat timbal balik agar maksud dan tujuan dari penutur dapat tercapai. Sebuah ujaran mampu

dimengerti dan dipahami bila prinsip kerja sama dalam komunikasi dapat dipatuhi. Penutur dan lawan tutur harus mematuhi empat maksim percakapan, yaitu maksim kuantitas, maksim kualitas, maksim relevansi, dan maksim pelaksanaan atau maksim cara.

Tarigan menyatakan “Dalam prinsip kerja sama termasuk pula empat kategori

maksim yang berbeda yaitu: 1. Maksim kuantitas: berilah jumlah informasi yang

tepat 2. Maksim kualitas: cobalah membuat sumbangan atau kontribusi anda merupakan suatu yang benar. 3. Maksim relasi: Jagalah kerelevansian 4. Maksim cara: tajamkan pikiran”.13

Dalam hal ini menyatakan bahwa terdapat empat maksim di dalam prinsip kerjasama. Salah satunya adalah maksim cara: tajamkan pikiran. Maksud dari tajamkan pikiran pada maksim cara adalah penutur dan lawan tutur harus mengetahui maksud dan tujuan dari arah percakapan dengan memperhatikan konteks pembicaraan.

Grice di dalam Tagor menyatakan “Berkomunikasi itu ibarat suatu proses

kerjasama antara penyapa dan pesapa melalui wahana bahasa untuk mencapai negosiasi makna. Berkomunikasi berarti bernegosiasi”.14

Jadi, saat berkomunikasi dibutuhkan kerjasama penutur dan lawan tutur agar maksud dan tujuan pembicaraan dapat tercapai. Makna tujuan dapat tercapai

12

Wijana, op. cit., h. 9.

13

Henry Guntur Tarigan, Pengajaran Pragmatik, (Bandung: Angkasa, 1990), h.38-39.

14

(27)

bila penutur dan lawan tutur memperhatikan situasi waktu dan tempat dari pembicaraan.

Grice di dalam Cummings menyatakan “Prinsip kerjasama merupakan prinsip

yang mengatur rasionalitas pada umumnya dan rasionalitas percakapan pada khususnya. Kerjasama membentuk struktur kontribusi-kontribusi kita sendiri terhadap percakapan dan bagaimana kita mulai menginterpretasikan kontribusi- kontribusi orang lain“.15

Jadi, prinsip kerjasama merupakan suatu prinsip yang mengatur sebuah percakapan agar maksud dan tujuan dari percakapan dapat dipahami dengan baik. Penutur maupun lawan tutur akan mulai menafsirkan maksud dan tujuan pembicaraan berdasarkan konteks pembicaraannya.

Dengan demikian, prinsip kerjasama yang dikemukakan oleh Grice adalah prinsip yang mengatur kerjasama antar penutur dan lawan tutur di dalam sebuah percakapan. Penutur dan lawan tutur harus mematuhi empat maksim percakapan,

yaitu maksim kuantitas, maksim kualitas, maksim relevansi, dan maksim pelaksanaan atau maksim cara. Maksim cara: tajamkan pikiran, maksud dari tajamkan pikiran pada maksim cara adalah penutur dan lawan tutur harus mengetahui maksud dan tujuan dari arah percakapan dengan memperhatikan konteks pembicaraan. Penutur maupun lawan tutur akan menafsirkan maksud dan tujuan pembicaraan berdasarkan konteks pembicaraannya yang dapat berupa situasi waktu dan situasi tempat pembicaraan.

C. Hakikat Maksim Cara

Grice di dalam Leech menyatakan “Cara: Usahakan agar mudah dimengerti yaitu: 1. Hindarilah pernyataan-pernyataan yang samar 2. Hindarilah ketaksaan 3. Usahakan agar ringkas 4. Usahakan agar anda berbicara dengan teratur”.16

15

Cummings, op. cit., h.10.

16

(28)

Jadi maksim cara merupakan salah satu maksim dalam prinsip kerjasama Grice yang menegaskan penutur dan lawan tuturnya untuk berbahasa dan berbicara yang ringkas, padat, dan jelas agar maksud dan tujuan tuturan dapat dengan mudah dimengerti oleh setiap peserta tutur sehingga kesalahpahaman dalam memahami maksud tuturan tidak terjadi.

Kushartanti, dkk menyatakan Berdasarkan maksim cara, setiap peserta percakapan harus berbicara langsung dan lugas serta tidak berlebihan. Di dalam maksim ini, seorang penutur juga harus menafsirkan kata-kata yang dipergunakan oleh mitra tuturnya berdasarkan konteks pemakaiannya. Marilah bandingkan penggalan percakapan (9) (10)

(9) A: Mau yang mana, komedi atau horor?

B: Yang komedi saja. Gambarnya juga lebih bagus. (10)C: Mau yang mana, komedi atau horor?

D: Sebetulnya yang drama bagus sekali. Apalagi pemainnya aku suka semua. Tapi ceritanya tidak jelas arahnya. Action oke juga, tapi ceritanya aku tidak mengerti.

C: Jadi kamu pilih yang mana?

Di dalam kedua penggalan percakapan di atas kita dapat melihat bahwa jawaban B adalah jawaban yang lugas dan tidak berlebihan. Pelanggaran terhadap maksim cara dapat dilihat dari jawaban D.

Untuk memenuhi maksim cara, adakalanya kelugasan tidak selalu bermanfaat di dalam interaksi verbal (hal ini dapat kita lihat pula pada bagian yang membicarakan interaksi dan sopan santun). Sebagai pembatas dari maksim cara, pembicara dapat menyatakan ungkapan seperti bagaimana kalau..., menurut saya..., dan sebagainya.”17

Jadi, maksim cara menekankan pada peserta tutur untuk berbahasa dan berbicara yang lugas, langsung serta tidak berlebihan. Percakapan penutur dan mitra tutur juga harus disesuaikan dengan konteks tuturannya, karena lawan tutur akan menafsirkan maksud dan tujuan dari pembicaraan berdasarkan konteks pembicaraannya yang dapat berupa situasi waktu dan situasi tempat dari pembicaraan.

Grice di dalam Huang menyatakan “Manner: be perspicuous (i) Avoid obscurity of expression

(ii) Avoid ambiguity

17

(29)

(iii) Be brief (avoid unnecessary prolixity)

(iv) Be orderly”.18

Artinya, Maksim cara: mudah dipahami (i) Hindari ketidakjelasan ekspresi (ii) Hindari ambiguitas

(iii)Jadilah singkat (menghindari hal yang tidak perlu) (iv)Berjalan teratur

Dalam hal ini menyatakan bahwa maksim cara haruslah mudah dipahami.

Maksud dari mudah dipahami, maksim cara menekankan peserta tutur agar dalam percakapan hindari ketidakjelasan ekspresi, hindari ambiguitas, tidak berbelit-belit atau jadilah singkat, dan berjalan teratur.

Grice di dalam wijana menyatakan “Dalam maksim pelaksanaan, hal yang ditekankan bukan mengenai apa yang dikatakan, tetapi bagaimana cara mengungkapkan. Sebagai aturan utama, Grice menyebutkan Be perspicacious atau Anda harus berbicara jelas. Selanjutnya Grice menguraikan aturan utama di atas menjadi empat aturan khusus, yaitu : a. Avoid obscurity of expression

b. Avoid ambiguity

c. Be brief (avoid unnecessary prolixity) d. Be orderly

Dalam maksim pelaksanaan, peserta tutur harus bertutur secara langsung, jelas, dan tidak kabur. Orang yang bertutur dengan tidak mempertimbangkan hal-hal di atas dapat dikatakan melanggar prinsip kerja sama Grice karena tidak mematuhi maksim pelaksanaan.19

Jadi, agar maksim pelaksanaan atau cara dapat terjadi maka peserta tutur harus bertutur dengan memperhatikan kejelasan ekspresi, tidak meggunakan bahasa atau kata yang ambigu, langsung atau singkat, dan berjalan teratur. Bila peserta tutur tidak menerapakan aturan maksim cara ini di dalam percakapannya, berarti telah melanggar prinsip kerjasama Grice.

Selain itu, Wijana menyatakan “Maksim pelaksanaan mengharuskan setiap peserta percakapan berbicara secara langsung, tidak kabur, tidak taksa, dan tidak

18

Huang, op. cit., h. 11.

19

(30)

berlebih-lebihan, serta runtut. Dengan maksim ini seorang pembicara juga diharuskan menafsirkan kata-kata yang digunakan oleh lawan bicaranya secara tidak taksa berdasarkan konteks-konteks pemakaiannya.”20

Jadi, maksim cara menekankan pada peserta tutur untuk berbahasa dan berbicara langsung, tidak ambigu, jelas, tidak berlebihan, dan teratur agar maksud dan tujuan dari pembicaraan dapat tercapai dengan baik. penutur juga harus memperhatikan apa yang dituturkan oleh lawan tutur agar mampu menafsirkan maksud dan tujuan pembicaraan berdasarkan konteks tuturannya yang dapat

berupa situasi waktu dan situasi tempat pembicaraan.

Dengan demikian, maksim cara merupakan maksim yang menekankan penutur dan lawan tuturnya untuk berbahasa dan berbicara yang ringkas, padat, dan jelas agar maksud dan tujuan tuturan dapat dengan mudah dimengerti oleh setiap peserta tutur. Maksim cara haruslah mudah dipahami. Maksud dari mudah dipahami, maksim cara menekankan peserta tutur agar dalam percakapan hindari ketidakjelasan ekspresi, hindari ambiguitas, tidak berbelit-belit atau jadilah singkat, dan berjalan teratur. Bila peserta tutur tidak menerapakan aturan maksim cara ini di dalam percakapannya, berarti telah melanggar prinsip kerjasama Grice.Penutur juga harus memperhatikan apa yang dituturkan oleh lawan tutur agar mampu menafsirkan maksud dan tujuan pembicaraan. Percakapan penutur dan mitra tutur juga harus disesuaikan dengan konteks tuturannya, karena lawan tutur akan menafsirkan maksud dan tujuan dari pembicaraan berdasarkan konteks pembicaraannya yang dapat berupa situasi waktu dan situasi tempat dari pembicaraan.

1. Penyimpangan maksim cara

Berkenaan dengan maksim cara, Rahardi menyatakan dengan memberikan contoh sebagai berikut :

(10) A : “Ayo, cepat dibuka!” B : “Sebentar dulu, masih dingin.”

Wacana (10) di atas memiliki kadar kejelasan yang rendah, karena berkadar kejelasan rendah dengan sendirinya kadar kekaburannya tinggi. Tuturan (A) sama sekali tidak memberikan kejelasan tentang apa yang

20

(31)

sebenarnya diminta oleh si mitra tutur. Dapat dikatakan demikian karena tuturan itu dimungkinkan untuk ditafsirkan bermacam-macam. Demikian pula tuturan yang disampaikan (B) mengandung kadar ketaksaan yang cukup tinggi. Tuturan-tuturan demikian dapat dikatakan melanggar prinsip kerja sama karena tidak mematuhi maksim pelaksanaan dalam prinsip kerjasama Grice.21

Jadi, tuturan yang mematuhi maksim pelaksanaan atau cara merupakan tuturan yang jelas, langsung, tepat dan tidak berlebihan. Pelanggaran maksim cara dapat terjadi bila peserta tutur tidak menerapkan aturan utama mengenai maksim cara, yaitu mudah dipahami. Bila di dalam tuturan, ketaksaan masih tinggi, maka maksud dan tujuan dari tuturan sulit untuk dipahami. Sehingga, terjadilah pelanggaran maksim cara, karena maksud dari tuturan tidak tercapai.

Kushartanti, dkk menyatakan “Untuk memenuhi maksim cara, adakalanya

kelugasan tidak selalu bermanfaat di dalam interaksi verbal (hal ini dapat kita lihat pula pada bagian yang membicarakan interaksi dan sopan santun)”.22

Jadi, pelanggaran maksim cara dapat terjadi karena berbagai hal, salah satunya kesopansantunan. Pelanggaran maksim cara ini dapat terjadi karena banyak masyarakat Indonesia khususnya masyarakat suku-suku tertentu yang masih mengutamakan kesopansantunan berbahasa pada orang yang lebih tua. Kesopansantunan di sini bernilai sangat penting karena telah menjadi kebiasaan dan adab dalam kebudayaan mereka. Contohnya, orang Jawa banyak yang melakukan penyimpangan maksim cara ini karena orang Jawa banyak yang masih

mengutamakan kesopansantunan. Sehingga, penutur seringkali mengungkapkan ujarannya secara tidak langsung, berbelit-belit dan terkadang bersifat ambiguitas untuk orang yang tak mengerti maksud dari ujarannya.

Parker di dalam Wijana “Menyatakan contoh (10) sebagai tuturan yang menyimpangkan maksim pelaksanaan atau yang dikenal dengan maksim cara ini.

(10) + Let’s stop and get something to eat

21

Kunjana Rahardi, Pragmatik; Kesantunan Imperatif Bahasa Indonesia, (Jakarta:Erlangga,2005), h. 57-58.

22

(32)

- Okay, but not M-C-D-O-N-A-L-D-S.

Dalam wacana (10) tokoh (-) menjawab ajakan (+) secara tidak langsung, yakni dengan mengeja satu persatu kata McDonalds. Penyimpangan ini dilakukan secara sengaja bukan untuk tujuan berhumor, tetapi karena ia tidak menginginkan anaknya yang sangat menggemari makanan itu mengetahui maksudnya. Anak-anak kecil dalam batas-batas umur tertentu memang akan kesulitan atau tidak mampu menangkap makna kata dieja hurufnya satu persatu. Cara ini sering dilakukan kalau anaknya meminta barang-barang atau mainan yang mahal bila berbelanja di toko atau pasar swalayan. Contoh lain:

(11) +17 tahun penjara tidak boleh ditawar-tawar.

-kalau sales modelnya begitu mana ada yang mau beli.

Tokoh (+) adalah seorang hakim, sedangkan (-) adalah seorang terdakwa. Bila (-) seorang peserta percakapan yang kooperatif, maka ia harus menyadari dirinya sebagai seorang terdakwa, dan lawan bicaranya adalah seorang hakim. Sehubungan dengan ini tidak pada tempatnya ia memperluas makna kata ditawar-tawar. Kata ditawar-tawar diucapkan oleh seorang hakim tidak sama degan yang diucapkan oleh pedagang, atau sales. Bagi seorang hakim, ketegasan putusan merupakan sesuatu yang mutlak diperlukan.23

Jadi, penyimpangan maksim cara dapat terjadi dengan disengaja. Hal ini dapat terjadi, karena penutur memiliki tujuan tertentu. penyimpangan juga dapat terjadi bila antar peserta percakapan yaitu penutur dan lawan tuturnya tidak saling berkerjasama dalam percakapan mereka. Sehingga, maksud dan tujuan dari pembicaraan tidak tercapai.

Dengan demikian, tuturan yang mematuhi maksim pelaksanaan atau cara merupakan tuturan yang jelas, langsung, tepat dan tidak berlebihan. Pelanggaran

maksim cara dapat terjadi bila peserta tutur tidak menerapkan aturan utama mengenai maksim cara, yaitu mudah dipahami. Bila di dalam tuturan, ketaksaan masih tinggi, maka maksud dan tujuan dari tuturan sulit untuk dipahami. Sehingga, terjadilah pelanggran maksim cara, karena maksud dari tuturan tidak tercapai. Pelanggaran maksim cara dapat terjadi karena berbagai hal, salah satunya kesopansantunan. Pelanggaran maksim cara ini dapat terjadi karena

23

(33)

banyak masyarakat Indonesia khususnya masyarakat suku-suku tertentu yang masih mengutamakan kesopansantunan berbahasa pada orang yang lebih tua. Kesopansantunan di sini bernilai sangat penting karena telah menjadi kebiasaan dan adab dalam kebudayaan mereka. Contohnya, orang Jawa banyak yang melakukan penyimpangan maksim cara ini karena orang Jawa banyak yang masih mengutamakan kesopansantunan. Sehingga, penutur seringkali mengungkapkan ujarannya secara tidak langsung, berbelit-belit dan terkadang bersifat ambiguitas untuk orang yang tak mengerti maksud dari ujarannya. Hal ini dapat terjadi,

karena penutur memiliki tujuan tertentu. Penyimpangan juga dapat terjadi bila antar peserta percakapan yaitu penutur dan lawan tuturnya tidak saling berkerjasama dalam percakapan mereka.

D. Hakikat Novel

Zulfahnur, dkk menyatakan “Novel berasal dari bahasa Italia, yaitu novellus yang diturunkan dari kata noveus yang berarti baru. dikatakan baru karena dibandingkan dengan jenis sastra lainnya seperti puisi, drama, dan lainnya, jenis

ini muncul kemudian.”24

Dalam hal ini menyatakan bahwa novel berasal dari bahasa Italia, yaitu novellus yang diturunkan dari kata noveus yang berarti baru. Novel adalah sesuatu

yang baru di dunia sastra dibandingkan dengan karya sastra lainnya, seperti puisi, cerpen, drama, dan sebagainya. Novel hadir di ranah sastra dan melengkapi

keberagaman karya yang ada sebelumnya.

Kosasih menyatakan “Novel adalah karya imajinatif yang mengisahkan sisi utuh

atas problematika kehidupan seseorang atau beberapa orang tokoh.”25

Jadi, cerita yang ada di dalam novel berkisah tentang kehidupan seseorang

atau beberapa orang tokoh. Sebuah novel tidak mungkin mengisahkan suatu hal yang di luar kehidupan manusia. Karena penulis sendiri hidup bersama masyarakat. Maka, hubungan sosial yang terjalin di antar penulis dan masyarakat

24

Zulfahnur Z.F., dkk., Teori Sastra, (Jakarta: Penerbit Universitas Terbuka, 2007), h. 6.9.

25

(34)

itulah yang pada akhirnya dapat menjadi inspirasi untuk penulis menciptakan sebuah karya.

Reeve di dalam Wellek & Warren menyatakan “Novel adalah gambaran dari kehidupan dan perilaku yang nyata, dari zaman pada saat novel itu ditulis. Romansa, yang ditulis dalam bahasa yang agung dan diperindah. Menggambarkan

apa yang tidak pernah terjadi dan tidak mungkin terjadi.”26

Jadi, novel adalah sebuah karya sastra agung yang berasal dari kehidupan. Novel tidak akan lepas dari kehidupan manusia dan zamannya. Ideologi, karir, kisah percintaan, keinginan, dan kehidupan penulis mampu mempengaruhi karya yang dibuatnya.

Priyatni menyatakan “Pada hakikatnya, novel adalah cerita, karena fungsi novel

adalah bercerita. Aspek terpenting novel adalah menyampaikan cerita.”27

Dalam hal ini menyatakan bahwa novel di dalam sastra adalah sarana untuk menyampaikan cerita. Segala sesuatu yang ditulis oleh penulis di dalam

karyanya merupakan suatu cerita yang ingin dibagikan penulis kepada pembaca novelnya. Melalui novel itulah penulis bercerita kepada para pembacanya, sehingga pembaca dapat mengerti maksud cerita yang disampaikan oleh penulis walau tidak bertemu langsung dan memetik pelajaran yang ada melalui sarana novel yang dibuat oleh penulis.

Suroto menyatakan “Novel hanya menceritakan salah satu segi kehidupan sang

tokoh yang benar-benar istimewa yang mengakibatkan terjadinya perubahan

nasib.”28

Jadi, penulis hanya akan menceritakan suatu kisah yang memang layak untuk ditulis dalam novelnya. Penulis juga menjadikan satu tokoh sebagai pusat cerita dan yang nantinya mengendalikan alur cerita. Cerita dari tokoh inilah yang

26

Rene Wellek dan Austin Warren, Teori kesusastraan, Terj. Dari Theory of Literature oleh Melani Budianta, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1993), h.282.

27

Endah Tri Priyatni, Membaca Sastra dengan Ancangan Literasi Kritis, (Jakarta: Bumi Aksara, 2010), h.125.

28

(35)

nantinya menjadi kisah yang menarik untuk dibaca sehingga dapat mempengaruhi pembaca untuk memahami maksud penulis.

Dengan demikian, novel berasal dari bahasa Italia, yaitu novellus yang diturunkan dari kata noveus yang berarti baru. Novel adalah sesuatu yang baru di dunia sastra dibandingkan dengan karya sastra lainnya, seperti puisi, cerpen, drama, dan sebagainya. Novel hadir di ranah sastra dan melengkapi keberagaman karya yang ada sebelumnya Sebuah novel tidak mungkin mengisahkan suatu hal yang di luar kehidupan manusia. Karena penulis sendiri hidup bersama

masyarakat. Maka, hubungan sosial yang terjalin di anatar penulis dan masyarakat itulah yang pada akhirnya dapat menjadi inspirasi untuk penulis menciptakan sebuah karya. Novel adalah sebuah karya sastra agung yang berasal dari kehidupan. Novel tidak akan lepas dari kehidupan manusia dan zamannya. Ideologi, karir, kisah percintaan, keinginan, dan kehidupan penulis mampu mempengaruhi karya yang dibuatnya.Novel di dalam sastra adalah sarana untuk menyampaikan cerita. Segala sesuatu yang ditulis oleh penulis di dalam karyanya merupakan suatu cerita yang ingin dibagikan penulis kepada pembaca novelnya. Melalui novel itulah penulis bercerita kepada para pembacanya, Sehingga pembaca dapat mengerti maksud cerita yang disampaikan oleh penulis walau tidak bertemu langsung dan memetik pelajaran yang ada melalui sarana novel yang dibuat oleh penulis.

E. Penelitian yang Relevan

(36)

Novie susantie (2010) melakukan penelitian dnegan judul “Analysis on the Violation of Maxim of Manner in Conversational Implicature Appearing in

Stephenie Meyer Twilight” merupakan suatu kajian pragmatik yang menitikberatkan pada analisis pelanggaran maksim cara beserta simpulan yang dapat diambil dari suatu implikatur percakapan yang terdapat dalam novel Twilight karya Stephenie Meyer. Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam

penelitian ini adalah untuk mengetahui pelanggaran maksim cara dalam implikatur percakapan beserta simpulan yang tersirat dalam percakapan tersebut.

Dalam melakukan penelitian ini penulis menggunakan metode kualitatif untuk menjabarkan dan menjelaskan fenomena pelanggaran maksim cara dalam implikatur percakapan.Dalam penelitian ini, penulis menemukan tiga puluh satu data mengenai pelanggaran maksim cara di dalam novel Twilight karya Stephenie Meyer. Pelanggaran terhadap maksim cara meliputi beberapa tipe, yaitu pelanggaran tehadap ketidakjelasan, keambiguan, kesingkatan, dan keteraturan. Berdasarkan hasil diskusi dalam penelitian ini diketahui bahwa seringkali seseorang melakukan pelanggaran maksim cara dengan berbagai alasan tertentu. Untuk bisa mengetahui maksud atau simpulan dari suatu implikatur percakapan yang mengalami pelanggaran maksim cara, hendaknya percakapan ini dianalisis berdasarkan konteks situasi dan praanggapan. Persamaan dari hasil penelitian di atas dengan penelitian yang akan dilakukan oleh penulis yaitu analisis sama-sama menitikberatkan pada maksim cara. Sedangkan perbedaannya, terdapat pada objek penelitiannya. Novie menjadikan novel Twilight karya Stephenie Meyer sebagai sumber data penelitiannya. Sedangkan peneliti menjadikan novel Masih Ada Kereta yang Akan Lewat karya Mira W sebagai sumber data penelitian.

Penelitian yang kedua dilakukan oleh Riska Widiastuti (2013) melakukan

penelitian dengan judul “Analisis Konflik Tokoh Arini dalam Novel Masih Ada Kereta yang Akan Lewat Karya Mira W dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran

Sastra di SMA”. Penelitian ini membahas tentang analisis konflik pada tokoh utama yaitu Arini dalam novel Masih Ada Kereta yang Akan Lewat karya Mira W

(37)

adalah mendeskripsikan konflik konflik tokoh Arini dalam novel Masih Ada Kereta yang Akan Lewat karya Mira W dan implikasinya terhadap pembelajaran

sastra di SMA. Dan hasil penelitiannyaterdapat empat aspek pada konflik internal dan dua aspek konflik eksternal pada tokoh. Konflik tersebut meliputi, (1) Konflik Internal dengan persentase 71,79%, yaitu: (a) Konflik mendekat-mendekat 20,5%, (b) Konflik mendekat-menghindar 30,7%, (c) Konflik menghindar-menghindar 7,6%, (d) Konflik mendekat-menghindar ganda 12,8%, dan (2) Konflik Eksternal dengan persentase 28,2%, yaitu: (a) Konflik fisik, dan (b) Konflik sosial

28,2%. Persamaan hasil penelitian di atas dengan penelitian yang akan dilakukan oleh penulis. Sumber data dari penelitian ini sama. Yaitu sama-sama meneliti berdasarkan novel Masih Ada Kereta yang Akan Lewat Karya Mira W. Perbedaan terlihat pada penelitian yang akan dilakukan oleh penulis. Penelitian di atas lebih bedasarkan sastranya. Yaitu tentang analisis konflik tokoh utama di dalam novel. Sedangkan penelitian yang akan ditulis penulis berdasarkan konteks pragmatiknya. Yaitu penggunaan maksim cara menurut perinsip kerjasama Grice di dalam novel.

Penelitian yang ketiga dilakukan oleh Anggreani Cahya Tia Ningrum (2013) dalam skripsinya yang berjudul “Citra Perempuan dalam Novel Masih Ada Kereta yang Akan Lewat Karya Mira W serta Implikasinya dalam Pembelajaran

Sastra di SMA”. Berdasarkan hasil penelitian dalam novel Masih Ada Kereta yang Akan Lewat Karya Mira W, terdapat empat Citra Perempuan yang dapat dijabarkan. Dari keempat Citra Perempuan tersebut, secara keseluruhan diperoleh 33 kutipan dengan presentase 100%, dengan rincian sebagai berikut: (1) Citra Perempuan dalam Aspek Fisis ada 11 kutipan dengan presentase 45,45%; (2) Citra Perempuan dalam Aspek Psikis ada 7 kutipan dengan presentase 15,15%; (3) Citra Perempuan dalam Aspek Sosial ada 5 kutipan dengan presentase

(38)

atas lebih bedasarkan sastranya. Yaitu tentang analisis citra perempuan di dalam novel. Sedangkan penelitian yang akan ditulis penulis berdasarkan konteks pragmatikny, yaitu penggunaan makism cara menurut perinsip kerjasama Grice di dalam novel.

(39)

27

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Waktu Penelitian

Penelitian mengenai penggunaan maksim cara Grice dalam novel Masih Ada Kereta yang Akan Lewat karya Mira W dilaksanakan mulai tanggal 19

[image:39.595.83.522.253.750.2]

Januari 2014 sampai dengan 15 Juli 2014.

Tabel Jadwal Perencanaan Kegiatan Penelitian

No Rencana Kegiatan

Tahun 2013 Tahun 2014

Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep

1. Uji

Komprehensif

2. Pengajuan Judul Proposal

3 Proposal √

4 Seminar Proposal

5 Perbaikan Proposal

6 Pembimbing √

7 Skripsi √

8 Mencari Buku Sumber

9 Observasi √

10 Tahap Menulis Pendahuluan

(40)

pembahasan

12 Tahap Mehulis akhir dan pengeditan

16 Paraf

Pembimbing

17 Menyelesaikan Administrasi

18 Sidang Skripsi √

19 Perbaikan Skripsi

B. Metode Penelitian

Metode penelitian ini menggunakan metode deskriptif dengan pendekatan kualitatif dan menggunakan teknik analisis isi dengan cara menganalisis penggunaan maksim cara dalam novel Masih Ada Kereta yang Akan Lewat karya Mira W dari sudut prinsip kerjasama Grice dan maksud penggunaannya. Metode penelitian kualitatif menurut Lincoln dan Guba di dalam pedoman penulisan skripsi FITK disebut sebagai Naturalistik Inquiry. Penggunaan pendekatan ini dikarenakan cara pengamatan dan pengumpulan data dilakukan dalam latar atau setting alamiah, artinya tanpa memanipulasi subjek yang diteliti.1

Ali menyatakan “data lunak yang bersifat kualitatif diperoleh melalui riset yang menggunakan pendekatan kualitatif, atau riset kualitatif. Data lunak atau data kualitatif ini sebagaimana dijelaskan di atas berbentuk kata-kata, yang diperoleh dari dokumen, wawancara dan atau observasi, yang biasanya dituangkan dalam catatan lapangan. Catatan lapangan adalah catatan atau rekaman kata-kata, kalimat, atau paragraf. Untuk

1

(41)

memperoleh arti dari data semacam ini melalui interpretasi data digunakan

teknik analisis data kualitatif.”2

Berdasarkan hal tersebut, peneliti akan berusaha menemukan penggunaan

maksim cara yang sesuai dan yang melanggar prinsip kerjasama Grice serta maksud penggunaannya di dalam dialog antartokoh pada novel Masih Ada Kereta

yang Akan Lewat karya Mira W. Hal ini dilakukan agar keterampilan berbicara

siswa di sekolah dapat ditingkatkan menjadi lebih baik lagi.

C. Sumber Data

Novel Masih Ada Kereta yang Akan Lewat karya Mira W. novel ini terbit di Jakarta, September 1982. Novel yang digunakan penulis adalah cetakan kesembilan, September 2009 yang diterbitkan PT Gramedia, Jakarta.

D. Fokus Penelitian

Penelitian berfokus untuk meneliti penggunaan maksim cara yang ada di dalam novel Masih Ada Kereta yang Akan Lewat karya Mira W. Dialog tokoh yang ada di dalam novel menjadi titik fokus karena sumber analisis penggunaan maksim cara yang sesuai dan yang melanggar prinsip kerjasama Grice didapatkan dari novel tersebut.

E. Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini teknik pengumpulan data yang dilakukan oleh peneliti sebagai berikut:

1. Observasi

Melihat data awal, memilih novel Masih Ada Kereta yang Akan Lewat yang akan dipakai dalam penelitian

2. Membaca novel secara intensif, membaca secara berulang-ulang novel

Masih Ada Kereta yang Akan Lewat karya Mira W. Membaca secara

kritis, menemukan bagian-bagian dalam dialog antar tokoh yang

2

(42)

menunjukkan penggunaan maksim cara yang sesuai dan yang melanggar prinsip kerjasama Grice.

3. Pengamatan (si peneliti menganalisis teks) analisis teks.

4. Menentukan dialog tokoh yang terdapat maksim cara yang sesuai dan

yang melanggar prinsip kerjasama Grice serta maksud penggunaan maksim cara yang ada di dalam novel Masih Ada Kereta yang Akan Lewat.

5. Membuat tabel analisis kerja.

F. Instrumen Penelitian

Alatnya peneliti itu sendiri, dikarenakan penelitian ini merupakan

penelitian deskripsi kualitatif maka alatnya adalah peneliti itu sendiri. Peneliti

yang mencari, menemukan, dan menganalisis penggunaan maksim cara yang

sesuai dan yang melanggar prinsip kerjasama Grice di dalam novel Masih Ada

Kereta yang Akan Lewat karya Mira sebagai subjek penelitian. Peneliti juga

[image:42.595.110.541.96.703.2]

dibantu dengan beberapa data yang ada pada tabel sebagai berikut.

Tabel Data Penggunaan Maksim Cara dalam Novel Masih Ada

Kereta Yang Akan Lewat

No Kutipan dialog Bab dalam

novel

Nomor

halaman

Maksim Cara

PMC PYMC PMC PYMC

KETERANGAN :

(43)

G. Teknik Analisis Data

Analisis data adalah proses pengaturan urutan data mengorganisasikannya ke dalam suatu pola, kategori dan satuan uraian dasar. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan teknik deskripsi kualitatif karena peneliti terlebih dahulu membaca dan mendeskripsikan (memaparkan atau menggambarkan dengan kata-kata secara jelas dan terperinci) Masih Ada Kereta yang Akan Lewat karya Mira W. lalu menganalisis ujaran di dalam novel yang mengandung maksim cara.

Langkah-langkah yang harus dilakukan untuk menganalisis data adalah sebagai berikut.

(1) Membaca secara berulang novel yang ada.

(2) Mencari dialog-dialog yang terdapat dalam novel Masih Ada Kereta yang Akan Lewat.

(3) Menandai kalimat atau dialog yang mengandung maksim cara

(4) Mencatat kalimat yang mengandung maksim cara dalam dialog tokoh pada novel Masih Ada Kereta yang Akan Lewat.

(5) Mengisi tabel analisis kerja dengan data hasil temuan penggunaan maksim cara yang terdapat di dalam novel.

(6) Menganalisis penggunaan maksim cara yang terdapat dalam novel Masih Ada Kereta yang Akan Lewat.

(7) Menginterpretasi penggunaan maksim cara yang terdapat dalam novel Masih Ada Kereta yang Akan Lewat.

(8) Menulis rekapitulasi data penggunaan maksim cara dalam novel Masih Ada Kereta yang Akan Lewat karya Mira W.

(44)

32

BAB IV

HASIL PENELITIAN

Pada bab ini akan dibahas mengenai hasil penelitian, yaitu biografi penulis, penyajian data penggunaan maksim cara dalam novel, analisis penggunaan maksim cara dalam novel, interpretasi hasil analisis, pembahasan, implikasi terhadap pembelajaran bahasa Indonesia, dan keterbatasan penelitian.

A. Biografi Penulis

Dilahirkan dua puluh tujuh tahun yang lalu, pendidikan Doktoral satu pada sebuah Fakultas Kedokteran, Dra. Med. Mira Wijaya mengaku mulai menulis sejak tahun 1974, karya-karya yang berwujud cerpen banyak dimuat di majalah-majalah wanita seperti Femina, Dewi, Gadis, dan juga sejumlah majalah-majalah hiburan lainnya. Agaknya, Mira W (yang dalam kemunculanya pertama-tama menulis di bawah nama M. Wijaya) mulai dinobatkan sebagai salah seorang penulis pop

yang digemari pembaca, sejak novelnya yang berjudul “Sepolos Cinta Dini”

dimuat di harian Kompas.

Gaya bahasanya yang lancar dan lincah, dialog-dialognya yang segar, tema yang digarap sekitar kehidupan remaja dengan segala pernik-pernik percintaan mereka, merupakan kekuatan dari novel pop penulis dari calon dokter ini, dan

pembaca akan menjumpai kesemuanya itu dalam novel “Cinta Tak Pernah Berhutang” yang merupakan novel pertamanya yang dibukukan.1

B. Sinopsis novel Masih Ada Kereta yang Akan Lewat karya Mira W

Delapan tahun yang lalu karena takut ketinggalan kereta, Arini telah menumpang kereta yang salah. Kereta api yang menjerumuskannya ke jurang

penderitaan. Tetapi penderitaan yang berat dan menyakitkan tidak menjerumuskan perempuan sederhana yang polos dan bodoh seperti Arini ke lembah kenistaan. Dia tidak membiarkan dirinya jatuh ke dalam pelukan laki-laki atau terkapar menangisi nasibnya di tempat tidur. Dengan sisa-sisa kekuatannya sendiri, Arini

1

(45)

berjuang untuk memperbaiki nasibnya. Bertekad menjadi seorang wanita terhormat, agar tidak seorang pun berani menghinanya lagi. Dia menempa dirinya menjadi seorang wanita karier yang sukses, meskipun untuk itu dia terpaksa mulai dari tempat yang paling bawah sekali. Di ujung suksesnya, ia mengira tak ada lagi kereta yang akan melintasi hidupnya. Tetapi dalam sebuah kereta api cepat di daratan Eropa, kereta api terakhir yang menuju Stuttgart, Arini berjumpa dengan Nick. Dan di dalam diri laki-laki yang lebih muda ini, Arini menyadari, masih ada kereta api yang akan lewat.

Kereta yang membawanya ke Jakarta. Mempertemukannya kembali dengan Helmi, laki-laki yang pernah menjadikannya seorang istri pulasan, demi menutupi skandal cintanya dengan Ira, teman Arini yang telah menikah. Dendam yang membara di hati Arini nyaris menemukan pelampiasannya ketika ia melihat apa yang telah dilakukan Helmi terhadap anak perempuan mereka selama ini. Dan di dalam diri anaknya yang telah ditinggalkannya begitu saja selama tujuh tahun, yang lebih memilih ibunya daripada Arini, dia kembali dihadapkan pada suatu dilema. Namun, pada akhirnya Arini berhasil bebas dari belenggu hidupnya dan kembali menjalani hidupnya.

C. Penyajian Data Penggunaan Maksim Cara dalam Novel

Penyajian data penggunaan maksim cara dalam novel Masih Ada Kereta Yang Akan Lewat. Data diperoleh setelah peneliti membaca novel secara intensif,

melakukan pengamatan dialog tokoh di dalam novel, dan menentukan dialog tokoh yang terdapat maksim cara dan penyimpangan maksim cara terhadap seluruh bab, dimulai dari bab awal sampai bab akhir yang diterbitkan oleh PT Gramedia Pustaka Utama. Data maksim cara tersebut selanjutnya ditentukan penggunaannya, terjadi penyimpangan maksim cara atau tidak.

Jumlah halaman novel 237 halaman, yang terdiri dari 21 bab. Berdasarkan

(46)
[image:46.595.108.545.216.747.2]

Tabel 4.1

Data Penggunaan Maksim Cara dalam Novel Masih Ada Kereta yang Akan

Lewat dari Keseluruhan Bab

No Kutipan Dialog Bab

dalam novel

Nomor halaman Maksim Cara

PMC PPMC PMC PYMC

1 Nick : Anda turun di mana?

Arini : Stuttgart

(Mira : 2009 h. 9)

Nick: Jam berapa?

Arini: Apanya? h.

9

Nick: Kenapa dia

balik lagi?

Arini: Tanya saja

sendiri! h. 11

Bab 1 7 sampai 12 1 2

2 Arini:Berapa umurnya?

Ira: Seumur kita.

Dua lima. h. 14

Arini:Kamu

betul-betul

mengenalnya?

Ira: Kalau tidak

masa

kuperkenalkan

padamu? h. 14

Bab 2 13 sampai 18 1 1

3 Nick:Sedang berlibur?

Arini: Studi. h. 21

Arini: Pernah ke

sana?

Nick: Dua kali!

Pulau yang indah!

Pulau para dewa!

h.20

Nick: Boleh tahu

alamatnya?

Arini: Buat apa? h.

22

Bab 3 19 sampai 25 2 1

4 _

Ira: Bagaimana?

Helmi: Bagaimana

apanya? h. 26

(47)

5 Arini:Sudah berapa anakmu?

Ira: Tiga. h. 32

Arini:dan kamu

ingin menolong

mencarikan suami

untuk sahabatmu?

Ira: aku punya

calon untukmu. h.

33

Nick:dimana tuan

Utomo?

Arini:sudah

meinggal. h.40

Nick: Kamu belum

tua. Berapa

usiamu?

Arini: Pasti seumur

ibumu. Sudahlah,

saya sudah capek.

Selamat malam. h.

42

Nick: saya boleh

masuk?

Arini: Bilang dulu

mau apa kamu

kemari? h.35

Arini:orangtuamu

pasti kaya.

Nick:saya mau cari

duit sendiri. h.42

Bab 5 31 sampai 43 3 3

6 Hadi: Kenapa dia harus menulis sms

padamu?

Ira: Sms ini bukan

untukku. h. 46

Helmi:lho kok

kamu jadi nyinyir

begini?

Ira:aku cemburu!

h.56

Ira: Jadi kamu juga

nggak keberatan?

Helmi: Lho, kok

kamu jadi nyinyir

begini? h. 56

Arini:tas ini norak

nggak sih di mata

Helmi?

Ira: lain kamu

sekarang! h.55

Bab 6 44 sampai 58 2 2

7 Helmi: Dia masih curiga?

Ira: Makin curiga

jika kamu tidak

jadi mengawini

Arini! h. 68

Hadi: Aku kurang

apalagi, Ira?

Ira: Mas ngomong

apa sih? h. 59

Hadi:jangan

pura-pura! Aku tahu

hubunganmu

dengan playboy

itu!

(48)

Ira:playboy mana?

Kapan aku

main-main dengan segala

macam playboy?

h

Gambar

Tabel 4.1 : Data penggunaan Maksim Cara dalam Novel Masih Ada Kereta
Tabel Jadwal Perencanaan Kegiatan Penelitian
Tabel Data Penggunaan Maksim Cara dalam Novel Masih Ada
Tabel 4.1
+2

Referensi

Dokumen terkait

Melalui proses perubahan tersebut diharapkan seseorang siswa yang sedang belajar akan mempunyai pengetahuan fisika yang lebih lengkap dan benar, sehingga apa yang mereka pelajari

Arus yang tinggi disebabkan karena mengecilnya daerah deplesi sehingga elektron mudah berpindah dari pita valensi ke pita konduksi dan banyak terjadi reaksi hidrogen dengan

lebih sedikit (40%) jika dibandingkan dengan kinerja guru dengan kriteria sedang (60%); (2) secara keseluruhan pada aspek pelaksanaan pembelajaran yang dilakukan

Sebaran kualitas air yang di pengaruhi arah arus yang dominan ke arah barat yang menyebabkan nilai konsentrasi suhu dan logam berat di perairan bagian barat lebih tinggi

Sedangkan pada kelas B sebanyak 10 siswa (50%) termasuk dalam kategori sangat tinggi, sebanyak 7 siswa (35,00%) termasuk dalam kategori tinggi dan sebanyak 3 siswa (15,00%)

Aktivitas menunjukkan bahwa fraksi etil asetat pada konsentrasi 100 ppm mengakibatkan kematian tertinggi 100% dari larva yang diuji dalam jangka waktu 8 jam, diikuti

Setelah di klik menu "+ Pasang Iklan, Gratis" Anda akan dibawa kehalaman Pasang Iklan Gratis, silahkan di isi sesuai dengan apa yang ingin Anda jual (Seperti gambar

Gagasan teologi sosial berpijak pada dua hal; Pertama , sistematisasi kalam klasik sudah terlalu lama mewarnai pemikiran Islam, ketika munculnya anomali-anomali baru dalam