BAB III REMAJA DAN DINAMIKA PERKEMBANGAN SEKSUALNYA
F. Penyimpangan Seksual
1. Pengertian Penyimpangan Seksual
Penyimpangan seksual adalah bentuk perilaku seksual yang keluar dari norma atau aturan yang ada dalam masyarakat atau bentuk perilaku seksual yang tidak wajar yang berbeda dengan yang semestinya terjadi. Penyimpangan seksual umumnya akan merugikan diri sendiri, orang lain maupun lingkungan (Sriyanti, 2009: 165). 2. Penyebab Penyimpangan Seksual
Penyebab penyimpangan seksual yang terjadi pada remaja dan orang dewasa berawal dari masa anak-anak ataupun balita.
a. Terjadi pengasuhan yang kurang baik pada usia balita b. Pengalaman-pengalaman traumatik yang pernah dialami
Kehidupan anak pada usia lima tahun pertama akan menentukan perkembangan kepribadiannya dimasa yang akan datang, lingkungan memiliki andil besar dalam membentuk individu-individu dengan perilaku seksual yang tidak normal. Karena itu pendidikan seksual harus sudah diberikan sejak usia dini, sejak awal anak harus sudah memiliki berbagai pengetahuan tentang seksualitas secara baik dan benar sesuai norma-norma yang berlaku.
c. Kesalahan anak dalam mengidentifikasi diri
d. Masalah-masalah yang terjadi dalam rumah tangga
Ketidakharmonisan keluarga, pertengkaran antara ayah dan ibu, kesalahan-kesalahan dalam dominasi antara ayah dan ibu seperti trauma anak melihat kehidupan perkawinan orang tua, empati anak perempuan yang berlebihan terhadap ibu, dan kebencian yang berlebih terhadap sosok ayah, dapat menjadi penyebab timbulnya perilaku lesbian dan sebaliknya empati yang berlebihan dari anak laki-laki terhadap ayah dan kebencian terhadap sosok ibu dapat menimbulkan problem perilaku seksual di
masa mendatang, seperti munculnya perilaku homo (Sriyanti, 2009: 170).
3. Jenis-jenis Penyimpangan Seksual
Terdapat berbagai jenis dan bentuk gangguan atau penyimpangan dalam perilaku seksual. Berbagai jenis gangguan perilaku seksual
tersebut bisa dialami atau terjadi pada orang normal. Dikatakan sebagai gangguan, bila perilaku tersebut berulang kali dilakukan dan merupakan syarat untuk mendapatkan kepuasan atau hanya dengan melakukan itu seseorang baru bisa mendapatkan kepuasan seksual (Wahyudi, 2000: 55-58).
a. Gangguan Identifikasi Jenis Kelamin
Gambaran utama dari gangguan ini adalah ketidaksesuaian antara alat kelamin dengan identitas jenis yang terdapat pada diri seseorang. Jadi seseorang yang berjenis kelamin laki-laki merasa bahwa dirinya perempuan dan sebaliknya.
1) Transeksualisme
Transeksual adalah orang-orang (biasanya laki-laki) yang
merasa tidak puas dengan jenis kelaminnya, atau merasa dilahirkan dalam tubuh yang salah.
2) Gangguan Identitas Jenis Masa Kanak-kanak
Walaupun transeksualisme biasanya mulai timbul sejak
masa kanak-kanak, akan tetapi ada gangguan identitas jenis yang hanya terjadi pada masa kanak-kanak saja.
3) Gangguan Identitas Jenis Tidak Khas
Merupakan bentuk gangguan namun tidak sepenuhnya menunjukkan tanda-tanda transeksualisme, walaupun ada
perasaan-perasaan tertentu yang menolak struktur anatomi dirinya.
b. Parafilia (Deviasi Seksual)
Ciri utama gangguan seksual ini adalah diperlukannnya suatu khayalan atau perbuatan seksual yang tidak lazim untuk mendapatkan gairah seksual.
1) Zoofilia (Bestialitas)
Bentuk gangguan dimana penderita memperoleh kepuasan seksual apabila berfantasi atau mengadakan aktivitas seksual dengan hewan.
2) Pedofilia
Gangguan seksual berupa suatu perbuatan atau fantasi untuk melakukan aktivitas seksual dengan anak kecil.
3) Transvestisme
Kepuasan seksual diperoleh dengan cara mengenakan pakaian dari lawan jenis.
4) Ekshibisionisme
Penderita gangguan ini mempertunjukkan alat kelaminnya secara sengaja kepada orang lain, dengan tujuan meraih gairah seksualnya, tanpa berkeinginan untuk mengadakan aktivitas seksual dengan orang tersebut.
5) Fetishisme
Fetish berarti sesuatu yang dipuja. Penderita fethitisme akan
memuja benda tertentu sebagai sarana masturbasi. Penderita dicirikan dengan penggunaan benda (fethis) yang lebih disukai
sebagai satu-satunya cara untuk mendapatkan gairah seksual. 6) Voyeurisme
Voyeurisme disebut juga scoptophilia. Berasal dari bahasa
Perancis “Voyeur” yang artinya mengintip. Penderita akan
memperoleh kepuasan dengan mengintip orang lain yang dalam keadaan telanjang, yang sedang mandi, atau bahkan sedang melakukan aktivitas seksual.
7) Masokisme Seksual
Penderita akan merasakan gairah seksual apabila diberi perlakuan kasar dan sadis dalam melakukan aktivitas seksual. 8) Sadisme Seksual
Gangguan ini merupakan kebalikan dari masokisme, yaitu
kepuasan seksual yang dicapai dengan cara menimbulkan penderitaan psikologis atau fisik pada pasangannya.
9) Parafilia Tidak Khas
Bentuk parafilia lain yang pencapaian kepuasan seksualnya
didapat melalui cara-cara yang tidak lazim, misalnya dengan berbicara kotor melalui telepon (skatologi telepon).
c. Disfungsi Psikoseksual
Penderita merasa tidak memiliki gairah seksual. Gambaran utama dari disfungsi psikoseksual adalah terdapat gangguan pada selera (minat) seksual atau terdapat hambatan pada perubahan psikofisiologik padahal orang tersebut (karena kesehatan atau umurnya) semestinya memiliki gairah seksual yang wajar.
4. Pencegahan Perilaku Menyimpang pada Remaja
Remaja memiliki jiwa yang sangat bergejolak dan berada pada kondisi lingkungan dengan perubahan sosial yang cepat seiring berkembangnya jaman, yang mengakibatkan kesimpangsiuran norma yang diterimanya. Kondisi yang sama-sama bergejolak ini membuat remaja lebih rawan (Sarwono, 1997: 219-222).
a. Remaja perlu didukung lingkungan terdekat yang stabil
Untuk mengurangi benturan gejolak tersebut, seperti halnya keluarga. Kondisi keluarga yang harmonis akan mengantarkan remaja melewati masa-masa transisinya dengan baik. Pencegahan perilaku menyimpang pada remaja yang bersumber dari lingkungan terdekat, seperti halnya keluarga yang merupakan lingkungan terbaik. Terlebih apabila remaja berada pada lingkungan yang menanamkan nilai-nilai agama yang kokoh padanya, akan sangat mendukung kepribadiannya menjadi lebih baik.
b. Perlunya pengembangan pribadi remaja yang optimal
Melalui pendidikannya di sekolah. Pendidikan yang hakikatnya merupakan proses penanaman norma, apabila ditanamkan sejak usia dini akan menjadi bekal untuk memasuki usia remajanya. Pendidikan sangat besar pengaruhnya terhadap perkembangan psikologis remaja. Pendidikan di sekolah selain berfungsi sebagai tempat mencerdaskan peserta didik juga sebagai tempat transformasi norma-norma, tidak jauh berbeda dengan peran keluarga.
c. Menciptakan lingkungan pertemanan yang sesuai dengan kondisi kejiwaannya
Baik tidaknya kelompok atau organisasi yang diikuti akan membawa remaja pada tujuan-tujuan kelompok atau organisasi tersebut. Selanjutnya, semaksimal mungkin menyalurkan bakat dan minat remaja sesuai dengan kemampuannya serta keinginannya agar tidak menggunakan waktu luangnya untuk berbuat perilaku menyimpang.