• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERAMPASAN HAK ULAYAT PESISIR DAN LAUT Peta Konflik dan Relasi Antar-Aktor

Terdapat lima aktor yang terlibat dalam pengelolaan sumber daya pesisir dan laut di Teluk Tomini, yakni negara, swasta, lembaga multilateral, LSM, dan Suku Bajo. Hal ini dapat dipahami bahwa Teluk Tomini merupakan wilayah tempat bertemunya berbagai kepentingan, dalam rangka memanfaatkan wilayah pesisir dan sumber daya alam yang terkandung di dalamnya. Implementasi kebijakan pengelolaan sumber daya pesisir dan laut di Teluk Tomini tidak dapat dihindarkan dari konflik sosial. Konflik berupa bentuk hubungan sosial yang berwujud perselisihan dan pertentangan baik bersifat laten maupun manifes. Sumber daya mangrove di pesisir didominasi kepemilikannya oleh negara, sementara Suku Bajo dianggap sebagai pihak yang tidak mempunyai hak kepemilikan, padahal jauh sebelum masuknya negara, kawasan tersebut telah menjadi hak kelola Suku Bajo. Realitas ini membuka jalan terjadinya konflik. Konflik menjadi semakin kompleks ketika negara berkoalisi dengan korporasi yang memburu rente ekonomi dengan menegasikan keberadaan Suku Bajo, sehingga meninggalkan kehancuran sumber daya pesisir dan laut.

Konflik sumber daya pesisir dan laut di Teluk Tomini, selain terjadi antara Suku Bajo versus negara, juga melibatkan Suku Bajo versus swasta. Konflik antara Suku Bajo versus negara terjadi ketika negara menggunakan perannya sebagai pelindung sumber daya pesisir dan laut dengan menetapkan kawasan tersebut sebagai kawasan konservasi. Sementara itu, konflik antara Suku Bajo versus swasta, serta juga melibatkan negara, terjadi ketika negara sebagai pemanfaat sumber daya alam memberikan izin penguasaan kepada pihak swasta untuk mengelola sumber daya pesisir dan laut di Teluk Tomini.

Konflik yang terjadi juga melibatkan aktor-aktor lain yang berkepentingan, baik lembaga multilateral maupun LSM lokal dan internasional. Lembaga multilateral dan LSM internasional walaupun tidak secara langsung terlibat dalam konflik di Teluk Tomini, tetapi dengan adanya program-program partisipatif yang didanai oleh lembaga-lembaga tersebut, baik program yang turun melalui lembaga negara, maupun langsung ke masyarakat melalui LSM lokal, berkontribusi sangat signifikan membuka cakrawala berpikir Suku Bajo, yang pada akhirnya melakukan perlawanan atas dominiasi negara dan korporasi. Program SUSCLAM yang dibawah oleh LSM sejak 2007 misalnya, didanai oleh pemerintah Kanada (CIDA) melalui LSM internasional, yang operasionalnya di Teluk Tomini dilaksanakan LSM lokal, perkumpulan Japesda. Program yang memakai metode partisipatif dengan fokus utamanya adalah restorasi mangrove ini, secara tidak langsung membuka kesadaran Suku Bajo untuk melakukan perlawanan terhadap negara dan korporasi yang telah menghancurkan kawasan mangrove. Hal ini dapat dilihat pada konflik yang terjadi tahun 2009 dan 2012. Konflik yang terjadi tahun 2009, Suku Bajo didukung oleh LSM melakukan penggagalan pembukaan lahan tambak baru yang rencananya sekitar 200 hektar. Demikian pula konflik yang terjadi tahun 2012, ketika itu beberapa tokoh Suku Bajo dan para pemerhati lingkungan yang didampingi LSM melakukan

penolakkan atas masuknya PT. KG dan anak perusahaanya, PT. JAD, untuk beroperasi di pesisir Teluk Tomini.

Perbedaan kepentingan masing-masing aktor atas sumber daya pesisir dan laut, menyebabkan posisi dan keberpihakan atas konflik yang terjadi juga berbeda. Peta konflik dan relasi masing-masing aktor tersebut dapat dilihat pada gambar 14 berikut ini.

Gambar 14. Peta Konflik dan Relasi Antar-Aktor di Teluk Tomini (Sumber: diolah dari data primer)

Keterangan :

: Hubungan konflik

: Mendukung dan memberi pendampingan : Hubungan kedekatan

: Hubungan koordinasi : Kritik dan kontrol sosial

Dinas Kehutanan Pemerintah Pusat Pemerintah Provinsi Suku Bajo Pemerintah Kabupaten PT. MBT PT. WS PT. KG- PT. JAD BKSDA Pengusaha Tambak LSM Lokal Dinas Perikanan Bank Dunia NGO Internasional CIDA

Penyebab dan Bentuk Konflik

Konflik sumber daya pesisir dan laut di Teluk Tomini berakar dari pemanfaatan sumber daya pesisir dan laut di satu sisi, serta perlindungan sumber daya di sisi yang lain. Pemanfaatan sumber daya menjadi pintu masuk bagi korporasi untuk mengeksploitasi sebesar-besarnya sumber daya pesisir dan laut, sedangkan perlindungan kawasan yang diwujudkan dengan penetapan kawasan sumber daya pesisir dan laut sebagai hutan konservasi, menjadi instrumen negara untuk menguasai sumber daya yang ada. Dominasi negara dan korporasi dalam penguasaan sumber daya tesebut sesungguhnya menegasikan eksistensi Suku Bajo dalam pengelolaan sumber daya pesisir dan laut di Teluk Tomini. Baik pemanfaatan oleh korporasi maupun perlindungan sumber daya pesisir dan laut oleh negara, berbenturan dengan kepentingan Suku Bajo, sehingga konflik tidak dapat dihindari. Bentuk konflik silih berganti antara konflik laten dan konflik manifes berupa penolakan secara terbuka dari Suku Bajo.

Lahirnya Undang-Undang No. 1 Tahun 1967 Tentang Investasi Asing, Undang-Undang No. 5 Tahun 1967 Tentang Kehutanan, dan Undang-Undang No. 6 Tahun 1968 Tentang Penanaman Modal Dalam Negeri, memberi sinyal pemerintah untuk mengangkat orientasi ke luar. Hal ini berarti pemerintah membuka akses seluas-luasnya kepada para investor, baik asing maupun dalam negeri, untuk mengelola sumber daya alam. Teluk Tomini yang memiliki potensi sumber daya alam sangat besar, tidak terlepas dari kebijakan itu. Sejak tahun 1977, investasi ekonomi mulai menancapkan dominasinya di pesisir Teluk Tomini, berupa masuknya perusahaan kayu dan usaha tambak.

Beroperasinya perusahaan-perusahaan besar penebang hutan di pesisir Teluk Tomini, membuka konflik antara Suku Bajo dengan perusahaan. Berawal tahun 1977, ketika PT. MBT memulai operasinya dalam melakukan penebangan hutan, Suku Bajo mulai mengalami tekanan penggusuran oleh perusahaan. PT. MBT, perusahaan kayu milik Jepang yang sebagian sahamnya dimiliki keluarga cendana, ketika itu mempergunakan kawasan pesisir di Teluk Tomini dengan membangun kantor serta aktivitas bongkar muat perusahaan. Realitas ini sangat menyedihkan bagi komunitas Suku Bajo, karena pesisir tersebut telah lama mereka tempati untuk bermukim, serta tempat menangkap ikan dengan memasang bagan-bagan mereka di laut.

Masuknya PT. MBT di pesisir Teluk Tomini, tahun 1977, Suku Bajo penghuni pesisir tersebut dipindahkan secara paksa dan diarahkan bergabung dengan komunitas Suku Bajo lainnya di laut bagian timur yang tidak terlalu jauh dari kawasan itu. Permukiman mereka digusur, sementara kawasan laut tempat mereka memasang bagan diambil alih sebagai tempat operasional bongkar muat perusahaan. Konflik manifes berupa penolakan terbuka yang mereka lakukan tidak mampu menghalangi desakkan tersebut, karena mendapat intervensi dari pemerintah desa dan pengawalan ketat dari pihak kepolisian. Pada akhirnya komunitas Suku Bajo yang bertempat tinggal dikawasan tersebut mengalah dan pindah bergabung dengan komunitas Suku Bajo lainnya di sebelah timur. Konflik kemudian berbentuk laten.

Sementara itu, Ketika perusahaan kayu PT. MBT mulai menancapkan dominasinya di bagian barat, pada tahun yang sama, 1977, usaha tambak garam mulai merambah di bagian timur. Hal ini menyebabkan perkampungan Suku Bajo yang berada di tengah ekspansi ekonomi pihak luar semakin terjepit. Keberadaan tambak di Teluk Tomini diawali dengan usaha tambak garam seluas ± 70 hektar di bawah prakarsa pemerintah Kabupaten Gorontalo pada tahun 1977, ketika itu masih termasuk dalam wilayah Provinsi Sulawesi Utara. Penguasaan lahan untuk usaha tambak garam kemudian semakin diperluas seiring dengan keluarnya SK Gubernur KDH Tkt. I Sulut No. 200/1996 tentang pencadangan tanah lokasi transmigrasi pola tambak di Kabupaten Gorontalo seluas 12.752 hektar.

Usaha tambak garam rakyat yang awalnya diprakarsai oleh pemerintah tersebut, sejak tahun 1980-an berkembang menjadi tambak udang dan ikan bandeng, seiring dengan masuknya pekerja tambak dari Sulawesi Selatan. Banyak lahan tambak garam dijual oleh pemiliknya kepada para pendatang asal Sulawesi Selatan, kemudian dikonversi menjadi tambak udang dan ikan bandeng. Para pengusaha tambak ini datang secara beramai-ramai dari beberapa kabupaten yang ada di Sulawesi Selatan, seperti Kabupaten Sidrap, Pinrang, Pare-Pare, Enrekang, Wajo, dan kabupaten lainnya. Mereka tinggal dan menetap di pesisir Teluk Tomini sambil menjalankan usaha tambak. Ada juga yang hanya berstatus penggarap, sementara pemilik modal tinggal di Makassar, Sulawesi Selatan.

Warga pendatang yang awalnya hanya berperan membantu warga lokal Gorontalo mengelola tambak tersebut, karena ditunjang oleh modal dan keahlian, lama kelamaan berpindah kepemilikan kepada warga pendatang dengan cara jual beli lahan. Seiring keberhasilan warga pendatang dalam mengelola tambak, klaim kepemilikan kawasan mangrove oleh masyarakat lokal kian marak. Masyarakat lokal yang mengklaim kepemilikan kawasan mangrove tersebut kemudian melakukan pembabatan atas kawasan yang ada. Lahan yang sudah dibuka selanjutnya dijual kepada warga pendatang untuk dijadikan lahan tambak baru. Pengrusakkan kawasan mangrove menjadi lahan tambak seperti ini berlangsung masif, bahkan melibatkan pemerintah desa dan kecamatan. Kawasan konservasi yang seharusnya menjadi kewenangan pemerintah pusat, dalam hal ini di bawah pengawasan BKSDA Sulawesi Utara, terkonversi menjadi lahan tambak hanya dengan izin dari kepala desa atau camat. Lahan-lahan tambak udang dan ikan bandeng yang ada selain berasal dari perubahan fungsi tambak garam, awalnya banyak dibuka hanya dengan mengantongi izin dari kepala desa atau camat setempat. Pada akhirnya, pengusaha tambak di Teluk Tomini sudah menguasai ± 2.600 hektar kawasan pesisir. Akibat adanya tambak tersebut, dari 3.000 hektar luas kawasan konservasi, yang tersisa hanya ± 400 hektar.

Hancurnya kawasan mangrove akibat ekspansi usaha tambak sangat menyakitkan bagi Suku Bajo. Suku Bajo yang memahami fungsi mangrove sebagai tempat bertelur ikan, melemparkan kekesalannya kepada pengusaha tambak, setiap kali hasil tangkapannya tidak memuaskan. Puncaknya terjadi konflik terbuka pada tahun 2009, Suku Bajo yang didampingi LSM Lokal berhasil menggagalkan penebangan mangrove secara ilegal untuk dikonversi menjadi tambak baru yang rencananya sekitar 200 hektar.

Sementara itu, sejak tahun 1987, setelah PT. MBT menutup operasional perusahaannya di pesisir Teluk Tomini, hak penguasaan perusahaan tersebut dilanjutkan oleh PT. WS. Perusahaan milik raja hutan zaman orde baru ini, juga bergerak di bidang penebangan hutan dengan mengantongi HPH dari pemerintah pusat. Masa peralihan dari PT. MBT ke PT. WS, Suku Bajo kembali memanfaatkan kawasan perairan tersebut untuk memancing dan memasang bagan. Kawasan ini mempunyai potensi ikan yang cukup banyak, sehingga di awal-awal masuknya PT. WS, Suku Bajo melakukan sistim buka pasang. Pada saat kapal perusahaan beroperasi, bagan dikeluarkan dari perairan tersebut, kemudian dipasang kembali setelah kapal berangkat membawa kayu tebangan untuk diekspor ke luar negeri. Konflik antara managemen PT. WS dengan Suku Bajo lebih berbentuk laten. Perusahaan ini beroperasi di Teluk Tomini sejak tahun 1987, berhenti enam tahun kemudian, tepatnya tahun 1993.

Setelah lama ditinggalkan PT. WS, mulai tahun 2012, aktivitas di Teluk Tomini berlanjut dengan masuknya PT. KG, beserta anak perusahaanya, PT. JAD. PT. KG yang bergerak di bidang perkebunan kelapa sawit ini, melalui anak perusahaannya, PT. JAD, melakukan aktivitas penebangan hutan di Pegunungan Popayato, Teluk Tomini, setelah mengantongi IPK untuk beroperasi selama 5 tahun. Sementara itu, HGU penanaman kelapa sawit seluas 30.000 (tiga puluh ribu) hektar dipegang PT. KG selama 25 tahun.

Masuknya PT. KG dan anak perusahaanya, PT. JAD yang mengantongi HGU konsesi lahan perkebunan kelapa sawit dan IPK menimbulkan konflik terbuka dan penolakan keras dari para aktivis lingkungan dan pegiat LSM, termasuk pecinta lingkungan dari Suku Bajo. Dengan dalih penyelamatan lingkungan, para aktivis tersebut melakukan penggalangan massa dalam berbagai demonstrasi. Mereka meminta pemerintah daerah untuk membatalkan HGU dan IPK yang telah dikantongi oleh kedua perusahaan tersebut.

Sementara itu, kebijakan perlindungan sumber daya pesisir dan laut yang membuka konflik antara Suku Bajo dengan negara, disebabkan oleh keluarnya Keputusan Menteri Kehutan No. 250/Kpts-II/1984 tanggal 20 Desember 1984, yang menetapkan hutan mangrove di pesisir Teluk Tomini sebagai hutan konservasi. Keputusan ini secara yuridis telah membatasi ruang gerak Suku Bajo untuk mengambil manfaat atas kawasan hutan mangrove di pesisir tersebut.

Aktivitas Suku Bajo di dalam kawasan hutan mangrove yang selama ini melekat dengan budaya mereka di laut, harus dikurangi bahkan dihilangkan sama sekali. Pasal 17 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967 Tentang Ketentuan- Ketentuan Pokok Kehutanan menyebutkan bahwa pelaksanaan hak-hak perorangan untuk mendapatkan manfaat dari hutan, baik langsung maupun tidak langsung yang didasarkan atas sesuatu peraturan hukum, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, tidak boleh mengganggu tercapainya tujuan-tujuan yang dimaksud dalam undang-undang ini. Penjelasan pasal ini secara tegas menyatakan bahwa keberadaan hak ulayat tidak dapat dibenarkan untuk menghalang-halangi pelaksanaan proyek-proyek besar yang telah menjadi program pemerintah.

Pasal 8 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1985 Tentang Perlindungan Hutan menyebutkan bahwa siapapun dilarang melakukan penebangan pohon dalam radius/jarak tertentu dari mata air, tepi jurang, waduk,

sungai, dan anak sungai. Pasal 9 Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1985 juga menyatakan bahwa selain dari petugas-petugas kehutanan atau orang yang karena tugasnya atau kepentingannya dibenarkan berada dalam kawasan hutan, siapapun dilarang membawa alat-alat yang lazim digunakan untuk memotong, menebang, membelah pohon di dalam kawasan hutan (ayat 1). Setiap orang dilarang melakukan penebangan pohon-pohon dalam hutan tanpa izin dari pejabat yang berwenang (ayat 2). Setiap orang dilarang mengambil/memungut hasil hutan lainnya tanpa izin dari pejabat yang berwenang (ayat 3). Dari ketentuan ini terlihat jelas bahwa akses atas pemanfaatan hasil hutan sama sekali ditutup. Bahkan dari penjelasan pasal tersebut tegas disebutkan bahwa penduduk yang karena tempat tinggalnya berada di dalam atau harus melalui hutan, dilarang melakukan penebangan, bahkan lebih ekstrim lagi, dilarang membawa alat tebang. Mereka juga bahkan dilarang memungut hasil hutan seperti daun, kayu bakar, rotan, arang, buah tengkawang, dan sebagainya.

Kebijakan atas perlindungan kawasan menyebabkan konflik antara Suku Bajo dengan negara. Pemerintah Daerah Kabupaten Gorontalo, tahun 1983, mewacanakan menjadikan permukiman Suku Bajo sebagai kawasan pariwisata budaya. Sehubungan dengan hal itu, permukiman tersebut harus dikosongkan. Suku Bajo akan dipindahkan ke darat dengan difasilitasi oleh pemerintah daerah. Sementara itu, rumah-rumah yang ditinggalkan akan diganti rugi oleh pemerintah daerah, untuk kemudian dijadikan cotage-cotage khas Suku Bajo (wawancara dengan Umar Pasandre, 44 tahun, Mei 2013).

Suku Bajo pada saat itu tidak mempermasalahkan rencana pariwisata tersebut, akan tetapi apabila harus mengosongkan permukiman mereka di laut dan dipindahkan ke darat, menimbulkan penolakkan keras dari warga. Rencana pemerintah mencanangkan pariwisata budaya tersebut mendapat perlawanan dari warga Suku Bajo yang didukung oleh tokoh-tokoh Suku Bajo (wawancara dengan Mey Sairulah, 63 tahun, Mei 2013).

Suku Bajo sulit menerima bila hanya karena rencana pariwisata permukiman harus dikosongkan, sementara rumah-rumah yang ada akan diganti rugi dan kemudian akan dimiliki oleh pemerintah sebagai objek wisata budaya. Mendapat penolakan keras dari Suku Bajo kala itu, pada akhirnya resettlement ketika itu belum terealisasi. Hal ini karena utusan orang Bajo menemui langsung unsur pemerintah setempat (Bupati Gorontalo) dan pemerintah pusat (Penasehat Menteri Lingkungan Hidup dan Kependudukan di Jakarta) dengan menjelaskan berbagai alasan. Menurut orang Bajo, program hunian di darat tidak masuk akal dari berbagai segi: manusia, ekonomi, materi (Zacot, 2008:13). Seiring berjalannya waktu, Suku Bajo pada akhirnya mengalami lima fase resettlement, dan diikuti sebanyak 359 KK, sejak tahun 1984 - 1998. Selama proses resettlement tersebut, sebanyak ± 40 KK secara diam-diam meninggalkan rumah mereka di darat dan kembali lagi ke laut.

Penutupan Akses

Suku Bajo yang mendiami Teluk Tomini sejak tahun 1800-an, jauh sebelum republik ini berdiri, memiliki nilai-nilai budaya lokal dan tradisi yang

secara turun temurun menghormati unsur-unsur alam sebagai bagian dari kehidupannya. Suku Bajo hidup berdampingan dan damai dengan alam. Karena alasan itulah, Suku Bajo merasa memiliki alam lingkungannya, sehingga mereka melindungi dan melestarikannya. Dapat dikatakan bahwa karena alasan nilai-nilai budaya dan tradisi, Suku Bajo memiliki hak ulayat pesisir dan laut di Teluk Tomini.

Sementara itu, pesisir dan laut sebagai bagian dari sumber daya alam, terutama setelah ditetapkannya UUD 1945 pasal 33 ayat 2 dan 3, dinyatakan dengan sangat jelas dikuasai oleh negara. Menguasai dalam konteks ini adalah negara memiliki kewenangan untuk melindungi dan memanfaatkan sumber daya pesisir dan laut. Dengan demikian, dalam satu kawasan yang sama bertemu dua hak yang berbeda, yaitu hak Suku Bajo yang bersumber dari nilai-nilai budaya dan tradisi yang diwarisi secara turun temurun, dan hak negara yang bersumber dari undang-undang. Konflik tidak dapat dihindari ketika masing-masing aktor yang memiliki kepentingan berbeda memanfaatkan hak yang dimiliki pada satu kawasan yang sama. Konflik dalam pengelolaan sumber daya pesisir dan laut di Teluk Tomini sebagai akibat penutupan akses Suku Bajo terjadi antara Suku Bajo dengan korporasi serta melibatkan negara.

Penutupan akses Suku Bajo oleh korporasi dengan melibatkan negara, terjadi ketika negara memberikan konsesi kepada korporasi untuk mengelolah sumber daya pesisir dan laut. Dengan memberikan hak konsesi kepada korporasi, secara langsung negara memberikan kewenangan penuh kepada korporasi untuk memanfaatkan sumber daya pesisir dan laut. Masuknya perusahaan penebang kayu yang memanfaatkan kawasan Teluk Tomini sebagai areal operasional, PT. MBT, pada tahun 1977, merupakan awal konflik yang melibatkan Suku Bajo dengan manajemen perusahaan. Manajemen perusahaan yang memegang izin dari pemerintah pusat mengklaim memiliki hak untuk mempergunakan kawasan pesisir, sementara itu Suku Bajo yang sudah turun temurun menempati kawasan tersebut sebagai tempat bermukim dan menyandarkan penghidupan berusaha mempertahankan hak ulayatnya dengan menolak penggusuran yang dilakukan oleh perusahaan. Suku Bajo ketika itu walaupun awalnya melakukan perlawanan, pada akhirnya harus angkat kaki dari kawasan tersebut. Suku Bajo yang digusur ini terpaksa bergabung dengan kerabat Suku Bajo lainnya tepat di sebelah timur, yang berada tidak jauh dari kawasan itu.

Tahun yang sama, tepatnya tahun 1977, ketika perusahaan penebang kayu menancapkan dominasinya di bagian barat permukiman Suku Bajo, di bagian timur masuk investasi tambak garam yang diprakarsai pemerintah daerah Kabupaten Gorontalo. Pengusaha tambak yang telah memperoleh hak konsesi dari pemerintah daerah sesungguhnya harus berbenturan dengan hak ulayat Suku Bajo atas kawasan sumber daya mangrove. Kawasan mangrove yang menjadi kebanggaan Suku Bajo karena alasan nilai-nilai budaya dan tradisi, telah dirampas oleh para petambak sehingga tidak dapat lagi diakses oleh Suku Bajo. Konversi hutan mangrove menjadi lahan tambak tersebut menjadi cikal bakal lahirnya konflik antara Suku Bajo dengan para petambak. Konflik kian gencar ketika kerusakan mangrove makin meluas akibat maraknya tambak udang dan ikan bandeng.

Akibat masuknya korporasi, baik perusahaan penebang kayu maupun usaha tambak, telah menyebabkan Suku Bajo mengalamai kerugian ekonomi, sementara korporasi yang telah memegang hak konsesi memperoleh keuntungan yang melimpah. Realitas ini menguatkan tesis Bryant dan Bailey (1997) bahwa (a) biaya dan manfaat yang terkait dengan perubahan lingkungan dinikmati para aktor secara tidak merata; (b) distribusi biaya dan manfaat yang tidak merata mendorong terciptanya ketimpangan sosial ekonomi; dan (c) dampak ketimpangan sosial ekonomi ini mengubah relasi kekuasaan antaraktor.

Perampasan hak ulayat Suku Bajo oleh ekspansi ekonomi korporasi yang mendapat konsesi dari negara menyebabkan tertutupnya akses Suku Bajo atas kawasan tersebut. Sebelum masuknya dominasi negara dan korporasi, Suku Bajo secara keseluruhan bebas mengakses, memanfaatkan, mengelola, bahkan hak eksklusi sumber daya pesisir dan laut, sementara akses Suku Bajo atas kawasan yang telah dikapling oleh korporasi tertutup. Dengan dirampasnya hak ulayat Suku Bajo, merujuk teori akses Ostrom (1996), merubah status kepemilikan Suku Bajo atas kawasan tersebut, yang sebelumnya berstatus proprietor (hak akses, pemanfaatan, pengelolaan, dan eksklusi) menjadi hilang sama sekali karena telah dikapling oleh korporasi, baik perusahaan kayu maupun usaha tambak. Sementara itu, akses Suku Bajo atas kawasan konservasi berubah menjadi ilegal (Ribot dan Peluso, 2003), karena dilakukan secara sembunyi-sembunyi dari pemantauan petugas hutan konservasi serta terkait larangan yang tercantum di dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur hutan konservasi.

Realitas ini sejalan dengan Li (2012) yang menggambarkan proses penyingkiran petani atas ladang pertanian sebagaimana berlangsung di dataran tinggi Sulawesi Tengah, kebijakan Departemen Kehutanan memberikan kawasan hutan kepada sejumlah perusahaan HPH, atau menetapkannya untuk tujuan konservasi dan menjaga batas-batasnya secara ketat, telah berkontribusi bagi kemunculan kelas petani tanpa lahan. Masuknya korporasi berupa HPH, HGU, dan IPK, maupun konsesi tambak di pesisir Teluk Tomini, telah menutup akses Suku Bajo yang selama ratusan tahun telah membangun sistem sosial ekonominya atas kawasan tersebut.

Sementara itu, Lund (2011) yang memandang bahwa pemilikan atas tanah dan sumber daya alam lainnya merupakan faktor kunci bagi kewargaan, tertutupnya akses Suku Bajo atas sumber daya pesisir dan laut, sesungguhnya berimplikasi pada eksistensi kewargaannya. Masih menurut Lund (2011), karena