• Tidak ada hasil yang ditemukan

Simpulan

Pengelolaan sumber daya pesisir dan laut di Teluk Tomini melibatkan banyak aktor yang berkepentingan, yakni negara, baik pemerintah pusat maupun daerah, lembaga multilateral, swasta, LSM, serta komunitas Suku Bajo. Suku Bajo yang dikenal sebagai suku pengembara laut sudah mendiami kawasan Teluk Tomini, jauh sebelum aktor-aktor lainnya memiliki perhatian, bahkan jauh sebelum republik ini berdiri. Sejak tahun 1800-an, Suku Bajo diketahui sudah mengitari Teluk Tomini, akan tetapi mulai hidup menetap dan permukiman mereka diresmikan oleh Pemerintah Kolonial Belanda nanti pada tahun 1901. Sejak saat itu mulailah Suku Bajo membangun rumah di atas permukaan laut, dengan memanfaatkan pohon-pohon mangrove di sekitar kawasan sebagai bahan bangunan. Suku Bajo membangun basis penghidupan dari hasil-hasil laut di pesisir Teluk Tomini, mereka menangkap ikan dan mencari hasil-hasil laut lainnya.

Negara secara de jure hadir dalam penguasaan sumber daya pesisir dan laut semenjak lahirnya UUD 1945 Pasal 33, bahwa sebagai kekayaan alam dan cabang-cabang produksi yang penting bagi negara, maka pesisir dan laut dikuasai oleh negara. Walaupun demikian, lahirnya undang-undang tersebut secara de facto tidak mengganggu penguasaan Suku Bajo di Teluk Tomini. Suku Bajo mulai terganggu eksistensinya, semenjak Pemerintah Orde Baru menganut asas prostrategi ekonomi, dengan diterbitkannya UU No. 1 Tahun 1967 Tentang Investasi Asing, UU No. 5 Tahun 1967 Tentang Kehutanan, serta UU No. 6 Tahun 1968 Tentang Penanaman Modal Dalam Negeri.

Berdasarkan ketiga undang-undang tersebut pemerintah membuka akses seluas-luasnya kepada para investor, baik asing maupun dalam negeri, untuk mengelola sumber daya alam. Sementara itu, negara juga menetapkan perlindungan sumber daya alam di sisi yang lain. Kebijakan negara yang memberikan hak konsesi kepada pihak korporasi di satu sisi, serta menetapkan pesisir dan laut sebagai kawasan konservasi di sisi yang lain, menjadi akar konflik antara Suku Bajo dengan korporasi yang melibatkan negara, serta Suku Bajo dengan negara. Konflik terjadi karena kebijakan negara tersebut disusul dengan kebijakan penggusuran dan resettlement yang menyebabkan Suku Bajo mendapat desakkan untuk meninggalkan basis penghidupan mereka.

Investasi ekonomi mulai menancapkan dominasinya di pesisir Teluk Tomini, sejak tahun 1977, berupa masuknya perusahaan kayu dan usaha tambak. Sementara itu, usaha perlindungan kawasan dilakukan pemerintah dengan ditetapkannya kawasan mangrove sebagai hutan konservasi. Kebijakan perlindungan kawasan kemudian disertai dengan kebijakan resettlement. Seluruh kebijakan tersebut, menegasikan keberadaan komunitas Suku Bajo yang telah lama mendiami dan memupuk sosial ekonominya di kawasan Teluk Tomini, sehingga konflik tidak dapat dihindari. Berawal ketika PT. MBT memulai operasinya dalam melakukan penebangan hutan, pada tahun 1977, Suku Bajo mulai mengalami tekanan penggusuran. Penggusuran tersebut menjadi penyebab

konflik sistematis antara Suku Bajo dengan korporasi, serta melibatkan negara. Konflik Suku Bajo dengan pihak swasta juga terkait dengan alih fungsi mangrove menjadi tambak garam dan terus berlanjut hingga di era otonomi daerah saat ini, karena usaha tambak semakin luas dan menguasai hampir seluruh pisisir. Sementara itu, keluarnya Keputusan Menteri Kehutan No. 250/Kpts-II/1984, tanggal 20 Desember 1984, yang menetapkan hutan mangrove di pesisir Teluk Tomini sebagai hutan konservasi, secara yuridis telah membatasi ruang gerak Suku Bajo untuk mengambil manfaat atas kawasan hutan mangrove. Aktivitas Suku Bajo di dalam kawasan hutan mangrove yang selama ini melekat dengan budaya mereka di laut harus dihilangkan. Kebijakan tersebut menyebabkan konflik antara Suku Bajo dengan negara, terutama ketika negara mengeluarkan kebijakan resettlement bagi Suku Bajo yang bermukim di kawasan tersebut.

Era otonomi daerah, sejatinya dapat mempercepat tercapainya kesejahteraan masyarakat dengan mendekatkan pelayanan publik, tetapi realitasnya justru terbalik. Pemerintah daerah lebih mengutamakan peningkatan pendapatan asli daerah, dengan mengorbankan kepentingan Suku Bajo. Hal ini terlihat dari kebijakan pemerintah daerah: pertama, mencanangkan pariwisata budaya; dan kedua, memberikan HGU dan IPK kepada PT. KG beserta anak perusahaanya, PT. JAD, yang mulai beroperasi di pesisir Teluk Tomini sejak tahun 2012. Kedua kebijakan pemerintah daerah tersebut sesungguhnya menciptakan penindasan baru atas Suku Bajo, dan telah melenceng dari roh otonomi daerah. Pariwisata budaya yang mendatangkan sumber ekonomi, semua dikelola oleh pemerintah daerah sebagai sumber pendapatan asli daerah. Suku Bajo sebagai pemilik budaya, berupa tari-tarian tradisional khas Bajo, dan panorama laut yang indah sebagai obyek wisata, tidak mendapatkan apa-apa. Suku Bajo hanya menampilkan pagelaran budayanya yang khas, sementara nilai ekonomi mengalir ke kas daerah. Sementara itu, masuknya investasi PT. KG dan anak perusahaannya, PT. JAD, Suku Bajo lebih menanggung kerusakan pesisir dan kehancuran sumber daya mangrove, tanpa mendapatkan manfaat sama sekali. Perampasan hak ulayat pesisir dan laut Suku Bajo, dalam pengelolaan sumber daya pesisir dan laut di Teluk Tomini, terjadi melalui penutupan akses dan teritorialisasi kawasan, sehingga menyebabkan hilangnya citizenship komunitas Suku Bajo. Konflik antara Suku Bajo dengan korporasi yang juga melibatkan negara, terjadi ketika negara memberikan konsesi kepada korporasi untuk mengelolah sumber daya pesisir dan laut. Dengan memberikan hak konsesi kepada korporasi, negara secara langsung memberikan kewenangan penuh kepada korporasi untuk memanfaatkan sumber daya pesisir dan laut. Penutupan akses terjadi karena korporasi menerima konsesi pada kawasan yang sesungguhnya selama ratusan tahun telah menjadi hak kelola Suku Bajo, jauh sebelum negara dan korporasi berada di kawasan tersebut. Negara dalam pengelolaan sumber daya pesisir dan laut di Teluk Tomini juga melakukan teritorialisasi kawasan. Negara dalam hal ini menggunakan perannya sebagai pelindung sumber daya alam, menegasikan hak ulayat Suku Bajo yang sudah mendiami kawasan pesisir Teluk Tomini jauh sebelum Indonesia merdeka. Adanya penutupan akses maupun teritorialisasi kawasan dalam pengelolaan sumber daya pesisir di Teluk Tomini,

sesungguhnya telah menyebabkan hilangnya citizenship komunitas Suku Bajo sebagai masyarakat adat.

Implikasi Penelitian Implikasi Teoritis

Dominasi negara dan korporasi dalam pengelolaan sumber daya pesisir dan laut yang berlangsung melalui penutupan akses dan teritorialisasi kawasan, menyebabkan hilangnya citizenship komunitas Suku Bajo sebagai masyarakat adat. Dominasi negara dan korporasi yang melahirkan penggusuran dan program resettlement, menempatkan komunitas Suku Bajo pada posisi yang tercampakkan. Di satu sisi Suku Bajo sebagai sebuah entitas suku tercerabut dari akar budayanya, sementara itu di sisi yang lain dalam eksistensinya sebagai bagian dari negara bangsa modern (modernnation-state) tetap dipandang sebagai komunitas terasing. Implikasi Kebijakan

Berdasarkan hasil penelitian ini, penulis merekomendasikan pentingnya pengakuan hak ulayat masyarakat adat demi pemenuhan hak-hak kewargaan (citizenship), serta keberlanjutan sumber daya pesisir dan laut di masa depan. Hal ini didasarkan atas fakta lapangan bahwa masyarakat adat memiliki basis penghidupan dan pengetahuan yang bersumber dari nilai-nilai budaya dan tradisi secara turun temurun, serta etika konservasi dan kearifan lokal untuk mengelola sumber daya alam yang ada di sekitarnya.

Terkait dengan konflik sumber daya pesisir dan laut akibat adanya klaim penguasaan masing-masing aktor, maka perlu berbagai upaya yang serius untuk menata pengelolaannya. Kasus pengelolaan sumber daya pesisir dan laut di Teluk Tomini yang telah menyebabkan konflik berkepanjangan antara negara, Suku Bajo, dan korporasi, baik usaha tambak maupun perusahaan pemegang HPH, HGU, dan IPK, telah melahirkan konfigurasi baru dalam penguasaan sumber daya pesisir dan laut di Teluk Tomini. Untuk memberikan kepastian dan perlindungan hukum dalam pemanfaatan perairan wilayah pesisir, maka adanya zonasi mutlak diperlukan agar tetap kondusif dan berkelanjutan. Negara harus membuat kebijakan dalam rangka menyelenggarakan pengelolaan wilayah pesisir yang dapat melindungi dan serta menciptakan keadilan di antara golongan masyarakat dalam mengakses sumber daya, mendorong pembangunan, serta memelihara kelestariaan lingkungan, sehingga terwujud kehidupan yang selaras dan harmonis di wilayah pesisir. Agar tidak terjadi kesenjangan dalam pemanfaatan sumber daya pesisir dan laut, harus ada harmonisasi pemerintah pusat, daerah, pengusaha, investor, dan masyarakat.