• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perampasan Hak Ulayat Pesisir dan Laut Komunitas Suku Bajo (Kasus Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Laut di Teluk Tomini)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Perampasan Hak Ulayat Pesisir dan Laut Komunitas Suku Bajo (Kasus Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Laut di Teluk Tomini)"

Copied!
178
0
0

Teks penuh

(1)

PERAMPASAN HAK ULAYAT PESISIR DAN LAUT

KOMUNITAS SUKU BAJO

(Kasus Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Laut di Teluk Tomini)

MUHAMMAD OBIE

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Perampasan Hak Ulayat Pesisir dan Laut Komunitas Suku Bajo (Kasus Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Laut di Teluk Tomini) adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Januari 2015

(4)
(5)

RINGKASAN

MUHAMMAD OBIE. Perampasan Hak Ulayat Pesisir dan Laut Komunitas Suku Bajo (Kasus Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Laut di Teluk Tomini). Dibimbing oleh ENDRIATMO SOETARTO, TITIK SUMARTI, dan SAHARUDDIN.

Penelitian ini bertujuan menganalisis penutupan akses dan teritorialisasi kawasan yang menyebabkan hilangnya citizenship ‘kewargaan’ komunitas Suku Bajo. Penelitian ini dilaksanakan di Teluk Tomini, Kabupaten Pohuwato, Provinsi Gorontalo, dengan menggunakan paradigma teori kritis, pendekatan kualitatif, serta strategi studi kasus. Data yang terkumpul berupa data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari para aktor sebagai subjek kasus, baik aktor grassroots di tingkat desa, maupun aktor atas berupa pemerintah daerah, NGOs, anggota legislatif, bahkan sampai aktor pusat. Pengumpulan data primer dilakukan melalui wawancara mendalam (indept interview), observasi partisipasi pasif (passiveparticipation), dan Focus Group Discussion (FGD). Data sekunder dalam penelitian ini diperoleh melalui studi dokumen berupa laporan hasil-hasil penelitian sebelumnya, UU, PP, Kepres, Inpres, Kepmen, Perda, dan lain-lain. Analisis data dilakukan melalui deskriptif analitis, yang dilakukan bersamaan selama pengumpulan data berlangsung, dan setelah selesai pengumpulan data dalam periode tertentu. Kredibilitas data diuji melalui triangulasi, yaitu mengecek kredibilitas data dari berbagai sumber dengan berbagai cara dan berbagai waktu. Dengan demikian terdapat triangulasi sumber, triangulasi teknik pengumpulan data, dan triangulasi waktu.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengelolaan sumber daya pesisir dan laut di Teluk Tomini melibatkan banyak aktor yang berkepentingan, yakni negara, baik pemerintah pusat maupun daerah, lembaga multilateral, swasta, LSM, serta masyarakat grass roots komunitas Suku Bajo. Suku Bajo yang dikenal sebagai suku pengembara laut telah mendiami kawasan Teluk Tomini sejak tahun 1800-an, jauh sebelum aktor-aktor lainnya memiliki perhati1800-an, bahkan jauh sebelum republik ini berdiri. Penulis mengalisis konflik yang terjadi dengan menggunakan teori akses (Ostrom, 1996; Ribot dan Peluso; 2003; Lund , 2011; dan Li, 2012).

(6)

meninggalkan permukiman mereka di laut dan dimukimkan kembali ke darat. Konsesi kawasan kepada pihak korporasi telah menyebabkan konflik antara Suku Bajo versus korporasi yang juga melibatkan negara, sedangkan penetapan kawasan konservasi yang disusul dengan desakkan resettlement telah melahirkan konflik antara Suku Bajo versus negara.

Perampasan hak ulayat pesisir dan laut Suku Bajo, dalam pengelolaan sumber daya pesisir dan laut di Teluk Tomini, terjadi melalui penutupan akses dan teritorialisasi kawasan, sehingga menyebabkan hilangnya citizenship komunitas Suku Bajo sebagai masyarakat adat. Penutupan akses terjadi karena korporasi menerima konsesi pada kawasan yang sesungguhnya selama ratusan tahun telah menjadi hak kelola komunitas Suku Bajo, jauh sebelum negara dan korporasi berada di kawasan tersebut. Sementara itu, teritorialisasi kawasan terjadi ketika negara menggunakan perannya sebagai pelindung sumber daya alam, menegasikan hak ulayat Suku Bajo yang sudah mendiami kawasan pesisir Teluk Tomini jauh sebelum Indonesia merdeka. Adanya penutupan akses maupun teritorialisasi kawasan dalam pengelolaan sumber daya pesisir di Teluk Tomini, sesungguhnya telah menyebabkan hilangnya citizenship komunitas Suku Bajo sebagai masyarakat adat. Dominasi negara dan korporasi yang melahirkan penggusuran dan program resettlement, menempatkan komunitas Suku Bajo pada posisi yang tercampakkan. Di satu sisi komunitas Suku Bajo sebagai sebuah entitas suku tercerabut dari akar budayanya, sementara itu di sisi yang lain dalam eksistensinya sebagai bagian dari negara bangsa modern (modern nation-state) tetap dipandang sebagai komunitas terasing, terpencil, dan semacamnya.

(7)

SUMMARY

MUHAMMAD OBIE. The Hijacking of Coastal and Marine Customary Right for Land Rights of the Bajo Tribe Community: A Case of Coastal and Marine Resources Management at Tomini Bay. Supervised by ENDRIATMO SOETARTO, TITIK SUMARTI, and SAHARUDDIN.

The goal of this research was to analize the closing of access and area territorialization which caused the lose of citizenship of the Bajo tribe community. This research was conducted at Tomini bay, Pohuwato Regency, Province of Gorontalo, by using critical theory paradigm, qualitative approach, and case study strategy. The collected data was primary and secondary data. The primary data was collected from the actors as subject of case; such as grassroots actor on village level, or upper actors such as local government, NGOs, parliamentary members, or even the actors on central government. The collecting of primary data was conducted through indept interview, passive participation observation, and Focused Group Discussion (FGD). The secondary data was collected through document study; such as the report of previously research, constitution, government regulation, decision of president, president instruction, minister regulation, area regulation, etc. Data analysis through analytic descriptive was done at the same time during data collecting take place, and after finishing of the data collecting in a certain period. Data credibilitation was tested through triangulation, that checked data credibility from various sources with various ways and time. Thereby there were triangulation of sources, data collecting technique triangulation, and time triangulation.

The result of research indicated that coastal and marine resources management at Tomini bay entangled many actors which had interest, namely state (either central or area goverment), multilateral institution, bussiness, NGOs, and also grassroots society-Bajo tribe community. Bajo tribe which recognized as sea nomadic people had inhabited the area of Tomini bay since year 1980s, long before the other actors had attention, even long before this republic exist. The writer analyzed the conflict by using access theories (Ostrom, 1996; Ribot and Peluso; 2003; Lund , 2011; and Li, 2012).

(8)

conservation area had caused conflict between the Bajo tribe community and state.

The hijacking of coastal and marine customary right for land rights of the Bajo tribe in coastal and marine resources management at Tomini bay done by state and corporation through the closing of access and area territorialization caused the lose of citizenship of the Bajo tribe community. The closing of access happen since corporation got permit on the area which in fact had become managing power of the Bajo tribe, long before state and corporation had interest in that area. While the area territolialization happen since the state used its role as the protector of resources negated the existence of the Bajo tribe who lived at Tomini bay long before Indonesia got its freedom. These closing of access and area territorialization had caused the lose of citizenship of the Bajo tribe. Domination of state and corporation which caused exclusion and resettlement, placing the Bajo tribe on thrown community. On one side Bajo tribe community as a tribe entity was thrown from its cultural roots, while on another side in its existence as a part of modern nation state, recognized as outlying community.

(9)

@ Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah, dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

(10)
(11)

PERAMPASAN HAK ULAYAT PESISIR DAN LAUT

KOMUNITAS SUKU BAJO

(Kasus Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Laut di Teluk Tomini)

MUHAMMAD OBIE

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor

pada

Program Studi Sosiologi Pedesaan

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(12)

Penguji pada Ujian Tertutup: (1) Dr. Arif Satria, S.P.,M.Si

(Dekan Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor)

(2) Dr. Ir. Rilus A. Kinseng, MA

(Dosen Sosiologi Pedesaan pada Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor)

Penguji pada Ujian Terbuka: (1) Dr. Ir. Andin H. Taryoto, M.Sc

(Dosen pada Sekolah Tinggi Perikanan Jakarta-Kementerian Kelautan dan Perikanan)

(2) Dr. Ir. Rilus A. Kinseng, MA

(13)

Judul Disertasi : Perampasan Hak Ulayat Pesisir dan Laut Komunitas Suku Bajo (Kasus Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Laut di Teluk Tomini)

Nama Mahasiswa : Muhammad Obie

NIM : I363100051

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Endriatmo Soetarto, MA. Ketua

Dr. Ir. Saharuddin, MS. Dr. Ir. Titik Sumarti, MS.

Anggota Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana

Sosiologi Pedesaan

Dr. Ir. Arya H. Dharmawan, M.Sc.Agr Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr

(14)
(15)

PRAKATA

Puji dan syukur kehadirat Illahi Rabbi, Allah s.w.t, hanya dengan Rahmat dan Karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan penulisan disertasi ini. Salawat dan salam semoga tetap tercurah kepada baginda Rasullah Muhammad s.a.w., pembawa risalah kebenaran. Penelitian disertasi ini mengangkat tema “Perampasan Hak Ulayat Pesisir dan Laut Komunitas Suku Bajo (Kasus Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Laut di Teluk Tomini). Penelitian yang dilaksanakan selama dua tahun ini, Januari 2013 - Desember 2014, mengungkap seputar dominasi negara dan korporasi dalam pengelolaan sumber daya pesisir dan laut di Teluk Tomini yang menyebabkan hilangnya citizenship komunitas Suku Bajo sebagai masyarakat adat. Penulis menyadari bahwa selesainya penulisan disertasi ini tidak terlepas dari dukungan dan pengorbanan berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada berbagai pihak yang telah membantu, mendukung, dan berkorban baik waktu, pikiran, tenaga, maupun materi, sehingga disertasi ini sampai pada bentuknya saat ini.

Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak Prof. Dr. Endriatmo Soetarto, MA., selaku ketua komisi pembimbing, serta Ibu Dr. Ir. Titik Sumarti, MS., dan Bapak Dr. Ir. Saharuddin, MS., masing-masing selaku anggota komisi pembimbing yang dengan penuh kesabaran mengarahkan penulis sejak penulisan proposal penelitian sampai menghasilkan disertasi ini. Penulis juga menyampaikan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada pimpinan IPB, khususnya Dekan Sekolah Pascasarjana, Dekan Fakultas Ekologi Manusia, Ketua Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Ketua dan Sekretaris Program Studi Sosiologi Pedesaan (SPD), Dr. Ir. Arya Hadi Dharmawan, M.Sc.,Agr., dan Dr. Ir. Rilus Kinseng, M.A., serta seluruh staf dosen yang telah memberikan pencerahan dan mengenalkan disiplin ilmu sosiologi dengan school of thought ‘Mazhab Bogor’ –nya yang berpihak kepada kelestarian lingkungan dan kaum terpinggir.

Terima kasih yang sama penulis sampaikan kepada Prof. Dr. Muhammadiyah Amin, M.Ag., Rektor IAIN Sultan Amai Gorontalo ketika itu, yang telah merestui penulis untuk melanjutkan studi doktoral pada Sekolah Pascasarjana IPB. Penulis tak lupa menyampaikan terima kasih kepada teman-teman mahasiswa S2/S3 IPB Program Studi Sosiologi Pedesaan (SPD angkatan 2010/2011, khususnya Dr. Viktor Amrifo, S.Pi.,M.Si., Universitas Riau (Unri); Dr. Ir. Herlina Tarigan, M.Si., peneliti pada Pusat Studi Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementerian Pertanian; Yunin Dyawati, S.Sos.,M.Si., Universitas Sriwijaya (Unsri) Palembang; Mirajiani, S.P.,M.Si., Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta), Tangerang; dan Iyep Saefurrahman, S.IP.,M.Si., Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung, yang telah menjalani nasib sepenanggungan dalam menyelesaikan studi doktoral di IPB.

(16)

Rahmawati, M.Si., akademisi Universitas Djuanda Bogor; rekan-rekan SPD 2009, Dr. Muhammad Syukur, M.Si., akademisi Universitas Negeri Makassar (Unem); Dr. Zakaria Anwar, M.Si., akademisi Unversitas Hasanuddin (Unhas) Makassar; Dr. Triwaty Arsal, M.Si., akademisi Universitas Negeri Semarang (Unes); Dr. Mahmuddin, M.Si., akademisi UIN Arraniry Banda Aceh; Dr. Soetji Lestari, M.Si., akademisi Unviversitas Tuju Belas Agustus (Unsoed) Purwokerto; dan Dr. Adriana Monica, akademisi Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, yang telah menjadi sahabat diskusi selama masa-masa awal penulis menempuh studi pada program studi SPD IPB.

Ucapan terima kasih yang paling tulus kepada ibunda tercinta, Wa Suumi, yang selalu memanjakan doa kesalehan kepada putranya, sebelum memenuhi panggilan-Nya ketika penulis masih berusia 2 tahun; almarhumah bibi tercinta, Wa Nuriima, yang menggantikan peran ibunda setelah ayah menikahinya ketika penulis dan kakak menjadi anak-anak piatu; bibi tercinta, Wa Ekaani, yang mau menyekolahkan kembali penulis di SD Neg. 5 Tampo, ketika penulis putus sekolah di SD Neg. Inpres No. 3 Bangkali; ayahanda tercinta, La Siko, yang dengan susah payah dalam keterbatasan ekonomi berhasil membiayai pendidikan penulis sampai pada jenjang sarjana.

Ucapan terima kasih dan penghargaan penulis sampaikan kepada istri tercinta, Roslin Salima, S.KM.,M.Kes., yang dengan tulus mendukung penulis dan ikhlas merawat dan membesarkan anak-anak tersayang, baik dalam kebersamaan selama dua tahun di Bogor maupun dalam hubungan jarak jauh sambil melaksanakan tugasnya sebagai abdi negara di Makassar. Ucapan kebahagiaan penulis sampaikan kepada anak-anak tersayang, bidadari-bidadari kecilku: 1) Khansa Rizqo Shaquilla, lahir tanggal 05 Februari 2011 dan meninggal tanggal 06 Februari 2011 di Makassar, Sulawesi Selatan, ketika penulis mengawali proses belajar dalam studi ini; 2) Hanan Khayyiirah, lahir di Raha, Kab. Muna, Sulawesi Tenggara, tanggal 22 Januari 2012; dan Hanun Raihanah, lahir di Lakauduma, Kab. Muna, Sulawesi Tenggara, tanggal 30 Januari 2013.

Akhirnya, penulis harus mengakui, keberhasilan menyelesaikan disertasi ini juga tidak dapat dilepaskan dari peran ayah dan ibu mertua, Bapak La Mbone dan Ibu Wa Salima, baik dalam bentuk materi maupun pemikiran berupa wejangan-wejangan yang menggugah penulis untuk segerah menyelesaikan studi ini. Kepada keduanya, penulis tak lupa menyampaikan terima kasih yang tulus. Penulis juga tak lupa menyampaikan terima kasih yang sedalam-dalamnya baik kepada saudara-saudara kandung, Ana, Anto, dan Ocu, maupun saudara-saudara ipar, Abjan, Erik, Fifi, dan Budi.

Semoga Allah s.w.t. Yang Serba Maha, berkenan membalas pengorbanan mereka dengan imbalan yang terbaik, dan kepada mereka semualah karya ini dibaktikan.

Bogor, Januari 2015

(17)

DAFTAR ISI

Halaman

Halaman Sampul i

Pernyataan Disertasi iii

Ringkasan v

Summary vii

Hak Cipta ix

Halaman Judul xi

Penguji Luar Komisi xii

Halaman Pengesahan xiii

Prakata xv

Daftar Isi xvii

Daftar Tabel xx

Daftar Gambar xxi

Daftar Lampiran xxii

Daftar Singkatan xxiii

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Rumusan Masalah 5

Tujuan Penelitian 7

Kegunaan Penelitian 8

Ruang Lingkup dan Batasan Penelitian 8

Kebaruan Disertasi (Novelty) 8

TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 10

Kepemilikan dan Akses Sumber Daya Alam 10

Akses dan Citizenship Masyarakat Adat 16

Lokal Supralokal 18

Latar Historis Sistem Penghidupan Suku Bajo 19

Konsep dan Implikasi Resettlement 22

Penelitian Terkait Terdahulu 25

Kerangka Pemikiran 35

METODE PENELITIAN 38

Paradigma Penelitian 38

Strategi Penelitian 38

Lokasi dan Waktu Penelitian 38

Teknik Pengumpulan Data 39

Analisis Data 41

BENTANG AGRARIA TELUK TOMINI 42

Potensi dan Masalah Maritim Teluk Tomini 42

Terbentuknya Kabupaten Pohuwato di Teluk Tomini 47

Latar Pembentukkan 47

(18)

Demografis 49

Latar Historis Suku Bajo di Teluk Tomini 51

Suku Bajo dari Nomaden Laut Hingga Hidup Menetap 51

Geografis 58

Aksesibilitas 60

Demografis 62

Adat Istiadat 66

Interaksi Sosial 68

REZIM PENGELOLAAN SUMBER DAYA PESISIR

DAN LAUT DI TELUK TOMINI 70

Latar Historis Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Laut 70 Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Laut:

Romantis Hingga Konflik 72

Peran dan Kepentingan Para Aktor 77

Negara 77

Pemerintah Pusat 78

Pemerintah Daerah 79

Swasta 85

Lembaga Mulilateral 87

Lembaga Swadaya Masyarakat 91

Masyarakat Grass Roots: Komunitas Suku Bajo 92

Intervensi terhadap Hak Ulayat Pesisir dan Laut Komunitas Suku Bajo 95

Konsesi Sumber Daya Pesisir dan Laut 95

Beroperasinya Perusahaan Kayu 95

Masuknya Usaha Tambak 97

Kawasan Konservasi 98

Diskursus Pariwisata 101

Intervensi Program Resettlement 102

Pariwisata Budaya di Era Otonomi Daerah 105

Ikhtisar 105

PERAMPASAN HAK ULAYAT PESISIR DAN LAUT 108

Peta Konflik dan Relasi Antar-Aktor 108

Penyebab dan Bentuk Konflik 110

Penutupan Akses 113

Teritorialisasi Kawasan 115

Hilangnya Citizenship 122

Penindasan Baru atas Nama Otonomi Daerah 125

Penyelesaian Konflik yang Penuh Kepalsuan 127

Ikhtisar 128

SIMPULAN DAN IMPLIKASI PENELITIAN 131

Simpulan 131

Implikasi Penelitian 133

Implikasi Teoritis 133

(19)

DAFTAR PUSTAKA 134

LAMPIRAN 145

RIWAYAT HIDUP 151

(20)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Tipe Kepemilikan Berdasarkan Pemilik, Hak, dan Kewajiban 11

2. Status Kepemilikan Sumber Daya Alam 15

3. Daftar Subjek Kasus 40

4. Pemerintahan Provinsi dan Kabupaten/Kota yang Dilalui

Teluk Tomini 43

5. Nama Kecamatan, Luas Wilayah, dan Jumlah Desa

Kabupaten Pohuwato 49

6. Jumlah Penduduk dan Sex Ratio Kabupaten Pohuwato 50

7. Rata-Rata Anggota Rumah Tangga 50

8. Daftar Kepala Desa yang Pernah Memerintah di Desa Torosiaje 56 9. Daftar Kepala Desa yang Pernah Memerintah di Desa Torosiaje Jaya 58 10. Jumlah Penduduk dan Sex Rasio di Perkampungan Suku Bajo 63 11. Kriteria Penggolongan Penduduk Berdasarkan Kelompok Umur 63 12. Penduduk Perkampungan Bajo Laut Menurut Kelompok Umur 63 13. Penduduk Perkampungan Bajo Darat Berdasarkan Kelompok Umur 64 14. Penduduk Perkampungan Bajo Laut Menurut Tingkat Pendidikan 65 15. Penduduk Perkampungan Bajo Darat Menurut Tingkat Pendidikan 65 16. Penduduk Perkampungan Bajo Laut Menurut Mata Pencaharian 65 17. Penduduk Perkampungan Bajo Darat Menurut Mata Pencaharian 66 18. Tonggak-Tonggak Penguasaan Sumber Daya Pesisir dan Laut

di Teluk Tomini 76

19. Peraturan Perundang-Undangan yang Secara Langsung

Mengatur tentang Pengelolaan Konservasi 99

20. Analisis Akses Suku Bajo terhadap Sumber Daya Pesisir dan Laut di Teluk Tomini sebelum dan sesudah Masuknya

(21)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Klasifikasi Hak Kepemilikan (Property Right) 12

2. Kerangka Pemikiran Penelitian 37

3. Peta Teluk Tomini 42

4. Permukiman di Sepanjang Pesisir Teluk Tomini 44

5. Konversi Hutan Mangrove Menjadi Tambak 46

6. Peta Kabupaten Pohuwato 58

7. Permukiman Suku Bajo di Desa Torosiaje 57

8. Permukiman Suku Bajo di Desa Torosiaje Jaya 58

9. Sketsa Desa Torosiaje Jaya 59

10. Sketsa Desa Torosiaje 60

11. Gerbang Masuk Permukiman Bajo Darat 61

12. Jembatan Penyeberangan Menuju Desa Torosiaje 62

13. Tumpukan Kayu PT. Jaya Anugerah Delima 85

(22)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

(23)

DAFTAR SINGKATAN

ADB Asian Development Bank

APBD Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

APBN Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara

Bappenas Badan Perencanaan Pembangunan Nasional

BBM Bahan Bakar Minyak

BKSDA Balai Konservasi Sumber Daya Alam

BPHLSW Badan Pengelola Hutan Lindung Sungai Wain

BPS Badan Pusat Statistik

BT Bujur Timur

BTNBW Balai Taman Nasional Bogani Nani Wartabone

CIDA Canadian International Development Agency

CFF Coral Reefs, Fishery and Food Security

CTI Coral Triangle Initiatives

DAS Daerah Aliran Sungai

DPR Dewan Perwakilan Rakyat

DPRD Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

Depsos Departemen Sosial

FGD Focused Group Discussion

Ha Hektar

HGU Hak Guna Usaha

HLSW Hutan Lindung Sungai Wain

HPH Hak Pengusahaan Hutan

HPHH Hak Pemungutan Hasil Hutan

IBRD International Bank for Reconstruction and

Development

IMF International Monetery Fund

Inpres Instruksi Presiden

IP Iradat Puri

IPK Izin Penebangan Kayu

IUCN International Union for Conservation of Nature and

Natural Resources

IUP Izin Usaha Perkebunan

IUPHHK Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu

JAD Jaya Anugerah Delima

JAPESDA Jaringan Advokasi Pengelolaan Sumber Daya Alam

KAT Komunitas Adat Terpencil

KDH Kepala Daerah

Kepmen Keputusan Menteri

Kepres Keputusan Presiden

KG Kencana Group

KK Kepala Keluarga

KM Kilo Meter

(24)

KSL Kelompok Sadar Lingkungan

LNG Liquefied Natural Gas

LS Lintang Selatan

LSM Lembaga Swadaya Masyarakat

LU Lintang Utara

MBT Mara Bunta Timber

MDGs Millenium Development Goals

Menhut Menteri Kehutanan

MoU Memorandum of Understanding

MPR Majelis Permusyawaratan Rakyat

NGOs Non-Government Organisation

Ornop-L Organisasi Non-Pemerintah di Bidang Lingkungan

PAD Pendapatan Asli Daerah

Pansus Panitia Khusus

PBB Perserikatan Bangsa-Bangsa

Perda Peraturan Daerah

PETI Penambang Tanpa Izin

PKS Perjanjian Kerjasama

PNPM Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat

Pokja Kelompok Kerja

PP Peraturan Pemerintah

PPGL Pusat Penelitian dan Pengembangan Laut

PPLH Perlindungan dan Pelestarian Lingkungan Hidup

PPK Program Pengembangan Kecamatan

PSL Petugas Sosial Lapangan

PSM Pekerja Sosial Masyarakat

PT Perseroan Terbatas

PWP-PK Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

RPJM Rencana Pembangunan Jangka Menengah

RTRWN Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional

SDA Sumber Daya Alam

SDP Sumber Daya Pesisir

SK Surat Keputusan

SPKP Simpan Pinjam Kelompok Perempuan

Sulut Sulawesi Utara

SUSCLAM Sustainable Coastal Livelihoods and Management

TAHURA Taman Hutan Rakyat

TN Taman Nasional

TNGHS Taman Nasional Gunung Halimun Salak

TNLL Taman Nasional Lore Lindu

TPK Tim Pelaksana Kegiatan

UU Undang-Undang

UUD Undang-Undang Dasar

UNCLOS United Nations Convention on the Law of the Sea

UUPA Undang-Undang Pokok Agraria

(25)

UPT Unit Pelaksana Teknis

WALHI Wahana Lingkungan Hidup

WOC World Ocean Conference

WS Wenang Sakti

(26)
(27)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Masalah konflik sumber daya alam sebenarnya bukan sesuatu yang baru, baik di Indonesia maupun di kawasan Asia Tenggara lainnya. Masalah ini sudah muncul abad 18 yang lalu ketika bangsa Eropa melakukan ekspansi dalam rangka mencari bahan baku untuk memenuhi kebutuhan pengembangan industri.1 Bersamaan dengan ekspansi itu terbangun konsep bahwa sumber daya alam adalah faktor produksi yang dengan menggunakan tekonologi tertentu dapat dieksploitasi untuk menjadi barang komoditi. Konsep sumber daya alam sebagai faktor produksi selanjutnya diadopsi oleh negara-negara baru, termasuk Indonesia, untuk membangun ekonomi. Sejak itu pula benturan kepentingan antara masyarakat dan pemerintah menjadi keras. Di satu pihak pemerintah menganggap bahwa eksploitasi sumber daya alam itu sangat dibutuhkan untuk membiayai pembangunan, tetapi di lain pihak masyarakat menganggap bahwa eksploitasi sumber daya alam tersebut adalah bentuk penjarahan yang harus dihentikan. 2

Konflik sumber daya alam selama ini terjadi karena pemerintah sangat menonjolkan konsep sumber daya alam sebagai milik negara (state property) dan mengabaikan milik pribadi (private property) dan milik komunal (communal property). Undang-Undang Dasar 1945 pasal 33 ayat 3 yang menyatakan bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, telah direduksi pengertiannya menjadi sumber daya alam dikuasai oleh pemerintah, terutama pemerintah pusat. Reduksi pengertian seperti itu menimbulkan manipulasi proses eksploitasi sumber daya alam untuk kepentingan negara. Hal ini menyebabkan hubungan antara pemerintah dan masyarakat menjadi asimetris, karena itu mudah dipahami apabila konsep hak dan keadilan yang terkait dengan sumber daya alam lebih ditentukan atas dasar kemauan pemerintah.3 Dengan dasar legitimasi ini, penduduk yang bermukim di sekitar atau dalam kawasan yang bergantung pada sumber daya alam tersebut lebih dirugikan ketimbang diuntungkan oleh penguasaan negara.4

Undang-Undang No.5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA-1960) memang telah disebutkan bahwa hak mengusai negara atas bumi, air, dan ruang angkasa, serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, dalam hal hukum publik, dapat dikuasakan kepada pemerintah pusat, pemerintah daerah dan masyarakat adat. Namun, dalam kenyataannya hak “menguasai”

1

Tadem, Eduardo. Conflict over Land-based Natural Resources in the Asean Countries. in Lim Teck Ghee and Mark J. Valencia. Conflict over Natural Resources in South-East Asia and the Pacific (Singapore: United Nations University Press, 1990), p. 14.

2

Usman, Sunyoto. Konflik dan Resolusi Konflik Sumber Daya Alam Perspektif Sosiologi. Pidato Pengukuhan Guru Besar pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gajah Mada (Yogyakarta, 2001), p. 1-3.

3

Coleman, James S. The Asymetry Society. The Frank W. Abrams Lectures (Syracus: Syracus University Press, 1982), p. 55-58.

4

(28)

tersebut hanya diberikan kepada pemerintah pusat dan daerah. Sehingga, masyarakat lokal dan pinggiran atau sekitar kawasan hutan (baik dalam kawasan hutan produksi maupun hutan koservasi) tetap dilewatkan dalam proses pengelolaan kawasan hutan.5

Berbagai kebijakan konservasi sumber daya alam pada tataran konsepsi, masih berlandaskan pada pandangan yang bersifat preservatif, yang secara kaku memandang sumber daya alam sebagai sesuatu yang statis, dan karena itu perlu diawetkan dalam sebuah museum alam yang bahkan diistilahkan sebagai “terlarang untuk disentuh”. Cara pandang ini anti pembangunan dan menafikan kemampuan dinamis alam (Wiratno, dkk., 2004).

WALHI mencatat telah terjadi beberapa pengusiran penduduk dari kawasan konservasi di Indonesia, diantaranya di TN Lore Lindu, TN Kutai, TN Meru Betiri, TN Komodo, TN Rawa Aopa Watumohai, TN Taka Bonerate, TN Kerinci Seblat dan beberapa kawasan lainnya. Bahkan di TN Komodo, masyarakat nelayan hingga saat ini dilarang melakukan aktivitas penangkapan ikan di kawasan tangkap tradisional mereka yang diklaim sepihak sebagai zona inti taman nasional. Beberapa kasus yang terjadi di kawasan konservasi antara lain adalah pembangunan jalan di Kawasan Ekosistem Leuser dan Taman Nasional Gunung Leuser, pengusiran dan penembakan nelayan di Taman Nasional Komodo, Operasi Napoleon di Taman Nasional Wakatobi, pengusiran masyarakat Dongi-Dongi di Taman Nasional Lore Lindu dan pengusiran penduduk Moronene di Taman Nasional Rawa Aopa Watomohai. (WALHI, 2003).

Konflik yang terjadi antara masyarakat Desa Dodolo, Sulawesi Tengah, bermukim di tanah leluhurnya berhadapan dengan petugas Taman Nasional Lore Lindu. Bersama masyarakat adat Katu yang mendiami Desa Katu, mereka didesak agar keluar dari kawasan konservasi itu karena dinilai mengancam kelestarian lingkungan. Pemerintah juga merasa perlu memperbaiki nasib penduduk kedua desa itu karena dianggap masih tergolong miskin dan terisolir. Resettlement tersebut menyebabkan masyarakat Desa Dodolo dan Desa Katu kehilangan akses untuk mengumpulkan hasil hutan berupa kayu di tanah leluhur mereka yang telah dikapling Taman Nasional Lore Lindu. Pola-pola represif pemerintah yang mengusir masyarakat adat di kawasan taman nasional telah menegasikan pengetahuan lokal masyarakat adat yang embedded dengan alam lingkungannya. Padahal sistem pengetahuan lokal memiliki kekuatan dalam beberapa aspek: 1) self interest, pengetahuan lokal menjadi kunci penting upaya konservasi, karena kekuatannya datang dari dalam, bukan dari luar; 2) akumulatif, pengetahuan lokal merupakan akumulasi atas pola adaptasi ekologis komunitas lokal yang telah berlangsung berabad-abad; 3) potensial untuk mendesain upaya konservasi

5

(29)

sumber daya alam yang efektif, karena dukungan lokal dan tingkat adaptasi serta pertimbangan praktisnya yang tinggi. 6

Sumber daya alam selain dimaknai sebagai hal yang harus dilindungi dengan kebijakan konservasi, negara juga memaknai sumber daya alam secara ekonomi dan politik. Sumber daya alam dalam pemaknaan seperti ini dianggap modal penting dalam penyelenggaraan pembangunan nasional, sehingga atas nama pembangunan dan untuk mencapai target pertumbuhan yang tinggi, maka eksploitasi sumber daya alam dilakukan secara masif (Robinson, 1986; McCarthy, 2000). Masih kuatnya pengelolaan hutan berbasis paradigma eko-politik pembangunanisme menempatkan hutan dan taman nasional hanya sebagai sumber daya alam yang mempunyai nilai dan manfaat ekonomis semata. Dalam pandangan ini pengelolaan hutan sebagai sumber daya ekonomi dapat digunakan seluas-luasnya untuk kepentingan pembangunan dengan ideologi pertumbuhan ekonomi yang abai sama sekali dimensi kompleks dari kehidupan sosial, budaya, dan lokalitas. Akibat dari model pengelolaan hutan dengan ideologi pembangunanisme yang berpangku pada pertumbuhan ekonomi, menjadikan korban sosial dan ekologis berjatuhan (Soetarto, 2008).7

Sepanjang tahun 2013, telah terjadi 232 konflik sumber daya alam di 98 kabupaten kota di 22 provinsi. Pada setiap konflik ini selalu diiringi dengan jatuhnya korban yang sebagian besar dari kalangan kaum tani. Dari sebanyak 232 konflik sumber daya alam yang melibatkan petani ini, 69 persen di antaranya dengan korporasi (swasta), Perhutani 13 persen, taman nasional 9 persen, pemerintah daerah 3 persen, instansi lain 1 persen (Walhi, 2013), dan sisa 5 persen lainnya tidak dijelaskan.

Bersamaan dengan kebijakan pemerintah melakukan eksploitasi sumber daya alam, lahir pula client bourgeoisie atau pengusaha yang tumbuh besar dengan fasilitas yang diberikan pemerintah. Pemerintah pusat mengeluarkan berbagai kebijakan berdasarkan landasan pemahaman bahwa sumber daya alam adalah bagian yang sangat penting dari faktor produksi. Sumber daya alam adalah aset ekonomi yang sangat berharga, karena itu semakin intensif eksploitasi, dianggap semakin mendatangkan keuntungan. Kebijakan pemerintah pusat adalah melakukan konversi dari natural capital menjadi financial capital.8 Karena itu, menjadi muda dimengerti apabila sejak saat itu para pengusaha atau investor menjadi sangat manja, dan semakin besar modal yang dimiliki atau ditanam, maka semakin besar pula akses yang dimiliki untuk melakukan eksploitasi sumber daya alam. Sumber daya alam yang secara legal telah dikuasakan dianggap bisa dikelola secara komersial dengan tujuan memperoleh keuntungan sebesar-besarnya. 9

6

Berkes. Traditional Ecological Knowledge, Biodiversity, Resilience, and Sustainability, in Perring, C.A., et.al. Biodiversity Conservation (The Nederland: Kluwer Academic, 1995).

7

Soetarto, Endriatmo. Pengantar, dalam Sutaryono. Pemberdayaan Setengah Hati: Sub Ordinasi Masyarakat Lokal dalam Pengelolaan Hutan. Diterbitkan atas Kerja Sama Lapera Utama dan Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional (STPN) (Yogyakarta, 2008).

8

Usman, Konflik, p. 11. 9

(30)

Sementara itu, akses masyarakat pada proses eksploitasi sumber daya alam semakin tertutup, sehingga kesenjangan dan kemiskinan semakin mewarnai kehidupan masyarakat. Faktor kesenjangan dan kemiskinan pada gilirannya menumbuhkan kesadaran akan ketidakadilan yang memicu konflik sumber daya alam berupa protes dan perlawanan dari masyarakat.

Perlawanan yang dilakukan masyarakat adat terhadap perusahaan harus dipahami dalam konteks perampasan tanah adat yang berakibat pada hilangnya hak kepemilikkan tanah secara kolektif dan juga sumber-sumber ekonomi masyarakat adat. Fenomena semacam ini semakin mendorong termarginalisasinya eksistensi masyarakat adat dalam percaturan ekonomi sehingga menyisakan berbagai persoalan.10 Hal ini tidak hanya dalam sektor pertanian dan perkebunan mereka terpinggirkan, tetapi dalam berbagai sektor ekonomi lainpun mereka termarginalisasi. 11

Masyarakat adat dalam sektor ekonomi termarginalisasi sebagai berikut: pertama, masyarakat adat mengalami ketertindasan secara politik dan ekonomi.12 Kedua, dalam perebutan sumber daya sudah dapat dipastikan akan dimenangkan oleh perusahaan karena secara legal formal mengantongi izin operasi dalam bentuk kontrak karya, sedangkan masyarakat adat tidak memiliki izin. Kekalahan ini ditandai dengan tersingkirnya masyarakat adat dari area-area yang selama ini menjadi tempat sumber penghasilan.13 Ketiga, kehadiran perusahaan bukanya menyejahterakan mereka, tetapi telah menghilangkan sumber pencaharian, keanekaragaman hayati, akibatnya terjadi kemerosotan pendapatan masyarakat adat dan kerusakan lingkungan secara drastis.14 Keempat, masyarakat adat menjadi orang-orang yang tersingkir dan harus kehilangan lahannya atau runtuhnya penguasaan tanah secara tradisional.15 Terakhir, terjadi conflict of interest antara kepentingan masyarakat adat yang berdomisili di desa-desa sekitar kawasan tepian hutan dengan kepentingan perusahaan pemegang HPH. Masyarakat adat memandang bahwa secara tradisional hutan dan tanah yang ada di kawasan itu merupakan sumber penghidupan, sebagai cadangan perluasan lahan perladangan, dan sekaligus daerah food security. Sementara para pemegang HPH memandang kawasan hutan sebagai lahan yang secara legal telah dikuasakan kepadanya untuk dikelola secara komersial guna mendapatkan keuntungan sebesar mungkin.16

Terjadinya conflict of interest antara masyarakat adat dengan perusahaan pemegang HPH sebagaimana dipaparkan di atas, juga terjadi di wilayah pesisir. Suku Bajo yang menghuni wilayah pesisir di Teluk Tomini harus mengalami

10

Haboddin, Muhtar. Masyarakat Adat Melawan Perusahaan: Kasus di Kalimantan Barat, Governance, Vol. 2, No. 1 (November, 2011), p. 25-41.

11

Pratikno, dkk. Penyusunan Konsep Perumusan Pengembangan Kebijakan Pelestarian Nilai-Nilai Kemasyarakatan untuk Integrasi Sosial (Jogyakarta: Fisipol UGM, 2001), p. 142.

12

Kusni, J.J. Negara Etnik (Jogyakarta: Puspad, 2001). 13

Bachriadi, Dianto. Merana di Tengah Kelimpahan (Jakarta: ELSAM, 1998), p. 173 14

Andasputra, Nico. Perlawanan Rakyat di Hutan Kalimantan: Kumpulan Berita tentang Perlawanan Masyarakat Adat terhadap HPH, HTI, dan Pertambangan (Kalbar: Institut Dayakologi, 1999), p. 121.

15

Nugroho, Negara, p. 248. 16

(31)

penggusuran secara paksa karena masuknya klaim perusahaan yang memegang HPH. Persoalan bertambah runyam, ketika negara khususnya pemerintah pusat, secara sepihak menetapkan kawasan pesisir yang sejak lama menjadi kuasa kelola Suku Bajo secara turun temurun menjadi hutan konservasi. Sebagaimana yang terjadi di beberapa kawasan konservasi, keluarnya SK Menhut/Kpts-II/1984, tanggal 20 Desember 1984, yang menetapkan pesisir Teluk Tomini seluas 3.000 ha sebagai kawasan cagar alam, juga disertai dengan resettlement Suku Bajo yang bermukim di kawasan tersebut.

Rumusan Masalah

Wilayah pesisir memiliki arti strategis karena memiliki potensi sumber daya alam dan jasa-jasa lingkungan yang sangat kaya. Kekayaan sumber daya tersebut menimbulkan daya tarik bagi berbagai pihak untuk memanfaatkannya dan berbagai instansi berusaha meregulasi pemanfaatannya (Yulianda, dkk., 2010; Deni Dj., 2009). Wilayah pesisir dapat dipahami sebagai wilayah tempat bertemunya berbagai kepentingan, baik pemerintah, korporasi, maupun masyarakat dalam rangka memanfaatkan sumber daya yang terkandung di dalamnya. Perbedaan persepsi dan kepentingan telah memicu terjadinya tumpang tindih kewenangan dan benturan kepentingan dalam penerapan peraturan pengelolaan wilayah pesisir.

Bromley dan Cernea (1989) menyatakan bahwa kerancuan pemilikan dan penguasaan sumber daya pesisir telah menyebabkan ketidakpastian hukum dalam mengelola kawasan pesisir. Masyarakat lokal menganggap bahwa sumber daya pesisir tidak ada pemiliknya, sehingga potensi yang ada bisa diakses dan dimanfaatkan oleh siapa saja (open access). Di berbagai wilayah pesisir, masyarakat lokal menganggap bahwa sumber daya di sekitar desanya sebagai hak ulayat (common property) berdasarkan hukum adat yang telah ada jauh sebelum Negara Indonesia berdiri (Idris, dkk., 2007). Sementara itu, di dalam Pasal 33 UUD 45, UU No. 5 Tahun 1983 Tentang Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE), UU No. 1 Tahun 1973 Tentang Landas Kontinen Indonesia, UU No. 6 Tahun 1996 Tentang Perairan Indonesia, dan UU No. 17 tahun 1985 Tentang Pengesahan UNCLOS 1982, UU No. 32 Tahun 1999 kemudian direvisi dengan UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, serta UU No. 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, sangat jelas disebutkan bahwa sumber daya pesisir dan laut dikuasai oleh negara.

(32)

No. 22 Tahun 1999, kemudian direvisi dengan UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, serta diberlakukannya UU No. 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (selanjutnya disebut PWP-PK). Dengan kedua UU tersebut pemerintah daerah provinsi memiliki kewenangan pengelolaan wilayah laut sejauh 12 (dua belas) mil diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan. Sementara itu, pemerintah kabupaten/kota berhak mengelola sepertiganya atau sejauh 4 (empat) mil. Kewenangan tersebut diperkuat pula dengan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, pasal 6, yaitu: pendapatan asli daerah bersumber dari: a) pajak daerah; b) retribusi daerah; c) hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan; dan d) lain-lain PAD yang sah.

Pembagian kewenangan kepada pemerintah daerah atas wilayah laut sebagaimana dimaksud Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, secara yuridis tidak mengubah wilayah perairan Indonesia sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 Tentang Perairan Indonesia. Kewenangan yang diberikan oleh Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah untuk melaksanakan pengelolaan sumber daya kelautan di wilayah kewenangannya disertai dengan kewajiban untuk memelihara kelestarian lingkungannya. Demikian pula, ditegaskan dalam Pasal 7 ayat (3) UU No. 27 Tahun 2007 Tentang PWP-PK bahwa pemerintah daerah wajib menyusun semua rencana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan kewenangan masing-masing. Rencana tersebut terdiri dari: (a) rencana strategi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil; (b) rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil; (c) rencana pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil; dan (d) rencana aksi pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Dengan demikian, pemerintah daerah diberi kewenangan untuk melakukan eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan mengatur sumber daya pesisir dan laut.

Implementasi UU No. 27 Tahun 2007 Tentang PWP-PK, membawa implikasi terhadap pengaturan wilayah pesisir lain yang terkait. Pengelolaan sumber daya pesisir melibatkan banyak sektor, sehingga sangat rawan terjadi konflik norma dan tumpang tindih kewenangan. Terdapat beberapa kementerian yang terkait dengan kegiatan pemanfaatan di wilayah pesisir, yaitu: perikanan (Kementerian Kelautan dan Perikanan), hutan mangrove (Kementerian Kehutanan), pertambangan (Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral), pelayaran (Kementerian Perhubungan), dan pariwisata (Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif). Konflik antarlembaga sangat mungkin terjadi karena sebagian besar perundang-undangan tersebut bersifat sektoral yang mengatur sektor-sektor pembangunan tertentu, yang secara langsung atau tidak langsung terkait dengan pengelolaan sumber daya pesisir.

(33)

mangrove sebagai tempat bertelur dan berkembangnya ikan. Selain itu, mengurangi terpaan angin dan mencegah erosi serta habitat kera endemik Sulawesi (macaca) dan binatang melata (reptil). Mereka juga memahami fungsi ekonomi mangrove digunakan untuk kayu bakar, bahan bangunan, pewarna jaring dan kosmetika, obat-obatan tradisional, tempat mencari berbagai jenis ikan, udang, kepiting, lebah madu, dan lain-lain. Mereka juga memahami bahwa degradasi mangrove menyebabkan erosi pantai dan penurunan stok ikan (de Block, 2009; Damanik dan Djamaludin, 2012).

Suku Bajo dengan demikian mengonstruksi dirinya sebagai bagian dari alam lingkungannya, serta memandang alam sebagai basis penghidupannya. Suku Bajo memperlakukan alam dengan bijak, serta mengeksploitasinya hanya sebatas untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Pandangan Suku Bajo tersebut berbeda dengan pandangan negara terhadap sumber daya alam termasuk sumber daya pesisir dan laut. Negara memandang sumber daya pesisir dan laut di Teluk Tomini sebagai basis ekonomi, sehingga mengeksploitasinya untuk meningkatkan sebesar-besarnya nilai ekonomi merupakan sesuatu yang harus dilakukan. Negara kemudian memberikan konsesi kepada korporasi untuk mengeksploitasi sumber daya pesisir dan laut guna meraup sebesar-besarnya keuntungan ekonomi. Hal ini secara nyata telah menegasikan eksistensi Suku Bajo dengan kearifan lokalnya. Selain sebagai basis ekonomi, negara juga memandang sumber daya pesisir dan laut di Teluk Tomini sebagai suatu sumber daya yang harus dilindungi, sehingga harus terbebas dari campur tangan manusia, termasuk Suku Bajo yang sejak lama bermukim di Teluk Tomini. Kedua pandangan negara tersebut sama-sama memposisikan Suku Bajo harus angkat kaki dari kawasan tersebut. Sementara itu, seiring berjalannya otonomi daerah, pemerintah daerah yang memaknai otonomi sebatas peluang meningkatkan pendapatan daerah, memposisikan Suku Bajo beserta sumber daya alamnya, sebagai sapi perah untuk pemenuhan APBD.

Berdasarkan latar belakang di atas, penulis merumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut: mengapa perlindungan sumber daya pesisir dan laut oleh negara, maupun pemanfaatan kawasan oleh korporasi, telah merampas hak ulayat komunitas Suku Bajo, sehingga menyebabkan hilangnya citizenship komunitas Suku Bajo?

Tujuan Penelitian

(34)

Kegunaan Penelitian

Penulis berharap penelitian ini memiliki sumbangan yang signifikan, baik pada tataran teoritis maupun pada implikasi kebijakan. Pada tataran teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khasanah penelitian sosiologi, khususnya sosiologi pesisir, terutama dari pendekatan paradigma teori kritis. Terkait implikasi kebijakan, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukkan bagi pengambil kebijakan terkait pengelolaan sumber daya pesisir dan laut di Teluk Tomini.

Ruang Lingkup dan Batasan Penelitian

Ruang lingkup penelitian ini dititikberatkan pada dua hal berikut: 1) Isu sumber daya alam, yaitu pengelolaan sumber daya pesisir dan laut; 2) Isu hilangnya citizenship komunitas Suku Bajo

Berdasarkan ruang lingkup tersebut, maka penulis menyusun kerangka disertasi sebagai berikut:

Pendahuluan

Tinjauan Pustaka dan Kerangka Pemikiran Metode Penelitian

Bentang Agraria Teluk Tomini

Rezim Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Laut Perampasan Hak Ulayat Pesisir dan Laut

Simpulan dan Implikasi Penelitian

Kebaruan Disertasi (Novelty)

Kebaruan penelitian ini dapat ditemukan dengan mencermati perkembangan penelitian-penelitian terdahulu, khususnya terkait topik-topik konflik sumber daya alam (lihat bab tinjauan pustaka, sub-judul penelitian terkait terdahulu, dan lampiran 1, matriks penelitian terkait terdahulu). Dari hasil-hasil penelitian sebelumnya, tampak jelas bahwa konflik dalam pengelolaan sumber daya alam melibatkan aktor negara, korporasi, dan masyarakat lokal atau masyarakat adat, serta LSM. Penyebab terjadinya konflik terkait dengan klaim kepemilikan sumber daya alam. Masyarakat lokal atau masyarakat adat yang lebih dahulu memiliki sumber daya alam karena alasan nilai-nilai budaya, tradisi, dan kesejarahan, harus angkat kaki dari kawasan tersebut karena masuknya negara dengan label konservasi, serta korporasi yang telah mendapat legitimasi dari negara melalui izin konsesi. Pada akhirnya di kawasan tersebut hanya didominasi negara atau korporasi sedangkan masyarakat lokal atau masyarakat adat harus angkat kaki dari kawasan tesebut. Konflik tersebut berimplikasi secara sosial maupun ekologis. Konflik telah menyebabkan terjadinya kerentanan penghidupan masyarakat lokal atau masyarakat adat, serta hancurnya sumber daya alam akibat ekspansi ekonomi.

(35)

digunakan; dan 3) hasil penelitian. Pertama, terkait fenomena lokasi. Di lokasi penelitian-penelitian terdahulu, konflik hanya terjadi antara masyarakat adat versus negara, atau antara masyarakat adat versus korporasi yang juga melibatkan negara. Hal ini terkait dengan lokasi penelitian tersebut hanya ada satu kebijakan negara, yaitu kebijakan pemanfaatan berupa masuknya korporasi, atau kebijakan perlindungan dengan ditetapkannya kawasan tersebut sebagai hutan konservasi. Fenomena tersebut mempengaruhi eskalasi konflik, yaitu konflik yang terjadi di kawasan-kawasan penelitian terdahulu tersebut selalu bersifat tunggal. Konflik terjadi disebabkan karena masuknya korporasi, atau konflik terjadi karena ditetapkanya kawasan konservasi. Fenomena tersebut berbeda dengan penelitian ini. Kebaruan penelitian ini terkait fenomena lokasi adalah konflik yang terjadi bersifat ganda, yaitu konflik terjadi karena kebijakan negara yang memberi izin konsesi kepada korporasi, di samping itu, konflikpun terjadi karena kebijakan negara yang menetapkan kawasan konservasi. Suku Bajo menghadapi konflik yang sangat pelik, di satu sisi menghadapi korporasi yang juga melibatkan negara karena konsesi, di saat yang sama berkonflik dengan negara karena kebijakan konservasi.

Kedua, terkait paradigma yang digunakan. Penelitian-penelitian terdahulu terkait konflik sumber daya alam menggunakan paradigma ganda, yaitu di satu sisi menggunakan paradigma kritis, tetapi saat yang sama juga menggunakan paradigma konstruktivis. Penelitian yang konsisten menggunakan paradigma kritis hanya ditemukan pada penelitian peluruhan kelembagaan lokal (Hidayat, 2011; dan Tarigan, 2014). Walaupun demikian, kontestasi yang dikaji kedua peneliti tersebut berbeda dengan fokus penelitian ini, yaitu kontestasi sains dengan pengetahuan lokal (Hidayat, 2011) dan peluruhan kelembagaan subak (Tarigan, 2014). Penelitian ini konsisten menggunakan paradigma tunggal, yaitu paradigma teori kritis, baik pada analisis konflik sumber daya alam maupun implikasinya pada citizenship komunitas Suku Bajo.

(36)

TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN Kepemilikan dan Akses Sumber Daya Alam

Masalah penguasaan dan kepemilikan menjadi salah satu isu utama dalam wacana pengelolaan sumber daya alam, termasuk laut, sejak Hardin (1968) menerbitkan artikelnya, ”The Tragedy of the Commons”. Hardin menyatakan bahwa sumber daya alam yang tidak menjadi obyek kepemilikan, yang juga berarti milik semua orang (the commons), cenderung akan mengalami kehancuran yang diakibatkan oleh eksploitasi yang berlebih. Menurutnya, hal ini terjadi karena (1) the commons menciptakan akses terbuka; (2) dalam kondisi akses terbuka, tidak ada insentif untuk konservasi karena tidak ada jaminan jika seseorang berhenti melakukan eksploitasi, orang lain akan melakukan hal yang sama, malah sebaliknya; dan (3) semua orang, secara individu, akan berlomba-lomba untuk mengeksploitasi sumber daya itu sebanyak-banyaknya.

Sumber daya yang awalnya berlimpah dan tersedia secara bebas untuk semua orang cenderung menjadi langka secara ekologi. Kecuali penggunaannya diatur sedemikian rupa untuk kepentingan bersama, maka jika tidak, hasil jangka panjang dari penggunaan sumber daya tersebut akan berupa kehancuran ekologis bagi semuanya (Hardin, 1968). Hardin menjelaskan bahwa “tragedy” adalah dampak dari pertimbangan ekonomis dan pengambilan keputusan secara individualistik. Hardin menggambarkan ketersediaan sumber daya dari sebuah padang penggembalaan yang terbuka bagi semua orang, di mana setiap pemilik ternak ingin memaksimalkan pendapatan dengan menggembalakan sebanyak mungkin ternak. Namun, cepat atau lambat, daya dukung lahan akan terlampaui. Kehancuran adalah akhir dari realitas ini, itulah yang disebutnya sebagai the tragedy of the commons. Solusi-solusi yang diajukan Hardin adalah pengelolaan top-down (dari atas ke bawah) oleh negara atau privatisasi dari usaha bebas.

Berangkat dari tesis tragedi sumber daya milik bersama tersebut, diklasifikasikan ada empat regim hak-hak kepemilikan (Kirk, 1994; Ostrom, 1977): (i) kepemilikan negara (state property regime), dengan satu kewenangan pemerintah dan kontrol-kontrol pengaturan terpusat, yakni hak kepemilikan dan aturan-aturan yang ditetapkan oleh negara; (ii) kepemilikan pribadi/individu (private property regime), dengan privatisasi hak-hak melalui pembentukan kuota-kuota pemanenan sumber daya yang dipegang oleh individu atau perusahaan, yakni hak kepemilikan dan aturan-aturan yang ditetapkan oleh individu sebagai pemiliknya; (iii) kepemilikan komunal/bersama (common property regime), dimana sumber daya dikontrol oleh suatu komunitas pengguna sumber daya yang dapat dikenali, dan peraturan-peraturan dibuat dan ditegakkan secara lokal; dan (iv) akses terbuka (open access regime), yakni hak kepemilikan dan aturan-aturan yang tidak ditetapkan oleh siapapun.

(37)

bersifat perorangan atau badan hukum. Kedua, adalah kepemilikan oleh negara, di mana hak akses, pemanfaatan, dan pengelolaan dikendalikan oleh negara. Negara pula yang berhak mentransfer hak atas barang/komoditas tersebut kepada pihak lain. Ketiga, adalah kepemilikan kolektif, di mana hak akses, pemanfaatan, dan pengelolaan menjadi milik bersama dari sekelompok orang yang sudah terdefinisi secara jelas, misalnya anggota kelompok, koperasi atau organisasi tertentu. Artinya, hak-hak tersebut hanya melekat pada sejumlah orang yang telah terdefinisikan secara jelas. Keempat, adalah kepemilikan terbuka (open access). Pada hakekatnya, kepemilikan terbuka bukanlah hak kepemilikan sebagaimana lazimnya, karena tidak ada pihak yang dapat mengklaim sebagai pemilik dari komoditas atau sumber daya tersebut. Lautan lepas atau hutan belantara umumnya merupakan kepemilikan terbuka karena tidak ada yang mengklaim sebagai pemiliknya.

Tabel 1. Tipe Kepemilikan Berdasarkan Pemilik, Hak, dan Kewajiban

Sumber: Hanna, et al. (1996)

(38)

Charles (2001) mengklasifikasikan property right ‘hak kepemilikan’ menjadi dua bagian, yaitu property right regime dan types of property right. Property right regime terdiri atas akses terbuka, kepemilikan negara,kepemilikan masyarakat, dan kepemilikan swasta, baik individu maupun perusahaan; sedangkan types of property right terdiri atas hak pengalihan, hak eksklusif, hak pengelolaan, hak pemanfaatan, dan hak akses. Selengkapnya, klasifikasi tersebut dapat dilihat pada gambar 1 berikut.

Gambar 1. Klasifikasi Hak Kepemilikan (Sumber: Charles, 2001)

Prasad (2003) mengidentifikasi empat karakteristik property right sebagai berikut: pertama, universality: seluruh sumber daya dimiliki secara privat dan seluruh jatah (entitlement) dispesifikasi secara lengkap; kedua, exclusivity: pemanfaatan, nilai manfaat dari sesuatu dan biaya penegakkan, secara ekslusif jatuh ke tangan pemilik termasuk keuntungan yang diperoleh dari transfer hak kepemilikan tersebut; ketiga, transferability: seluruh hak kepemilikan dapat dipindahkan dari satu pemilik ke pemilik yang lain secara suka rela, melalui jual beli, sewa, hibah, dan lain-lain; dan keempat, enforceability: hak kepemilikan bisa ditegakkan, dihormati, dan dijamin dari praktik perampasan/pembeslahan pihak lain.

Hak kepemilikan merupakan kelembagaan (institusi) karena di dalamnya mengandung norma-norma dan aturan main pemanfaatannya dan merupakan alat pengatur hubungan antar individu (North, 1990). Di bawah kepemilikan oleh negara, pemerintah menjadi pemilik hak tunggal dari sumber daya, termasuk akses terhadap sumber daya itu dan menentukan tingkat penggunaannnya. Instrumen yang ada untuk mempengaruhi perilaku individu berkaitan dengan

Hak Kepemilikan

Tipe Hak Kepemilikan Rezim Hak

Kepemilikan

Akses Terbuka

Hak Pengalihan

Negara

Masyarakat

Hak Eksklusif

Hak Pemanfaatan Swasta

Hak Pengelolaan

Individu Perusahaan Hak

(39)

pengelolaan state property adalah pajak, peraturan-peraturan, dan perizinan. Kepemilikan pribadi memberikan hak kepada individu untuk mengeluarkan atau melarang pihak lain untuk memperoleh aliran manfaat dari sumber daya itu dan menggunakannya pada suatu tingkat atau suatu cara yang ditentukan oleh individu yang bersangkutan. Berbeda dengan kepemilikan pribadi, common property mencakup elemen-elemen: (a) sebuah kelompok yang terdefinisikan dengan jelas sebagai pemilik bersama; yang (b) mengembangkan atau menganut rejim pengelolaan yang terdefinisikan dengan jelas, di mana (c) pemilik bisa melakukan pelarangan akses dan mengeluarkan atau melakukan pelarangan terhadap yang bukan pemilik dan meliputi (d) hak-hak dan tugas-tugas dari pemilik berkaitan dengan penentuan tingkat penggunaan dari sumber daya comon property tersebut. Ostrom (1990) mengajukan delapan prinsip dalam mempelajari pengelolaan common property, yakni (1) batas akses dan penggunaan dari common property terdefinisikan dengan jelas; (2) relevansi aturan terhadap kondisi sumber daya lokal; (3) pengaturan pilihan kolektif dalam pengambilan keputusan; (4) monitoring efektif terhadap akses dan penggunaan sumber daya common property; (5) sanksi gradual terhadap pelanggar aturan; (6) mekanisme penyelesaian konflik; (7) pengakuan minimal terhadap hak untuk mengelola dari otoritas eksternal; dan (8) manajemen jaringan dari sistem pengelolaan common property yang lebih besar (tiap lapisan dari manamejemen berkaitan dengan lapisan manajemen yang lebih tinggi.

Common property kerap kali dicampur-adukan dengan istilah open access terutama dengan adanya tulisan Hardin, “The Tragedy of Common”. Open access property merupakan kepemilikan yang tata kelolanya tanpa pengaturan, di mana siapapun dapat menggunakan dan mengambil manfaat dari sumber daya yang ada. Kepemilikan dalam kondisi akses terbuka ini merupakan penggunaan yang tanpa kontrol sehingga sering menyebabkan kemunduran atau kerusakan sumber daya. Jika setiap orang dapat menggunakan sebuah sumber daya maka tidak seorangpun memiliki insentif untuk melakukan konservasi penggunaannya atau melakukan investasi untuk mengembangkannya. Terdapat tiga tipe rezim open access: (1) rezim open access karena kekurangan aturan yang efektif untuk menentukan hak kepemilikan; (2) rezim open access sebagai akibat dari kebijakan publik yang disengaja untuk menjamin akses bagi semua warga untuk menggunakan sebuah sumber daya alam dalam suatu yurisdiksi tertentu; dan (3) rezim open access yang dihasilkan dari ketidakefektifan pelarangan terhadap mereka yang bukan pemilik oleh entitas yang ditugaskan memiliki hak formal kepemilikan terhadap sumber daya tersebut.

(40)

untuk mempengaruhi ide dan tindakan orang lain; kedua, dari mana kekuasaan itu diperoleh, walaupun tidak selamanya melekat pada orang. Kekuasaan melekat dalam jenis hubungan tertentu dan dapat diperoleh dari konsekuensi atau implikasi dari hubungan sosial. Akses sumber daya dalam hal ini bersifat dinamis. Konfigurasi jejaring akses dapat berubah setiap saat bergantung pada hubungan sosial yang terjadi ketika itu. Selanjutnya oleh karena kepemilikan akses bisa lepas setiap saat, seseorang perlu memelihara kepemilikan akses dan mengendalikannya. Perbedaan keadaan politik ekonomi menyebabkan perubahan akses dan mungkin juga perubahan manfaat sumber daya spesifik yang diterima individu atau kelompok. Konsep akses ini mendorong kita untuk lebih memahami siapa sebenarnya yang paling menikmati keuntungan dan bagaimana proses perolehan akses yang terjadi. Proses analisis akses meliputih: 1) identifikasi dan pemetaan alur keuntungan dari kepentingan masing-masing aktor; 2) identifikasi mekanisme masing-masing aktor yang meliputih perolehan, pengendalian, dan pemeliharaan alur dan distribusi keuntungan; dan 3) analisis hubungan yang mendasari mekanisme akses yang melibatkan institusi-institusi di mana keuntungan diperoleh.

Aspek politik ekonomi dari konsep yang ditawarkan memungkinkan pembagian sosial ke dalam dua hal, yakni kontrol akses dan pemeliharaan akses. Ribot dan Peluso (2003) menjelaskan bahwa kontrol akses adalah kemampuan untuk bermediasi dengan akses orang lain, sedangkan pemeliharaan akses menyangkut perluasan sumber daya atau kekuasaaan untuk mempertahankan akses terhadap sumber daya tersebut agar tetap terbuka. Antara kontrol akses dan pemeliharaan akses tersebut bersifat saling melengkapi. Rangkaian proses dan hubungan para aktor dalam mengontrol dan memelihara akses disebut sebagai mekanisme akses yang dapat dibedakan atas akses berbasis hak dan akses yang bersifat struktural dan relasional.

(41)

pemanfaatan sumber daya; (4) hak eksklusi (exclussion right); hak untuk menentukan siapa yang boleh memiliki hak akses dan bagaimana hak akses tersebut dialihkan ke pihak lain; dan (5) hak pengalihan (alienation right); hak untuk menjual atau menyewakan sebagian atau seluruh hak-hak kolektif tersebut di atas.

Ostrom dan Schlager (1996; dikutip Satria, 2009b) menjelaskan bahwa hak-hak tersebut akan menentukan status kepemilikan SDP. Status yang melekat berdasarkan tipe hak kepemilikan SDP dapat dilihat pada tabel 2 di bawah. Pihak yang hanya mendapatkan hak akses, statusnya hanyalah sebagai authorized entrant. Sementara itu, pihak yang memiliki hak akses dan hak pemanfaatan dikategorikan sebagai authorized user. Adapun pihak yang memiliki hak akses, hak pemanfaatan, hingga hak pengelolaan, dapat disebut sebagai claimant. Pihak yang memiliki ketiga hak tersebut termasuk hak ekslusi, statusnya disebut sebagai proprietor, dan bila memiliki semua hak tersebut beserta hak pengalihan maka disebut sebagai owner. Status tersebut bersifat dinamis dan dapat berubah-ubah setiap waktu.

Tabel 2. Status Kepemilikan Sumder Daya Alam

Tipe Hak Owner Proprietor Claimant Authorized user

Authorized entrant

Akses X X X X X

Pemanfaatan X X X X

Pengelolaan X X X

Eksklusi X X

Pengalihan X

Sumber: Ostrom dan Schlager (1996)

Ostrom (1990) mengemukakan model pengelolaan sumber daya alam berbasis komunitas (community based natural resources management)), dengan membatasi penggunaan sumber daya alam supaya tidak melampaui daya dukungnya. Ia mengajukan beberapa prasyarat untuk mengoperasikan model ini. Pada tataran komunitas perlu ada penentuan batas-batas hak pengelolaan sumber daya alam bagi anggota komunitas pemanfaat sumber daya alam itu maupun komunitas-komunitas lain di sekitarnya dalam wilayah yang sama. Komunitas harus memiliki aturan dan kelembagaan pengelolaan jelas yang mampu secara efektif mencegah, membatasi, atau mengatur pemanfaatan sumber daya alam oleh pihak-pihak dari luar komunitas pengelolaan sumberdaya alam yang bersangkutan.

(42)

Lebih lanjut, Ostrom, et al., (1999) menunjukkan bagaimana sumber daya bersama bisa dikelola dengan baik oleh sekelompok orang yang menggunakan sumber daya tersebut, tanpa campur tangan pihak luar. Lewat sejumlah penelitian terhadap kesuksesan dan kegagalan pengelolaan sumber daya alam, seperti kehutanan, perikanan, lapangan minyak, padang rumput, dan sistem irigasi oleh sekelompok individu, ia membuktikan bahwa di tangan organisasi sosial sumber daya berhasil dikelola lebih baik daripada yang diperkirakan oleh berbagai teori standar selama ini. Lewat penelitiannya, ia menghadirkan konsep alternatif tata kelola ekonomi di luar format yang ada selama ini, yang sepenuhnya menyerahkannya kepada organisasi sosial.

Kajian Ostrom ini melawan pemahaman konvensional (tragedy of the commons theory) yang menganggap suatu sumber daya bersama hanya akan terkelola dengan baik jika diregulasi dengan ketat oleh negara lewat pajak dan pungutan, atau diserahkan pengelolaannya kepada swasta melalui privatisasi. Teori tradisional ini menganggap hancurnya prasarana umum (public goods) atau sumber daya alam adalah diakibatkan individu hanya memikirkan keuntungan dan kerugian pribadi, tanpa memperdulikan dampak negatif perilaku mereka terhadap orang lain.

Akses dan Citizenship Masyarakat Adat

“Semua masyarakat adat harus dimodernkan, diubah gaya hidup dan cara produksinya menjadi sebuah model tunggal yang mudah dikendalikan.” Sebuah pengalaman kegagalan pendekatan ini digambarkan dengan baik oleh Li (2012). Li menggambarkan bagaimana kegagalan program-program pemberdayaan KAT yang dilakukan oleh Departemen Sosial hendak mengubah cara hidup dan pola produksi orang-orang di dataran tinggi Sulawesi Tengah. Program-program itu turut berkontribusi pada ketegangan-ketegangan yang dialami oleh penduduk asli dan pendatang yang tidak mampu mengangkat kehidupan penduduk asli dan malah memperuncing konflik horisontal di tengah desakkan perebutan lahan yang semakin sempit untuk pemenuhan kebutuhan ekonomi.

Sementara itu, Lund (2011) menyatakan bahwa pemilikkan atas tanah dan sumber daya alam lainnya merupakan faktor kunci bagi citizenship ‘kewargaan’ masyarakat adat. Tanah dan sumber daya alam bagi masyarakat adat merupakan bagian dari identitas terpenting yang menandai keberadaannya. Tidak lengkap sebuah pengakuan terhadap masyarakat adat tanpa dibarengi dengan pengadministrasian hak kepemilikan dan hak akses terhadap hak-hak dasarnya.

(43)

Perampasan tanah dan diskriminasi yang dialami oleh masyarakat adat selama ini telah menjadi hambatan bagi pewarganegaraan masyarakat adat. Sekalian persoalan yang dialami oleh masyarakat adat selama ini memberikan kesan bahwa mereka bukanlah warga negara yang memiliki hak-hak yang sebenarnya telah dijamin di dalam konstitusi. Oleh karena itu, penyelesaian konflik atas tanah dan juga penghentian diskriminasi terhadap masyarakat adat merupakan faktor penting bagi pewarganegaraan.17

Persoalan yang menjadi hambatan adalah belum adanya aturan operasional bagi pemenuhan hak-haknya itu. Misalnya terkait dengan hak atas pendidikan, hak atas tanah, hak atas hutan adat, hak atas perairan pesisir, dan lain-lain, belum memiliki peraturan operasional. Hal itu menjadi hambatan nyata bagi pemenuhan hak-hak yang telah dijamin. Sampai saat ini belum ada instansi pemerintah yang mengkoordinasikan ragam sektor yang berkaitan dengan masyarakat adat itu ke dalam satu dokumen program atau berada di bawah satu instansi pemerintah resmi. Persoalan ketiadaan lembaga yang mengkoordinasikan itu telah nyata-nyata menjadi hambatan pemenuhan hak masyarakat adat.

Property relations involve different kinds of social actors, including individuals and collectivities, and take the form of enforceable claims sanctioned by some form of public authority. Property relations therefore exist at the level of laws and regulations, cultural norms and social values, social relationships, and property practices. How people acquire and secure land rights might seem a straight forward process. However, it becomes complicated when we realize that more often than not, several competing normative orders may be brought to bear to legitimise a specific claim, and several groups and institutions may compete over who has the jurisdiction to settle disputes and set norms by precedent

(Lund, 2011).

Perbedaan akses sebagian penduduk desa atas tanah dan sumber-sumber produksi lainnya telah melahirkan adanya perbedaan kekuasaan di antara mereka di dalam mengekstraksi surplus produksi dan mengakumulasikan kekayaan. Hal ini pada gilirannya akan menciptakan pengelompokkan kelas-kelas sosial-ekonomi yang makin menajam di pedesaan. Melalui proses diferensiasi agraria ini masyarakat desa yang semula relatif homogen berubah menjadi semakin terstratifikasi ke dalam kelas-kelas sosial ekonomi (Soetarto dan Shohibuddin, 2010).

Li (2002)18 dalam studinya di dataran tinggi Sulawesi Tengah, memetakan tiga tahap diferensiasi agraria seiring dengan introduksi tanaman kakao. Tahap

17

Kutipan ini dan paragraf sesudahnya merupakan karya Arizona, Yance. Masyarakat Adat dalam Kontestasi Pembaruan Hukum. Makalah disampaikan dalam “Seminar Pemberdayaan Sosial Komunitas Adat: Upaya peningkatan efektivitas pemberdayaan KAT saat ini dan pengembangan kedepan.” Diselenggarakan oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Hotel Grand Sahid, Jakarta, 15 Mei 2013.

18

Gambar

Gambar 1.  Klasifikasi Hak Kepemilikan (Sumber: Charles, 2001)
Gambar 2. Kerangka Pemikiran Penelitian
Tabel 3. Daftar Subjek Kasus
Gambar 3. Peta Teluk Tomini
+7

Referensi

Dokumen terkait

RKA - SKPD 2.2.1 Rincian Anggaran Belanja Langsung Menurut Program dan Per Kegiatan Satuan Kerja Perangkat Daerah. RKA - SKPD 3.1 Rincian Penerimaan Pembiayaan Daerah

Penggunaan metode titrasi argentometri merupakan metode yang klasik untuk analisis kadar klorida yang dilakukan. dengan mempergunakan AgNO 3 0.5M

Oleh karena itu  produk   produk  (dalam hal ini lulusan) yang dihasilkan harus senantiasa menyesuaikan dengan tuntutan (dalam hal ini lulusan) yang dihasilkan harus

Jum'at, 22 Januari 2016 19.00 WIB s.d 22.00 WIB Menghadiri Siaran Langsung (Live Streaming) Malam Tasyakuran dalam rangka HAB Kemenag ke-70 Kemenag Prov.Sumsel Ruang Rapat Kanwil

✓ Peserta didik secara mandiri melihat tayangan video youtube tentang prinsip dan cara kerja routing statis, link video terdapat pada google classroom

Baut yang akan direncanakan adalah yang digunakan untuk menahan berat dari solenoid valve dan gaya reaksi pegas dan rencana baut yang dipakai ini menggunakan

Hasil : setelah dilakukan terapi sebanyak kali didapatkan hasil adanya penurunan spasme dengan palpasi yaitu pada m.upper trapezius, penurunan spastisitas

Penelitian dilakukan pada bulan Juni 2014. Tempat penelitian dilakukan di kota Manado. Data yang digunakan yaitu data sekunder yang berisi indikator-indikator dalam