• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peran Seorang Ayah

Dalam dokumen 101 Kesalahan Dalam Mendidik Anak (Halaman 48-57)

Bab II Peran Orang tua dalam Pendidikan Anak

B. Peran Seorang Ayah

Saat ini adalah zaman globalisasi. Suatu masa yang berbeda dengan zaman dahulu. Penyerbuan nilai budaya, moral, arus modal investasi, dan ekonomi adalah hal-hal yang harus dihadapi dan disikapi dengan bijak pada zaman globalisasi ini. Kehidupan modern telah merambah di semua lini kehidupan. Nilai-nilai telah bergeser jauh dari sebelumnya. Teknologi semakin maju dengan cepat. Kebutuhan manusia pun semakin berkembang seiring dengan kemajuan teknologi. Tawaran kesenangan hidup

semakin banyak dihadirkan; aneka jenis hiburan berada di mana-mana, berbagai jenis makanan dan minuman di-suguhkan. Teknologi informasi pun tak ketinggalan ha dir mewarnai kehidupan; waspadailah internet yang menya-jikan situs porno secara bebas yang dapat diakses dengan mudah oleh anak-anak.

Kecenderungan perubahan zaman yang terjadi akan mem berikan dampak positif dan negatif. Semua ini ber-pengaruh langsung terhadap kehidupan keluarga. Peran keluarga berubah, berkembang menyesuaikan diri dengan perubahan zaman. Ibu tidak lagi hanya mengurus masalah rumah tangga. Ayah juga harus ikut berbagi peran yang lebih dalam pendidikan keluarga. Hubungan suami istri pun menjadi cukup rawan. Sementara anak punya kesibukan yang berjubel juga—selain kegiatan sekolah, anak pun padat dengan berbagai jadwal les sehingga beban anak pun menjadi berat dan banyak. Pelajaran sekolah semakin sulit dan persaingan antarsekolah pun terjadi. Di rumah sang anak tidak ada seorang anggota keluarga pun yang menceritakan dongeng-dongeng yang mengandung nilai-nilai kebaikan. Pastinya, akan sangat sulit menciptakan kesejahteraan keluarga.

Ibu tidak lagi hanya mengurus masalah rumah tangga. Ayah juga harus ikut berbagi peran yang lebih dalam pendidikan keluarga.

Untuk itulah orang tua harus berbagi peran dalam pengasuhan anaknya. Karena, tugas ayah dan ibu seka-rang menjadi hampir sama. Kedua-duanya bisa mencari nafkah. Indikasinya, kedua-duanya pun harus melibatkan diri dalam mempersiapkan masa depan anaknya dengan

baik. Orang tua, baik ayah atau ibu harus berperan aktif dalam pengasuhan anak.

Kalau zaman dahulu ada pemikiran yang tertancap dalam masyarakat bahwa ayah itu sebagai pencari naf-kah dan ibu adalah pengasuh anak, sehingga ayah adalah simbol fungsi publik dan ibu sebagai simbol fungsi domestik. Secara fi sik ayah harus tampil keras dan macho. Sedangkan, ibu harus tampil feminin, lemah lembut, dan penuh kasih sayang.

Selain itu, juga beredar mitos kalau anak perempuan harus dekat dengan ibunya. Sebaliknya, anak laki-laki harus dekat dengan ayahnya. Rasanya mitos itu tidak bisa diperlakukan untuk zaman sekarang. Setiap anak, entah laki-laki atau perempuan memerlukan ayah dan ibunya sekaligus menjadi tokoh panutan yang bisa mereka tiru dan banggakan.

Albert Bandura, psikolog pencetus teori belajar sosial menyatakan bahwa dalam perkembangan kepribadian anak terdapat tugas perkembangan yang mengambil orang-orang di sekitar anak sebagai model perilaku meniru. Dalam hal ini, ayah adalah simbol maskulin tempat anak belajar peran jenis. Jika seorang anak kehilangan fi gur ayah sejak kecil, terutama anak laki-laki, maka dalam per kem bangan kepribadiannya, ia akan sulit memainkan peran jenisnya secara utuh. Ia akan condong meniru fi gur ibu sehingga ia akan tumbuh dengan sifat feminin.

Bagi anak perempuan, fi gur ayah adalah kebanggaan. Ia seperti fi gur hero yang bisa memberikan rasa aman. Ia akan hormat terhadap fi gur ayah karena ayah dianggap sebagai sosok yang peduli terhadap keluarga. Ayahlah yang bertanggung jawab mencari nafkah. Akan tetapi, ayah bisa lebih memainkan perannya secara optimal bila tidak hanya sebagai pencari nafkah. Jauh lebih baik

jika ayah juga dekat secara pribadi dengan anaknya. Hal itu akan membuat anak mempunyai kepribadian yang matang. Mereka akan menjadi pribadi yang percaya diri, pandai menyesuaikan diri dengan lingkungan, dan bisa menghadapi masalah-masalah kehidupan.

Ayah adalah simbol maskulin tempat anak belajar peran jenis. Jika seorang anak kehilangan fi gur ayah sejak kecil, terutama anak la-ki-laki, maka dalam perkembangan kepribadiannya, ia akan sulit memainkan peran jenisnya secara utuh. Ia akan condong meniru fi gur ibu sehingga ia akan tumbuh dengan sifat feminin.

Pengotak-kotakan tugas rumah tangga yang memisah-kan pekerjaan ibu dan ayah sebaiknya segera dikikis. Jadi bukan hanya ibu yang harus menyiapkan baju, memasak nasi atau mengasuh anak. Ayah pun pantas melakukannya jika mampu, jadi ayah bukan hanya bertugas mencari uang. Kontribusi ayah dalam pendidikan dan pengasuhan anaknya memang penting. Bukan semata karena ingin meringankan tugas ibu, tetapi memang kebutuhan anak juga.

Peran kehadiran sang ayah sangat berarti pada saat anak berusia balita. Hal ini pernah diteliti oleh psikolog ber nama Gal Patterson. Ia membuktikan bahwa ayah yang terlibat dalam proses kelahiran anak, menunggui istri dan bayinya, akan membuahkan hubungan yang cukup erat antara ayah dan anaknya. Selain terlibat dalam proses kelahiran anak, ayah juga dapat mengembangkan kehangatannya dengan meningkatkan kualitas hubungan ayah dan anak, misalnya dengan keterlibatan ayah dalam menemani anak bermain. Kegiatan sering mengajak anak

berdialog, wisata keluarga, dan aktivitas lainnya akan menjadikan hubungan seorang ayah selalu dekat dengan anak.

Seorang ayah yang baik semestinya menjalin hubungan yang lebih luas dan dalam kepada anak-anaknya. Jangan sampai ada jarak antara ayah dan anak, berapa pun usia anak-anaknya itu. Hendaknya seorang ayah ikut meng-ambil bagian dari pembinaan watak anaknya. Ia bisa ikut mengawasi anaknya pada waktu mereka makan, mandi, tidur, berpakaian, berbelanja, dan lainnya.

Phyllis Bronstein, seorang profesor klinik psikologi di sebuah universitas di Amerika Serikat memberikan pen-dapatnya bahwa seorang ayah sebaiknya menjalankan tu-gas lebih banyak daripada ibu, terutama dalam hal meng-ajarkan anak kecakapan fi sik, petualangan, kemam puan, dan kepercayaan diri untuk menyuarakan pendapat.

Lebih jauh Henry Biller, salah satu pengarang The Father Factor mengatakan bahwa anak yang memiliki ayah efektif; lebih mudah bergaul dengan teman-temannya dan lebih punya keyakinan diri dalam bersosialisasi, maka mereka tidak canggung berada dalam lingkungan baru, lebih mudah beradaptasi, dan memiliki nilai akademik yang lebih tinggi.

Beberapa ciri seorang ayah yang baik, di antaranya: a. Selalu berada di tengah anak-anak. Bisa di pagi hari

se be lum bekerja atau sore, dan malam hari. Juga di akhir minggu.

b. Terlibat dalam hidup anak. Diharapkan ayah juga bisa mendidik anak, seperti tugas ibu. Apalagi ibu yang juga sama-sama bekerja. Jadi ketika ibu sedang lelah, ayah bisa menggantikannya.

c. Memberi aplaus atau penghargaan atas keberhasilan anak.

d. Bisa diandalkan oleh anak.

e. Bisa mendengarkan suara hati anak. f. Sangat pengertian dalam konfl ik. g. Bisa membuat kenangan berkesan.

h. Menyertakan anak dalam memecahkan masalah kelu-arga.

i. Mendukung istri.

j. Mendapat jawaban “ya” jika menanyakan kepada anak apakah ia ingin seperti ayahnya?

k. Menyelamatkan anak dari kesulitan atau bahaya. l. Menghibur anak.

m. Dapat memperbaiki kesalahan anak

Peran seorang Ayah dalam bermain bersama anak

Mother as a caregiver and father as a playmate. Artinya ibu sebagai pengasuh dan ayah sebagai teman main. Jadi ibu lebih banyak memperhatikan aspek fi sik dan menunjukkan perhatian dan kasih sayang. Sedangkan seorang ayah mengambil peran sebagai teman bermain bagi anak. Itulah studi yang dilakukan Lamb & Roopnarine et.al. pada tahun 1990 di berbagai budaya di dunia. Ternyata seorang ayah mengambil peran yang berbeda dengan seorang ibu dalam berinteraksi dengan anaknya. Ayah memengaruhi anak-anaknya melalui permainan. Lihat saja, ayah menghabiskan waktu mereka di rumah dengan bermain bersama anak. Tetapi berbeda dengan ibu, ayah mempunyai gaya sendiri saat bermain dengan anaknya. Biasanya melibatkan aktivitas fi sik yang lebih menantang seperti mengangkat, mengayun, bergulat, atau permainan yang bersifat “maskulin” lainnya.

Mungkin karena ayah seorang pria, jadi ia berani mengayun bayinya. Itu karena kekuatan dan

keseim-bangan motorik pria lebih baik daripada wanita. Berbeda dengan seorang ibu, ia lebih cenderung melakukan per-mainan yang teruji keselamatannya. Contoh permaian cilukba, keplok ame-ame, bermain puzzle, dan membaca buku.

Seorang ayah mampu menciptakan pengalaman emo -si bagi anak. Ia bermain dengan penuh ini-siatif. Kadang mengeluarkan bunyi-bunyian atau tepukan ber ira ma untuk mencari perhatian bayinya. Gaya ”heboh” se perti itubisa membuat bayi mengeksplorasi kehidupan emo-sinya. Misalnya ayah berperan sebagai seekor “beruang” besar menakutkan yang sedang “menggigit” bayi kecil yang lucu; si anak malah akan tertawa-tawa saat dige litik sang ayah. Sensasi yang dirasakan anak adalah sedikit takut, tetapi senang dan bergairah. Pengalaman emosi se perti inilah yang kelak membantunya mengolah emosi sewaktu berhadapan dengan dunia sesungguhnya yang lebih luas.

Jika ayah jarang melakukan aktivitas fi sik bersama bayi nya, ia akan sulit membangun interaksi dengan anak-nya. Seorang ayah akan menjadi sosok yang asing. Per-kem bangan bayi pun tidak optimal. Anak yang memiliki banyak waktu bermain bersama ayahnya akan memiliki kematangan yang lebih baik.

Yang perlu diperhatikan para ayah dalam bermain bersama bayinya, hendaklah ayah memahami tahapan per-kem bangan bayi. Cermati apa yang sudah bisa dilakukan anak dan yang belum bisa dilakukannya. Hindari aktivitas yang bersifat terlalu “maju” karena tidak meng hasilkan stimulasi yang optimal.

Anak yang memiliki banyak waktu bermain bersama ayahnya akan memiliki kematangan yang lebih baik.

A. PENDIDIKAN DARI BERBAGAI SUDUT PANDANG

1. Kontradikti f dalam Pola Pengasuhan Anak

Siang itu Adi kedatangan temannya. Temannya itu meng-ajak Adi main sepeda. Tampak di ruang keluarga ayahnya sedang sibuk dengan laptopnya. Sedang ibunya asyik menonton tayangan televisi.

“Bu, boleh tidak Adi bermain sepeda bersama Arman?” Pintanya.

“Siang-siang begini?” tanya ibunya setengah melarang. “Nanti sore saja kalau sudah tidak panas.”

“Tapi Bu..,” Adi malah memohon.

101 KESALAHAN ORANG TUA

MENDIDIK ANAKNYA

Dalam dokumen 101 Kesalahan Dalam Mendidik Anak (Halaman 48-57)

Dokumen terkait