• Tidak ada hasil yang ditemukan

INDUSTRI KERAJINAN BATIK TULIS TAHUN 1980 – 1990

D. Peran Pemerintah

Menurunnya industri batik tradisional juga tidak lepas dari kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah mengenai impor bahan baku industri tekstil pada tahun 1966. Ketika itu melalui UU. No 12/1966 pemerintah mencabut hak impor bahan baku yang biasa dilakukan oleh GKBI atau Gabungan Koperasi Batik Indonesia danmenerapkan persaingan bebas. Hal ini mengakibatkan para pedagang Cina dan Arab mengambil alih perdagangan bahan baku yang sebelumnya dipegang oleh koperasi.Tugas GKBI antara lain yakni:

92 1. Keuangan

a. Mempergiat dan menerima simpanan dari anggota dan anggota koperasi batik.

b. Memberi pinjaman kepada anggota ( batas-kredit ) 2. Pusat pembelian dan keuangan

a. Memusatkan pembelian bersama dari segala bahan dan alat-alat untuk keperluan perusahaan milik anggota koperasi ;

- Pengakuan sebagai Importir

- Di beri kedudukan sebagai importir tunggal dan distributor tunggal untuk grey dan mori tahun 1955 - Sebagai importir dan distributor bahan-bahan cat kimia

batik tahun 1960

b. Memusatkan penjualan bersama dari barang-barang yang dihasilkan oleh para anggota bukan koperasi batik.

3. Produksi

a. menghasilkan mori atau blaco di pabrik mori GKBI yogyakarta tahun 1962.69

Dengan di cabutnya hak impor GKBI membuat para pengusaha batik tradisional semakin mengalami kesulitan dalam meneruskan usahanya, hal ini dikarenakan terjadi monopoli dari para pengusaha impor bahan baku textile ini

69

Sewan Susanto, 1980. Seni Kerajinan Batik Indonesia. Balai Penelitian Batik dan Kerajinan. Yogyakarta, hal 139.

93

berakibat pada mahalnya bahan baku. Para pengusaha batik pun jadi terbebani, sehingga mereka terpaksa mengurangi produksinya.70

Melemahnya daya beli masyarakat dan wisatawan terhadap batik membuat banyak pengusaha batik tradisional mengalami kebangkrutan. Sebagian dari para pengusaha batik di Lasem bahkan beralih jalur usaha seperti mendirikan warung kelontong dan badan usaha lain di luar usaha batik. Selain itu para pengusaha batik tradisional di Lasem juga lebih banyak yang memilih untuk menutup tempat usaha mereka, dikarenakan produk mereka tidak laku di pasaran yang sudah di kuasai oleh batik cap dan printing sehingga hanya kerugian yang mereka dapat.

Banyak mode pakaian wanita yang banyak mengadopsi model pakaian dari negara-negara Barat dengan desain baru, ini juga menjadi dampak pada menurunnya minat kaum wanita untuk mengenakan kain jarit batik sebagaimana yang dilakukan oleh wanita jawa jaman dahulu. Para wanita pada tahun ini sudah mempunyai kecenderungan lebih suka memakai daster maupun rok sebagai pakaian sehari-hari dengan alas an lebih modern dan praktis sehingga tidak ribet dalam mengenakannya. Para wanita hanya akan memakai pakaian batik pada acara-acara tertentu, misal dalam acara pernikahan.

70Siska Narulia, 2004. “Sejarah Koperasi Batik PPBI Yogyakarta Tahun 1950-1980”. Skripsi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, hal 92.

94

Penurunan minat masyarakat terhadap pemakaian kain batik tersebut membuat para pengrajin batik tulis tradisional di Lasem mengalami keterpurukan. Dari segi penjualan produk mereka telah kalah dengan pakaian modern yang lebih simpel, sedang dari segi harga mereka juga kalah bersaing jika dibandingkan dengan pakaian jadi yang harganya jauh di bawah sehelai kain batik tulis. Beralihnya minat masyarakat terhadap pakaian modern telah menimbulkan kemunduran dalam dunia batik, khususnya batik di Lasem yang selama ini dikenal memiliki kualitas tinggi, motif dan warna khas.Selain itu menurut Departemen Perindustrian dan Perdagangan dalam Buku “Pelestarian Motif Batik Tradisional Melalui Pengembangan Industri Batik”

Terdapat 7 faktor yang menyebabkan lesunya industri batik tradisional, yakni; 1. Semakin berkurangnya konsumen batik tradisional dalam bentuk kain

/tapih,selendang, ikat kepala serta sarung. Hal ini menyebabkan industri batik yang produksinya berupa pelengkap busana pakaian adat Jawa seperti kain /tapih,selendang, ikat kepala serta sarung mengalami kemunduran pemasarannya, sehingga untuk mempertahankan hidupnya beralih memproduksi barang-barang yang saat itu laku dipasaran.

2. Terjadinya perubahan selera konsumen akan motif-motif batik yang disebabkan oleh pengaruh kemajuan jaman maupun kebudayaan dari luar. Masuknya arus wisatawan asing yang setiap tahunnya semakin meningkat telah memberikan dampak yang cukup besar pada selera konsumen akan motif batik. Hal tersebut menyebabkan penggunaan batik untuk barang-barang perlengkapan rumah tangga seperti misal gordin, taplak meja,

95

bantal kursi menggunakan motif-motif baru yang disesuaikan dengan kemajuan jaman.

3. Kebijakan-kebijakan pemerintah pada saat tertentu dalam usaha meningkatkan devisa Negara. Seperti misal dicabutnya hak impor bahan tekstil bagi GKBI oleh pemerintah tahun 1966. Pada tahun-tahun dimana kita membutuhkan pengumpulan devisa yang besar jumlahnya, karena tekstil dengan motif batik cukup menunjang usaha ini, karena laju pemasarannya yang luas di pasaran Internasional. Karenanya industri-industri tekstil dengan motif batik dipacu perkembangannya pada saat itu tanpa memikirkan dampak negatif terhadap industri batik tradisional 4. Kemajuan teknologi yang semakin pesat telah memungkinkan pembuatan

“batik” tanpa menggunakan proses tradisional, tetapi dengan Cap dan Print.Namun yang sangat disayangkan adalah, adanya penyalahgunaan oleh beberapa produsen maupun pedagang dengan dicantumkannya label ”Batik Asli” atau“Batik Tradisional” pada produknya, sehingga konsumen seringkali tertipu.

5. Kurangnya pengenalan motif- motif batik kepada masyarakat. Seperti misal dalam hal pendidikan baik formal maupun non formal untuk bidang kerajinan batik, orientasinya selalu pada prosesnya. Padahal motif batik justru merupakan bagian yang lebih rumit, namun selalu dikesampingkan. 6. Kurangnya pengetahuan para pengusaha batik yang mewarisi usaha

orangtua maupun yang muncul dari generasi saat ini. Pengetahuan mereka sangat sedikit tentang motif batik tradisional. Kebanyakan dari mereka

96

hanya tahu nama-nama dari motif batik tradisional tanpa mengetahui latar belakangnya. Itupun hanya untuk jumlah yang terbatas.

7. Kurangnya perhatian generasi muda akan seni batik, baik batik sebagai komoditas perdagangan maupun sebagai warisan seni budaya yang bernilai tinggi. Mereka lebih senang menggunakan pakaian modern yang lebih simpel.

Dokumen terkait