• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peran Polri dalam Pengamanan Bandar Udara Internasional

BAB III: PERAN KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

C. Peran Polri dalam Pengamanan Bandar Udara Internasional

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia telah menggariskan tugas dan wewenang Polri sebagaimana dinyatakan dalam konsideran huruf (b) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 bahwa:

“Pemeliharaan keamanan dalam negeri melalui upaya penyelenggaraan fungsi kepolisian yang meliputi pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada

masyarakat dilakukan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia selaku alat negara yang dibantu oleh masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia”

Tanggungjawab untuk pemeliharaan keamanan dalam negeri (kamdagri) sepenuhnya ada di tangan Polri. Polri sebagai alat negara melaksanakan fungsinya yang meliputi pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat. Pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat yang dilakukan oleh Polri harus menyentuh semua aspek dan lapisan masyarakat. Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 menyatakan bahwa:

(1) Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakan hukum serta memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri.

(2) Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah Kepolisian Nasional yang merupakan satu kesatuan dalam melaksanakan peran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)

Konsekuensi Polri sebagai alat negara dalam melaksanakan perannya sebagai pemelihara Kamtibmas, penegak hukum serta memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat adalah adanya kewenangan penuh pada Polri untuk menyusun segala kebijakan dalam rangka penegakan hukum dan Kamtibmas.

Penegakan hukum terhadap pelaku kejahatan yang mengarah pada tindakan gangguan ketertiban dan keselamatan pesawat udara sipil di area pengamanan bandar udara adalah bahagian dari tugas Polri di samping penegakan hukum secara preventif. Hal ini sebagaimana digariskan oleh Keputusan Kepala Kepolisian Republik Indonesia No.Pol B/3082/XII/2006 tentang Pelaksanaan Pengamanan pada Obvitnas (objek vital nasional) Bandar Udara, bahwa security area dilakukan oleh Polri bersama-sama dengan pengelola/otoritas objek vital nasional yang meliputi:

a. Lingkungan dalam area dalam kawasan objek vital nasional (inner area) berupa lokasi produksi, pemukiman, tempat istirahat, pergudangan

b. Lingkungan luar area dalam kawasan objek vital nasional (outer area) berupa batas bangunan dengan pagar terluar dan batas bangunan dengan pemukiman penduduk

Berdasarkan identifikasi spesifikasi dan potensi kerawanan objek vital nasional yang mengarah kepada ketertiban umum dan penegakan hukum maka pola pengamanan yang diterapkan meliputi:96

a. Bentuk pengamanan (security pattem)

1). Pengamanan secara langsung melalui pemberian, pengerahan dan penggelaran kekuatan yang diminta secara fisik di lapangan.

2). Pengamanan secara tidak langsung melalui kegiatan pemantauan, pengawasan dan laporan perkembangan situasi.

96

Keputusan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor Skep/738 IX/2005 tentang Pedoman Sistem Pengamanan Objek Vital Nasional

b. Metode pengamanan (security method)

1). Pengamanan oleh manusia (security by human)

2). Pengamanan menggunakan kontruksi (security by construction)

3). Pengamanan menggunakan peralatan elektronik/mekanik (security by

electronics/mechanics)

4). Pengamanan dengan memanfaatkan kondisi alam atau alam buatan (security by nature)

5). Pengamanan dengan menggunakan satwa (security by animals)

6). Pengamanan dengan menggunakan tanda-tanda khusus (security by

identification)

7). Pengamanan dengan memberdayakan peran serta masyarakat (security by

community).

c. Sifat pengamanan (security characteristic)

1). Pengamanan terbuka, dengan mengutamakan upaya-upaya pre-emtif dan preventif dan penegakan hukum

2). Pengamanan tertutup dengan mengutamakan upaya-upaya preventif d. Sasaran pengamanan (security target) yang meliputi: manusia (human), fisik/

benda (physical), dokumen (document), kegiatan (activities).

Penegakan hukum ini tentunya harus dilaksanakan oleh Polri secara profesional dengan memperhatikan aspek-aspek hukum dan perlindungan hak asasi manusia. Pelaksanaan tugas ini merupakan perwujudan pelaksanaan nilai-nilai, visi untuk mewujudkan Polri yang profesional sebagai pelindung dan pengayom

masyarakat serta pelaksanaan misi Polri. Adapun yang menjadi proses penjabaran nilai-nilai Polri yakni:97

1. Keunggulan (excellence): Orientasi pada prestasi (achievement), dedikasi kejujuran (honesty) dan kreativitas.

2. Integritas (integrity): Orientasi pada komitmen menjunjung tinggi nilai-nilai etik dan moral (ethical values and morality).

3. Akuntabilitas (accountability): Orientasi pada sistem yang traceable (dapat ditelusuri jalurnya yang logis) dan auditable (dapat diaudit dan diperbaiki), mulai dari tingkat individu sampai institusi Polri.

4. Transparansi: Orientasi pada keterbukaan (opennes), kepercayaan (trust), menghargai keragaman dan perbedaan (diversity) serta tidak diskriminatif. 5. Keberlanjutan orientasi kepada perbaikan secara terus menerus dan masa

depan.

Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan salah satu landasan yuridis yang mengatur tentang keberadaan Polri dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Kedudukan Polri sebagai alat negara telah memberikan paradigma baru dalam pelaksanaan tugas operasional kepolisian di Indonesia. Tanggungjawab untuk pemeliharaan keamanan dalam negeri sepenuhnya ada di tangan Polri. Polri sebagai alat negara melaksanakan fungsi kepolisian yang meliputi pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat yang dilakukan oleh

97

Lihat, Budi Gunawan, Membangun Kompetensi Polri, Sebuah Model Penerapan Manajemen SDM Berbasis Kompetensi, (Jakarta: Yayasan Pengembangan Kajian Ilmu Kepolisian, 2005), hal. 177

Polri harus menyentuh aspek dan lapisan masyarakat, oleh karenanya kedudukan Polri dalam sistem ketatanegaraan harus menghasilkan sinergi optimal bagi kepentingan nasional dan Polri dituntut pula untuk dapat mewujudkan keamanan, ketertiban, kedamaian dan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat. Konsekuensi Polri sebagai alat negara dalam pelaksanaan perannya sebagai pemelihara Kamtibmas, penegakan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat adalah adanya kewenangan penuh pada Polri untuk menyusun segala kebijakan dalam rangka penegakan hukum dan Kamtibmas. Polri sebagai Kepolisian Negara bermakna bahwa kesatuan Polri adalah kesatuan yang bersifat hierarki98 dan ada pertanggungjawaban ke atas pada pelaksanaan tugas Polri di tingkat bawahan.

Selanjutnya menyangkut pengamanan area bandar udara yang merupakan objek vital nasional termasuk pangkalan TNI yang digunakan sebagai bandar udara untuk umum (sipil) merupakan yuridiksi publik yang berdasarkan ketentuan (standar baku) Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (ICAO) di dalamnya wajib dan mutlak tersedia 5 (lima) komponen baku pelayanan publik yakni: Polisi, Bea Cukai, Imigrasi, Karantina Hewan/Tumbuhan, Kesehatan Pelabuhan/Bandar Udara. Polri dengan segala alat kelengkapannya harus dapat memprediksi terlebih dahulu suatu tindakan yang dapat mengarah pada gangguan keamanan dan dapat menganggu

98

Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia menyatakan bahwa Pimpinan Kepolisian Negara Republik Indonesia di daerah hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2), bertanggung jawab atas pelaksanaan tugas dan wewenang kepolisian secara hierarki

keberlanjutan kegiatan lalu lintas penerbangan sipil. Tugas ini dilakukan oleh salah satu satuan Polri yakni pengamanan objek vital khusus yang bertugas untuk melakukan rangkaian kegiatan penyelidikan dalam rangka penegakan hukum.

Wewenang Polri untuk mengamankan bandar udara sebagai yuridiksi publik telah digariskan melalui Surat Keputusan Kapolri No. Pol: Skep/738/X/2005 tentang Pedoman Sistem Pengamanan Objek Vital Nasional, menyatakan bahwa Polri bersama-sama dengan pengelola/otoritas objek vital nasional menetapkan wilayah pengamanan yang meliputi:

1) Lingkungan dalam area dalam kawasan objek vital nasional (Inner Area) meliputi: Lokasi Produksi, Pemukiman, Tempat Istirahat, Pergudangan

2) Lingkungan luar area dalam kawasan objek vital nasional (Outer Area) meliputi: Batas Bangunan dengan pagar terluar dan batas bangunan dengan pemukiman penduduk.

3) Lingkungan sekitar di luar kawasan objek vital nasional (Environment/Community Area) terdiri dari pemukiman penduduk sekitar objek vital nasional, objek-objek lain di sekitar objek vital nasional

Adapun yang menjadi landasan pelaksanaan tugas pengamanan oleh Polri terhadap penerbangan dengan menggunakan pesawat sipil yang dikategorikan sebagai tempat umum (yuridiksi publik) termasuk bandar udara sipil merupakan perintah dan amanah undang-undang yang tidak boleh tidak (wajib mutlak) harus dilaksanakan (vide pasal 30 ayat (4) UUD 1945 Amandemen IV; Pasal 2 ayat (2) TAP MPR RI Nomor VI/MPR/2000 tentang Pemisahan TNI dan Polri; Pasal 6 ayat (1) TAP MPR

RI Nomor VII/MPR/2000 tentang Peran TNI dan Polri; Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana; Pasal 2, Pasal 4, Pasal 5 ayat (1), Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia) yang apabila tidak dilaksanakan, maka Polri dikualifikasi sebagai melanggar undang-undang.

Kewenangan Polri untuk mengamankan bandar udara harus dimulai dengan memberikan kewenangan sepenuhnya kepada institusi Polri terhadap gejala-gejala yang menimbulkan gangguan keamanan bandar udara di wilayah pengamanan (security area), artinya penempatan personil Polri pada setiap area baik terbatas/ steril sangat diperlukan guna menanggulangi gangguan keamanan bandar udara yang berakibat instabilitas lalu lintas penerbangan berdasarkan standar pengamanan objek vital nasional. Kewenangan Polri untuk melakukan tindakan pengamanan baik secara represif maupun preventif terhadap pesawat udara sipil di bandar udara dapat diintrodusir dari Keputusan Presiden Republik Indonesia khususnya Pasal 5 Keputusan Presiden RI Nomor 63 Tahun 2004 tentang Pengamanan Objek Vital Nasional yang menyatakan bahwa:

(1). Pengelola Objek Vital Nasional bersama Kepolisian Negara Republik Indonesia menentukan konfigurasi standar pengamanan masing-masing Objek Vital Nasional yang meliputi kekuatan personil beserta sarana prasarana pengamanannya.

(2). Pengelola Objek Vital Nasional dalam menyelenggarakan pengamanan internal harus memenuhi standar kualitas atau kemampuan yang ditetapkan

dengan Keputusan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia serta mempertimbangkan masukan dari Departemen/Instansi terkait dan ketentuan internasional yang berlaku.

(3) Pengelola Objek Vital Nasional bersama Kepolisian Negara Republik Indonesia melaksanakan secara periodik audit sistem pengamanan yang ada sesuai Keputusan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Di samping peran Polri dalam rangka penanggulangan kejahatan di bidang penerbangan melalui pengamanan penerbangan sipil baik yang menyangkut kejahatan terhadap pesawat udara dalam penerbangan, kejahatan terhadap pesawat udara dalam dinas dan kejahatan terhadap prasarana penerbangan maka Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1992 telah mengatur masalah penyidikan yang dilakukan oleh pejabat pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan departemen yang lingkup tugas dan tanggungjawabnya di bidang penerbangan dengan terlebih dahulu berkoordinasi dengan penyidik Polri.99 Koordinasi ini merupakan lingkup dari wewenang kepolisian untuk menyidik semua tindak pidana yang berarti mengandung arti bahwa pada dasarnya setiap perkara yang diproses dalam sistem peradilan pidana dimulai dari subsistem kepolisian. Dalam teori hal ini dikatakan bahwa subsistem kepolisian merupakan

99

Sifat refresif sebagai bagian dari kebijakan kriminal (criminal policy) yang merupakan tindakan pemberatasan dan sekaligus penumpasan terhadap kejahatan di bidang penerbangan oleh pihak kepolisian sebagai penyidik adalah juga merupakan suatu proses dari penegakan hukum pidana dalam sistem peradilan pidana, hal tersebut telah dirumuskan dalam pasal 1 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) bahwa penyidikan yang dilakukan oleh pihak penyidik kepolisian adalah merupakan “serangkaian tindakan penyidikan dalam hal dan menurut tata cara yang telah diatur dalam undang-undang untuk itu perbuatan berupa mencari dan mengumpulkan bukti yang dengan bukti tersebut dapat membuat terang tindak pidana yang terjadi guna menemukan tersangkanya”.

sebagai penjaga pintu gerbang atau gatekeepers dengan kata lain bahwa kepolisian merupakan garda terdepan dalam sistem peradilan pidana, hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Loeby Loqman menyebutkan bahwa kepolisian menjadi centre

figure selama dalam proses peradilan pidana.100 Dijadikannya kepolisian sebagai pusat perhatian selama dalam proses peradilan pidana, maka kepolisian dituntut untuk lebih profesional terkait dengan tugas pokok dan fungsinya sebagai lembaga dalam sistem peradilan pidana.

Adapun menyangkut penyidikan terhadap kejahatan yang ditujukan terhadap pesawat udara sipil di bandar udara diatur dalam Bab XII Pasal 52 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan yang berbunyi sebagai berikut:

Ayat (1): Selain pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan departemen yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya dibidang penerbangan, dapat diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, untuk melakukan penyidikan tindak pidana dibidang penerbangan, kacuali tindak pidana yang diancam hukuman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54.

Ayat (2): Penyidik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berwenang untuk : a. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan, pengaduan

atau keterangan tentang adanya tindak pidana; b. memanggil dan memeriksa saksi dan/atau tersangka;

c. melakukan pengeledahan, penyegelan dan/atau penyitaan alat-alat yang digunakan untuk melakukan tindak pidana;

d. melakukan pemeriksaan tempat yang diduga digunakan untuk melakukan tindak pidana;

e. meminta keterangan kepada saksi-saksi dan mengumpulkan barang bukti dari orang dan/atau badan hukum sehubungan dengan tindak pidana;

f. membuat dan menandatangani berita acara pemeriksaan;

100

Loeby Loqman, Hukum Acara Pidana Indonesia (suatu ikhtisar), (Jakarta: Datacom, 1996), hal. 22

g. menghentikan penyidikan apabila tidak terdapat cukup bukti tentang adanya tindak pidana.

Ayat (3): Pelaksanaan penyidikan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2), dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Penyidikan terhadap tindak pidana di bidang penerbangan sipil sebagaimana diamanatkan oleh undang-undang penerbangan tentunya memerlukan keahlian khusus bagi penyidik, sehingga perlu adanya petugas khusus untuk melakukan penyidikan di samping petugas yang biasa bertugas menyidik tindak pidana sesuai KUHP yakni penyidik Polri, kecuali tindak pidana yang diancam dengan hukuman seperti tercantum Pasal 54 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan. Jadi, undang-undang memberi kewenangan khusus kepada pejabat pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan departemen yang lingkup tugas dan tanggung jawab di bidang penerbangan. Sedangkan pelaksanaan penyidikan seperti yang tercantum dalam pasal di atas dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Adapun bunyi Pasal 54 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1992 sebagai berikut:

”Barangsiapa mengoperasikan pesawat udara melalui kawasan udara terlarang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda setinggi-tingginya Rp. 72.000.000,- (tujuh puluh dua juta rupiah)”.

Rumusan norma hukum yang terdapat di dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1992 sangat sedikit dapat diterapkan terhadap kasus-kasus tindak pidana sebagaimana diatur dalam beberapa konvensi internasional dan perundang-undangan

Indonesia lainnya yang khusus mengatur kejahatan terhadap penerbangan sipil, misalnya menyangkut kewenangan komandan pesawat udara yang diatur dalam Pasal 23 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan 101 serta tentang penyidikan yang diatur dalam Pasal 52 dan Pasal 53 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan. Pasal-pasal yang dirumuskan oleh undang-undang penerbangan cenderung mengatur ketentuan-ketentuan yang bersifat publik. Adapun bunyi dari Pasal-Pasal ini diuraikan sebagai berikut:

Pasal 52 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1992 berbunyi:

“(1). Selain pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan departemen yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang penerbangan, dapat diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang penerbangan, kecuali tindak pidana yang diancam hukuman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54.

(2). Penyidik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berwenang untuk:

a. melakukan, pemeriksaan atas kebenaran laporan, pengaduan atau keterangan tentang adanya tindak pidana;

b. memanggil dan memeriksa saksi dan/atau tersangka;

c. melakukan penggeledahan, penyegelan dan/atau penyitaan alat-alat yang digunakan untuk melakukan tindak pidana;

d. melakukan pemeriksaan tempat yang diduga digunakan untuk melakukan tindak pidana;

e. meminta keterangan kepada saksi-saksi dan mengumpulkan barang bukti dari orang dan/atau badan hukum sehubungan dengan tindak pidana;

101

Pasal 23 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1992 merumuskan bahwa:

(1). Selama terbang, kapten penerbang pesawat udara yang bersangkutan mempunyai wewenang mengambil tindakan untuk keamanan dan keselamatan penerbangan.

(2). Jenis dan bentuk tindakan yang dapat diambil untuk keamanan dan keselamatan penerbangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

f. membuat dan menandatangani berita acara pemeriksaan;

g. menghentikan penyidikan apabila tidak terdapat cukup bukti tentang adanya tindak pidana.

(3). Pelaksanaan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2), dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 53 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1992 menyatakan bahwa:

”Penyidikan terhadap pelanggaran wilayah udara termasuk kawasan udara terlarang yang mengakibatkan tindakan pemaksaan mendarat oleh pesawat udara Angkatan Bersenjata Republik Indonesia/Tentara Nasional Indonesia Angkatan Udara, dan penyelesaian hukumnya dilakukan sesuai dengan ketentuan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana”.