• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III : PERANAN KEPOLISIAN DALAM MEMBERANTAS

A. Peran Preventif

Kebijakan penanggulangan kejahatan dapat dilakukan melalui dua pendekatan, yaitu pendekatan penal (penerapan hukum pidana) dan pendekatan non penal (pendekatan di luar hukum pidana). Integrasi dua pendekatan ini disyaratkan dan diusulkan dalam United Nations Congress on the Prevention of Crime and the Treatment of Offenders. Hal ini dilatarbelakangi bahwa kejahatan adalah masalah sosial dan masalah kemanusiaan. Oleh karenanya upaya penanggulangan kejahatan tidak hanya dapat mengandalkan penerapan hukum pidana semata, tetapi juga melihat akar lahirnya persoalan kejahatan ini dari persoalan sosial, sehingga kebijakan sosial juga sangat penting dilakukan.66

Peran preventif pihak Kepolisian termasuk kedalam kebijakan penanggulangan kejahatan melalui pendekatan non penal. Kebijakan penanggulangan kejahatan lewat jalur “non penal” lebih bersifat tindakan pencegahan sebelum terjadinya kejahatan. Oleh karena itu, sasaran utamanya adalah menangani faktor-faktor kondusif penyebab terjadinya kejahatan yang berpusat pada masalah-masalah atau kondisi-kondisi sosial yang secara langsung atau tidak langsung atau tidak langsung dapat menimbulkan atau

66

Mahmud Mulyadi, Criminal Policy Pendekatan Integral Penal Policy dan Non-Penal

menumbuhsuburkan kejahatan. Dengan demikian dilihat dari kebijakan penanggulangan kejahatan, maka usaha-usaha non penal ini mempunyai kedudukan yang strategis dan memegang peranan kunci yang harus diintensifkan dan diefektifkan.67

Menurut kebijakan ini tujuan pokok pidana yang hendak dicapai adalah pencegahan yang ditujukan kepada khalayak ramai atau kepada semua orang agar supaya tidak melakukan pelanggaran terhadap ketertiban masyarakat.68 Metode ini mencegah terjadinya kejahatan yang sudah terlibat adanya kecenderungan kearah itu, misalnya mengadakan razia oleh Kepolisian terhadap para anak, para pelajar, para mahasiswa, ditempat-tempat ramai seperti di plaza-plaza,karaoke, tempat bilyard, diskotik, dan lain-lain agar mereka terlepas dari perbuatan jahat.69

Pendekatan non penal menurut Hoefnagels adalah pendekatan pencegahan kejahatan tanpa menggunakan sarana pemidanaan (prevention without

punishment), yaitu antara lain perencanaan kesehatan mental masyarakat

(community planning mental health), kesehatan mental masyarakat secara nasional

(national mental health), social worker and child werfare (kesejahteraan anak dan pekerja sosial), serta penggunaan hukum civil dan hukum adminitrasi

(administrative and civil law).70

67

Ibid, Hal. 55 68

Marlina, Hukum Penitensir, Cetakan Pertama, Bandung: Refika Aditama,2011, Hal. 57. 69

Ediwarnan dan Tim Pengajar , Monograf Kriminologi, Cetakan Kedua, Medan, 2011, Hal. 42.

70

Mahmud Mulyadi, Op cit, Hal. 58. Dalam konteks ini, informasi yang diperoleh melalui disiplin lain, misalnya sosiologi, antropologi dan psikologi, sangat membantu untuk merumuskan kebijakan sosial, perencanaan kesehatan mental masayarakat sehingga memberikan pengaruh preventif terhadap terjadinya kejahatan. Selain itu juga, program-program untuk mengatasi tekanan atau (stress) dalam kehidupan bermasyarakat perlu mendapat perhatian dalam penanggulangan kejahatan, antara lain, kesejahteraan anak-anak serta rehabilitasi dan kesehatan pekerja sosial.

Berdasarkan berbagai keterangan diatas, maka telah diungkap bahwa kejahatan berakar dari faktor-faktor yang berkaitan dengan lingkungan sosial masyarakat itu sendiri. Oleh karena itu perlu langkah-langkah penanggulangan yang didasarkan pada penguatan sumber daya yang ada di dalam masyarakat

(community crime prevention. Program-program yang dapat dilakukan oleh

community crime prevention antara lain (1) pembinaan terhadap penyalahgunaan narkotika dan obat-obatan terlarang; (2) pembinaan tenaga kerja; (3) pendidikan; (4) rekreasi; (5) pembinaan mental melalui agama; dan (6) desain tata ruang fisik kota.71

Situational Crime Prevention seperti di atas dapat bekerja baik secara reaktif terhadap persoalan yang timbul oleh kejahatan, maupun bersifat antisipasi melalui analisa pengaruh yang ditimbulkan oleh kejahatan dan mengajukannya untuk pembuatan kebijakan penanggulangan kejahatan. Oleh karena itu strategi penanggulangan kejahatan melalui Situational Crime Prevention merupakan kerja yang dapat dilakukan secara lokal, nasional dan bahkan internasional, yang membutuhkan keterlibatan seluruh sektor meliputi instansi pemerintah, swasta, pemerintah daerah, lembaga swadaya masyarakat dan lain sebagainya. Situational

Crime Prevention juga dapat dilakukan melalui pengamanan secara swadaya

masyarakat, misalnya melakukan ronda possiskamling di lingkungan tempat tinggal, atau bagi orang-orang tertentu mempekerjakan penjaga khusus di tempat tinggal mereka (satpam).

72 71 Ibid, Hal. 58. 72 Ibid, Hal. 63.

Di dalam sistem pemidanaan terdapat beberapa teori-teori mengenai pemidanaan dan salah satunya teori detterence (teori pencegahan). Nice Walker menamakan aliran ini sebagai paham reduktif (reductivism) karena dasar pembenaran dijatuhkannya pidana dalam pandangan aliran ini adalah untuk mengurangi frekuensi kejahatan (... the justification for penalizing offences is that this reduces their frequency). Penganut reductivism meyakini bahwa pemidanaan dapat mengurangi pelanggaran melalui satu atau beberapa cara berikut ini:73

1. Pencegahan terhadap pelaku kejahatan (deterring the offender), yaitu membujuk si pelaku untuk menahan diri atau tidak melakukan pelanggaran hukum kembali melalui ingatan mereka terhadap pidana yang dijatuhkan; 2. Pencegahan terhadap pelaku yang potensial (deterring potential imitators),

dalam hal ini memberikan rasa takut kepada orang lain yang potensial untuk melakukan kejahatan dengan melihat contoh pidana yang telah dijatuhkan kepada si pelaku sehingga mendatangkan rasa takut akan kemungkinan dijatuhkan pidana kepadanya;

3. Perbaikan si pelaku (reforming the offender), yaitu memperbaiki tingkah laku si pelaku sehingga muncul kesadaran si pelaku untuk cenderung tidak melakukan kejahatan lagi walaupun tanpa adanya rasa ketakutan dan ancaman pidana;

4. Mendidik masyarakat supaya lebih serius memikirkan terjadinya kejahatan, sehingga dengan cara ini, secara tidak langsung dapat mengurangi frekuensi kejahatan;

73

5. Melindungi masyarakat (protecting the public), melalui pidana penjara yang cukup lama.

Tujuan pemidanaan sebagai detterence effect sebenarnya telah menjadi sarana yang cukup lama dalam kebijakan penanggulangan kejahatan karena tujuan

detterence ini berakar dari aliran klasik tentang pemidanaan, dengan dua tokoh utamanya, yaitu Cessare Beccaria (1738-1794) dan Jeremy Bentham (1748-1832). Beccaria menegaskan dalam bukunya yang berjudul dei Delitti e Delle Pene

(1764) bahwa tujuan pemidanaan adalah untuk mencegah seseorang supaya tidak melakukan kejahatan, dan bukan sebagai sarana balas dendam masyarakat.74

Dalam perkembangannya, tindak pidana pencucian uang semakin kompleks, melintasi batas yuridiksi, menggunakan modus yang semakin variatif, memanfaatkan lembaga keuangan di luar sistem keuangan, bahkan telah merambah ke berbagai sektor. Oleh karena itu, dibutuhkan peran serta dari berbagai pihak untuk melakukan pengenalan, pencegahan dan pemberantasan Selain sangat merugikan masyarakat, tindak pidana pencucian uang juga sangat merugikan negara karena dapat mempengaruhi atau merusak stabilitas perekonomian nasional atau keuangan negara akibat meningkatnya berbagai kejahatan. Sehubungan dengan hal tersebut, upaya untuk mencegah dan memberantas praktik pencucian uang telah menjadi perhatian internasional. Berbagai upaya telah ditempuh oleh masing-masing negara untuk mencegah dan memberantas praktik pencucian uang termasuk dengan cara melakukan kerja sama internasional, baik melalui forum secara bilateral atau multilateral.

74

terhadap tindak pidana pencucian uang. Pihak-pihak yang terkait dengan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang, sebagai berikut:75

1. Bank Indonesia

Merupakan pengawas dan pembina industri perbankan, yaitu bank umum dan bank perkreditan rakyat, pedagang valuta asing, dan kegiatan usaha pengiriman uang (KUPU). Beberapa ketentuan yang terdapat dalam peraturan Bank Indonesia yang mendukung pencegahan tindak pidana pencucian uang, misalnya peraturan tentang penerapan KYC (Know Your Customer) dan penugasan khusus Direktur Kepatuhan pada bank umum untuk dapat menerapkan ketentuan perbankan yang sehat.

2. PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisi Transaksi Keuangan)

PPATK adalah lembaga yang independen dalam melaksanakan tugas dalam rangka mencegah dan tindak pidana pencucian uang dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden Republik Indonesia. Dalam menjaga keindependenannya, ketentuan mengenai PPATK dalam hubungannya dengan tindak pidana pencucian uang diatur dalam UU RI No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang yang melarang setiap orang untuk melakukan segala bentuk campur tangan terhadap pelaksanaan tugas dan wewenang PPATK. Di sisi lain, PPATK diwajibkan menolak dan atau mengabaikan segala bentuk campur tangan dari pihak mana pun.

75

Fungsi PPATK dalam melaksanakan tugas mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang, sebagai berikut:

1. pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang; 2. pengelolaan data dan informasi yang diperoleh PPATK; 3. pengawasan terhadap kepatuhan pihak pelaporan; dan

4. analisis atau pemeriksaan laporan dan informasi transaksi keuangan yang berindikasi tindak pidana pencucian uang dan/atau tindak pidana lain.76

Wewenang PPATK dalam melaksanakan fungsinya, sebagai berikut: 1. meminta serta mendapatkan data dan informasi dari instansi pemerintah

dan/atau lembaga swasta yang memiliki kewenangan mengelola data dan informasi, termasuk dari instansi pemerintah dan/atau lembaga swasta yang menerima laporan dari profesi tertentu;

2. menetapkan pedoman identifikasi transaksi keuangan mencurigakan;

3. mengkoordinasikan upaya pencegahan tindak pidana pencucian uang dengan instansi terkait;

4. memberikan rekodemansi kepada pemerintah mengenai upaya pencegahan tindak pidana pencucian uang;

5. mewakili pemerintah Republik Indonesia dalam organisasi dan forum internasional yang berkaitan dengan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang;

76

Pasal 40 UU RI No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

6. menyelenggarakan program pendidikan dan pelatihan anti pencucian uang, dan;

7. menyelenggarakan sosialisasi pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang.77

Penyampaian data dan informasi oleh instansi pemerintah dan/atau lembaga swasta kepada PPATK dikecualikan dari ketentuan kerahasiaan. Dalam melaksanakn fungsi pengelolaan data dan informasi, PPATK berwenang menyelenggarakan sistem informasi.

Wewenang PPATK dalam rangka melaksanakan fungsi pengawasan terhadap kepatuhan pihak pelapor, sebagai berikut:78

1. menetapkan ketentuan dan pedoman tata cara pelaporan bagi pihak pelapor; 2. menetapkan kategori pengguna jasa yang berpotensi melakukan tindak pidana

pencucian uang;

3. melakukan audit kepatuhan atau audit khusus;

4. menyampaikan informasi dari hasil audit kepada lembaga yang berwenang melakukan pengawasan terhadap pihak pelapor;

5. memberikan peringatan kepada pihak pelapor yang melanggaar kewajiban pelaporan;

6. merekomendasikan kepada lembaga yang berwenang mencabut izin pihak pelapor; dan

77

Pasal 41 (1) UU RI No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

78

Pasal 43 UU RI No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

7. menetapkan ketentuan pelaksanaan prinsip mengenali pengguna jasa bagi pihak pelapor yang tidak memiliki lembaga pengawas dan pengatur.

Dalam melaksanakan fungsi analisis atau pemeriksaan laporan dan informasi, PPATK dapat melakukan hal sebagai berikut:79

1. meminta dan menerima laporan dan informasi dari pihak pelapor; 2. meminta informasi kepada instansi atau pihak terkait;

3. meminta informasi kepada pihak pelapor berdasarkan pengembangan hasil analisis PPATK;

4. meminta informasi kepada pihak pelapor berdasarkan permintaan dari instansi penegak hukum atau mitra kerja diluar negeri;

5. meneruskan informasi dan/atau hasil analisis kepada instansi peminta baik di dalam atau di luar negeri;

6. menerima laporan dan/atau informasi dari masyarakat mengenai adanya dugaan adanya tindak pidana pencucian uang;

7. meminta keterangan kepada Pihak Pelapor dan pihak lain yang terkait dengan dugaan tindak pidana pencucian uang;

8. merekomendasikan kepada instansi penegak hukum mengenai pentingnya melakukan intersepsi atau penyadapan atas informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; 9. meminta penyedia jasa keuangan untuk menghentikan sementara seluruh atau

sebagian transaksi yang diketahui atau dicurigai merupakan hasil tindak pidana;

79

Pasal 44 ayat (1) UU RI No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

10. meminta informasi perkembangan penyelidikan dan penyidikan yang dilakukan oleh tindak pidana asal dan tindak pidana pencucian uang;

11. mengadakan kegiatan administratif lain dalam lingkup tugas dan tanggung jawab sesuai dengan ketentuan undang-undnag ini; dan

12. meneruskan hasil analisis atau pemeriksaan kepada penyidik.

PPATK juga melakukan kerja sama dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang diatur dalam Pasal 88 sampai 89 UU RI No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, sebagai berikut:

1. Kerjasama nasional yang dilakukan PPATK dengan pihak yang terkait dituangkan dengan atau tanpa bentuk kerja sama formal.

2. Kerja sama internasional dilakukan oleh PPATK dengan lembaga sejenis yang ada di negara lain dan lembaga internasional yang terkait dengan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang.

3. Kerja sama internasional yang dilakukan PPATK dapat dilaksanakan dalam bentuk kerja sama formal atau berdasarkan bantuan timbal balik atau prinsip resiprositas.

Dalam melakukan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang, PPATK dapat melakukan kerja sama pertukaran informasi berupa permintaan, pemberian, dan penerimaan informasi dengan pihak, baik dalam lingkup nasional atau internasional meliputi :

1. Instansi penegak hukum;

2. lembaga yang berwenang melakukan pengawasan terhadap penyedia jasa keuangan;

3. lembaga yang bertugas memeriksa pengelola dan tanggung jawab keuangan negara;

4. lembaga lain yang terkait dengan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang; dan

5. financial intelligence unit negara lain.

Dalam melaksanakan kewenangannya, terhadap PPATK tidak berlaku ketentuan peraturan perundang-undangan dan kode etik yang mengatur kerahasiaan. PPATK juga diwajibkan untuk membuat dan menyampaikan laporan kepada Presiden dan DPR tentang pelaksanaan tugas, fungsi, dan wewenangnya berkala setiap enam bulan.80

6. Pihak Pelapor

Pihak pelapor dalam tindak pidana pencucian uang, meliputi pihak-pihak sebagai berikut:81

a. Penyedia jasa keuangan yang terdiri dari : 1. bank;

2. perusahaan pembiayaan;

3. perusahaan asuransi dan perusahaan pialang asuransi; 4. dana pensiun lembaga keuangan;

80

H. Juni Sjafrien Jahja, Op cit, Hal. 19. 81

Pasal 17 ayat (1) UU RI No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

5. perusahaan efek; 6. manajer investasi; 7. kustodian;

8. wali amanat;

9. perposan sebagai penyedia jasa giro; 10.pedagang valuta asing;

11.penyelenggara alat pembayaran menggunakan kartu; 12.penyelenggara e-money dan/atau e-wallet;

13.koperasi yang melakukan kegiatan simpan pinjam; 14.pegadaian;

15.perusahaan yang bergerak di bidang perdagangan berjangka komoditi; atau

16.penyelenggara kegiatan usaha pengiriman uang : a. Penyedia barang dan/atau jasa lain:

1. perusahaan properti atau agen properti; 2. pedagang kendaraan bermotor;

3. pedagang permata dan perhiasan atau logam mulia; 4. pedagang barang seni dan antik; atau

5. balai lelang.

6. Balan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (BAPEPAM-LK) Merupakan lembaga yang bertugas melakukan pembinaan, dan pengawasan di bidang pasar modal dan lembaga keuangan nonbank. Terkait dengan pelaksanaan rezim anti pencucian uang, sebagai tindakan pencegahan,

Bapepam-LK mengeluarkan kebijakan sesuai dengan Keputusan Ketua BAPEPAM-LK No. Kep-476/BL/2009 tentang Prinsip Mengenal Nasabah (PMN) oleh Penyedia Jasa Keuangan di bidang pasar modal antara lain perusahaan efek, pengelola reksa dana, dan kustodian. Sementara itu, yang dimaksud dengan lembaga keuangan nonbank antara lain peransuransian, dana pensiun, dan lembaga pembiayaan.82

7. Kementrian Komunikasi dan Informatika

Berdasarkan Undang-Undang RI Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal, BAPEPAM-LK juga berwenang mengadakan pemeriksaan, penyidikan, bahkan menerapkan sanksi administratif terhadap setiap pihak yang melakukan pelanggaran terhadap undang-undang tersebut.

Merupakan regulator atau pengawas perposan sebagai salah satu pengelola jasa keuangan (PJK) berdasarkan Undang-Undang RI Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.83 8. Kementrian Perdagangan

Merupakan regulator atau pengawas perdagangan komoditi berjangka.84 9. Direktorat Jenderal Bea Cukai (DJBC)

Merupakan salah satu unit di bawah Kementrian Keuangan yang juga bagian dari rezim anti pencucian uang terkait dengan pelaporan Cross Border Cash Carrying (CBBC), yaitu pembawaan uang fisik lintas negara.85

82

H. Juni Sjafrien Jahja, Op cit, Hal. 20. 83 Ibid, Hal. 21. 84 Ibid, Hal. 21. 85 Ibid, Hal. 21.

10. Penegak Hukum

Berikut ini adalah penegak hukum terkait dengan tindak pidana pencucian uang:86

1. Penyidik Tindak Pidana Asal

Penyidikan tindak pidana pencucian uang dilakukan oleh penyidik tindak pidana asal sesuai dengan ketentuan hukum acara dan ketentuan perundang- undangan, kecuali ditentukan lain menurut UU RI No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

Sementara itu, yang dimaksud dengan “penyidik tindak pidana asal” adalah pejabat dari instansi yang oleh undang-undang diberi kewenangan untuk melakukan penyidikan sebagai berikut:

1. Kepolisian Negara Republik Indonesia 2. Kejaksaan

3. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) 4. Badan Narkotika Nasionaal (BNN) 5. Direktorat Jenderal Pajak

6. Direktorat Jenderal Bea Cukai

Penyidik tindak pidana asal dapat melakukan penyidikan tindak pidana pencucian uang apabila menemukan bukti permulaan yang cukup terjadinya tindak pidana pencucian uang saat melakukan penyidikan tindak pidana asal sesuai kewenangannya.87

86

Ibid, Hal. 21. 87

Lihat Penjelasan Pasal 74 UU RI No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

7. Pengadilan

Melaksanakan pemeriksaan perkara tindak pidana pencucian uang pada sidang pengadilan.

Berdasarkan faktor-faktor penyebab timbulnya money laundering diatas maka dapat ditinjau melalui peran preventif pihak kepolisian beserta pihak-pihak terkait lainnya dalam bentuk kebijakan pencegahan (non penal) dalam memberantas praktik tindak pidana pencucian uang di Indonesia dapat dilihat dari ketentuan- ketentuan sebagai berikut:

1. Penerapan Prinsip Mengenali Pengguna Jasa (nasabah)

Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah pada setiap Penyedia Jasa Keuangan (PJK) dimaksudkan untuk mengatasi berbagai resiko sejalan dengan kegiatan usahanya. Untuk mengurangi resiko itulah maka setiap Penyedia Jasa Keuangan atau yang selanjutnya disebut dengan PJK diwajibkan untuk menerapkan prinsip kehati-hatian. Salah satu upaya dalam melaksanakan prinsip kehati-hatian adalah Prinsip Mengenal Nasabah (Know YourCustomer Principles). Prinsip Mengenal Nasabah adalah prinsip yang diterapkan oleh PJK untuk mengetahui identitas nasabah dan memantau kegiatan transaksi masabah termasuk pelaporan transaksi yang mencurikan.88

Dengan semakin berkembangnya kegiatan usaha PJK, maka PJK dihadapkan kepada berbagai resiko, seperti resiko operasional, resiko umum, resiko terkonsentrasinya transaksi, dan resiko reputasi. Ketidakcukupan penerapan Prinsip Mengenal Nasabah dapat memperbesar resiko yang dihadapi dan juga

88

dapat mengakibatkan kerugian keuangan yang signifikan bagi PJK baik dari sisi aktiva maupun pasiva.

Mengingat hal tersebut dan dengan memperhatikan rekomendasi dari Basel

Commitee on Banking Supervision dalam Core Principles for Effective

Banking Supervision bahwa penerapan Prinsip Mengenal Nasabah merupakan

faktor yang penting dalam melindungi kesehatan PJK, maka setiap PJK perlu menerapkan Prinsip Mengenal Nasabah secara lebih efektif. Di samping itu, sebagaimana dikemukakan oelh FATF, Prinsip Mengenal Nasabah merupakan upaya untuk mencegah lembaga keuangan digunakan sebagai sarana atau sasaram kejahatan, baik yang dilakukan secara langsung maupun tidak langsung oleh pelaku kejahatan.89

Pihak pelapor wajib menerapkan prinsip mengenali pengguna jasa yang ditetapkan oleh setiap lembaga pengawas dan pengatur. Kewajiban menerapkan prinsip mengenali pengguna jasa dilakukan pada saat:90

1. melakukan hubungan usaha dengan pengguna jasa;

2. terdapat transaksi keuangan dengan mata uang rupiah dan/atau mata uang asing yang nilainya paling sedikit atau setara dengan Rp100.000.000 (seratus juta rupiah);

3. terdapat transaksi keuangan mencurigakan yang terkait tindak pidana pencucian uang dan tindak pidana pendanaan terorisme; atau

4. Pihak pelapor meragukan kebenaran informasi yang dilaporkan pengguna jasa.

89

Ibid, Hal. 44. 90

Prinsip mengenali pengguna jasa sekurang-kurangnya memuat hal-hal sebagai berikut:

1. Identifikasi pengguna jasa. 2. Verifikasi Pengguna jasa.

3. Pemantauan transaksi pengguna jasa.

Indonesia menganut rezim devisa bebas, hanya saja sejak berlakunya Undang-Undang Pencucian Uang mulai diterapkan prinsip KYC (know your customer/mengenali pengguna jasa), pengawasan terhadap lalu lintas devisa mulai ditingkatkan. Modus operandi money laundering sudah demikian canggih dan bervariasi, perlu mempertimbangkan diberlakukannya peraturan-peraturan untuk mencegah pencucian uang seperti:

1. kewajiban untuk mengenal para nasabah dengan verifikasi identitas;

2. kewajiban untuk melaporkan adanya transaksi-transaksi yang mencurigakan; 3. meneliti serta mencurigai jumlah transfer uang yang cukup besar dan tidak

wajar.91

Jika kelak sistem perbankan dan lembaga keuangan Indonesia menerima dan menerapkan sistem yang dianut oleh sebagian besar negara maju saat ini, para penegak hukum akan dihadapkan pada suatu tantangan untuk mampu menangani kasus-kasus money laundering sebagai suatu kejahatan tersendiri. Di lain pihak, ditetapkannya ketentuan yang lebih ketat dalam dunia perbankan akan

91

mempersulit para penjahat di bidang perbankan, yang pada gilirannya akan menurunkan angka kejahatan (terorganisir) pada umumnya.92

4. Pelaporan

Pelaporan jasa keuangan wajib melaporkan kepada PPATK yang meliputi hal- hal sebagai berikut:

1. Transaksi keuangan mencurigakan.

2. Transaksi keuangan tunai dalam jumlah paling sedikit Rp500.000.000 (lima ratus juta rupiah).

3. Transaksi keuangan transfer dana dari dan ke luar negeri.93

Transaksi Keuangan Mencurigakan menurut Pasal 1 angka 5 Undang- Undang Nomor 8 Tahun 2010 adalah sebagai berikut:94

1. Transaksi keuangan yang menyimpan dari profil, karakteristik, atau kebiasaan pola transaksi dari pengguna jasa yang bersangkutan.

2. Transaksi keuangan oleh pengguna jasa yang patut diduga dilakukan dengan tujuan untuk menghindari pelaporan transaksi yang bersangkutan yang wajib dilakukan oleh pihak pelapor sesuai dengan ketentuan undang-undang ini. 3. Transaksi keuangan yang dilakukan atau batal dilakukan dengan

menggunakan harta kekayaan yang diduga berasal dari hasil tindak pidana. 4. Transaksi keuangan yang diminta oleh PPATK untuk dilaporkan oleh pihak

pelapor karena melibatkan harta kekayaan yang diduga berasal dari hasil tindak pidana. 92 Ibid, Hal. 79. 93 Ibid, Hal. 38. 94

Pasal 1 angka 5 UU RI No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang

5. Membawa Uang Tunai dan Instrumen Pembayaran Lain ke Dalam Negeri atau ke Luar Daerah Pabean Indonesia.

Membawa uang tunai dan instrumen pembayaran lain ke dalam atau ke luar wilayah pabean Indonesia merupakan salah satu sarana tindak pidana pencucian uang. Untuk itu, Undang-Undang RI Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang merumuskan hal-hal sebagai

Dokumen terkait