• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peranan Keluarga, Sekolah dan Masyarakat dalam Pengembangan

BAB II. Kepedulian Sosial Remaja Usia SMA dan Upaya Pengembangannya

C. Pengembangan Kepedulian Sosial Remaja Usia SMA

3. Peranan Keluarga, Sekolah dan Masyarakat dalam Pengembangan

3. Peranan Keluarga, Sekolah dan Masyarakat dalam Pengembangan Kepedulian Sosial Remaja Usia SMA.

Kepedulian sosial seorang remaja memang tidak terbentuk baik secara otomatis saja, tetapi membutuhkan sinergi peran keluarga, sekolah dan masyarakat di mana remaja tersebut tumbuh dan berkembang (Sarwono, 1991: 107). Peranan dari keluarga, sekolah dan masyarakat tersebut adalah sebagai berikut :

a. Peranan Keluarga

Keluarga merupakan lingkungan utama yang memberikan pengaruh terhadap berbagai aspek perkembangan anak termasuk perkembangan sosialnya. Keluarga disebut sebagai pendidikan yang pertama dan utama, serta merupakan peletak pondasi dari karakter dan pendidikan setelahnya. Proses pendidikan yang bertujuan

mengembangkan kepribadian anak lebih banyak ditentukan oleh keluarga. Pola pergaulan dan bagaimana norma dalam menetapkan diri terhadap lingkungan yang lebih luas ditetapkan dan diarahkan. keluarga memiliki peranan untuk Kematangan sosial pada diri anak sangat dipengaruhi oleh peran orang tua dalam membimbing dan mengenalkan mengenai kehidupan sosial, baik norma-norma kehidupan bermasyarakat atau pun fenomina lain seputar lingkungan sekitar. Bimbingan orang tua sangat penting bagi anak, karena anak belum bisa mengenal sekitar dan tidak memiliki pengalaman banyak untuk mencapai kematangan sosialnya sendiri.

Keluarga menempati posisi yang sentral dalam masyarakat, berkaitan dengan fungsinya sebagai pendidik yang utama dan terutama. Dalam Kompendium Ajaran Sosial Gereja dinyatakan bahwa “Sebagai satu persekutuan alamiah di mana sosialita manusia dialami, keluarga memainkan peran yang sangat khas dan tak tergantikan bagi kesejahteraan seluruh masyarakat” (ASG, 2009: 149).

Sebab kebersamaan dalam keluarga sebenarnya lahir dari kebersamaan antar pribadi : “‟Kesamaan‟ berkaitan dengan relasi personal antara „Aku‟ dan „Engkau‟. Namun „kebersamaan‟ melampaui skema ini dan terarah kepada „persekutuan‟, satu „kekitaan‟. Karena itu, keluarga sebagai satu kebersamaan antarpribadi merupakan „persekutuan‟manusia pertama.

Satu masyarakat yang ditata berdasarkan kriteria sebuah keluarga merupakan perlindungan yang terbaik melawan segala tendensi individualisme dan kolektivisme, sebab masyarakat seperti ini selalu menempatkan pribadi pada pusat perhatian, bukan sebagai sarana, melainkan sebagai tujuan. Sebab itu sangat jelas bahwa kesejahteraan

pribadi-pribadi dan keberfungsian yang baik dari masyarakat terkait erat dengan “kesejahteraan persekutuan perkawinan dan keluarga”. Tanpa keluarga-keluarga yang kuat dalam kebersamaan dan berkanjang dalam komitmennya, maka bangsa-bangsa akan kehilangan kekuatannya. Sejak tahun-tahun awal keluarga telah memberi andil untuk membatinkan nilai-nilai moral seperti juga mewariskan pusaka spiritual dan kultural dari satu jemaat beragama dan satu bangsa. Di dalam keluarga, seorang anak manusia belajar menerima tanggungjawab sosial dan bersikap solider.

Sebagai unsur yang terpenting dan utama, keluarga mendapatkan perhatian khusus oleh Gereja Katolik dalam Kompendium Ajaran Sosial Gereja :

Keluarga harus mendapat prioritas dibandingkan dengan masyarakat dan negara. Sekurang-kurangnya dalam segi penerusan keturunan keluarga merupakan prasyarat bagi keberadaan masyarakat dan negara. Fungsi-fungsi lain yang dilaksanakan demi kebaikan para anggotanya, merupakan hal-hal yang lebih penting dan bernilai dibandingkan dengan fungsi-fungsi yang dilaksanakan oleh masyarakat dan negara. Sebagai pemilik hak-hak yang tidak boleh terlecehkan, keluarga memperoleh legitimasinya dari kodrat manusia dan bukan dari pengakuan oleh pihak negara. Sebab itu, keluarga tidak ada untuk masyarakat dan negara, melainkan masyarakat dan negara ada untuk keluarga (ASG, 2009: 168).

Tidak ada model masyarakat yang hendak mengupayakan kesejahteraan manusia dapat mengabaikan makna sentral dan tanggungjawab sosial keluarga. Sebaliknya, masyarakat dan negara mempunyai kewajiban untuk berpegang pada prinsip subsidiaritas dalam menentukan relasinya terhadap keluarga. Berdasarkan prinsip ini maka otoritas-otoritas publik tidak boleh mengambil alih dari keluarga tugas-tugas yang dapat dilaksanakan sendiri oleh keluarga atau dalam kerja sama yang bebas dengan keluarga-keluarga lain. Pada pihak lain, otoritas-otoritas publik ini

mempunyai kewajiban untuk mendukung keluarga dengan cara menyediakan sarana- sarana bantuan yang diperlukannya untuk dapat memenuhi kewajibannya secara benar.

Keluarga pun memiliki tugas mendidik kaum muda seperti tertuang dalam Kompendium ASG (2009: 168) bahwa “melalui pendidikan keluarga membentuk manusia dan mengantarnya pada kepenuhan martabatnya, dalam seluruh matra, termasuk matra sosial.

b. Peranan sekolah

Doni Koesoema (2007: 155-156) mengungkapkan bahwa setiap sekolah harus memiliki visi yang sarat dengan pendidikan karakter. Visi pendidikan karakter yang ditetapkan oleh sekolah merupakan cita-cita yang akan diarah melalui kinerja lembaga pendidikan. Tanpa visi yang diungkapkan melalui pernyataan yang jelas dan dapat dipahami oleh semua pihak yang terlibat di dalam lembaga pendidikan tersebut, setiap usaha pengembangan pendidikan karakter akan menjadi sia-sia. Oleh karena itu, setiap sekolah semestinya menentukan visi pendidikan yang akan menjadi dasar acuan bagi setiap kerja, pembuatan program dan pendekatan pendidikan karakter yang dilakukan di dalam sekolah.

Visi pendidikan karakter di dalam lembaga pendidikan akan semakin menjiwai setiap individu ketika mereka semua merasa dilibatkan dalam penentuan visi tersebut sehingga visi tersebut menjadi bagian dari keyakinan pribadi dan keyakinan komunitas lembaga pendidikan tersebut.

Di Indonesia, banyak sekolah swasta yang telah dikelola secara profesional memiliki visi ini. Kadang visi ini ditentukan melalui latar belakang sejarah pendirian lembaga pendidikan tersebut. Oleh karena itu bisa jadi seorang guru ketika sudah masuk dalam lembaga pendidikan tertentu telah menerima tradisi dari para pendahulunya tentang visi lembaga pendidikan tempat ia bekerja. Meskipun visi itu seringkali telah jadi, dan tidak ada partisipasi langsung dari guru dan individu yang terlibat dalam lembaga pendidikan tersebut, visi tersebut tetap dapat menjadi roh bagi setiap individu sejauh tidak bertentangan dengan keyakinan pribadinya tentang visi pendidikan yang dia miliki.

Jika visi di dalam sekolah itu telah ada, apakah dengan visi tersebut, sekolah itu memiliki misi, yaitu semacam penjabaran yang lebih praktis-operasional, yang indikasinya dapat diukur, diverifikasi, dan dievaluasi secara terus-menerus. Misi adlah sebuah usaha menjembatani praxis harian di lapangan dengan cita-cita ideal yang menjiwai seluruh gerak sekolah. Bisa dikatakan, tercapainya misi merupakan tanda keberhasilan dilaksanakannya visi secara konsisten dan setia.

Sekolah adalah tempat mengenyam pendidikan dalam bentuk kelembagaan. Sekolah juga dapat disebut lembaga pendidikan kedua setelah keluarga. Pendidikan merupakan proses sosialisais anak yang terarah. Pendidikan merupakan proses pengoperasian ilmu yang normatif. Di sekolah, setiap peserta didik mendapatkan pengajaran tentang norma-norma yang ada tidak hanya dalam lingkup keluarga dan masyarakat, tetapi dalam lingkup yang lebih luas yaitu lingkup nasional.

Yusuf (2007: 95) mengungkapkan bahwa sekolah sebagai salah satu lingkungan sosial tempat individu berinteraksi, harus mampu menciptakan dan memberikan suasana psikologis yang dapat mencapai perkembangan sosial secara matang, dalam arti dia memiliki kemampuan penyesuaian sosial yang tepat.

Sekolah berperan dalam menggugah kesadaran sosial peserta didik dengan memberikan pengetahuan-pengetahuan tentang segala hal kemanusiaan. Selain itu, sekolah dengan kegiatan-kegiatan yang diadakan, melatih peserta didik untuk peka terhadap sesama yang kesulitan. Sekolah membuka jendela pemikiran peserta didik. Hal ini cukup beralasan, mengingat bahwa sekolah merupakan tempat khusus dalam menuntut berbagai ilmu pengetahuan.

A. Sewaka, SJ (1991: 21) menjelaskan ajaran dan pedoman gereja tentang Pendidikan Katolik mengenai asimilasi budaya tiap pribadi :

Pendekatan pokok itu terjadi di sekolah dalam bentuk kontak dan keterlibatan pribadi yang memperhatikan nilai-nilai mutlak dalam suatu konteks hidup, dan berusaha memasukkan nilai-nilai ke dalam kerangka hidup. Sesungguhnya kebudayaan itu hanya mendidik kalau kaum muda dapat mengaitkan pelajaran mereka dengan keadaan hidup nyata yang mereka kenal. Sekolah harus mendorong murid melatih pikirannya melalui pemahaman yang dinamis guna mendapatkan kejelasan dan kekayaan akal. Sekolah harus menolong murid mengupas arti pengalaman-pengalamannya dan kebenaran dari pengalaman itu. tiap sekolah yang melalaikan kewajiban itu dan yang hanya menyampaikan kesimpulan-kesimpulan yang terjadi, sekolah tersebut menghambat perkembangan pribadi murid-muridnya.

Dari hal tersebut diatas tampak jelas, penting sekali menekankan relevansi pengalaman hidup yang secara nyata dialami peserta didik dalam konteks hidup bermasyarakat dengan proses pendidikan di sekolah. Agar tidak menciptakan

perasaan keterasingan, maka peserta didik harus selalu didekatkan dengan realitas sosial dimana mereka hidup.

c. Peranan masyarakat

Masyarakat adalah lembaga pendidikan non formal, yang juga menjadi bagian penting dalam proses pendidikan remaja, tetapi tidak mengikuti peraturan-peraturan yang tetap dan ketat (Sarwono, 1991: 128). Masyarakat yang terdiri dari sekelompok atau beberapa individu yang beragam akan mempengaruhi kepekaan sosial yang tinggal di sekitarnya. Oleh karena itu, dalam pendidikan kemanusiaan, masyarakat memiliki juga mempunyai tanggung jawab yang sama dalam mendidik.

Masyarakat sebagai lingkungan pendidikan yang lebih luas turut berperan dalam terselenggaranya proses kepedulian sosial. Setiap individu sebagai anggota dari masyarakat tersebut harus bertanggung jawab dalam menciptakan suasana yang nyaman dan mendukung. Ketika anak atau peserta didik berada di lingkungan masyarakat yang kurang baik, maka perkembangan kepedulian sosialnya akan kurang baik pula.

Dalam kaitannya dengan lingkungan keluarga, orang tua harus memilih lingkungan masyarakat yang sehat dan cocok sebagai tempat tinggal orang tua beserta anaknya. Jadi, mengingat pentingnya peran masyarakat sebagai lingkungan pendidikan, maka setiap individu sebagai anggota masyarakat harus menciptakan suasana yang nyaman demi keberlangsungan proses pendidikan yang terjadi di dalamnya.

Dokumen terkait