• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peranan sekolah Katolik dalam mengembangkan kepedulian sosial remaja usia SMA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Peranan sekolah Katolik dalam mengembangkan kepedulian sosial remaja usia SMA"

Copied!
97
0
0

Teks penuh

(1)

i

PERANAN SEKOLAH KATOLIK DALAM MENGEMBANGKAN KEPEDULIAN SOSIAL REMAJA USIA SMA

S K R I P S I

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Program Studi Ilmu Pendidikan Kekhususan Pendidikan Agama Katolik

Oleh:

Oktavianus Jeffrey Budiarto NIM: 061124018

PROGRAM STUDI ILMU PENDIDIKAN

KEKHUSUSAN PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK

JURUSAN ILMU PENDIDIKAN

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

(2)
(3)
(4)

iv

PERSEMBAHAN

Skripsi ini kupersembahkan kepada

Yang telah bersatu di surga, ayahku tercinta (Antonius Surahmin) beserta ibuku tercinta (Theresia Bartinah),

Orangtua angkatku Veronica Maridah dan Suparman, pendamping hidupku terkasih (Maria Wardayanti Perdani)

dan teman-teman seperjuanganku angkatan 2006 serta

(5)

v MOTTO

“Demi lebih besarnya kemuliaan nama Tuhan

Ad Maiorem Dei Gloriam”

(6)
(7)
(8)

viii ABSTRAK

Skripsi ini berjudul “Peranan Sekolah Katolik Dalam Mengembangkan Kepedulian Sosial Remaja Usia SMA. Penulis memilih judul ini berdasarkan keprihatinan yang penulis lihat sehubungan dengan realitas kepedulian sosial remaja usia SMA dewasa ini. Banyak remaja usia SMA yang mengalami masalah dalam memenuhi tugas perkembangannya sebagai remaja untuk berintegrasi dengan masyarakat.

Sekolah Katolik sebagai perwujudan panggilan Gereja Katolik dalam dunia pendidikan haruslah menanggapi kebutuhan remaja usia SMA dalam berkembang sebagai manusia yang utuh. Remaja usia SMA perlu untuk dibantu dan difasilitasi. Maka, Gereja Katolik perlu hadir dalam dunia pendidikan sehingga remaja usia SMA sungguh terbantu dalam mengembangkan kepedulian sosial.

Persoalan skripsi ini adalah bagaimana Sekolah Katolik mengambil peranan yang strategis untuk mengembangkan kepedulian sosial pada diri remaja usia SMA. Sekolah Katolik berperan penting mengupayakan segala macam usaha melalui program-program kegiatan. Dengan program tersebut, tiga aspek kepedulian sosial pada diri remaja usia SMA yakni, aspek kesadaran, aspek kehendak dan aspek keterlibatan dapat dikembangkan lebih lanjut. Sekolah Katolik dapat menempuh pendidikan non-formal maupun formal dalam upaya itu. Lalu usaha yang seperti apa yang dapat dilakukan sekolah Katolik secara khusus dalam mengembangkan remaja usia SMA agar dapat berkembang menjadi pribadi yang utuh.

(9)

ix ABSTRACT

This thesis title is “The Role of Catholic School in Developing Social Awareness for Teeanagers in Senior High School. The writer has chosen this title based on concerns of awareness social reality that experienced by teenagers in senior high school. Many of them have problems in fulfilling devlopment tasks as individu to integrate with society.

Catholic school as the manifestation of Catholic Church calling in education have to respond the needs of teenagers in development as a full human being. The teenagers in senior high school are needed to be helped and facilitated in developing social awareness. Remembering Catholic Church has a big expectation to teeanagers who become the next generation.

The main point of this thesis is how Catholic School takes a strategic role to develop social awareness of teenagers in senior high school. Catholic school has an important role to make many social activities. Then, what kind of activities that can be done by Catholic School in developing teenagers in senior high school to grow as full human being.

From deep studies in every chapter, the writer is sure that activity program such as live in is needed to be held as the manifestation of collaboration between Catholic School and society to develop social awareness of teenagers in senior high school.

(10)

x

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmatNya yang berlimpah pada semua orang. Sebab atas rahmat-Nyalah maka penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul PERANAN SEKOLAH KATOLIK DALAM MENGEMBANGKAN KEPEDULIAN

SOSIAL REMAJA USIA SMA.

Penulisan skripsi ini bertolak dari keprihatinan penulis dengan kondisi kepedulian sosial yang dialami remaja usia SMA. Gereja Katolik dalam dokumen Gravissimum Educationis (GE) telah menekankan pentingnya pendidikan manusia yang utuh dan memiliki kedewasaan kristiani. Agar remaja usia SMA mampu berkembang menjadi manusia yang utuh dan memiliki kepedulian sosial yang tinggi maka Gereja Katolik hadir melalui sekolah-sekolah Katolik dalam rangka mengusahakan pengembangan kepedulian sosial.

Penulis menyadari bahwa proses penulisan skripsi ini dapat terselesaikan berkat bantuan, bimbingan, dukungan, motivasi dan doa dari banyak pihak. Oleh karena itu maka dari hati yang paling dalam penulis menyampaikan terima kasih kepada:

1. Drs. FX. Heryatno WW., S. J., M. Ed., selaku Kaprodi IPPAK-USD yang telah mendukung dan memberi kesempatan kepada penulis untuk mempertanggungjawabkan skripsi ini.

(11)

xi

3. Y.H. Bintang Nusantara, SFK., M.Hum, selaku dosen pembimbing utama penulis yang telah dengan sabar, setia, penuh perhatian, penuh semangat dan selalu berusaha menyediakan waktu dalam membimbing penulis. Beliau juga dengan sepenuh hati senantiasa memotivasi, mencintai dan menumbuhkan kepercayaan diri pada penulis.

4. Dra. Y. Supriyati, M. Pd., sebagai seorang ibu dan selaku dosen pembimbing akademik serta dosen penguji kedua dengan setulus hatinya membimbing, memberi perhatian, dan memberikan dukungan kepada penulis.

5. Yoseph Kristianto, SFK., M. Pd., sebagai seorang bapak dan selaku dosen penguji ketiga yang juga senantiasa memberi motivasi, dukungan, saran dan kritikan yang membangun bagi penulis baik dalam proses penulisan skripsi ini maupun selama menjalani kuliah di IPPAK.

6. Segenap dosen prodi IPPAK dan Staf karyawan yang selama ini telah mendidik dan mengajarkan banyak hal demi perkembangan iman dan juga kepribadian penulis. Mereka juga dengan setia membimbing dan mengarahkan penulis selama proses studi ini. Teciptanya hubungan kekeluargaan yang kental di IPPAK sehingga relasi yang akrab dapat terjalin antara dosen dan mahasiswa.

(12)

xii

8. Spesial buat yang tercinta Maria Wardayanti Perdani yang selalu memberi motivasi dan penyemangat, terima kasih atas kesabaran, kasih sayang yang telah diberikan.

9. Sahabatku tercinta yang sama-sama berjuang Yuniarti Ninu, Lidia Angela Hiping dan Rosita Dangin, yang selalu memberikan semangat dan masukan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

10. Teman-teman seangkatan 2006-2013 yang telah meneguhkan dan memberikan dukungan dalam menyelesaikan skripsi ini.

11. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, yang selama ini dengan ketulusan hati telah memberikan motivasi dan bantuan hingga terselesainya penulis skripsi ini.

Penulis menyadari keterbatasan dan kekurangan dalam penulisan skripsi ini. Oleh karena itu, penulis menerima segara kritik dan saran yang membangun demi perbaikan skripsi ini dengan terbuka dan lapang dada. Akhir kata semoga skripsi ini dapat bermanfaat dan berguna bagi siapa saja yang membutuhkannya.

Yogyakarta, 15 Agustus 2013 Penulis

(13)

xiii DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING .. ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv

MOTTO. ... v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ... vii

ABSTRAK ... viii

ABSTRACT ... ix

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... xiii

DAFTAR SINGKATAN ... xviii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 7

C. Tujuan Penulisan ... 7

D. Manfaat Penulisan ... 8

E. Metode Penulisan ... 9

F. Sistematika Penulisan ... 9

BAB II. Kepedulian Sosial Remaja Usia SMA dan Upaya Pengembangannya 10

A. Gambaran Umum Remaja Usia SMA ... 10

1. Pengertian Remaja Usia SMA ... 10

2. Tahap-tahap Perkembangan Remaja ... 12

a. Remaja Awal ... 12

b. Remaja Madya ... 13

c. Remaja Akhir ... 13

3. Tugas Perkembangan Remaja Usia SMA ... 13

(14)

xiv

a. Aspek Fisik ... 15

b. Aspek Emosi ... 16

c. Aspek Sosial ... 16

d. Aspek Inteligensi ... 17

e. Aspek Moral dan Religi ... 18

B. Gambaran Umum Kehidupan Sosial Remaja Usia SMA dan Masalah yang melingkupi ... 20

1. Kehidupan Sosial Remaja Usia SMA ... 20

a. Kehidupan sosial remaja dalam keluarga ... 20

b. Kehidupan sosial remaja dalam sekolah ... 20

c. Kehidupan sosial remaja dengan teman sebaya ... 22

d. Kehidupan sosial remaja dalam masyarakat ... 23

2. Masalah-masalah yang dihadapi remaja ... 23

a. Masalah remaja dalam keluarga ... 24

b. Masalah remaja dalam sekolah ... 24

c. Masalah remaja dengan teman sebaya ... 27

d. Masalah remaja dalam masyarakat ... 28

C. Pengembangan Kepedulian Sosial Remaja Usia SMA ... 29

1. Pengertian Kepedulian Sosial ... 30

2. Aspek-aspek Pengembangan Kepedulian Sosial ... 30

a. Aspek Kesadaran ... 30

b. Aspek Kehendak ... 33

c. Aspek Keterlibatan ... 34

3. Peranan Keluarga, Sekolah dan Masyarakat dalam Pengembangan Kepedulian sosial remaja usia SMA ... 35

a. Peranan Keluarga ... 35

b. Peranan Sekolah... 38

c. Peranan Masyarakat... 41

BAB III Sekolah Katolik dan Pengembangan Kepedulian Sosial……... 42

(15)

xv

1. Latar Belakang Gereja Katolik Terlibat dalam Dunia Pendidikan……. 42 2. Tujuan Pendidikan Menurut Gereja Katolik………....43 B. Pendidikan di Sekolah Sebagai Usaha Pengembangan Manusia Utuh 46 1. Visi dan Misi Sekolah dalam Pembentukan Karakter………. 46 2. Visi dan Misi Sekolah Katolik……….48 3. Tantangan Sekolah Katolik dalam Mengembangkan Visi Pendidikan

Karakter………. 51

C. Sekolah Katolik sebagai Sarana Pengembangan Kepedulian Sosial… 54 1. Sekolah Katolik sebagai Komunitas………54 2. Sekolah Katolik sebagai Pusat Mendidik……….. 57 3. Sekolah Katolik Mewujudkan Tujuan Sosial………. 58 4. Sekolah Katolik Sebagai Tempat Dan Sarana Pengembangan Kepedulian

Sosial ……… 60

D. Sekolah Katolik Mengembangkan Kepedulian Sosial Remaja Usia

SMA………... 61

1. Pendidikan Kepedulian Sosial dalam Pengajaran Formal……….. 62 2. Pendidikan Kepedulian Sosial dalam Pendidikan Non Formal………. 63

BAB IV Live In Sebagai Usaha Pengembangan Kepedulian Sosial Remaja Usia

SMA………... 68

A. Pengertian Live In dan Aspek-aspek Kepedulian Sosial yang

Dikembangkan……….………...68

(16)

xvi

2. Aspek-aspek Kepedulian Sosial yang dikembangkan Dalam Live In…. 68

a.Aspek Kesadaran………..……. 68

b.Aspek Kehendak……….…….. 69

c.Aspek Keterlibatan……….….. 70

B. Tahap-tahap Live In dalam Mengembangkan Kepedulian Sosial..……. 71

1. Tahap Mengalami……….. 71

2. Tahap Merefleksikan………. 73

3. Tahap Bertindak……… 74

4. Tahap Evaluasi………... 75

BAB V PENUTUP……… 76

A. Kesimpulan……….76

B. Saran………... 77

(17)

xvii

DAFTAR SINGKATAN

A. Singkatan Kitab Suci

KS : Kitab Suci

Seluruh singkatan Kitab Suci dalam skripsi ini mengikuti singkatan yang terdapat dalam daftar singkatan Alkitab Deuterokanonika (1995) terbitan Lembaga Alkitab Indonesia. B. Singkatan Dokumen Gereja

ASG : Ajaran Sosial Gereja GE : Gravissimum Educationis

KHK : Kitab Hukum Kanonik (Codex Iuris Canonici) KWI : Konferensi Waligereja Indonesia

C. Singkatan lainnya

Art : Artikel Kan : Kanon

KWI : Konferensi Waligereja Indonesia KOMKAT: Komisi Kateketik

(18)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A.Latar Belakang Permasalahan

Pendidikan di sekolah sejatinya bukan hanya untuk menciptakan manusia dengan keahlian tinggi tetapi lebih dari itu, menumbuhkan manusia-manusia terpelajar yang memiliki kepedulian sosial. Inilah pendidikan yang terarah pada proses perubahan sosial menuju masyarakat dan dunia yang lebih baik. Pendidikan adalah instrumen untuk mencapai idealisme tersebut. Dengan demikian, pendidikan menemukan relevansinya sebagai kunci perubahan sosial. Maka, pendidikan di sekolah harus berhasil menumbuhkembangkan pribadi dan karakter siswa, sehingga di kemudian hari mereka siap hidup dalam masyarakat.. Keyakinan ini harus diwujudkan karena pendidikan berperan penting dalam upaya membangun kehidupan bersama yang diwarnai persaudaraan sejati, keadilan, solidaritas tanggungjawab dan kepedulian sosial.

(19)

2

Sekolah Katolik telah lama dianggap sebagai sebuah lembaga pendidikan yang memiliki fokus terutama pada pengembangan intelektual, iman dan moral bagi siswanya. Pengembangan karakter di tingkat sekolah tidak bisa melalaikan pada tugas khas tersebut. Oleh karena itu, pendidikan karakter di sekolah katolik memiliki sifat bidireksional, yaitu pengembangan kemampuan intelektual dan kemampuan moral. Dua arah pengembangan ini diharapkan menjadi semacam idealisme bagi para siswa agar mereka semakin mampu mengembangkan ketajaman intelektual dan integritas diri sebagai pribadi yang memiliki karakter kuat.

Pendidikan karakter menjadi semakin mendesak untuk diterapkan dalam lembaga pendidikan kita mengingat adanya berbagai macam perilaku yang non-edukatif kini telah menyerambah dalam lembaga pendidikan kita, seperti fenomena kekerasan tawuran antar pelajar, sikap apatisme, sikap individualiastis, gaya hidup hedonis dan materialistis.

Sebagai suatu lembaga pendidikan, SMA Santa Ursula Bumi Serpong Damai melihat pentingnya membangun karakter siswa baik melalui proses pembelajaran di kelas maupun pelatihan keterampilan (Majalah Basis, 2007: 33). Tujuannya agar siswa memiliki tidak hanya pengetahuan tetapi juga keterampilan yang mampu menumbuhkembangkan mereka secara optimal.

(20)

3

lingkungannya. Sebagai satu lembaga pendidikan, Santa Ursula BSD menjadi satu sarana bagi siswa untuk belajar dan berproses menjadi manusia yang berwatak.

Karakter suatu sekolah juga merupakan suatu hasil pembentukan dari proses yang terus berkesinambungan mulai dari visi pendiri sekolah tentang pembentukan sekolah tersebut. Proses pendidikan yang dilakukan pada dasarnya mengajarkan dua pengetahuan atau keterampilan, yaitu yang tergolong sebagai hard skill (ilmu pengetahuan) dan soft skill. Hard skill adalah pengetahuan atau keterampilan dalam bidang-bidang akademis yang bersifat objektif seperti matematikan, pengetahuan tentang bahasa, ilmu-ilmu pengetahuan alam dan juga ilmu-ilmu pengetahuan sosial. Sementara soft skill adalah pengetahuan atau ketrampilan dalam bidang-bidang non-akademik atau yang bersifat subjektif seperti kesenian, budi pekerti serta pendidikan nilai-nilai.

(21)

4

Tanpa pendidikan karakter, kita membiarkan campur aduknya kejernihan pemahaman akan nilai-nilai moral dan sifat ambigu yang menyertainya, yang pada gilirannya menghambat para siswa untik dapat mengambil keputusanyang memiliki landasan moral yang kuat. Pendidikan karakter akan memperluas wawasan para pelajar tentang nilai-nilai moral dan etis yang membuat mereka semakin mampu mengambil keputusan yang secara moral dapat dipertanggungjawabkan.

Dalam konteks ini, pendidikan karakter yang diterapkan dalam lembaga pendidikan kita bisa menjadi salah satu sarana pembudayaan dan pemanusiaan. Kita ingin menciptakan sebuah lingkungan hidup yang menghargai hidup manusia, menghargai keutuhan dan keunikan ciptaan, serta menghasilkan sosok pribadi yang memiliki kemampuan intelektual dan moral yang seimbang sehingga masyarakat akan menjadi semakin manusiawi.

(22)

5

keuntungan dengan memperoleh perilaku dan kebiasaan positif yang mampu meningkatkan rasa percaya dalam diri mereka, membuat hidup mereka lebih bahagia dan lebih produktif.”

Tugas-tugas guru menjadi lebih ringan dan lebih memberikan kepuasan ketika para siswa memiliki disiplin yang lebih besar di dalam kelas. Orang tua bergembira ketika anak-anak mereka belajar untuk menjadi lebih sopan, memiliki rasa hormat dan produktif. Para pengelola sekolah akan menyaksikan berbagai macam perbaikan dalam hal disiplin, kehadiran, beasiswa, pengenalan nilai-nilai moral bagi siswa maupun guru, demikian juga berkurangnya tindakan vandalisme di dalam sekolah.

(23)

6

Pendidikan diperlukan sebagai sebuah sarana yang mampu membentuk manusia secara utuh meliputi jasmani maupun rohani. Pembentukan kepribadian ini harus bisa ditata dengan baik, dan disesuaikan dengan jenjang pendidikan yang ada. Pada kenyataannya, pendidikan yang harusnya digunakan sebagai wahana penempaan karakter hanya mengedepankan transfer of learning dalam penyampaian materi-materi pelajaran dan masih mengesampingkan pembentukan sikap dan perilaku peserta didik yang menjadi unsur penting dalam pembentukan karakter peserta didik di Indonesia (Zubaedi, 2012: 87).

Untuk memiliki kepedulian sosial, sekolah katolik sebagai lembaga pendidikanperlumemiliki visi menumbuhkankembangkan kepedulian sosial terhadap sesama dan lingkungan demi mewujudkan semangat kekeluargaan dan persaudaraan. Sekolah Katolik perlu mengusahakan lulusan yang beriman mendalam, berkepribadian utuh, mampu merefleksikan imannya dan berkualitas untuk mengembangkan dan membentuk peserta didik menjadi pribadi yang bertanggung jawab dan berkualitas sehingga mampu memilih nilai-nilai hidup yang sesuai hati nurani. Sekolah Katolik perlu mendampingi peserta didik agar pada waktunya nanti mampu menjadi remaja mandiri, berkarier yang cakap, berdedikasi tinggi bagi kemajuan bangsa, negara, gereja berdasarkan visi dan nilai-nilai kristiani.

(24)

7

sekolah katolik perlu membantu remaja usia SMA melalui program kegiatan yang sesuai.

Berdasarkan pemikiran yang telah diuraikan diatas dan terdorong oleh keprihatinan pentingnya pendidikan yang bervisi sosial atau juga pentingnya kepedulian sosial dalam kehidupan jaman ini, maka penulis menyusunskripsi dengan judul Peranan Sekolah Katolik Dalam Mengembangkan Kepedulian Sosial Remaja usia Sekolah Menengah Atas.

B.Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah tersebut dapat diidentifikasikan masalah skripsi sebagai berikut :

1. Apakah yang dimaksud dengan kepedulian sosial?

2. Bagaimanakah perkembangan kepedulian sosial pada remaja? 3. Apakah yang dimaksud dengan sekolah katolik?

4. Bagaimanakah peranan sekolah katolik dalam mengembangkan kepedulian sosial remaja usia SMA?

5. Usaha apa yang dapat membantu mengembangkan kepedulian sosial remaja usia SMA?

C.Tujuan Penulisan

1. Mampu memahami tentang arti Sekolah Katolik dan kepedulian sosial.

(25)

8

3. Menunjukkan peranan Sekolah Katolik terhadap perkembangan kepedulian sosial remaja usia SMA.

4. Untuk memenuhi persyaratan mendapatkan gelar sarjana S1 Pendidikan Agama Katolik.

D.Manfaat Penulisan

1. Supaya penulis memiliki pengalaman, pengetahuan dan wawasan dalam penulisan ilmiah.

2. Memberikan sumbangan gagasan akan peranan Sekolah Katolik dalam mengembangkan kepedulian sosial remaja usia SMA.

3. Sebagai bahan refleksi dalam usaha menumbuhkembangkan kepedulian sosial remaja usia SMA untuk ambil bagian dalam mengurangi permasalahan yang terjadi di masyarakat sekitarnya.

4. Sebagai masukan bagi Gereja Katolik bahwa Sekolah Katolik memiliki peranan dalam mengembangkan kepedulian sosial siswi terhadap realitas kehidupan berbangsa dan bermasyarakat.

E.Metode Penulisan

(26)

9

sebagai acuan untuk memahami kepedulian sosial dan sekolah katolik. Dari buku dan dokumen tersebut akan disimpulkan adanya peranan Sekolah Katolik terhadap kepedulian sosial remaja usia SMA.

F. Sistematika Penulisan

Pada Bab pertama merupakan pendahuluan. Pada bagian ini, penulis memaparkan mengenai latar belakang permasalahan, rumusan permasalahan, tujuan penulisan, manfaat penulisan, metode penulisan, dan sistematika penulisan.

Pada Bab kedua, penulis menguraikan kepedulian sosial remaja usia SMA dan upaya pengembangannya meliputi: Gambaran Umum Kehidupan Remaja Usia SMA, Gambaran Umum Kehidupan Sosial Remaja Usia SMA dan Masalah yang Melingkupi, Pengembangan Kepedulian Sosial bagi Remaja Usia SMA.

Pada Bab ketiga, penulis menguraikan tentang Panggilan Gereja Dalam Dunia Pendidikan, Pendidikan di Sekolah Sebagai Usaha Pengembangan Manusia Yang Utuh Sekolah Katolik Sebagai Sarana Pengembangan Kepedulian Sosial, Usaha Sekolah Katolik Mengembangkan Kepedulian Sosial Siswa SMA.

Pada Bab empat, penulisan menguraikan pengembangan langkah-langkah untuk menyelenggarakan program live in untuk mengembangkan kepedulian sosial remaja usia SMA meliputi: pengertian, tujuan, dan langkah-langkah yang perlu untuk dibuat.

(27)

BAB II

KEPEDULIAN SOSIAL REMAJA USIA SMA

DAN UPAYA PENGEMBANGANNYA

A. Gambaran Umum Remaja Usia SMA

1. Pengertian Remaja Usia SMA

Istilah remaja berasal dari kata dalam bahasa Latin adolescere yang berarti “tumbuh” atau “tumbuh menjadi dewasa”. Istilah adolescence, seperti yang

dipergunakan saat ini, mempunyai arti yang lebih luas, mencakup kematangan mental, emosional, sosial dan fisik. Dalam hal ini menurut Jean Piaget, dalam Elizabeth Hurlock (1980: 206) mengatakan :

Secara psikologis, masa remaja adalah usia dimana individu berintegrasi dengan masyarakat dewasa, usia dimana anak tidak lagi merasa di bawah tingkat orang-orang yang lebih tua melainkan berada dalam tingkatan yang sama, sekurang-kurangnya dalam masalah hak....Integrasi dalam masyarakat (dewasa) mempunyai banyak aspek efektif kurang lebih berhubungan dengan masa puber. Termasuk juga perubahan intelektual yang mencolok. Transformasi intelektual yang khas dari cara berpikir remaja ini memungkinkannya untuk mencapai integrasi dalam hubungan sosial orang dewasa, yang kenyataannya merupakan ciri khas yang umum dari periode perkembangan ini.

(28)

Sarlito W. Sarwono (1991: 9) mengutip pernyataan WHO (World Health Organization) pada tahun 1974, tentang definisi remaja yang bersifat konseptual. Secara biologis remaja adalah suatu masa dimana individu berkembang dari saat pertama kali ia menunjukkan tanda-tanda seksual sekundernya sampai saat ia mencapai kematangan seksual. Usia 11 tahun adalah usia dimana pada umumnya tanda-tanda seksual sekunder mulai nampak. Sementara itu, secara psikologis individu mengalami perkembangan psikologi dan pola identifikasi dari kanak-kanak menjadi dewasa. Pada usia tersebut mulai ada tanda-tanda penyempurnaan perkembangan jiwa seperti tercapainya identitas diri tercapainya fase genital dari perkembangan psikoseksual dan tercapainya puncak perkembangan konitif maupun moral.

Menurut Sarlito W. Sarwono (1991: 14-15) mendefinisikan remaja untuk masyarakat Indonesia sulit karena Indonesia terdiri dari berbagai macam suku, adat dan tingkatan sosial-ekonomi maupun pendidikan. Tidak ada profil remaja Indonesia yang seragam dan berlaku secara nasional. Walaupun demikian, sebagai pedoman umum kita dapat menggunakan batasan usia 11-24 tahun dan belum menikah untuk remaja Indonesia dengan pertimbangan antara lain secara fisik usia 11 tahun sudah dianggap akil balik dan pada umumnya tanda-tanda seksual sekunder mulai nampak. Dengan begitu, secara sosial, di banyak masyarakat di Indonesia, mereka tidak lagi diperlakukan sebagai anak-anak.

(29)

orangtua, belum mempunyai hak-hak penuh sebagai orang dewasa. Dengan kata lain, orang-orang yang sampai batas usia 24 tahun belum dapat memenuhi persyaratan kedewasaan sosial maupun psikologis, masih dapat digolongkan sebagai remaja. Di Indonesia sendiri, individu yang duduk di bangku SMA adalah mereka yang rata-rata berusia 15-17 tahun, sehingga dapat disimpulkan bahwa remaja usia SMA adalah individu yang dalam usia 15-17 tahun yang sedang bertumbuh menjadi dewasa dan dalam masa berintegrasi yang mengarah pada hubungan sosial dengan masyarakat.

2. Tahap – tahap Perkembangan Remaja

Dalam proses penyesuaian diri menuju kedewasaan, ada tiga tahap perkembangan remaja (Sarwono, 2010: 110-112), yakni remaja awal (early adolescent), remaja madya (middle adolescent) dan remaja akhir (late adolescent). Tahap-tahap tersebut dapat diuraikan sebagai berikut :

a. Remaja awal (early adolescent)

(30)

b. Remaja madya (middle adolescent)

Sementara dalam tahap remaja madya (middle adolescent) remaja sangat membutuhkan kawan-kawan. Ia senang kalau banyak teman yang mengakuinya. Ada kecenderungan narsistis yaitu mencintai diri sendiri, dengan menyukai teman-teman yang sama dengan dirinya, selain itu, ia berada dalam kondisi kebingungan karena tidak tahu memilih yang mana peka atau tidak peduli, ramai-ramai atau sendiri, optimistis atau pesimistis, idealis atau materialis, dan sebagainya. Remaja usia SMA berada dalam tahap ini.

c. Remaja akhir (late adolescent).

Pada tahap remaja akhir (late adolescent), remaja mengalami masa konsolidasi menuju periode dewasa dan ditandai dengan pencapaian lima hal, yaitu: Minat yang makin mantap terhadap fungsi-fungsi intelek, egonya mencari kesempatan untuk bersatu dengan orang-orang lain dan dalam pengalaman- pengalaman baru, terbentuk identitas seksual yang tidak akan berubah lagi, egosentrisme (terlalu memusatkan perhatian pada diri sendiri) diganti dengan keseimbangan antara kepentingan diri sendiri dengan orang lain dan tumbuh ”dinding” yang memisahkan diri pribadinya (private self) dan masyarakat umum.

3. Tugas Perkembangan Remaja Usia SMA

Menurut Robert Havighrust dalam Adam & Gullota (1983: 86) periode yang

beragam dalam kehidupan individu menuntut untuk menuntaskan tugas-tugas

(31)

kematangan, persekolahan, pekerjaan, pengalaman beragama, dan hal lainnya sebagai

prasyarat untuk pemenuhan dan kebahagiaan hidupnya. Selanjutnya Havighrust

mengartikan tugas-tugas perkembangan itu sebagai “A developmental ta sk is a task

which arises at or about a certain period in the life of the individual, successful

achievement of which leads to his happiness and to success with later task, while

failure leads to unhappiness in the individual, disapproval by society and difficulty

with later task.”

Maksudnya, bahwa tugas perkembangan itu merupakan suatu tugas yang

muncul pada periode tertentu dalam rentang kehidupan individu, yang apabila tugas

itu dapat berhasil dituntaskan akan membawa kebahagiaan dan kesuksesan dalam

menuntaskan tugas-tugas berikutnya. Sementara apabila gagal, maka akan

menyebabkan ketidakbahagiaan pada diri individu yang bersangkutan, menimbulkan

penolakan masyarakat, dan kesulitan-kesulitan dalam menuntaskan tugas-tugas

berikutnya.

Tugas-tugas perkembangan ini berkaitan dengan sikap, perilaku, atau

keterampilan yang seyogianya dimiliki oleh individu, sesuai dengan usia atau fase

perkembangannya. Elizabeth Hurlock (1980: 209) menyebut tugas-tugas

perkembangan ini sebagai social expectations. Dalam arti, setiap kelompok budaya

mengharapkan anggotanya menguasai keterampilan tertentu yang penting dan

memperoleh pola perilaku yang disetujui bagi berbagai usia sepanjang rentang

(32)

Setiap individu tumbuh dan berkembang selama perjalanan kehidupannya

melalui beberapa periode atau fase-fase perkembangan. Setiap fase perkembangan

mempunyai serangkaian tugas perkembangan yang harus diselesaikan dengan baik

oleh setiap individu. Sebab, kegagalan menyelesaikan tugas-tugas perkembangan

pada fase tertentu akan memperlancar pelaksanaan tugas-tugas perkembangan pada

fase berikutnya.

4. Aspek – aspek Perkembangan Remaja Usia SMA a. Aspek fisik

Masa remaja adalah masa seorang anak mengalami pubertas. Masa pubertas ini akan sangat tampak bermula dari pada perubahan fisik yang relatif cepat, pertambahan berat tinggi badan yang dramatis, perubahan bentuk tubuh, dan perkembangan karakteristik seksual seperti pembesaran buah dada, perkembangan pinggang dan kumis, dan dalamnya suara. Anak usia remaja perempuan maupun laki-laki akan sama-sama mengalami masa ini. Pada perkembangan primer mereka yang meliputi kematangan seksual, mereka mengalami ketertarikan pada lawan jenis karena organ reproduksinya yang sedang tumbuh (Gunarsa, 1994: 16).

Dalam membahas aspek fisik, Hurlock (1980: 207) mengutip Tanner yang mengatakan “Perkembangan fisik yang cepat dan penting disertai dengan cepatnya

(33)

b. Aspek emosi

Secara tradisional masa remaja dianggap sebagai periode “storm and stress” atau “badai dan tekanan”, suatu masa dimana ketegangan emosi meninggi sebagai akibat dari perubahan fisik dan kelenjar. Hurlock (1980: 212) mengungkapkan meningginya emosi terutama karena remaja berada di bawah tekanan sosial dan menghadapi kondisi baru, sedangkan selama masa kanak-kanak ia kurang mempersiapkan diri untuk menghadapi keadaan-keadaan itu.

Tidak semua remaja mengalami masa badai dan tekanan. Namun benar juga bila sebagian besar remaja mengalami ketidakstabilan dari waktu ke waktu sebagai konsekuensi dari usaha penyesuaian diri pada pola perilaku baru dan harapan sosial yang baru. Misalnya masalah yang berhubungan dengan percintaan merupakan masalah yang pelik pada periode ini. bila kisah cinta berjalan lancar, remaja merasa bahagia, tetapi mereka menjadi sedih bilamana percintaan kurang lancar. Meskipun emosi remaja seringkali sangat kuat, tidak terkendali dan tampaknya irasional, tetapi Hurlock (1980: 213) mengatakan pada umumnya dari tahun ke tahun terjadi perbaikan perilaku emosional.

c. Aspek sosial

Dari aspek sosial, remaja pada umumnya mengalami „krisis identitas.‟ Menurut

(34)

masyarakat? Apakah ia seorang anak atau seorang dewasa?” Hal ini menimbulkan masalah identitas-ego pada remaja.

Gejolak emosi remaja dan masalah remaja lain pada umumnya disebabkan antara lain oleh adanya konflik peran sosial. Di satu pihak ia sudah ingin mandiri sebagai orang dewasa, di lain pihak ia masih harus terus mengikuti kemauan orang tua. Dalam hal ini Sarlito W. Sarwono (1991: 86) mengungkapkan bahwa konflik peran sosial yang dapat menimbulkan gejolak emosi dan kesulitan-kesulitan lain pada masa remaja dapat dikurangi dengan memberi latihan-latihan agar anak dapat mandiri sedini mungkin. Dengan kemandiriannya anak dapat memilih jalannya sendiri dan ia akan berkembang lebih mantab. Oleh karena ia tahu dengan tepat saat-saat yang berbahaya dimana ia harus kembali berkonsultasi dengan orangtuanya atau dengan orang dewasa lain yang lebih tahu dari dirinya sendiri.

d. Aspek Inteligensi

Sarlito W. Sarwono (1991: 76) mengutip pendapat David Wechsler yang mengartikan inteligensi sebagai “keseluruhan kemampuan individu untuk berpikir

(35)

Pada usia remaja IQ dihitung dengan cara memberikan seperangkat pertanyaan yang terdiri dari berbagai soal (hitungan, kata-kata, gambar-gambar, dan lain-lain) dan menghitung berapa banyaknya pertanyaan yang dijawab dengan benar dan membandingkannya dengan sebuah daftar dan didapatlah nilai IQ yang bersangkutan.

Gunarsa (1982: 146-161) mengutip teori Piaget mengenai perkembangan kognitif yang mengatakan “Dalam usia remaja dan seterusnya seseorang sudah mampu berpikir abstrak dan hipotetis. Pada tahap ini ia bisa memperkirakan apa yang mungkin terjadi.” Tahap ini disebut juga sebagai masa formal-operasional. Dengan berpikir abstrak, remaja mulai memproyeksikan dirinya kepada nilai-nilai kehidupan yang bersifat universal. Dengan nilai tersebut, remaja berjuang dengan pengalaman hidupnya agar mencapai internalisasi diri atau penyatuan nilai tersebut dengan dirinya.

e. Aspek Moral dan Religi

(36)

Menurut Sarlito W. Sarwono (1991: 91), religi adalah kepercayaan terhadap kekuasaan suatu zat yang mengatur alam semesta ini yang juga adalah sebagian dari moral, sebab dalam moral sebenarnya diatur segala perbuatan yang dinilai baik sehingga suatu perbuatan yang dinilai tidak baik perlu dihindari. Agama, oleh karena mengatur juga tingkah laku baik-buruk, secara psikologis termasuk dalam moral. Untuk remaja, moral merupakan suatu kebutuhan tersendiri oleh karena mereka sedang dalam keadaan membutuhkan pedoman atau petunjuk dalam rangka mencari jalannya sendiri. pedoman atau petunjuk ini dibutuhkan juga untuk menumbuhkan identitas dirinya, menuju kepribadian matang dengan “unifying philosophy of life” dan menghindarkan diri dari konflik-konflik peran yang selalu terjadi dalam masa transisi ini.

(37)

tentang Tuhan dan eksistensi. Perkembangan pemahaman remaja terhadap keyakinan agama ini sangat dipengaruhi oleh perkembangan kognitifnya.

B.Gambaran Umum Kehidupan Sosial Remaja Usia SMA dan Masalah Yang

Melingkupi

1. Kehidupan Sosial Remaja Usia SMA

Kehidupan sosial remaja akan nampak dalam interaksi di keluarga, sekolah dan masyarakat Sarlito W. Sarwono (1991: 112). Setiap interaksi akan mempengaruhi remaja usia SMA seperti diuraikan di bawah ini :

a. Kehidupan sosial remaja dalam keluarga

Kiranya tidak dapat dielakkan bahwa keluarga merupakan lingkungan primer hampir setiap individu. Menurut sebagai lingkungan primer, hubungan antar manusia yang paling intensif dan paling awal terjadi dalam keluarga. Sebelum seorang anak mengenal lingkungan yang lebih luas, ia terlebih dahulu mengenal lingkungan keluarganya. Karena itu sebelum ia mengenal norma-norma dan nilai-nilai dari masyarakat umum, pertama kali ia menyerap norma-norma dan nilai-nilai yang berlaku dalam keluarganya untuk dijadikan bagian dari kepribadiannya.

(38)

tuanya. Bukan semata-mata karena faktor bawaan atau keturunan, akan tetapi karena proses pendidikan, proses sosialisasi dan proses identifikasi.

b. Kehidupan sosial remaja di sekolah

Bagi remaja usia SMA, sekolah adalah lingkungan pendidikan sekunder. Lingkungan yang hampir setiap hari dimasukinya selain lingkungan rumah adalah lingkungan sekolah. Remaja usia SMA umumnya menghabiskan waktu sekitar 7 jam sehari di sekolahnya. Ini berarti bahwa hampir sepertiga dari waktunya setiap hari dilewatkan remaja di sekolah. Tidak mengherankan kalau pengaruh sekolah terhadap perkembangan jiwa remaja cukup besar (Sarwono, 1991: 123-125).

Pengaruh sekolah itu tentunya diharapkan positif terhadap perkembangan jiwa remaja, karena sekolah adalah lembaga pendidikan. Sebagai lembaga pendidikan, sebagaimana halnya dengan keluarga, sekolah juga mengajarkan nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat di samping mengajarkan berbagai keterampilan dan kepandaian kepada para siswanya.

Pelbagai kegiatan di sekolah diikuti remaja dan dengan meluasnya kesempatan untuk melibatkan diri dalam pelbagai kegiatan sosial, maka wawasan sosial semakin membaik pada remaja. Semakin banyak partisipasi sosial, maka semakin besar kompetensi sosial remaja. Dengan demikian remaja memiliki kepercayaan diri yang diungkapkan melalui sikap yang tenang dan seimbang dalam situasi sosial.

(39)

bersifat timbal balik dan biasanya diantara sesama anggota kelompok ada saling pengertian, saling membantu, saling percaya dan saling menghargai serta menerima satu sama lain.

c. Kehidupan sosial remaja usia SMA dengan teman sebaya

Selama masa pertengahan dan akhir, biasanya remaja lebih banyak meluangkan waktunya dalam berinteraksi dengan teman sebaya. Dalam suatu investigasi, diketahui bahwa waktu yang digunakan untuk remaja-remaja berinteraksi dengan teman sebayanya sebanyak 40 persen per tahun.

Tahap masa remaja akhir (late adolescent) sering disebut sebagai ”usia berkelompok” (gang), karena pada masa ini ditandai dengan adanya minat terhadap aktivitas teman-teman dan meningkatnya keinginan yang kuat untuk diterima sebagai anggota kelompok di sekolahnya. Ia merasa tidak puas bila tidak bersama teman-temannya. Remaja tidak lagi puas bermain sendiri di rumah atau dengan saudara kandung atau melakukan kegiatan dengan anggota keluarga. Remaja ingin bermain bersama teman-teman sekolahnya dan akan merasa kesepian serta tidak puas bila tidak bersama teman-temannya tersebut.

(40)

terdiri dari teman yang sama jenis kelaminya daripada diantara remaja-remaja yang berbeda jenis kelaminnya.

Pada tahap remaja akhir (late adolescent) mereka telah menjalin persahabatan dengan teman sebaya dan mulai memasuki usia gang, yaitu usaha yang pada saat itu kesadaran sosial berkembang pesat dan telah menjadi pribadi sosial yang merupakan salah salah satu tugas perkembangan yang utama dalam periode ini.

d. Kehidupan sosial remaja di masyarakat

Seorang anak remaja tidak hanya hidup di dalam keluarga, sekolah atau diantara teman sebayanya, mau tidak mau seorang remaja secara otomatis merupakan bagian dari masyarakat. Remaja harus belajar bagaimana terlibat dalam masyarakat, berinteraksi dengan kegiatan-kegiatan kemasyarakatan. Dalam interaksi dengan masyarakat, seorang remaja harus belajar beradaptasi dengan mengakui dan menghormati terhadap hak-hak orang lain, memelihara jalinan persahabatan dengan orang lain, bersikap simpati dan altruis terhadap kesejahteraan orang lain dan bersikap respek terhadap nilai-nilai, hukum, tradisi, dan kebijakan-kebijakan masyarakat (Schneiders, 1964: 452-460).

2. Masalah-masalah yang dihadapi remaja dalam kehidupan sosial

(41)

berupa “konflik” yang ada beberapa macam, yaitu masalah yang dihadapi di dalam keluarga, sekolah, teman sebaya dan masyarakat. Masalah-masalah tersebut dapat dijabarkan seperti berikut ini :

a. Masalah-masalah yang dihadapi remaja dalam keluarga

Meluangkan waktu sejenak untuk berkumpul bersama keluarga merupakan hal kecil yang mempengaruhi perkembangan remaja diluar karena pada saat seperti inilah masing-masing anggota keluarga menceritakan masalah kepada orang tua atau orang yang lebih tua di dalam keluarga tersebut demi mendapat sebuah solusi yang benar .

Remaja melakukan hal negatif adalah karena jarangnya meluangkan waktu untuk berkumpul bersama keluarga dengan alasan orang tua bekerja dan sibuk dengan urusan lain, jika didiamkan begitu saja remaja tidak mendapat teman untuk menceritakan masalah yang dihadapinya sehingga remaja mencari jalan keluarnya sendiri yang menurutnya benar dan tak jarang dari keputusan itulah dapat mengorbankan orang lain.

b. Masalah-masalah yang dihadapi remaja dalam sekolah

(42)

ujian berlangsung. Selain itu, remaja juga mengalami masalah dalam perilakunya di sekolah, yaitu perilaku bermasalah (problem behavior), perilaku menyimpang (behaviour disorder), penyesuaian diri yang salah (behaviour maladjustment), dan perilaku tidak dapat membedakan benar-salah (conduct disorder). Masalah perilaku remaja tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:

1) Perilaku Bermasalah (problem behavior)

Masalah perilaku yang dialami remaja di sekolah dapat dikatakan masih dalam kategori wajar jika tidak merugikan dirinya sendiri dan orang lain. Dampak perilaku bermasalah yang dilakukan remaja akan menghambat dirinya dalam proses sosialisasinya dengan remaja lain, dengan guru, dan dengan masyarakat. Perilaku malu dalam mengikuti berbagai aktivitas yang digelar sekolah misalnya, termasuk dalam kategori perilaku bermasalah yang menyebabkan seorang remaja mengalami kekurangan pengalaman. Jadi, problem behaviour akan merugikan secara tidak langsung pada seorang remaja di sekolah akibat perilakunya sendiri.

2) Perilaku menyimpang (behaviour disorder)

(43)

mengarah pada tindakan kejahatan. Penyebab behaviour disorder lebih banyak karena persoalan psikologis yang selalu menghantui dirinya.

3) Penyesuaian diri yang salah (behaviour maladjustment)

Perilaku yang tidak sesuai yang dilakukan remaja biasanya didorong oleh keinginan mencari jalan pintas dalam menyelesaikan sesuatu tanpa mendefinisikan secara cermat akibatnya. Perilaku menyontek, bolos, dan melanggar peraturan sekolah merupakan contoh penyesuaian diri yang salah pada remaja di sekolah menengah (SMP/SMA).

4) Perilaku tidak dapat membedakan benar-salah (conduct disorder)

(44)

oppositional deviant disorder yaitu perilaku oposisi yang ditunjukkan remaja yang menjurus ke unsur permusuhan yang akan merugikan orang lain.

c. Masalah-masalah yang dihadapi remaja dengan teman sebaya

Keanggotaan kelompok dapat menimbulkan akibat yang kurang baik pada remaja-remaja, diantaranya adalah:

1) Menjadi anggota geng seringkali menimbulkan pertentangan dengan orang tua dan penolakan terhadap standar orang tua, sehingga akan memperlemah ikatan emosional antara kedua pihak.

2) Permusuhan antara remaja laki-laki dan remaja perempuan semakin meluas. Hal ini disebabkan karena remaja perempuan mencapai masa puber lebih cepat dibandingkan remaja laki-laki. Sehingga remaja perempuan akan tampil lebih dewasa dibanding remaja laki-laki.

3) Kecenderungan remaja yang lebih tua untuk mengembangkan prasangka terhadap remaja yang berbeda sehingga sering terjadi prasangka dan diskriminasi berdasarkan pada perbedaan rasial, agama dan sosial ekonomi.

(45)

d. Masalah remaja dalam kehidupan sosial di masyarakat

Masalah sosial dalam perilaku menyimpang dalam lingkungan masyarakat diantaranya adalah kenakalan remaja. Dalam perspektif perilaku menyimpang masalah sosial terjadi karena terdapat penyimpangan perilaku dari berbagai peraturan sosial ataupun nilai dan norma sosial yang berlaku. Perilaku menyimpang dapat dianggap sebagai sumber masalah karena dapat membahayakan dan merusak sistem sosial yang berlaku di dalam lingkungan masyarakat. Perilaku menyimpang dapat dibedakan menjadi dua macam diantaranya ada perilaku menyimpang yang tidak disengaja dan yang disengaja. Perilaku menyimpang yang tidak disengaja karena pelaku kurang memahami peraturan yang berlaku. Sedangkan untuk perilaku menyimpang yang disengaja, bukan karena pelaku tidak mengetahui aturan, tetapi memang sengaja dilakukannya. Hal tersebut disebabkan karena pada dasarnya setiap manusia pasti mengalami dorongan untuk melakukan pelanggaran pada situasi tertentu, tetapi pada kebanyakan orang tidak menjadi kenyataan yang berwujud penyimpangan, sebab orang dianggap normal biasanya dapat menahan diri dari dorongan-dorongan untuk menyimpang.

(46)

pengingkaran, dukungan, kasih sayang dan perasaan aman kepada remaja. Akan tetapi mereka juga punya keinginan untuk mandiri, untuk berotonomi.

C.Pengembangan Kepedulian Sosial bagi Remaja Usia SMA

1. Pengertian Kepedulian Sosial

Kepedulian sosial adalah perasaan bertanggung jawab atas kesulitan yang dihadapi oleh orang lain di mana seseorang terdorong untuk melakukan sesuatu untuk mengatasinya. Kepedulian sosial dalam kehidupan bermasyarakat lebih kental diartikan sebagai perilaku baik seseorang terhadap orang lain di sekitarnya. Kepedulian sosial dimulai dari kemauan “memberi” bukan “menerima” (Waseso, 1986: 84).

Kepedulian sosial juga berarti minat atau ketertarikan kita untuk membantu orang lain. Lingkungan terdekat kita yang berpengaruh besar dalam menentukan tingkat kepedulian sosial kita. Lingkungan yang dimaksud di sini adalah keluarga, teman-teman, dan lingkungan tempat bertumbuh besar. Karena merekalah kita mendapat nilai-nilai tentang kepedulian sosial. Nilai-nilai yang tertanam itulah yang nanti akan menjadi suara hati kita untuk selalu membantu dan menjaga sesama.

(47)

sosial tempat seseorang berada. Kesadaran kritis ini dibedakan dari kesadaran naif yang hanya tunduk, pasif dan sekedar menyesuaikan diri dengan segala keadaan yang dihadapinya.

Kesadaran kritis mampu membuat orang memahami dunianya dengan baik, dunia yang bersama dengannya manusia hidup. Maka pendidikan merupakan usaha untuk menciptakan kesadaran kritis dalam kepribadian seseorang. Melalui kesadaran kritisnya seseorang mampu memiliki kepercayaan terhadap dirinya sendiri dan terhadap lingkungannya.

2. Aspek-aspek Pengembangan Kepedulian Sosial a. Aspek Kesadaran

Kesadaran diri mempengaruhi semua aspek kehidupan. Melalui kesadaran diri, seseorang akan mampu mengelola emosional diri sendiri untuk kebahagiaan, kesehatan, keluarga, pekerjaan, persahabatan, karir, uang, kesejahteraan, dan mengelola hubungan dengan setiap orang yang berada di luar inti kehidupan.

(48)

Mereka sangat mencintai kehidupan dan kemanusiaan. Oleh karena itu, nilai-nilai pribadi (personal core values) mereka selalu mengacu kepada kebersatuan dalam keragaman dan perbedaan melalui perilaku toleransi dan kemanusiaan yang sangat tinggi.

Menurut Komensky dalam Doni Koesuma (2007: 368), “anak didik semestinya diajarkan seluruh keutamaan tanpa mengecualikannya. Ini adalah prinsip dasar pendidikan karakter, sebab sekolah merupakan sebuah lembaga yang dapat menjaga kehidupan nilai-nilai sebuah masyarakat.” Oleh karena itu, bukan sembarang cara bertindak, pola perilaku yang diajarkan di dalam sekolah, melainkan nilai-nilai yang semakin membawa proses membudaya dan manusialah yang boleh masuk di dalam penanaman nilai di sekolah.

Ada beberapa kriteria nilai yang bisa menjadi bagian dalam kerangka pendidikan karakter yang dilaksanakan di sekolah. Nilai-nilai ini diambil sebagai garis besarnya saja, sifatnya terbuka, masih bisa ditambahkan nilai-nilai lain yang relevan dengan situasi kelembagaan pendidikan tempat setiap individu bekerja (Doni Koesoema, 2007: 205). Nilai-nilai itu antara lain nilai keutamaan, nilai kerja dan nilai kemanusiaan. Secara lebih lengkap dapat dijelaskan seperti di bawah ini :

1) Nilai Keutamaan

(49)

kekuatan fisik dan moral. Kekuatan fisik disini berarti ekselensi, kekuatan, keuletan dan kemurahan hati. Sementara, kekuatan moral berarti berani mengambil resiko atas pilihan hidup, konsisten dan setia.

Sejarah pendidikan di negeri ini, sejak zaman kolonial, menempatkan nilai keutamaan, seperti kesatuan dalam hidup bersama sebagai sebuah bangsa sebagai nilai utama yang diperjuangkan. Para pahlawan bangsa dan pendiri bangsa ini lebih mengutamakan nilai-nilai yang berguna bagi kepentingan bangsa daripada kepentingan kelompoknya sendiri. Bahkan, kalu perlu mengorbankan dirinya demi kemerdekaan bangsa. Itulah sebabnya, nilai-nilai seperti kepahlawanan, jiwa pengorbanan, mementingkan kesatuan bangsa daripada kepentingan kelompok, merupakan nilai keutamaan yang memiliki akar tradisi sejarah yang kuat dalam perjalanan bangsa kita.

2) Nilai Kerja

(50)

3) Nilai-nilai kemanusiaan

Apa yang membuat manusia sungguh-sungguh manusiawi itu merupakan bagian dari keprihatinan setiap orang. Menghayati nilai-nilai kemanusiaan mengandaikan sikap keterbukaan terhadap kebudayaan lain, termasuk di sini kultur agama dan keyakinan yang berbeda. Yang menjadi nilai bukanlah kepentingan kelompokku sendiri, melainkan kepentingan yang menjadi kepentingan setiap orang, seperti keadilan, persamaan di depan hukum, kebbeasan, dll. Nilai-nilai kemanusiaan ini menjadi sangat relevan diterapkan dalam pendidikan karakter karena masyarakat kita telah menjadi masyarakat global.

b. Aspek Kehendak

Kehendak merupakan kekuatan yang ada dalam diri seseorang untuk menggerakkannya melakukan sesuatu sesuai dengan nilai-nilai yang diyakini benar. Sagala (2013: 132-133) merumuskan kehendak sebagai kekuatan dari dalam diri untuk memilih dan merealisasikan suatu tujuan yang merupakan pilihan antara berbagai tujuan yang bertentangan. Dalam kepedulian sosial, kehendak juga berkerja sebagai penggerak yang berperan mengaktifkan keinginan-keinginan untuk melakukan sesuatu sesuai dengan hasil yang ingin diperoleh dari aspek kesadaran.

(51)

membutuhkan hati atau perasaan untuk mengatur tepat atau tidaknya hal yang akan dilakukan.

Kehendak yang dikolaborasi dengan kemampuan otak dan bekerjasama dengan perasaan (suara hati) akan membantu manusia untuk menentukan jalan mana yang akan diambil, pilihan hidup seperti apa yang akan ditempuh. Begitu juga dengan kepedulian sosial. Dengan kehendak yang menuntun otak dan berkolaborasi dengan hati untuk kearah peduli terhadap kehidupan sosial, maka seseorang itu dapat menjadi seorang yang berkepedulian sosial tinggi.

c. Aspek Keterlibatan

(52)

kewajiban masyarakat demi terciptanya tatanan masyarakat sosial yang lebih baik, ikut kegiatan kerja bakti di lingkungan masyarakat tempat tinggal, dll.

Dengan ikut terlibat secara aktif dalam kegiatan yang ada di lingkungannya kaum muda dapat menumbuhkan rasa kesadaran yang tinggi tentang keanekaragaman masyarakat yang majemuk, sehingga kaum muda kristiani dapat menghargai dan menghormati perbedaan agama dalam masyarakat yang majemuk. Kita mengetahui bahwa di dalam masyarakat majemuk tidak ada satu sistem sosial untuk semua dan juga tidak ada satu agama saja. Dengan demikian kaum muda dapat menyadari pentingnya keterlibatan mereka di lingkungan sosial dalam mengatasi permasalahan sosial.

3. Peranan Keluarga, Sekolah dan Masyarakat dalam Pengembangan Kepedulian Sosial Remaja Usia SMA.

Kepedulian sosial seorang remaja memang tidak terbentuk baik secara otomatis saja, tetapi membutuhkan sinergi peran keluarga, sekolah dan masyarakat di mana remaja tersebut tumbuh dan berkembang (Sarwono, 1991: 107). Peranan dari keluarga, sekolah dan masyarakat tersebut adalah sebagai berikut :

a. Peranan Keluarga

(53)

mengembangkan kepribadian anak lebih banyak ditentukan oleh keluarga. Pola pergaulan dan bagaimana norma dalam menetapkan diri terhadap lingkungan yang lebih luas ditetapkan dan diarahkan. keluarga memiliki peranan untuk Kematangan sosial pada diri anak sangat dipengaruhi oleh peran orang tua dalam membimbing dan mengenalkan mengenai kehidupan sosial, baik norma-norma kehidupan bermasyarakat atau pun fenomina lain seputar lingkungan sekitar. Bimbingan orang tua sangat penting bagi anak, karena anak belum bisa mengenal sekitar dan tidak memiliki pengalaman banyak untuk mencapai kematangan sosialnya sendiri.

Keluarga menempati posisi yang sentral dalam masyarakat, berkaitan dengan fungsinya sebagai pendidik yang utama dan terutama. Dalam Kompendium Ajaran Sosial Gereja dinyatakan bahwa “Sebagai satu persekutuan alamiah di mana sosialita manusia dialami, keluarga memainkan peran yang sangat khas dan tak tergantikan bagi kesejahteraan seluruh masyarakat” (ASG, 2009: 149).

Sebab kebersamaan dalam keluarga sebenarnya lahir dari kebersamaan antar pribadi : “‟Kesamaan‟ berkaitan dengan relasi personal antara „Aku‟ dan „Engkau‟. Namun „kebersamaan‟ melampaui skema ini dan terarah kepada „persekutuan‟, satu „kekitaan‟. Karena itu, keluarga sebagai satu kebersamaan antarpribadi merupakan „persekutuan‟manusia pertama.

(54)

pribadi-pribadi dan keberfungsian yang baik dari masyarakat terkait erat dengan “kesejahteraan persekutuan perkawinan dan keluarga”. Tanpa keluarga-keluarga yang kuat dalam kebersamaan dan berkanjang dalam komitmennya, maka bangsa-bangsa akan kehilangan kekuatannya. Sejak tahun-tahun awal keluarga telah memberi andil untuk membatinkan nilai-nilai moral seperti juga mewariskan pusaka spiritual dan kultural dari satu jemaat beragama dan satu bangsa. Di dalam keluarga, seorang anak manusia belajar menerima tanggungjawab sosial dan bersikap solider.

Sebagai unsur yang terpenting dan utama, keluarga mendapatkan perhatian khusus oleh Gereja Katolik dalam Kompendium Ajaran Sosial Gereja :

Keluarga harus mendapat prioritas dibandingkan dengan masyarakat dan negara. Sekurang-kurangnya dalam segi penerusan keturunan keluarga merupakan prasyarat bagi keberadaan masyarakat dan negara. Fungsi-fungsi lain yang dilaksanakan demi kebaikan para anggotanya, merupakan hal-hal yang lebih penting dan bernilai dibandingkan dengan fungsi-fungsi yang dilaksanakan oleh masyarakat dan negara. Sebagai pemilik hak-hak yang tidak boleh terlecehkan, keluarga memperoleh legitimasinya dari kodrat manusia dan bukan dari pengakuan oleh pihak negara. Sebab itu, keluarga tidak ada untuk masyarakat dan negara, melainkan masyarakat dan negara ada untuk keluarga (ASG, 2009: 168).

(55)

mempunyai kewajiban untuk mendukung keluarga dengan cara menyediakan sarana-sarana bantuan yang diperlukannya untuk dapat memenuhi kewajibannya secara benar.

Keluarga pun memiliki tugas mendidik kaum muda seperti tertuang dalam Kompendium ASG (2009: 168) bahwa “melalui pendidikan keluarga membentuk manusia dan mengantarnya pada kepenuhan martabatnya, dalam seluruh matra, termasuk matra sosial.

b. Peranan sekolah

Doni Koesoema (2007: 155-156) mengungkapkan bahwa setiap sekolah harus memiliki visi yang sarat dengan pendidikan karakter. Visi pendidikan karakter yang ditetapkan oleh sekolah merupakan cita-cita yang akan diarah melalui kinerja lembaga pendidikan. Tanpa visi yang diungkapkan melalui pernyataan yang jelas dan dapat dipahami oleh semua pihak yang terlibat di dalam lembaga pendidikan tersebut, setiap usaha pengembangan pendidikan karakter akan menjadi sia-sia. Oleh karena itu, setiap sekolah semestinya menentukan visi pendidikan yang akan menjadi dasar acuan bagi setiap kerja, pembuatan program dan pendekatan pendidikan karakter yang dilakukan di dalam sekolah.

(56)

Di Indonesia, banyak sekolah swasta yang telah dikelola secara profesional memiliki visi ini. Kadang visi ini ditentukan melalui latar belakang sejarah pendirian lembaga pendidikan tersebut. Oleh karena itu bisa jadi seorang guru ketika sudah masuk dalam lembaga pendidikan tertentu telah menerima tradisi dari para pendahulunya tentang visi lembaga pendidikan tempat ia bekerja. Meskipun visi itu seringkali telah jadi, dan tidak ada partisipasi langsung dari guru dan individu yang terlibat dalam lembaga pendidikan tersebut, visi tersebut tetap dapat menjadi roh bagi setiap individu sejauh tidak bertentangan dengan keyakinan pribadinya tentang visi pendidikan yang dia miliki.

Jika visi di dalam sekolah itu telah ada, apakah dengan visi tersebut, sekolah itu memiliki misi, yaitu semacam penjabaran yang lebih praktis-operasional, yang indikasinya dapat diukur, diverifikasi, dan dievaluasi secara terus-menerus. Misi adlah sebuah usaha menjembatani praxis harian di lapangan dengan cita-cita ideal yang menjiwai seluruh gerak sekolah. Bisa dikatakan, tercapainya misi merupakan tanda keberhasilan dilaksanakannya visi secara konsisten dan setia.

(57)

Yusuf (2007: 95) mengungkapkan bahwa sekolah sebagai salah satu lingkungan sosial tempat individu berinteraksi, harus mampu menciptakan dan memberikan suasana psikologis yang dapat mencapai perkembangan sosial secara matang, dalam arti dia memiliki kemampuan penyesuaian sosial yang tepat.

Sekolah berperan dalam menggugah kesadaran sosial peserta didik dengan memberikan pengetahuan-pengetahuan tentang segala hal kemanusiaan. Selain itu, sekolah dengan kegiatan-kegiatan yang diadakan, melatih peserta didik untuk peka terhadap sesama yang kesulitan. Sekolah membuka jendela pemikiran peserta didik. Hal ini cukup beralasan, mengingat bahwa sekolah merupakan tempat khusus dalam menuntut berbagai ilmu pengetahuan.

A. Sewaka, SJ (1991: 21) menjelaskan ajaran dan pedoman gereja tentang Pendidikan Katolik mengenai asimilasi budaya tiap pribadi :

Pendekatan pokok itu terjadi di sekolah dalam bentuk kontak dan keterlibatan pribadi yang memperhatikan nilai-nilai mutlak dalam suatu konteks hidup, dan berusaha memasukkan nilai-nilai ke dalam kerangka hidup. Sesungguhnya kebudayaan itu hanya mendidik kalau kaum muda dapat mengaitkan pelajaran mereka dengan keadaan hidup nyata yang mereka kenal. Sekolah harus mendorong murid melatih pikirannya melalui pemahaman yang dinamis guna mendapatkan kejelasan dan kekayaan akal. Sekolah harus menolong murid mengupas arti pengalaman-pengalamannya dan kebenaran dari pengalaman itu. tiap sekolah yang melalaikan kewajiban itu dan yang hanya menyampaikan kesimpulan-kesimpulan yang terjadi, sekolah tersebut menghambat perkembangan pribadi murid-muridnya.

(58)

perasaan keterasingan, maka peserta didik harus selalu didekatkan dengan realitas sosial dimana mereka hidup.

c. Peranan masyarakat

Masyarakat adalah lembaga pendidikan non formal, yang juga menjadi bagian penting dalam proses pendidikan remaja, tetapi tidak mengikuti peraturan-peraturan yang tetap dan ketat (Sarwono, 1991: 128). Masyarakat yang terdiri dari sekelompok atau beberapa individu yang beragam akan mempengaruhi kepekaan sosial yang tinggal di sekitarnya. Oleh karena itu, dalam pendidikan kemanusiaan, masyarakat memiliki juga mempunyai tanggung jawab yang sama dalam mendidik.

Masyarakat sebagai lingkungan pendidikan yang lebih luas turut berperan dalam terselenggaranya proses kepedulian sosial. Setiap individu sebagai anggota dari masyarakat tersebut harus bertanggung jawab dalam menciptakan suasana yang nyaman dan mendukung. Ketika anak atau peserta didik berada di lingkungan masyarakat yang kurang baik, maka perkembangan kepedulian sosialnya akan kurang baik pula.

(59)

BAB III

SEKOLAH KATOLIK

DAN PENGEMBANGAN KEPEDULIAN SOSIAL

A.Panggilan Gereja dalam Dunia Pendidikan

1. Latar Belakang Gereja Katolik Terlibat dalam Dunia Pendidikan.

Menurut Gereja Katolik setiap orang berhak mendapatkan pendidikan. Oleh karena itu dalam dokumen Gravissimum Educationis dinyatakan bahwa “Semua orang dari suku, kondisi atau usia manapun juga, berdasarkan martabat mereka selaku pribadi mempunyai hak yang tak dapat diganggu gugat atas pendidikan.” (GE art. 1). Rumusan ini menegaskan bahwa hak atas pendidikan menjadi hak yang sangat mendasar bagi setiap orang tanpa memandang latar belakangnya. Hak ini melekat pada diri setiap orang sejak ia hidup dan tidak dapat dicabut oleh siapa pun. Begitu tingginya pengakuan Gereja Katolik terhadap hak atas pendidikan.

(60)

Gereja Katolik mengemban amanat yang besar untuk memenuhi hak atas pendidikan tersebut. Dalam rangka melaksanakan perintah Pendirinya yang ilahi, yakni mewartakan misteri keselamatan kepada semua orang yang membaharui segalanya dalam Kristus. Maka, Gereja berperan serta dalam pengembangan dan perluasan pendidikan.

2. Tujuan Pendidikan menurut Gereja Katolik

Dalam mengemban tugas sucinya, Gereja Katolik memiliki kewajiban untuk menghantarkan umat agar sampai pada keselamatan di dalam Yesus Kristus. Pendidikan merupakan salah satu jalan menuju keselamatan tersebut. Sehingga arti pendidikan dirumuskan dengan sangat baik dalam GE art. 1 sebagai sebuah bentuk tanggungjawab untuk membina jiwa-jiwa agar bertumbuh dan senantiasa mengembangkan hidupnya. Mengenai hal ini, tujuan pendidikan dirumuskan dalam GE yaitu untuk :

...mencapai pembinaan pribadi manusia dalam perspektif tujuan terakhirnya demi kesejahteraan kelompok-kelompok masyarakat, mengingat bahwa manusia termasuk anggotanya, dan bila sudah dewasa ikut berperan menunaikan tugas kewajibannya. Maka dengan memanfaatkan kemajuan ilmu pengetahuan psikologi, pedagogi dan didaktik, perlulah anak-anak dan kaum remaja dibantu untuk menumbuhkan secara luas-serasi bakat pembawaan fisik, moral dan intelektual mereka. Dengan demikian mereka setapak demi setapak akan mencapai kesadaran bertanggungjawab yang kian penuh, dan kesadaran itu akan tampil dalam usaha terus menerus untuk dengan saksama mengembangkan hidup mereka sendiri (GE art.1).

(61)

manusia harus memanusiakan dirinya. Driyarkara mengistilahkannya sebagai hominisasi dan humanisasi. Dua istilah ini bisa dijelaskan sebagai berikut :

a. Hominisasi

Hominisasi dapat diartikan sebagai proses pemanusiaan secara umum atau dengan kata lain hominisasi diartikan sebagai penjadian manusia. Hominisasi ini terjadi pada setiap manusia, sejak awal hidupnya sampai akhir hayat. Manusia dari hari ke hari dan masa ke masa bertumbuh kembang, berproses, dan lambat laun akan sampai kepada kemanusiaannya. Manusia berkembang untuk menjadi seorang pribadi, person, seorang subyek yang artinya mengerti diri, menempatkan diri dalam situasinya, mampu mengambil sikap, dan menentukan dirinya. Proses untuk menjadi pribadi inilah yang menjadi peran dari pendidikan.

b. Humanisasi

(62)

Hominisasi dan humanisasi ini nampaknya tidak mempunyai batas di antara keduanya karena berjalan beriringan dan berdampingan. Tidak akan ada hominisasi tanpa humanisasi sedikitpun dimana keduanya berkembang bersama-sama hanya saja tingkat yang minimal itu yang disebut hominisasi, sedang tingkat yang lebih sempurna itu humanisasi. Maka teranglah bahwa pendidikan itu disebut perbuatan yang fundamental karena mengubah, menentukan, dan mengkonstruksi hidup manusia. Hominisasi dan humanisasi penting karena menjadi sebuah kegiatan mendidik yang menyebabkan manusia menjadi manusia.

Dari uraian diatas tampak bahwa tujuan pendidikan bertitik tolak pada pribadi manusia yang dibina diarahkan kepada peranan pribadi tersebut dalam keberadaannya hidup bersama dengan masyarakat dimana ia hidup dan tinggal. Setiap manusia sebagai individu tidaklah berdiri sendiri sebagai individu tetapi dalam sebuah kelompok masyarakat. Sehingga setiap manusia perlu dipersiapkan untuk menanggalkan individualitasnya agar dapat berintegrasi menjadi anggota komunitas. Gereja Katolik juga dengan jelas mengakui keunikan pribadi setiap manusia. Oleh sebab itu, penting untuk dicermati bahwa pendidikan yang diselenggarakan memperhatikan bakat pembawaan fisik, moral dan intelektual setiap manusia. Dengan kata lain, pendidikan diselenggarakan untuk pembentukan manusia yang utuh dan memiliki kedewasaan kristiani.

(63)

Berkat kelahiran kembali dari air dan Roh Kudus umat kristen telah menjadi ciptaan baru, serta disebut dan memang menjadi putera-puteri Allah. Maka semua orang kristen berhak menerima pendidikan kristen. Pendidikan itu tidak hanya bertujuan pendewasaan pribadi manusia seperti telah diuraikan, melainkan terutama hendak mencapai, supaya mereka yang telah dibabtis langkah demi langkah makin mendalami misteri keselamatan, dan dari hari ke hari makin menyadari kurnia iman yang telah mereka terima; supaya mereka belajar bersujud kepada Allah Bapa dalam Roh dan kebenaran (lih. Yoh 4:23), terutama dalam perayaan Liturgi; supaya mereka dibina untuk menghayati hidup mereka sebagai manusia baru dalam kebenaran dan kekudusan yang sejati (Ef 4:22-24); supaya dengan demikian mereka mencapai kedewasaan penuh, serta tingkat pertumbuhan yang sesuai dengan kepenuhan Kristus (lih. Ef 4:13), dan ikut serta mengusahakan pertumbuhan Tubuh Mistik (GE art. 2).

Seperti yang tertulis di atas, orang Kristen yang telah dibaptis berhak menerima pendidikan kristen supaya semakin memiliki kedewasaan iman kristiani. Dengan ini pula proses pendidikan mencakup penyadaran atas kurnia yang dimiliki sampai kepada peran serta untuk mengusahakan karya-karya nyata dalam Tubuh Mistik, yakni meneruskan karya Kristus di dunia.

B. Pendidikan di Sekolah Sebagai Usaha Pengembangan Manusia yang Utuh

1.Visi dan Misi Sekolah dalam Pendidikan Karakter

(64)

secara nyata. Tujuan yang ingin direalisasikan ini dapat ditera dan diukur melalui indikator tertentu. Oleh karena itu, berhasil tidaknya misi sekolah dapat dievaluasikan secara transparan dan obyektif melalui parameter tertentu. Visi ini sesungguhnya merupakan roh dan jiwa yang menjadi dasar bagi kinerja sebuah lembaga pendidikan. Oleh karena itu, tujuan dan maksud didirikannya lembaga pendidikan, yang tampil dalam hal pernyataan tentang visi dan misi menjadi sentral dalam kerangka pengembangan pendidikan karakter sekolah. Tanpa visi dan misi ini, perubahan pada tingkat di bawahnya tidak akan mengubah banyak hal. Sebab, visi dan misi itu akan menentukan bagaimana lapisan-lapisan yang lebih luar itu bergerak, berkembang, berproses dalam setiap kegiatan pendidikan.

Ada sekolah yang tidak memiliki visi dan misi, namun tetap saja mereka memberikan hasil-hasil tertentu sebagai akibat dari proses pendidikan itu. Namun, hasil-hasil itu akan semakin terarah dan dapat diperkirakan jika sekolah memiliki visi dan misi yang jelas. Tanpa visi dan misi, sekolah akan tetap memberikan hasil, namun sebuah hasil yang tidak dapat diprediksi, tak terarah dan karena itu menjadi sebuah kinerja yang tidak efektif.

(65)

pendidikan, akan menjadi contoh nyata sebuah sikap hidup berdasarkan nilai-nilai ideal. Siswa mendapatkan bukti bahwa hidup yang berdasarkan idealisme itu memang layak diperjuangkan. Hal ini tampil dalam visi ideal lembaga pendidikan tadi.

2. Visi dan Misi Sekolah Katolik

Diantara segala upaya pendidikan sekolah katolik mempunyai makna yang istimewa. Sementara terus-menerus mengembangkan daya kemampuan akal budi, berdasarkan misinya sekolah menumbuhkan kemampuan memberi penilaian yang cermat, memperkenalkan harta warisan budaya yang telah dihimpun oleh generasi-generasi masa silam, meningkatkan kesadaran akan tata nilai, menyiapkan siswa untuk mengelola kejuruan tertentu, memupuk rukun persahabatan antara para siswa yang beraneka watak-perangai maupun kondisi hidupnya, dan mengembangkan sikap saling memahami. Hal ini terangkum dalam GE sebagai berikut:

Kecuali itu sekolah merupakan bagaikan suatu pusat kegiatan kemajuan, yang serentak harus melibatkan keluarga-keluarga, para guru, bermacam-macam perserikatan yang memajukan hidup berbudaya, kemasyarakatan dan keagamaan, masyarakat sipil dan segenap keluarga manusia. Maka sungguh indah tetapi berat jugalah panggilan mereka semua, yang untuk membantu para orang tua menunaikan kewajiban mereka sebagai wakil-wakil masyarakat, sanggup menjalankan tugas kependidikan disekolah-sekolah. Panggilan itu memerlukan bakat-bakat khas budi maupun hati, persiapan yang amat saksama, kesediaan tiada hentinya untuk membaharui dan menyesuaikan diri (GE art 5).

(66)

berhubungan dengan tujuan untuk menyebarkan nilai-nilai kehidupan yang positif yang dianggap penting dan bernilai bagi kehidupan. Untuk mencapai visi tersebut sekolah juga membutuhkan suatu misi (mission) sebagai landasan tentang apa yang akan atau harus dilakukan oleh sekolah tersebut. Penulis akan lebih menyoroti dan fokus pada bagaimana visi dan misi Santa Ursula BSD tersebut menjiwai setiap aktivitas yang diselenggarakan oleh sekolah Santa Ursula BSD (Majalah Basis, 2007: 34).

(67)

menjadi bagaikan ragi keselamatan bagi masyarakat luas. Seperti dinyatakan Gereja Katolik dalam Gravissimum Educationis bahwa :

Karena sekolah katolik dapat memberi sumbangan begitu besar kepada umat Allah untuk menunaikan misinya dan menunjang dialog antara Gereja dan masyarakat yang menguntungkan kedua pihak, maka juga bagi situasi kita sekarang ini tetap penting sekali. Oleh karena itu K

Referensi

Dokumen terkait

Pengolahan yang bisa dimanfaatkan dalam upaya pengoptimalan air sungai salah satunya menggunakan alat filtrasi dengan media berupa pasir kuarsa, zeolit, dan arang batok..

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Pemurah dan Maha Penyayang, dengan limpah karunia-Nya Penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini dengan judul

Dalam penelitian ini, metode yang digunakan dalam mengukur tingkat kepuasan pelayanan adalah metode Fuzzy Service Quality yakni untuk mengetahui gap yang terjadi

PENGARUH PEND ID IKAN D AN PELATIHAN , PENGALAMAN KERJA SERTA MOTIVASI TERHAD AP PROD UKTIVITAS TENAGA KERJA (SURVEY PAD A HOME IND USTRI D ESA SOREANG KABUPATEN BAND

c) Siswa diberikan tugas kelompok untuk mengamati model bangun ruang yang telah disediakan oleh guru. Pengamatan dilakukan sesuai dengan petunjuk dan tugas pada

Permasalahan penelitian ini yaitu: Adakah pengaruh Cognitive Behavioral Theraphy terhadap penurunan skor depresi pasien kanker payudara yang menjalani kemoterapi di Ruang

Menurut Dinkmeyer and Caldwell (dalam Ahman,1998), bahwasanya ada beberapa faktor yang membedakan antara bimbingan di SD dengan sekolah menengah, yaitu : pertama, bimbingan di

NO NAMA ORANG TUA/ WALI SISWA NAMA ANAK KELAS