Beberapa tempat di Sulawesi Selatan dewasa ini masih banyak orang yang memiliki naskah Sureq Selleang atau Sureq Galigo. Naskah tersebut pada umumnya mereka warisi dari orang tua, dan dari situlah mereka memperoleh informasi tentang sikap dan perilaku yang pernah diberikan terhadap naskah tersebut. Keterangan ini, menunjukkan adanya fungsi dan kedudukan yang diberikan Sureq Selleang.
Sureq Galigo atau Sureq Selleang diposisikan sebagai sastra suci yang di dalamnya diceritakan tentang kehidupan cikal bakal mereka yang sakti dan dimuliakan. Karena itu, naskah tersebut harus dilayani dan dihormati seperti orang melayani dan menghormati orang yang diceritakan itu sendiri. Kesaktian dan kemuliaan tokoh-tokohnya seakan-akan bersemayang dalam naskah yang bersangkutan.
Sureq Selleang mempunyai fungsi dalam kehidupan suatu masyarakat atau kaum. Fungsi-funsi itu menimbulkan macam-macam ukuran nilai yang menjadi pedoman dalam tingkah laku sosial yang melahirkan disiplin yang kuat dalam kehidupan sosial dan budaya masyarakat yang bersangkutan. Disiplin yang dilakukan itu akan membuat anggota masyarakat dapat mengendalikan sikap dan tingkah laku yang diinginkan oleh masyarakat. Ini berarti bahwa cerita dengan nilai yang diresapkannya, menyebabkan anggota masyarakat terpanggil untuk berlaku dan berbuat sesuai dengan tuntutan cerita tersebut. Dari segi nilai-nilai dalam kehidupan masyarakat pada hakekatnya berdimensi dua, yaitu dimensi baik
dan buruk. Dimensi baik akan menyarangkan sejumlah anjuran dan dimensi buruk akan memberi anjuran untuk menolak dan menentang.
Upacara adat yang dilakukan masyarakat, disertai dengan membacakan Sureq Galigo, seperti upacara mappabotting (perkawinan), upacara maqpenreq tojang (akikah), upacara maqdoja bine, dan sebagainya.
Upacara perkawinan mempunyai beberapa rangkaian kegiatan, namun pembacaan Sureq Selleang biasanya dilaksanakan tudang penni (malam sebelum hari pernikahan). Semua keluarga dan kerabat datang meramaikan acara tersebut. Momen itulah yang digunakan untuk membacakan Sureq Selleang sampai larut malam.
Pada kegiatan maqpenreq tojang (akikah), pembacaan Sureq Selleang pada malam sebelum hari upacara akikah tersebut, sama dengan acara tudang penni. Ketika semua kerabat berkumpul lalu dibacakanlah Sureq Galigo oleh passureq sekali-kali berhenti, kemudian mengartikan atau menerangkan maksud dari pada sureq yang dibacanya.
Upacara maqdoja bine (turung ke sawah) biasanya dilaksanakan lima hari lima malam. Saat itu dibacakan Sureq Selleang tiap malam. Kalau Passureq atau orang yang pandai membaca Sureq Selleang terlambat atau tidak datang pada upacara tersebut, masyarakat hanya meletakkan kitab tersebut di atas keranjang atau onggokan padi yang akan dijadikan bine (bibit). Salah satu episode Sureq Galigo yang dibacakan yaitu naskah Datu Sangiang Serriq.
Pembacaan Sureq Selleang dimaksudkan untuk menambah semangat para petani sebelum turun ke sawah. Karena mereka berkeyakinan bahwa dengan
melakukan upacara tersebut dapat menambah semangat bekerja dan hasil panen dapat melimpah ruah.
Menurut Fachruddin Ambo Enre, bahwa fungsi Galigo atau Sureq Selleang sebagai berikut:
1. Penawar keresahan menghadapi ancaman penyakit, bencana alam dan kematian.
2. Pelindung terhadap ancaman kebahagiaan hidup serta penjalin hubungan individu, penguasa dan para dewa.
3. Sumber ketentraman jiwa dan pelerai konflik batin.78
Upacara tersebut sudah jarang dilakukan, di samping menyita waktu yang relatif lama, juga karena Passureq (pembaca surat) sudah jarang ditemukan. Kalaupun masih ada, usianya sudah lanjut dan tidak dapat lagi melakukan aktivitas-aktivitas.
Sureg Galigo atau Sureq Selleang merupakan sastra yang indah. Di dalamnya terdapat cerita petualangan, percintaan, kekuasaan dan peperangan yang mengikat dan menegangkan, dengan irama dan gaya bahasa yang menawan. Berfungsi sebagai penghibur dan penggugah emosi serta imajinasi penikmat.
Menurut Nurhayati Rahman, La Galigo diturungkan dalam 3 tradisi, yaitu: 1. Tradisi tulis
2. Tradisi lisan 3. Upacara/kontes.
La Galigo seperti ini, diyakini oleh sebagian orang Bugis sebagai kitab suci mereka sebelum masuk Islam. La Galigo bukan ditulis untuk dibaca dalam
78
Fahruddin Ambo, Ritumpanna Wélenrengé: Sebuah Episode Sastra Bugis Klasik Galigo (Jakarta:Yayasan Obor Indonesia,1999), h. 123.
hati, melainkan ditulis untuk didendangkan di muka publik. Penyampaian La Galigo itulah yang disebut Massureq.79
Sureq Galigo di dalamnya terdapat petunjuk tentang norma-norma atau tata cara kehidupan sehari-hari. Misalnya peristiwa kelahiran, pujak tanah, perkawinan dan kematian. Ini berfungsi mendorong terciptanya stabilitas sosial dan kelestarian pranata budaya.
Terkait dengan hubungan kekerabatan dan pelapisan masyarakat, semuanya terlihat dalam Sureq Galigo pada umumnya dan episode Ritumpanna Wélenrengé pada khususnya. Sedangkan hubungan kekerabatan diperoleh melalui perkawinan.
Stratifikasi sosial dalam Sureq Galigo yang menceritakan kehidupan Dewa dan keturunan raja-raja merupakan indikasi pelapisan masyarakat, karena disebutkan bangsawan tinggi atau rajeng matasa, rakyat biasa atau jua. Seiring dengan perkembangan dan perubahan zaman, maka bentuk pelapisan sosial itu berbeda-beda. Makin kompleks suatu masyarakat, makin banyak pula pelapisan yang tercipta. Bagi masyarakat yang sederhana ukuran pelapisannya masih sangat kecil karena jumlah warganya masih kurang, Sedangkan masyarakat yang kompleks, ukuran pelapisannya bermacam-macam. Hal seperti ini, kemungkinan dilihat dari pendidikan, reputasi, kekayaan, dan mungkin pula dari segi pengaruh politiknya.
Stratifikasi sosial atau pelapisan masyarakat sangat penting untuk diketahui, baik mengenai latar belakang, pandangan hidup, watak atau sifat mendasar dari suatu masyarakat. Tujuannya adalah untuk mengetahui hubungan
79
Nurhayati Rahman, Kearifan Lingkungan Hidup Manusia Bugis Berdasarkan Naskah
dan kejadian dalam masyarakat yang menyangkut tingkah laku segenap kegiatan masyarakat.
Menurut H.J. Friedericy dalam Koentjaraningrat (1987:276), membagi tiga lapisan pokok yaitu:
1. Anakarung, yaitu lapisan kaum bangsawan, ataupun kerabat-kerabat raja. 2. Tomaradeka, yaitu lapisan orang merdeka yang merupakan sebagian orang
besar rakyat Sulawesi Selatan.
3. Ata, yaitu lapisan orang budak yang ditangkap dalam peperangan dan orang yang tidak dapat membayar utangnya atau orang yang melanggar pantangan adat.80
Stratifikasi sosial masyarakat menurut H.J. Friedericy adalah lapisan masyarakat Bugis Makassar di Sulawesi Selatan, yang pada dasarnya sama di setiap daerah kabupaten. Namun ada juga perbedaannya berdasarkan adat istiadat masing-masing daerah. Pada masyarakat Bugis dan Makassar, pelapisan sosial yang telah berkembang sejak dahulu ada tiga macam yaitu:
1. Karaeng, adalah golongan bangsawan. 2. Tumaradeka, golongan menengah. 3. Ata hamba sahaya.81
Menurut H.J. Friedericy dalam Mattulada, bahwa pelapisan masyarakat Sulawesi Selatan pada hakikatnya hanya dua, yakni lapisan anakarung dan
80
Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan Indonesia (Jakarta: Jambatan, 1987), h. 276.
81
maradeka. Adapun ata hanya merupakan lapisan sekunder.82 Hal ini mengikuti pertumbuhan pranata sosial dalam kerajaan yang ada di Sulawesi Selatan.
Dengan demikian, masyarakat Bugis Makassar pada umumnya tidak lepas dari pelapisan sosial dalam masyarakat. Perbedaan tingkat masyarakat antara golongan bangsawan dengan rakyat biasa disebabkan adanya darah Dewa yang mengalir pada dirinya. Menurut La Galigo bahwa yang menjadi raja atau datu di Luwu adalah keturunan dewa yang turun dari langit. Keturunan Dewa tersebut, berdarah putih. Berbeda dengan manusia biasa yang mempunyai darah merah.