E. Tinjauan Pustaka
2. Unsur-unsur dalam Sureq Galigo
Sebagai karya sastra yang besar Sureq Galigo Khususnya episode “Ritumpanna Wélenrengé” memiliki beberapa unsure seperti:
a. Alur Cerita
La Galigo merupakan cerita berangkai (Cyclus), maka setiap episodenya dalam batas-batas tertentu seharusnya dipandang berdiri sendiri. Rangkaian cerita dalam urutan kronologis, yang mengarah pada suatu akhir cerita atau penyelesaian. Biasanya suatu cerita rakyat mempunyai suatu kalimat-kalimat perumus (formulasi), maksudnya bahwa sesuatu cerita rakyat mempunyai kalimat-kalimat perumus atau
43Nurdin, Kajian Makna Terhadap Sureg Galigo Sebagai Pedoman Prilaku Kehidupan
Masyarakat Suatu Kajian Semantik (Disertasi Unismuh Makasssar, 2010)., h.16
44
op. cit., h. 40. `45Ibid., h. 41.
klise dari yang sederhana dan pola pergaulan, di samping ada kalimat-kalimat panjang sebagai pembuka dan penutup. Sebuah cerita tidak begitu serta merta dimulai dan diakhiri secara mendadak. Hal itu dimaksudkan untuk memberi isyarat akan dimulainya ataupun untuk diakhirinya suatu cerita. Dalam episode Ritumpanna Wélenrengé meskipun hanya satu episode, akan tetapi tetap mempunyai awal, klimaks/komflik, dan penyelesaian bermula dari keinginan Sawérigading untuk memperistrikan saudara kembarnya Wé Tenriabéng yang ditantang oleh orang tuanya dan adat istiadat masyarakat Luwuq. Penolakan Wé Tenriabéng tidak diterima oleh Sawérigading kemudian Wé Tenriabéng menunjuk saudara sepupunya Wé Cudaiq yang tinggal di istana La Tanété yang berada di Alécina (Kerajaan Bugis) untuk dijadikan isteri karena kecantikannya kurang lebih sama dengan Wé Tenriabéng. Untuk pergi ke Alécinna maka ditebanglah pohon Wélenrengé di Mankuttû untuk dijadikan perahu dan dipakai berlayar ke Alécinna.
b. Tema
Tema merupakan gagasan pokok yang terkandung dalam suatu karya sastra. Dilihat dari semua kejadian dalam episode Ritumpanna Wélenrengé, maka tema pokok dalam cerita tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut: perkawinan antara saudara melanggar adat istiadat dan norma-norma dalam masyarakat, sehingga dapat membawa bencana terhadap kehidupan masyarakat pada umumnya, oleh karena itu siapa pun yang melakukannya akan dikucilkan atau dibuang ke laut.
Menurut Ambo Enre “Perkawinan yang baik adalah perkawinan yang dilakukan pihak yang sederajat (endogamy atau golongan) dan berasal dari lingkungan masyarakat yang berbeda, baik fratri maupun lokasinya (eksogam
tempat)”.46 Hal ini dapat dilihat pada tokoh-tokoh utama dalam Sureq Galigo seperti perkawinan antara Batara guru dengan sepupunya Wé Nyilitimo, perkawinan antara Batara Lattu dengan sepupunya Datu Senngeng, dan perkawinan antara Sawérigading dengan sepupunya I Wécudaiq.
c. Penokohan
Menurut Forster dalam Tang bahwa tokoh dalam sebuah cerita biasanya memiliki sifat atau karakter tertentu sesuai fungsi yang ia perangkan. Karena galigo merupakan cerita berangkai dengan mengikuti dengan beberapa generasi pelaku, maka setiap generasi tokoh utamanya berbeda. Mulai dari Batara Guru Batara Lattu, Sawérigading sampai pada La Galigo. Serentetan kejadian dalam cerita mengikuti kelahiran setiap anak dari tokoh utama, sebagai dasar pengembangan cerita berdasarkan peran yang dibawakannya.
Dalam Sureq Galigo, khususnya episode “Ritumpanna Wélenrengé” bukan saja tokoh utama yang ditampilkan dalam cerita itu adalah Sawérigading, melainkan juga melibatkan banyak kerabat dekat kerajaan yang ditokohkan dan ikut memegang peranan seperti Bataralattu, Wé Opu Senngeng, Wé Tenriabéng, La Pananrang, La Sinilélé, La Pangoriseng, dan lain-lain. Episode tersebut ditampilkan pelaku yang cukup banyak, seolah-olah semua masyarakat diangkat dalam cerita yang sesungguhnya.
d. Latar
Segala sesuatu peristiwa yang berlangsung dalam sebuah cerita, selalu terjadi dalam rentang waktu dan pada suatu tempat tertentu. Dalam cerita La Galigo ada unsur-unsur kejadian yang dikenal dan secara sadar dikaitkan dengan kenyataan
46Fachruddin Ambo Enre, Ritumpanna Wélenrengé sebuah Episoda Sastra Bugis Klasik
obyektif di luar dirinya dan ada yang tidak. Karena ceritanya membayangkan masa silam, sehingga sukar ditelusuri menyangkut kejadian dan pelakunya. Dari segi gaya ceritanya di samping bersifat natural juga bersifat supranatural. Disamping itu, menyangkut kejadian cerita La Galigo bayangan tempat berawal di langit (dunia atas) tempat para dewa-dewa bermukim kemudian kawâ (dunia tengah) di mana Batara Guru mula pertama datang berpusat di istana Luwuq dan Ware dengan berbagai kemegahannya, tempat tumbuhnya Wélenreng di Mangkuttû, pelabuhan Luwuq pintu gerbang Kerajaan tersebut. Selanjutnya beberapa negeri taklukan Luwuq, serta pelayaran negeri Cina yang berpusat di istana La Tanété dimana Sawérigading dan I Wé Cudaiq tinggal bersama. Tempat-tempat tersebut merupakan gambaran kehidupan dalam episode Ritumpanna Wélenrengé.
e. Amanat
Amanat terdapat pada sebuah karya sastra, baik secara implisit maupun secara eksplisit. Adakalanya diangkat adalah suatu pesan moral atau jalan keluar dari suatu cerita. Amanat atau pesan yang dapat kita petik dalam epos La Galigo Ritumpanna Wélenrengé adalah “Perkawinan”. Perkawinan sebagai awal kebahagiaan dalam kehidupan rumah tangga yang didambakan dan dicita-citakan atau direncanakan manusia itu dapat terlaksana, karena sesuatu Tuhanlah yang menentukan. Yang dapat dijadikan pegangan hidup adalah kejujuran, keberanian, ketekunan, dan usaha yang keras untuk mencapai segala sesuai yang diharapkan, dan dibutuhkan ketabahan dan ketekunan menghadapi tantangan yang lebih besar.
Berdasarkan uraian tersebut maka dipilihlah naskah yang disunting, ditransliterasi dan diterjemahkan oleh Fachruddin Ambo Enre dalam disertasinya yang berjudul: Ritumpanna Wélenrengé; Sebuah episode Sastra Bugis Klasik La
Galigo. Naskah ini dipilih dengan alasan bahwa hasil suntingan tersebut dikerjakan dengan menggunakan cara filologi, sehingga dianggap lebih mendekati aslinya baik dari segi bentuk maupun isinya. Dari berbagai literatur pustaka berupa buku maupun hasil penelitian berupa disertasi, tesis, yang tersebut di atas, sekaligus menjadi sumber inspirasi penulis dalam melakukan penelitian, yang tentu saja literartur tersebut menjadi rujukan utama penulis dalam meneliti.
Selain buku yang memuat kajian pustaka tentang Sureq Galigo atau Sureq Selleang, ditemukan pula rujukan lain yang membahas tentang siri’ sebagai bagian
integral dari adat. Misalnya, buku yang diterbitkan Pustaka Refleksi yang berjudul
Siri’ dan Pesse; Harga Diri Manusia Bugis, Makassar, Mandar, dan Toraja. Buku
tersebut memuat kumpulan tulisan essai para pakar sejarah dan kebudayaan, seperti: Abu Hamid dalam essainya, menulis tentang Siri’ dan Etos Kerja;47
Andi Zainal Abidin Farid tentangSiri’, Pesse’ dan Ware Pandangan Hidup;48
Mattulada menulis tentang Siri’ dalam masyarakat Makassar.49
Baharuddin Lopa menulis tentang Siri dalam Masyarakat Mandar.50
Buku yang juga berkaitan dengan penelitian penulis adalah Menyusuri Jejak Kehadiran Makassar dalam Sejarah yang ditulis Mattulada.51 Buku ini menggambarkan tentang masyarakat Makassar dimasa lalu yang dalam kehidupannya
47
Tim Editor Refleksi, Siri dan Pesse; Harga Diri Manusia Bugis, Makassar, Mandar ,
Toraja (Cet. II; Makassar: Pustaka Refleksi, 2003), h. 1-14.
48 Ibid., h. 15-62. 49 Ibid., h. 63-74. 50 Ibid., h. 75-98. 51
Mattulada, Menyusuri Jejak Kehadiran Makassar dalam Sejarah (Cet. II; Makassar: Hasanuddin University Press, 1991), h. 55-74.
diatur oleh sistem pangngaddakang dan cerminan hidupnya dapat dilihat dari penerapan mereka terhadap budayasiri’.
Di samping itu, ditemukan disertasi dan tesis sebagai hasil penelitian, walaupun disertasi dan tesis ini sangat relevan dengan penelitian penulis.
Pertama, Andi Zainal Abidin adalah sebuah disertasi dan diterbitkan dalam bentuk buku dengan judul Wajo Pada Abad XV-XVI Suatu Penggalian Sejarah Terpendam Sulawesi Selatan dari Lontaraq
Kedua, Fachruddin Abo Enre yang pernah mengadakan penelitian tentang Sureq Galigo yaitu: La Galigo Tinjauan Sejarah, Aspek Sastra dan Etika Sosial, LKSAS, dan disertasi Ritumpanna Walenrennge. Penelitian tersebut, diterbitkan dalam bentuk buku dengan judul: Ritumpanna Wélenrenngé (Sebuah Episoda Sastra Bugis Klasik Galigo) yang diterbitkan oleh Yayasan Obor Indonesia pada tahun 1999.
Ketiga, Nurhayati Rahman yang melakukan penelitian tentang Sureq Galigo, dan dituangkan dalam bentuk disertasi dengan Judul: Pelayaran Sawerigading ke Tanah Cina; Kajian Filologi dan Semiotik La Galigo, pada Universitas.
Keempat, H.M. Johan Nyompa dalam penelitiannya tentang Mula Tau (Suatu Study Tentang Mitologi Orang Bugis) yang berbentuk disertasi pada Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin Ujung Pandang tahun 1992.
Kelima, Tesis Nurdin. S dengan judul Kajian Makna Terhadap Sureq Galigo sebagai pedoman perilaku kehidupan masyarakat (Suatu Kajian Semantik)
Kelima, disertasi Andi Rasdiyanah yang berjudul, Integrasi Sistem Pangngadereng dengan sistem Syariat sebagai Pandangan Hidup Orang Bugis dalam Lontaraq Bila. Disertasi ini menguraikan secara komprehensif tentang sistem
pangngaddereng lengkap dengan uraian tentang unsur-unsur yang tercakup dalam konsep yakni; konsep ade’, konsep rapang, konsep bicara, konsep warik, dan konsep
sarak.52
Berdasarkan uraian tersebut maka dipilihlah naskah yang disunting, ditransliterasi dan diterjemahkan oleh Fachruddin Ambo Enre dalam disertasinya yang berjudul: Ritumpanna Wélenrengé; Sebuah episode Sastra Bugis Klasik La Galigo. Naskah ini dipilih dengan alasan bahwa hasil suntingan tersebut dikerjakan dengan menggunakan cara filologi, sehingga dianggap lebih mendekati aslinya baik dari segi bentuk maupun isinya. Dari berbagai literatur pustaka berupa buku maupun hasil penelitian berupa disertasi, tesis, yang tersebut di atas, sekaligus menjadi sumber inspirasi penulis dalam melakukan penelitian, yang tentu saja literartur tersebut menjadi rujukan utama penulis dalam meneliti.
52
Andi Rasdiyanah, Integrasi Sistem Pangngadereng dengan Sistem Syariat sebagai
Pandangan Hidup Orang Bugis dalam Lontarak Latoa (Disertasi Doktor, Program Pascasarjana IAIN