• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PENGATURAN FUNGSI PENGAWASAN DPRD

B. Peraturan Daerah

1. Dasar Pembentukan Peraturan Daerah

Peraturan Daerah atau Perda sebagaimana yang telah disebutkan di atas dimana menurut Tap. MPR No. III/MPR/2000, tentang Sumber Hukum Dan Tata Urutan Perundang-Undangan, serta Undang-Undang No. 10 Tahun 2004, Pasal 7 disebutkan, bahwa Peraturan Daerah Kabupaten/Kota dibuat oleh DPRD Kabupaten/kota bersama Bupati/Walikota. Serta Peraturan Daerah adalah salah satu sumber Hukum di Indonesia.

Sebagaimana yang diatur dala UU No. 22 Tahun 2003, tentang Susduk MPR, DPR, DPD dan DPRD dalam Pasal 77 (a), fungsi pertama DPRD Kabupaten/Kota adalah legislasi, dalam penjelasan disebutkan, yang dimaksud dengan fungsi legislasi adalah legislasi daerah yang merupakan fungsi DPRD Kabupaten Kota untuk membentuk peraturan Daerah Kabupaten/Kota bersama bupati/walikota.

Sehubungan dengan peraturan daerah adalah merupakan salah satu sumber hukum di Indonesia, maka DPRD bersama Bupati melalui peraturan daerah sangat

strategis dalam membuat peraturan yang berhubungan dengan pelayanan masyarakat yang disesuaikan dengan kondisi daerah yang bersangkutan. Ruang lingkup Peraturan daerah adalah berdasarkan wilayah Kabupaten, sehingga peraturan daerah yang dibuat oleh DPRD bersama Bupati seharusnya mencerminkan daerah yang bersangkutan, walaupun tidak bisa dipungkiri bahwa banyak terjadi adanya peraturan daerah yang dianggap bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi, karena posisi Peraturan Daerah dalam hirarkhi perundang-undangan berada pada posisi bawah, sehingga peraturan daerah tidak dapat bertentangan dengan peratran yang lebih tinggi atau yang di atasanya.

Sebagaimana yang dikemukakan Departemen Dalam Negeri (Depdagri), ada sekitar 10.000 perda itu, dan dari angka itu 700 di antaranya bermasalah dan tidak layak terbit. Sebanyak 206 dari 700 perda itu menghambat dunia investasi, sisanya lebih karena bertentangan dengan peraturan di atasnya dan menciptakan tumpang tindih. Berarti selama sekitar tiga tahun kebijakan otonomi daerah dilaksanakan, menurut Depdagri, hanya 9.300 perda yang layak terbit.85

`Persoalan saeperti ini merupakan masalah yang serius dalam penyusunan peraturan daerah, Karena dapat saja terjadi peraturan daerah yang dibuat ternyata ditolah dari Menteri Dalam Negeri. Dalam UU NO. 32 Tahun 2004, tentang Pemerintahan Daerah, mengatur tentang Peraturan Daerah pada Bab. VI, pasal 136- 149. Dalam Pasal 36 ayat (1) disebutkan Perda ditetapkan oleh kepala daerah

85

Risfan Munir, Bahtiar Fitato, Pengembangan Ekonomi Lokal Partisipatif: Masalah, Kebijakan dan Panduan Pelaksana Kegiatan, (Jakarta: LGSP, 2005), hlm. 90.

setelah mendapat persetujuan bersama DPRD. Peraturan Daerah dimaksudkan dibentuk dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah provinsi/kabupaten/kota dan tugas pembantuan.

Dalam penjelasan UU No. 32 Tahun 2004 disebutkan, penyelenggara pemerintahan daerah dalam melaksanakan tugas, wewenang, kewajiban dan tanggungjawabnya serta alas kuasa peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dapat menetapkan kebijakan daerah yang dirumuskan antara lain dalam peraturan daerah, peraturan kepala daerah, dan ketentuan daerah lainnya.

Dari bunyi pasal dan penjelasan di atas, bahwa peraturan daerah merupakan landasan hukum daripada pelaksanaan tugas, wewenang, kewajiban dan tanggung jawab kepala daerah. Sehingga keberadaan peraturan daerah adalah mutlak dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah.

Dalam Pasal 136 ayat (3) disebutkan: Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dengan memperhatikan ciri khas masing-masing daerah. Ciri khas daerah merupakan pertimbangan utama dalam pembentukan peraturan daerah, sebab peraturan daerah hanya berlaku di wilayah hukum pemerintah daerah yang bersangkutan saja, sehingga peraturan daerah diharap dapat mengadopsi ciri khas daerah, sehingga mudah dipahami dan dapat mengayomi masyarakatnya.

Dalam Pasal 137, disebutkan; Perda dibentuk berdasarkan pada azas pembentukan peraturan perundang-undangan yang meliputi:

a. kejelasan tujuan;

b. kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat; c. kesesuaian antara jenis dan materi muatan; d. dapat dilaksanakan;

e. kedayagunaan dan kehasilgunaan; f. kejelasan rumusan;

g. keterbukaan.

a. Asas Kejelasan Tujuan: setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harus mempunyai tujuan yang jelas dan hendak dicapai.

b. Asas Kelembagaan atau Organ Pembentuk yang Tepat: setiap jenis peraturan perundang-undangan harus dibuat oleh lembaga/pejabat pembentuk peraturan perundang-undangan yang berwenang. Peraturan perundang-undangan tersebut dapat dibatalkan atau batal demi hukum apabila perda yang dibuat oleh lembaga/pejabat bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi.

c. Azas Kesesuaian anara Jenis dan Materi Muatan: dalam pembentukan peraturan perundang-undangan harus benar-benar memperhatikan materi muatan yang tepat dengan jenis peraturan perundang-undangan.

d. Azas Dapat Dilaksanakan: setiap pembentukan peraturan perundang-undangan tersebut di dalam masyarakat, baik secara filosofis, yuridis maupun sosiologis.

e. Azas Kedayagunaan dan Kehasilgunaan: setiap pembentukan peraturan perundang-undangan yang dibuat memang karena benar-benar dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. f. Azas Kejelasan Rumusan: setiap peraturan perundang-undangan harus memenuhi

persyaratan teknis penyusunan peraturan perundang-undangan, sistematika dan pilihan kata atau terminologi, serta bahasa hukumnya jelas dan mudah dimengerti sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya. g. Azas Keterbukaan: dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan

mulai perencanaan, persiapan, penyusunan, dan pembahasan, seluruh lapisan masyarakat perlu diberi kesempatan yang seluas-luasnya untuk mengetahui dan memberikan masukan dalam proses pembuatan peraturan perundang-undangan agar peratuan yang terbentuk menjadi populis dan efektif.86

Ketujuh azas tersebut merupakan dasar pembentukan peraturan daerah, sehingga peraturan daerah itu dibuat jangan terkesan samar-samar, dapat dilaksanakan serta memiliki manfaat dan berhasil dilaksanakan.

Keterbukaan peraturan daerah mencermikan adanya transparansi dan bukan untuk kalangan tertentu saja, sehingga diharapkan dengan kehadiran peraturan daerah dapat bermafaat bagi masyarakat.

Dalam Pasal 138 ayat (1) disebutkan: materi muatan perda mengandung asas:

a. pengayoman;

86

LGSP, Seri Penguatan Legislatif, Legal Drafting Penyusunan Perauran Daerah, (Jakarta 2007), hlm. 4.

b. kemanusiaan;

c. kebangsaan;

d. kekeluargaan; e. kenusantaraan;

f. bhineka tunggal ika;

g. keadilan;

h. kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan; ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau

i. keseimbangan, keserasian, dan keselarasan.

2. Proses dan Prosedur Pembuatan Peraturan Daerah

Sebelum masuk dalam tahapan pembuatan peraturan daerah, maka sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang nomor 10 Tahun 2004, Bab X, Pasal 53, mengenai Partisipasi Masyarakat. Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan atau tulisan dalam rangka penetapan maupun pembahasan rancangan undang-undang dan rancangan peraturan daerah. Demikian halnya diatur dalam Undang-undang nomor 32 Tahun 2004, tentang Pemerintahan Daerah, yakni mengatur hal yang sama.

Proses konsultasi publik menghendaki arus informasi dua arah. Pembuat Perda menyampaikan kepada publik mengenai rancangan Perda yang sedang disusun, termasuk alasan-alasan, justifikasi, dan potensi dampaknya. Di pihak lain,

masyarakat memiliki tanggung jawab untuk berpartisipasi dan memberikan umpan balik kepada pembuat perda.87

Ranperda baik yang berasal dari Kepala Daerah maupun yang berasal dari DPRD sebagai hak inisiatif, sebaiknya harus mempedomani langkah-langkah yang harus dipedomani agar perda yang dihasilkan bermafaat bagi masyarakat.

Sebagaimana yang disebutkan dalam Buku Pegangan untuk DPRD, Legal Drafting Penyusunan Peraturan Daerah, dikeluarkan oleh LGSP, menyebutkan:… “ lembaga/instansi eksekutif dan badan legislatif hendaknya dilibatkan sejak awal. Dengan kata lain, sebelum melangkah terlalu jauh, inisiasi awal yang bisa saja datang dari kelompok masyarakat atau pemangku kepentingan lainnya tersebut haruslah diadopsi menjadi inisiasi lembaga/instansi atau badan legislasi.88

Setelah instansi/badan yang menginisiasi memahami prinsip-prinsip penyusunan peraturan daerah, maka instansi tersebut telah siap untuk membuat kerangka konseptual dan memulai proses pembuatan Perda. Pada intinya pembuatan perda sebenarnya merupakan suatu bentuk pemecahan masalah secara rasional. Layaknya sebagai proses pemecahan masalah, langkah pertama yang perlu diambil adalah menjabarkan maslah yang akan diatasi, dan mejelaskan bagaimana peraturan daerah yang diusulkan akan dapat memecahkan masalah tersebut.89

87

Legal Drafting Penyusunan Peraturan Daerah, Buku Pegangan Untuk DPRD, UASID LGSP, (Jakarta 2007), hlm. 13.

88

Ibid., hlm. 15.

89

` Ada tiga tahap dalam pembuatan hukum yaitu tahap inisiasi (muncul gagasan dalam masyarakat), tahap sosiopolitis (pematangan dan penajaman gagasan), tahap yuridis (penyusunan rumusan hukum dan perundang-undangan)90. Demikian halnya dalam pembuatan Peraturan Daerah, tentu mengikuti tahap-tahap tersebut di atas.

Dalam Tata Tertib DPRD Kabupaten Serdang Bedagai Nomor 172/08/DPRD/2005, pasal 40 disebutkan, Hak Mengajukan Rancangan Peraturan Daerah yakni:

1. Sekurang-kurangnya lima orang anggota DPRD dapat mengajukan suatu usul prakarsa Rancangan Peratuan Daerah.

2. Usul prakarsa sebagaimana dimaksud pada ayat (1), disampaikan kepada pimpinan DPRD dalam bentuk Rancangan Peraturan Daerah disertai penjelasan secara tertulis dan diberikan Nomor Pokok oleh secretariat DPRD.

3. Usul prakarsa tersebut oleh pimpinan DPRD disampaikan pada rapat Paripurna DPRD, setelah mendapat pertimbangan dari Panitia Musyawarah.

4. Dalam rapat paripurna, para pengusul diberi kesempatan memberikan penjelasan atas usul sebagaimana dimaksud pada ayat (2).

5. Pembicaraan mengenai sesuatu usul prakarsa dilakukan dengan memberikan kesempatan kepada:

90

a. Anggota DPRD lainnya untuk memberikan pandangan; b. Kepala Daerah untuk memberikan pendapat;

c. Para pengusul memberikan jawaban atas pandangan para anggota dan pendapat Kepala Daerah.

6. Usul prakarsa sebelum diputuskan menjadi prakarsa DPRD, para pengusul berhak mengajukan perubahan dan/atau mencabutnya kembali.

7. Pembicaraan diakhiri dengan keputusan DPRD yang menerima atau menolak usul prakarsa menjadi prakarsa DPRD.

8. Tata cara pembahasan Rancangan Peraturan Daerah atas pakarsa DPRD mengikuti ketentuan yang berlaku dalam pembahasan Rancangan Peratuan Daerah atas prakarasa Kepala Daerah.

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) memegang kekuasaan membentuk Paraturan Daerah91, dan Rancangan Peraturan Daerah dapat berasal dari DPRD atau Kepala Daerah92. Artinya baik DPRD maupun Kepala Daerah memiliki kekuasaan yang sama dalam hal mengajukan Rancangan Peraturan Daerah.

Rancangan Peraturan Daerah yang telah disiapkan oleh Kepala Daerah disampaikan dengan surat pengantar Kepala Daerah kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)93, jika Rancangan Peratuan Daerah yang telah disiapkan oleh DPRD, maka disampaikan oleh Pimpinan DPRD kepada Kepala Daerah94.

91

Pasal 113 ayat (1) Perda No. 172/08/DPRD/2005, tentang Tatib DPRD.

92

Ibid, ayat (2).

93

Ibid, ayat (3).

Rancangan Peraturan Daerah yang berasal dari DPRD atau Kepala Daerah dibahas oleh DPRD dan Kepala Daerah untuk mendapatkan persetujuan bersama95. Sehingga dari manapun rancangan Peraturan Daerah itu berasal, tetap harus dibahas bersama serta mendapat persetujuan bersama. Karena DPRD sebagai lembaga legislasi memiliki fungsi dalam membentuk Peraturan Daerah, jika Kepala Daerah mengajukan Rancangan Peraturan Daerah, maka harus mendapat persetujuan dari DPRD, demikian sebaliknya jika Rancangan Peratuan Daerah berasal dari DPRD sebagai hak inisiatif, juga harus dibahas bersama dan disetujui bersama oleh Kepala Daerah, sebab Kepala Daerah sebagai eksekutif yang melaksanakan Peraturan Daerah di lapagan.

Apabila terdapat Rancangan Peraturan Daerah yang diajukan mengenai hal sama, yang dibicarakan adalah Rancangan Peraturan Daerah yang diterima terlebih dahulu, sedangkan Rancangan Peaturan Daerah yang diterima kemudian dipergunakan sebagai pelengkap.96

Tahap Pembahasan.

Dalam Tata Tertib DPRD Kabupaten Serdang Bedagai Pasal 115, dan Peraturan Pemerinatah Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2004 Pasal 97, disebutkan tahap pembahasan Rancangan Peraturan Daerah, yakni:

(1) Pembahasan Rancangan Peaturan Daerah dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah bersama Gubernur/Bupati/Walikota.

95

Ibid, ayat (5).

96

(2) Pembahasan Rancangan Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat(1), dilakukan melalui empat tingkat pembicaraan:

a. pembicaran tingkat pertama, meliputi:

1) Penjelasan Kepala Daerah dalam Rapat Paripurna tentang penyampaian rancangan peraturan daerah yang berasal dari Kepala Daerah.

2) Penjelasan dalam Rapat Paripurna oleh Pimpinan Komisi/gabungan Komisi atau Pimpinan Panitia Khusus terhadap rancangan Peraturan Daerah dan atau perubahan Peraturan Daerah atas usul prakarsa DPRD. b. pembicaraan tingkat kedua, meliputi:

1) dalam hal Rancangan Peratuan Daerah yang berasal dari Kepala daerah; a) pemandangan umum dari Fraksi-fraksi terhadap Rancangan Peraturan

Daerah yang berasal dari Kepala Daerah.

b) jawaban Kepala Daerah terhadap pemandangan umum fraksi-fraksi. 2) dalam hal Rancangan Peraturan Daerah atas usul DPRD:

a) pendapat Kepala Daerah terhadap Rancangan Peraturan Daerah atas usul DPRD.

c. pembicaraan tingkat ke tiga, meliputi: pembahasan dalam rapat /Gabungan Komisi atau Rapat Panitia Khusus dilakukan bersama-sama dengan Kepala Daerah atau pejabat yang ditunjuk;

d. pembicaraan tingkat keempat, meliputi:

1) pengambilan keputusan dalam Rapat Paripurna yang didahului: a) laporan hasil pembicaraan tahap ketiga;

b) pendapat ahir Fraksi; c) pegambilan keputusan.

2) penyampaian sambutan Kepala Daerah terhadap keputusan.

(3) Sebelum dilakukan pembicaraan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diadakan rapat Fraksi.

(4) Apabila dipandang perlu Panitia Musyawarah dapat menentukan bahwa pembicaraan tahap ketiga dilakukan dalam Rapat gabungan Komisi atau dalam Rapat Panitia Khusus.

Dalam Tata Tertib DPRD Pasal 117 ayat (2) disebutkan:

Bahwa Peraturan Daerah sebagimana dimaksud pada ayat (1) tidak boleh bertentangan dengan kepentingan umum, peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan peraturan daerah lain. Jika terdapat peraturan daerah yang bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi, maka peraturan daerah tersebut dengan

Tabel 3. Tahap-tahap Penyusunan Perda

Tahap Langkah Operasional

Inisiasi 1. Identifikasi dan inventarisasi aspirasi masyarakat dan issue strategis

2. Pengecekan preferensi politik masyarakat dalam pembuatan kerangka regulasi 3. Penetapan agenda daerah sebagai dasar prioritisasi penyusunan

Sosio-Politis 4. Penyusunan, penyetujuan dan pembagian tugas penyusunan RaPerda antara DRPD dan Pemerintah Daerah.

5. Penyusunan draf akademis untuk peraturan perundang-undangan yang diprioritaskan

6. Pematangan draf akademis melalui berbagai sosialisasi dan diskusi publik (termasuk pengecekan konsistensi teradap kerangka regulasi nasional dan daerah)

Yuridis 7. Penusunan RaPerda oleh alat kelengkapan DPRD yang ditugasi.

8. Pembahasan dan Penetapan Perda dalam sidang-sidang DPRD sesuai dengan ketentuan Tata Tertib (termasuk partisipasi masyarakat)97

9. Penyerahan Kepada Pemerintah Daerah untuk disahkan, disosialisasikan dan dilaksanakan.

10. Sinkronisasi lanjutan terhadap kerangka dan substansi regulasi nasional. 11. Revisi Perda sesuai dengan rekomendasi dan/atau perkembangan politik daerah. 12.Pembatalan dan Pencabutan Perda jika tidak sesuai dengan peraturan dan

perundang-undangan nasional.

Sumber: Dinamika dan Kapasitas DPRD Dalam Tata Pemerintahan Demokratis, Agung Djojosoekarto, Konrad Adenauer Stiftung.

Dokumen terkait