• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peraturan masyarakat

Dalam dokumen 5 HASIL DAN PEMBAHASAN (Halaman 54-58)

Peraturan masyarakat adalah peraturan-peraturan yang ada dalam lingkungan masyarakat (baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis) yang mengatur pemanfaatan atau pengelolaan sumberdaya alam, dimana peraturan ini juga berlaku dalam kelompok masyarakat untuk pengelolaan tanaman kemiri.

Peraturan-peraturan dalam pengelolaan sumberdaya alam dalam lingkungan masyarakat adalah dalam hal pelarangan penebangan pohon di kawasan sumber

mata air dan larangan penebangan pohon pada kawasan hutan yang dikeramatkan. Hal ini tentu berperan dalam menjaga keberadaan hutan agar tidak dirusak. Peraturan larangan yang sama juga terdapat pada masyarakat Kasepuhan di Banten (Suharjito dan Saputro 2008).

Peraturan lainnya adalah adanya sanksi yang dikenakan kepada seseorang jika terbukti bersalah dengan melakukan kesalahan seperti mencuri hasil-hasil pertanian. Jika terbukti melakukan pencurian hasil-hasil pertanian (termasuk kemiri), maka akan dikenakan sanksi tegas sesuai dengan kesepakatan yang sudah disepakati sebelumnya. Seperti di Pamah, dikenakan sanksi membayar denda seharga 1 mayam emas. Hal ini juga berlaku di Desa Pasir Tengah, tetapi sudah mulai lemah, karena bila ada terjadi pencurian, sanksi yang diterima sudah berubah dan biasanya sudah ada komunikasi dalam menuju perdamaian. Pada perkembangan saat ini, bila ada permasalahan dalam lingkungan masyarakat, maka akan dibawa dalam lembaga adat dan lembaga desa untuk mencari solusi yang terbaik dalam mengatasinya.

Rahayu dan Awang (2003) menyebutkan bahwa keuntungan finansial yang masyarakat Desa Pecekelan rasakan dari hutan rakyat telah mendorong terbentuknya suatu peraturan desa yang mengatur tentang pencurian kayu dan pakan ternak atau hasil lainnya dari hutan rakyat. Sanksi yang diberikan biasanya berupa denda yang besarnya diatur berdasarkan keputusan bersama antara yang punya hutan dengan pencuri dan perangkat desa yang berwenang.

Keberadaan suatu sumber daya alam yang memberikan manfaat kepada masyarakat akan mendorong timbulnya peraturan-peraturan yang akan menjaga hak-hak dari masyarakat dari suatu tindakan-tindakan yang merugikan pemilik sumber daya seperti hasil tanaman kemiri di Desa Pasir Tengah dan Desa Pamah dan hasil hutan rakyat di Desa Pecekelan.

3 Akses terhadap pelayanan pendukung

Pengelolaan kemiri masyarakat akan berkembang bila didukung oleh akses yang mendukung seperti penyuluhan, kredit dan teknologi. Untuk bidang penyuluhan cukup berkembang karena adanya penyuluhan bidang pertanian dan berjalan secara rutin tetapi untuk bidang tanaman kehutanan tidak ada. Akses pada bidang kredit juga berkembang tetapi lebih cenderung untuk tanaman

pertanian dan peternakan (Mosher dalam Soekartawi 2002). Sementara akses tekhnologi juga cenderung untuk bidang pertanian. Akses yang mendukung pengembangan penanaman tanaman kemiri hampir tidak ada karena kemiri belum menjadi tanaman yang diinginkan saat ini oleh beberapa masyarakat, bukan merupakan jenis tanaman yang dapat mengembalikan modal dalam waktu singkat dan teknologi pemanfaatan hasil yang belum ada, seperti pengupasan kemiri masih dilakukan manual.

4 Pengangguran

Purnomo (2006) menyebutkan bahwa bidang kehutanan dapat menciptakan lapangan kerja melalui aktivitas pembalakan di hutan, industri, pengolahan kayu, program reforestasi hutan, hutan kemasyarakatan dan lain-lain. Pengelolaan hutan skala kecil mampu menyerap tenaga kerja dan dengan nilai tambah yang lebih besar dari pengusahaan jenis tanaman lain di sela-sela jenis tanaman utamanya. Lapangan kerja yang banyak terserap dan uang hasil usaha yang beredar akan menciptakan pusat pertumbuhan ekonomi berbasis masyarakat.

Nugroho (2010) menyebutkan pengelolaan hutan rakyat dilakukan oleh tenaga kerja rumah tangga yang berperan sebagai buruh dan sekaligus manajer. Skala usaha hutan rakyat umumnya kecil dan bersifar padat karya (labour intensive) sehingga mampu menyerap tenaga kerja pedesaan dalam jumlah besar.

Pencipataan lapangan kerja bidang hutan rakyat terjadi, seperti kegiatan penebangan, pengangkutan dan industri-industri kayu rakyat. Hal ini juga terjadi pada pengusahaan kemiri yang dilakukan di Kecamatan Tanah Pinem, yaitu dengan munculnya usaha-usaha pengupasan kemiri di rumah-rumah penduduk dan bagi keluarga yang tidak memiliki lahan. Padat karya terjadi pada petani dengan pola tanaman yang beraneka ragam seperti agroforestry.

Anggota keluarga yang diwawancarai yang berada pada usia produktif secara umum sudah bekerja dengan ikut melakukan kegiatan usaha tani yang dilakukan oleh keluarganya ataupun yang ikut upahan dengan petani lainnya. Pekerjaan lain yang dilakukan adalah dengan bekerja melakukan pengupasan kemiri dan mengikat sirih. Walaupun secara jelas banyak orang yang tidak memiliki pekerjaan tetap, tetapi masyarakat secara umum sudah bisa mencari sumber penghasilan bagi dirinya sendiri dan anggota keluarga dengan ikut

bekerja diladangnya sendiri, bekerja di ladang orang lain dan melakukan pekerjaan lain seperti mengikat sirih, panjat sirih, panen coklat, membabat, dan lain-lain. Kondisi jumlah penduduk yang tidak bekerja di lokasi penelitian selama 5 tahun (2005-2009) dapat dilihat pada Tabel 32. Jumlah penduduk yang tidak bekerja setiap tahunnya cenderung menurun. Djajapertjunda (2003) menyebutkan bahwa hutan rakyat secara langsung akan berdampak pada terbukanya lapangan pekerjaan. Lapangan pekerjaan ini bisa dalam anggota keluarga petani dan bisa dari luar anggota keluarga petani. Darusman dan Hardjanto (2006) juga menyebutkan bahwa hutan rakyat mampu menyerap tenaga kerja di desa. Penyerapan tenaga kerja dalam bidang usaha kemiri adalah pembabatan tumbuhan bawah, pengumpulan dan pengangkutan buah serta pengolahan hasil.

Tabel 32 Kondisi penduduk tidak bekerja tahun 2005-2009

No Tahun Desa Total

Kutabuluh Pamah Pasir Tengah

1 2005 331 366 223 920

2 2006 331 366 223 920

3 2007 241 184 230 655

4 2008 145 144 107 396

5 2009 140 146 112 398

Sumber : Kecamatan Tanah Pinem Dalam Angka (2006-2010)

5 Kemiskinan

BPS (2008) menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic needs approach) dalam mengetahui tingkat kemiskinan penduduk. Pendekatan ini dipandang dari ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran. Jadi, penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran perkapita perbulan di bawah garis kemiskinan. Garis kemiskinan untuk Propinsi Sumatera Utara menurut BPS (2008) di tingkat desa tahun 2007 adalah Rp154.827 dan tahun 2008 adalah Rp171.922 dalam Rp/Kapita/bulan.

Dari hasil pengolahan data, besaran pengeluaran responden per bulan dibagi dengan jumlah anggota keluarga menunjukkan bahwa pengeluaran per kapita per bulan terendah adalah Rp233.333. Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada responden yang berada dalam kategori keluarga miskin karena rata-rata

pengeluarannya perbulan masih di atas garis kemiskinan yang sudah ditetapkan propinsi yaitu Rp171.922,- Sedangkan jika keseluruhan pengeluaran responden dibagi dengan jumlah keseluruhan anggota keluarga, maka diperoleh rata-rata tingkat pengeluaran per kapita semua responden adalah Rp616.677 artinya bahwa keseluruhan reponden bukan termasuk keluarga miskin karena pengeluaran per kapitanya masih di atas standar BPS pada tahun 2008.

Dalam dokumen 5 HASIL DAN PEMBAHASAN (Halaman 54-58)

Dokumen terkait