• Tidak ada hasil yang ditemukan

5 HASIL DAN PEMBAHASAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "5 HASIL DAN PEMBAHASAN"

Copied!
75
0
0

Teks penuh

(1)

5 HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Pengelolaan Kemiri Rakyat di Kecamatan Tanah Pinem

Kemiri merupakan tanaman yang tumbuh dan berkembang di Kecamatan Tanah Pinem sejak dahulu sampai sekarang. Keberadaan tanaman ini sudah berlangsung turun temurun. Tanaman kemiri berperan dalam memenuhi kebutuhan masyarakat dan menjadi sumber penghasilan masyarakat. Berikut ini adalah gambaran mengenai keadaan tanaman kemiri rakyat yang yang ada di Kecamatan Tanah Pinem meliputi pola tanam, kondisi tanaman, teknik budidaya, pengelolaan hasil dan pemasarannya.

Pola penanaman kemiri yang dimiliki oleh masyarakat adalah sejenis (monokultur) dan agroforestry yaitu campuran dengan tanaman lain seperti sirih, cokelat, kelapa, pinang, durian, cengkeh dan lain-lain (Tabel 20). Responden yang menanam kemiri saja sebanyak 35 responden (55,56%) sedangkan yang menanam dengan kombinasi tanaman lain sebanyak 28 responden (44,44%). Keberadaan tanaman lain di antara tanaman kemiri berperan dalam menambah penghasilan petani, seperti sirih yang tumbuh secara alami maupun ditanam, tidak perlu ada perawatan dan pemeliharaan khusus tetapi dapat menghasilkan sebanyak 4 kali dalam setahun. Pola pengelolaan kemiri rakyat di Kecamatan Tanah Pinem mirip dengan pola pengelolaan kemiri rakyat di Kabupaten Maros dengan pola monokultur dan agroforestry yaitu kombinasi antara kemiri dengan palawija, pisang dan coklat (Yusran 1999; Ichwandi 2001).

Tabel 20 Pola tanaman kemiri rakyat

No Pola tanaman Jumlah Responden Persentase

1 Kemiri 35 55,56

2 Kemiri + sirih 8 12,70

3 Kemiri + cokelat 4 6,35

4 Kemiri + cokelat + pinang + sirih + dll 16 25,40

Jumlah 63 100,00

Pada Gambar 3 dapat dilihat pola tanaman kemiri rakyat yang ada di Kecamatan Tanah Pinem.

(2)

(a) monokultur

(b) agroforestry Gambar 3 Pola tanaman kemiri rakyat.

Rata-rata luas lahan yang ditanami tanaman kemiri cukup lebar yaitu 2,67 ha, yang paling kecil adalah 0,45 ha dan yang paling besar adalah 6 ha. Besar kecilnya luas lahan yang dimiliki oleh petani yang ditanami kemiri mempengaruhi jumlah pohon yang tumbuh dan besaran produksi yang diperoleh yang tergantung pada jarak tanam yang ada.

(3)

Tanaman kemiri yang dimiliki oleh masyarakat saat ini adalah tanaman yang diwariskan dari orang tua, ada juga yang ditanam sendiri dan ada yang dibeli dalam kondisi sudah ada tanaman kemirinya. Masyarakat yang menanam sendiri adalah masyarakat yang membuka lahan di dalam dan luar kawasan hutan. Pada saat awal penanaman, masyarakat mendapatkan bibit dari tanaman yang tumbuh secara alami di ladang dan hutan. Alasan masyarakat mempertahankan tanaman kemiri sampai saat ini, antara lain perawatan tidak susah atau tidak ada perawatan khusus, tidak perlu ada pemupukan, bisa mendatangkan hasil setiap hari, bermanfaat dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari, cocok untuk lahan miring dan bersifat sebagai tabungan untuk masa depan.

Gambar 4 Buah kemiri yang disimpan yang akan dijual pada saat dibutuhkan.

Pada saat awal penanaman, masyarakat sebagian besar sudah menggunakan jarak tanam. Tetapi, kondisi tanaman yang ada saat ini umumnya sudah tidak memiliki jarak tanam yang teratur karena sebagian besar sudah ada yang tumbang dan ada juga yang dibiarkan tumbuh secara alami (permudaan alami). Jumlah responden yang memiliki jarak tanam teratur sebanyak 29 responden (46,03%) yaitu antara 5m x 5m sampai 10m x 12m, sedangkan 34 responden (53,97) menyebutkan bahwa jarak tanam yang ada di lahan miliknya tidak teratur lagi.

(4)

(a) jarak tanam teratur (b) jarak tanam tidak teratur Gambar 5 Kondisi jarak tanaman kemiri rakyat.

Kondisi umur tanaman yang ada saat ini adalah beragam. Secara umum, tanaman-tanaman yang ada sudah memasuki umur tidak produktif. Umur rata-rata tanaman kemiri adalah 37,37 tahun. Tanaman yang paling muda berumur 13 tahun sedangkan tanaman paling tua berumur 80 tahun. Dari semua responden, hanya 5 responden (7,94%) yang pernah melakukan peremajaan. Alasan peremajaan dilakukan karena memiliki lahan pada lahan-lahan miring yang curam, pemeliharaannya tidak sulit dan merasakan bahwa kemiri masih mendatangkan hasil yang lumayan bagi hidupnya.

(a) tanaman produktif (b) tanaman tua (tidak produktif)

(5)

Paimin (1994); Koji (2002); Deptan (2006a) menyebutkan bahwa batas produksi kemiri sampai umur 35 tahun. Tanaman kemiri di atas umur 35 tahun tetap berproduksi, tetapi cenderung menurun sampai umur 50 tahun. Bila tanaman kemiri produktif sampai umur 35 tahun, maka terdapat 32 responden (50,79%) memiliki tanaman kemiri yang masih produktif dan 31 responden (49,21%) memiliki tanaman kemiri yang tidak produktif. Ichwandi (2001) menyebutkan bahwa kriteria kelas umur muda untuk kemiri adalah dibawah 10 tahun, produktif pada umur 11-35 tahun dan umur tua di atas 35 tahun. Pada Tabel 21 dapat dilihat bahwa hampir 50,6% tanaman kemiri rakyat sudah melewati umur produktif, yang menunjukkan bahwa proses regenerasi kemiri rakyat di Kecamatan Tanah Pinem tidak berlangsung secara berkelanjutan (Yusran 1999). Walaupun tanaman kemiri sudah melewati umur produktif, tanaman kemiri akan tetap menghasilkan buah, tetapi hasilnya akan menurun seiring dengan pertambahan umur karena tanaman sudah lebih rentan terhadap serangan hama dan penyakit dan lebih mudah tumbang.

Tabel 21 Produksi tanaman kemiri rakyat tahun 2010 No Umur (tahun) Luas (ha) Produksi (kg) Jumlah pohon (batang) Produksi per ha (kg/ha)

Produksi per pohon (kg/pohon)

1 13 – 35 83 55.686 10.209 670,92 5,45

2 > 35 84,95 42.284 9.071 497,75 4,66

Total 167,95 97.970 19.280 - -

Rata-rata 583,33 5,08

Pada tabel di atas dapat dilihat produksi buah kemiri rakyat yang sudah dikupas pada tahun 2010. Jika dilihat dari luas tanaman, maka tanaman kemiri yang masuk kategori menghasilkan adalah 83 ha dengan rata-rata produksi biji kupasan 670,92 kg/ha, sedangkan 84,95 ha lainnya termasuk pada kategori tanaman tua menghasilkan dengan rata-rata produksi biji kupasan 497,75 kg/ha. Produksi buah per ha secara keseluruhan adalah rata-rata 583,33 kg/ha. PPL (2010) menyebutkan produktivitas tanaman kemiri di Kecamatan Tanah Pinem pada tahun 2010 adalah 520 kg/ha. Hasil ini lebih kecil dengan produksi kemiri di Indonesia tahun 2007 yaitu 797 kg/ha (Deptan 2009). Produksi kemiri yang dihasilkan di Kecamatan Tanah Pinem hampir sama dengan rata-rata produksi kemiri di Indonesia sekitar 0,5 ton/ha/tahun biji kupasan (Paimin 1994).

(6)

Produksi buah per pohon adalah berbeda-beda. Hal ini dipengaruhi umur pohon dan kondisi kesehatan tanaman. Pada Tabel 21, produksi kemiri pada kategori umur menghasilkan (umur 5 sampai 35 tahun) adalah 5,45 kg biji kupasan/pohon sedangkan produksi kemiri pada kategori tanaman tua menghasilkan (di atas 35 tahun) menurun menjadi 4,66 kg biji kupasan/pohon. Rata-rata produksi buah kemiri untuk keseluruhan sampel adalah 5,08 kg biji kupasan/pohon. Produksi kemiri per pohon di atas masih sangat kecil jika dibandingkan dengan Dephut (2006a) dan Paimin (1994) yang menyebutkan produksi pohon kemiri pada saat panen pertamanya adalah 10 kg biji kupasan/pohon (umur 5 tahun), 25 kg biji kupasan (umur 6 sampai 10 tahun) dan akan menghasilkan produksi yang stabil berkisar 35 sampai 50 kg/pohon/tahun (umur 11 sampai 20 tahun).

Perbedaan produktivitas kemiri ini sangat dipengaruhi oleh jumlah tanaman per satuan luas, kondisi kesehatan tanaman, kondisi tempat tumbuh dan intensitas pemeliharaan. Jumlah pohon pada suatu lahan dipengaruhi oleh jarak tanam yang ada. Hasil wawancara menunjukkan bahwa pada saat awal penanaman terdapat jarak tanam seperti 8m x 8m, 8m x 10m dan lain-lain. Tetapi seiring berjalannya waktu, tanaman kemiri adalah tanaman yang mudah busuk sehingga dapat tumbang pada saat angin kencang maupun pada musim penghujan. Ada juga penambahan tanaman yang tumbuh secara alami yang dibiarkan berkembang menjadi tanaman besar. Akibatnya adalah jarak tanam menjadi tidak beraturan. Rata-rata jumlah pohon per ha untuk keseluruhan responden adalah 115 pohon.

Rendahnya hasil produksi yang diperoleh petani berhubungan dengan tingkat intensitas kegiatan perawatan yang dilakukan terhadap tanaman dan adanya pengaruh penyakit yang selama ini sudah sering terjadi tetapi belum ditemukan cara mengatasinya yaitu terjadinya gugur buah pada saat buah sudah hampir mencapai kondisi panen. Buah yang gugur tidak bisa dipanen karena belum menghasilkan biji kupasan (kernel). Untuk kegiatan pemeliharaan tanaman, sebagian besar responden menyebutkan bahwa tidak ada kegiatan pemupukan yang dilakukan karena jika dipupuk, buah akan banyak dan pada saat buah mulai besar, cabang atau ranting pohon banyak yang patah sehingga menyebabkan kerugian bagi petani.

(7)

Gambar 7 Perbedaan antara buah yang jatuh alami dan buah yang jatuh karena penyakit gugur buah.

Jika dibandingkan dengan produksi kemiri dari tempat lain, maka produksi kemiri di beberapa tempat di Indonesia adalah berbeda-beda. Yusran (1999) menyebutkan bahwa produktivitas kemiri rakyat di Kabupaten Maros adalah 72,1 kg/ha. Darmawan dan Kurniadi (2007) menyebutkan bahwa produktivitas kemiri Propinsi Nusa Tenggara Timur, tepatnya di Kabupaten Ngada (2001) berkisar 3,67–5 kg/pohon/tahun, di Kecamatan Soa dan Bajawa rata-rata 13,02 kg/pohon/tahun, di Kabupaten Ende rata-rata 7,25 kg/pohon/tahun dan di Kecamatan Ende Selatan dan Kecamatan Ndona rata-rata 15,09 kg/pohon/tahun. Wibowo (2007) menyebutkan produksi kemiri di Desa Kuala adalah 62,5 kg per pohon. Besar kecilnya produktivitas kemiri di berbagai tempat menunjukkan bahwa produksi kemiri berbeda-beda antara tempat yang satu dengan tempat yang lain, yang dapat disebabkan oleh faktor tempat tumbuh, umur tegakan, kondisi tanaman (sehat atau sakit) dan faktor lingkungan (perubahan musim).

Umumnya masyarakat menyatakan bahwa menanam kemiri tidak sulit karena hanya melakukan penanaman, pembersihan tumbuhan bawah dan tinggal menunggu hasil, tidak perlu penggunaan pupuk dan dapat ditinggalkan dalam

Buah matang yang jatuh secara alami Buah yang jatuh karena penyakit gugur buah

(8)

waktu yang lama, yang berhubungan dengan intensitas masyarakat melakukan pemeliharaan terhadap tanaman kemiri. Hal ini menunjukkan bahwa pengelolaan tanaman kemiri rakyat sangat sederhana dan tidak intensif (Koji 2002; Wibowo 2007; Awang et al. 2007). Dari keseluruhan responden, hanya 3 responden yang rutin pergi ke ladang, 21 responden hanya pergi pada saat-saat tertentu, 37 responden melakukan pemeliharaan kemiri pada saat panen dan 2 responden hampir tidak pernah melakukan pemeliharaan.

Tabel 22 Intensitas kunjungan petani pada tanaman kemiri

No Intensitas pemeliharaan Jumlah

Responden

Persentase

1 Rutin ke ladang 3 4,76

2 Jarang pergi (pada saat tertentu saja) 21 33,33

3 Pada saat panen 37 58,73

4 Tidak pernah melakukan pemeliharaan 2 3,17

Jumlah 63 100,00

Kegiatan pemeliharaan yang dilakukan oleh masyarakat pada tanaman kemiri adalah pembersihan tumbuhan bawah karena mengganggu pada saat dilakukan pengumpulan buah. Pembersihan tumbuhan bawah dilakukan dua kali setahun yaitu pada saat musim berbuah besar yang dilakukan dengan cara membabat ataupun dengan menggunakan round-up untuk mematikan tumbuhan bawah. Pembersihan tumbuhan bawah yang dilakukan dengan membabat akan membutuhkan waktu yang agak lama sedangkan bila menggunakan zat kimia, akan lebih cepat dan praktis.

Tanaman kemiri pada dasarnya bisa berbuah sepanjang tahun, tetapi (Deptan 2006a) menyebutkan bahwa panen buah dapat dilakukan 2-3 kali setahun. Informasi dari masyarakat menyebutkan bahwa musim berbuah sekarang dengan musim berbuah dulu (tahun 1980-an) sudah jauh berbeda. Pada waktu dulu, masyarakat dapat memperoleh hasil sepanjang tahun, tetapi sekarang hampir tidak menentu. Deptan (2006a) menyebutkan untuk merangsang pembentukan bunga tanaman kemiri, maka dibutuhkan musim kemarau yang tegas, bila setelah penyerbukan hujan turun, maka bunga akan gugur dan persentase bunga menjadi buah akan semakin kecil. Perubahan musim berbuah dan besar kecilnya jumlah buah yang dihasilkan di lokasi penelitian, diduga

(9)

terjadi karena perubahan musim penghujan dan musim kering yang tidak menentu akhir-akhir ini.

Hasil wawancara dengan masyarakat menyatakan bahwa musim berbuah paling besar terjadi 1 kali setahun dan ada juga yang menyebutkan 2 kali setahun. Perbedaannya hanya pada besaran produksi yang dihasilkan. Musim berbuah besar adalah musim berbuah paling banyak dibandingkan dengan musim berbuah lainnya sedangkan musim kedua adalah musim berbuah besar tetapi hasilnya tidak seperti pada musim berbuah besar yang pertama. Adapun kisaran bulan musim berbuah kemiri adalah antara bulan Mei sampai Juli dan bulan Nopember sampai Januari. Tetapi ada juga yang menyebutkan bulan lainnya selain bulan di atas. Hal ini terjadi karena memang tidak semua tanaman kemiri memiliki musim berbuah yang sama secara keseluruhan, ada yang berbuah di luar musim berbuah biasanya.

(a) berbunga (b) berbuah

Gambar 8 Pohon kemiri sedang berbunga dan berbuah.

Pemanenan buah dilakukan dengan cara menunggu buah jatuh ke tanah. Tidak ada kegiatan pengambilan buah secara sengaja, karena hal ini berhubungan dengan tingkat kematangan buah yang akan diperoleh. Buah yang dipanen adalah buah yang sudah jatuh ke tanah, kemudian dikumpulkan, dikupas dari daging buah dan diangkut ke rumah. Pengangkutan kemiri sangat sulit dilakukan karena berat dan jarak tempuh dari ladang ke rumah. Masyarakat mengatakan bahwa jika membawa kemiri dengan cara menjujung di atas kepala seperti membawa batu. Sehingga, saat ini dilakukan dengan menggunakan sepeda motor yang disebut dengan sistem “langsir”. Pengangkutan bagi petani yang memiliki sepeda motor

(10)

tidak ada masalah, tetapi bagi petani yang tidak memiliki sepeda motor, hal ini menjadi biaya pengeluaran.

Sebelum kemiri dikupas, dilakukan penjemuran selama 3-4 hari bila cuaca cerah atau 5-6 hari bila cuaca tidak cerah. Masyarakat umumnya menjual kemiri yang dimilikinya dengan mengupas terlebih dahulu (biji kupasan) karena berhubungan dengan harga jual yang lebih tinggi. Ada juga yang menjual kemiri tanpa dikupas dengan alasan memenuhi kebutuhan mendesak seperti membeli beras. Harga jual kemiri kupasan pada saat penelitian berkisar antara Rp22.000 sampai Rp25.200 per kg, sedangkan harga biji kemiri yang tidak dikupas adalah Rp6.000 sampai Rp8.000 per tumba (1 tumba=2 liter).

(a) Kemiri di jemur (b) kemiri kering

(c) Pengupasan kemiri (d) Kemiri setelah dikupas Gambar 9 Proses pengupasan kemiri.

Untuk melakukan pemasaran hasil, masyarakat tidak mengalami kesulitan karena hampir di semua desa ada pembeli lokal (toke) dan ada juga pedagang pengumpul yang datang dari luar desa. Harga di pasar dengan harga di rumah

(11)

adalah sama. Karena itu, masyarakat tidak mengalami kesulitan dalam pemasaran dan tidak ada biaya yang keluar. Selain buah, kulit biji kemiri juga sudah laku dijual dengan harga Rp10.000 sampai Rp13.000 per karung (ukuran karung urea). Kulit biji kemiri mulai laku dijual sejak tahun 2009 yang digunakan untuk industri-industri yang menggunakan pengering (dryer) dalam bentuk tungku yang membutuhkan bahan baku kayu bakar. Sejak kesulitan dalam menemukan bahan bakar kayu, banyak industri-industri yang beralih menggunakan kulit kemiri karena bara api yang lebih tahan lama.

(a) Kulit kemiri (cangkang) (b) Pengangkutan kulit kemiri Gambar 10 Pengangkutan kulit kemiri yang dijual ke industri di Medan.

Setelah melakukan rangkaian pengumpulan data primer, data sekunder dan juga melakukan kunjungan lapangan, wawancara dan diskusi dengan masyarakat, tokoh masyarakat dan pihak terkait, adapun hasil penelitian yang diperoleh untuk menjawab tujuan penelitian dapat dilihat pada pembahasan berikutnya.

5.2 Faktor yang Mempengaruhi Masyarakat Mengelola Kemiri

Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi masyarakat mengelola tanaman kemiri, dilakukan analisis dengan model regressi logistik. Adapun variabel bebas yang digunakan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi masyarakat untuk mengelola tanaman kemiri adalah umur petani

(12)

(tahun), lama tinggal di desa (tahun), luas lahan yang dikelola (ha), pekerjaan sampingan (ada atau tidak ada), status kepemilikan lahan (belum bersertifikat/sudah bersertifikat), jumlah anak sekolah (orang), jumlah anggota keluarga produktif (orang), jumlah tanggungan dalam keluarga (orang), jumlah pendapatan per bulan (Rp/bulan), asal usul tanah (beli/warisan/garap sendiri), kondisi jalan atau aksesibilitas ke ladang (mudah atau sulit), pekerjaan utama (petani/non petani), pengalaman bertani (tahun), jarak dari rumah ke ladang (meter), status lahan yang dipakai (sewa/milik), tingkat pendidikan sekolah (tidak sekolah, SD/SR, SLTP, SMU, Sarjana) dan jumlah anak yang sekolah di luar daerah (orang).

Tabel 23 Hasil estimasi menggunakan regressi logistic

Peubah B Sig Exp (B)

Konstanta -7,815 0,015 0,000

Umur petani (X1) 0,087 0,027* 1,091

Luas lahan (X3) 0,955 0,001* 2,600

Pendapatan per bulan (X9(3)) -2,315 0,040* 0,099 Asal usul tanah (X10(2)) 3,213 0,038* 24,843 Aksesibilitas ke ladang (X11(1)) -1,411 0,054** 0,244

Keterangan : *= signifikan pada taraf nyata 5%, **=signifikan pada taraf nyata 10%

Hasil estimasi faktor-faktor yang mempengaruhi petani mengambil keputusan untuk mengelola tanaman kemiri dapat dilihat pada Tabel 23. Hasil analisis menunjukkan bahwa dari 17 faktor yang diduga mempengaruhi seorang untuk mengelola tanaman kemiri, hanya 4 faktor yang signifikan pada taraf nyata 5%, yaitu umur petani, luas lahan, pendapatan per bulan dan asal usul tanah serta 1 faktor yang signifikan pada taraf nyata 10%, yaitu aksesibilitas ke ladang. Adapun model regressi logistik yang diperoleh adalah

Ln(p/1-p) =-7,815+ 0,087 umur petani + 0,955 luas lahan - 2,315 pendapatan per bulan + 3,213 asal usul tanah – 1,411 aksesibilitas ke ladang

Untuk menilai kelayakan model dalam memprediksi, digunakan uji Chi Square Hosmer dan Lemshow. Adapun hipotesis yang digunakan adalah

(13)

H0 = Tidak ada perbedaan antara klasifikasi yang diprediksi dengan klasifikasi

yang diamati

H1 = Ada perbedaan antara klasifikasi yang diprediksi dengan klasifikasi yang

diamati

Hasil pengujian yang diperoleh adalah nilai Chi Square sebesar 3,679 dan nilai Sig sebesar 0,885. Hal ini menunjukkan bahwa nilai Sig lebih besar dari α sebesar 0,1 sehingga kesimpulannya adalah menerima H0, artinya tidak ada

perbedaan antara klasifikasi yang diprediksi dengan klasifikasi yang diamati sehingga model regressi logistik bisa digunakan untuk analisis selanjutnya.

Untuk melihat keakuratan model regressi logistik, dapat dilihat dari count-R2, Nagelkerke-R2 dan Cox & Snell–R2. Untuk mengetahui count-R2 dapat dilihat pada clasification table (Bock 1:Metode = Enter), dimana banyaknya prediksi pengamatan yang benar sebanyak 101 dan jumlah pengamatan keseluruhan 126 sehingga count-R2 = 101/126 = 0,802. Hal ini menunjukkan bahwa keakuratan model regressi logistik dapat dikatakan tinggi sebesar 80,2% dan model tersebut dapat digunakan untuk mengalokasikan responden yang mengelola dan yang tidak mengelola kemiri. Nilai berdasarkan Nagelkerke-R2 mengindikasikan bahwa peluang mengelola kemiri dapat diterangkan oleh variabel umur, luas lahan, pendapatan per bulan, asal usul lahan dan aksesibilitas ke ladang sebesar 54.4% sedangkan menurut Cox & Snell-R2 sebesar 40.8%.

Berikut ini adalah analisis faktor-faktor yang mempengaruhi masyarakat mengelola kemiri, yaitu umur petani, luas lahan, pendapatan per bulan, asal usul tanah dan aksesibilitas ke ladang.

a. Faktor umur petani

Umur merupakan faktor yang mempengaruhi kekuatan fisik, cara berpikir dan bertindak seseorang. Seorang petani yang berumur muda akan mempunyai tubuh atau fisik yang kuat dan cenderung mudah menerima dan mempraktekkan teknik baru dalam bertani. Pada kondisi ini, seorang petani muda akan lebih memilih jenis tanaman yang cepat menghasilkan walaupun membutuhkan waktu dan tenaga yang besar untuk mengelolanya. Ichwandi (2001) menyebutkan bahwa usia produktif menunjukkan tersedianya sumber

(14)

tenaga kerja yang baik, karena umur produktif akan lebih mudah menerima perubahan, ide-ide dan inovasi.

Sementara itu, seorang petani yang sudah berumur tua, mempunyai pengalaman lebih banyak, lebih matang, tetapi memiliki kekuatan fisik yang cenderung menurun dan lebih berani mempraktekkan teknik bertani yang lama yang sudah pernah dialami sebelumnya. Akibatnya, petani yang berumur tua cenderung menanam tanaman yang tidak memerlukan intensitas tinggi ke ladang tetapi tetap dapat memberikan hasil yang dapat diperoleh setiap saat untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

Hasil analisis menunjukkan bahwa umur petani mempunyai nilai koefisien positif dengan nilai odd ratio 1,091. Setiap penambahan 1 tahun umur responden, peluang seseorang untuk mengelola kemiri adalah 1,091 kalinya dibanding peluang seseorang tidak mengelola kemiri, ceteris paribus. Pada Tabel 12 dapat dilihat bahwa kelompok umur petani kemiri lebih banyak di atas 50 tahun yaitu 41 responden (65,08%) dibandingkan kelompok umur petani non kemiri yaitu 20 responden (31,75%). Hal ini menunjukkan bahwa petani yang menanam serta mempertahankan mengelola kemiri adalah yang sudah memasuki usia tua atau sudah mulai tidak produktif.

Hardono dan Saliem (2006) dalam penelitiannya tentang peluang masyarakat melakukan diversifikasi usaha, menyebutkan bahwa semakin tua umur KK kecenderungan melakukan diversifikasi usaha semakin berkurang. Hal ini disebutnya wajar karena mengingat dalam melakukan diversifikasi usaha membutuhkan dukungan kondisi jasmani yang sehat, sehingga diversifikasi usaha pada rumah tangga yang KK-nya masih produktif cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan rumah tangga dengan KK yang sudah tidak produktif.

Jika hal ini dihubungkan dengan peluang menanam dan mengelola kemiri, seseorang yang semakin tua umurnya maka kemampuan fisiknya akan berkurang (sudah mulai tidak produktif) akan lebih berpeluang menanam dan mengelola kemiri, karena tidak memerlukan waktu dan tenaga yang besar dalam pengelolaannya.

(15)

b. Faktor luas lahan

Luas lahan yang dimiliki oleh seseorang akan mempengaruhi jenis usaha yang akan dilakukannya pada lahan tersebut. Semakin luas lahan yang dimiliki oleh seseorang, maka ada kemungkinan untuk menanam lebih dari satu jenis tanaman. Pada Tabel 19 dapat dilihat bahwa responden petani kemiri memiliki luas lahan yang cukup besar. Terdapat 41 responden (65,01%) petani kemiri memiliki luas lahan di atas 2 ha, sedangkan 41 responden (65,01%) petani non kemiri memiliki luas lahan rata-rata di bawah 2 ha. Rata-rata luas kepemilikan lahan petani non kemiri adalah 1,54 ha, lebih kecil dibanding dengan rata-rata luas kepemilikan lahan petani kemiri yaitu 2,67 ha. Hasil ini menunjukkan bahwa pemilik lahan yang luas akan cenderung menanam jenis tanaman kemiri disamping jenis tanaman lain seperti pola agroforestry atau tanaman campuran. Alasan lain, mengapa pemilik lahan yang lebih luas menanam kemiri adalah karena sebagian besar responden yang diwawancarai adalah petani yang memiliki lahan pada daerah yang curam sampai terjal dengan tingkat kelerengan di atas 250, dimana lahan ini umumnya tidak cocok untuk ditanami tanaman pertanian.

Dari hasil pengolahan data diperoleh bahwa luas lahan berpengaruh nyata terhadap pengambilan keputusan untuk mengelola kemiri dengan nilai koefisien positif dan dengan nilai odd ratio 2,600. Setiap peningkatan luas lahan 1 hektar, peluang seseorang untuk mengelola kemiri adalah 2,600 kalinya dibanding peluang seseorang tidak menanam kemiri, ceteris paribus. Sumaryanto (2006) dalam penelitiannya tentang faktor yang mempengaruhi keputusan melakukan diversifikasi, menyebutkan bahwa faktor luas lahan tidak berpengaruh nyata dalam menjelaskan diversifikasi usahatani, artinya rata-rata luas kepemilikan lahan tidak menjadi kendala dalam melakukan diversifikasi usahatani. Hasil ini berbeda dengan hasil analisis di atas yang menyebutkan bahwa luas lahan signifikan dalam menjelaskan peluang untuk mengelola kemiri, ini terjadi karena masyarakat yang menanam dan mengelola kemiri pada lahan miliknya adalah masyarakat yang memiliki lahan pada kondisi topografi yang curam dan terjal. Masyarakat mengatakan bahwa tidak memiliki pilihan lain selain menanam

(16)

kemiri karena hanya kemiri yang bisa ditanam dan dapat mendatangkan penghasilan bagi mereka. Apabila menanam tanaman pertanian, biaya usaha besar, bahaya erosi dan longsor serta resiko tanaman dimakan oleh hama (monyet dan babi hutan). Jika kondisi lapangan datar, ada kemungkinan masyarakat bisa beralih menanam tanaman lain yang dapat mendatangkan penghasilan besar.

c. Faktor pendapatan per bulan

Besar kecilnya pendapatan petani mempengaruhi keputusan apa yang akan dikerjakan dan jenis usaha yang akan dilakukannya pada sebidang lahan yang dimilikinya. Bila pendapatan petani cukup besar, kemungkinan petani tersebut akan memilih menanam tanaman yang mendatangkan hasil yang banyak walaupun dengan resiko harus mengeluarkan modal yang cukup besar. Andayani (2002) menyebutkan, pemilik lahan yang berlatar belakang sosial ekonominya cukup mampu akan memilih jenis usaha yang memiliki nilai komersial tinggi pada lahan miliknya dan pada pemilik lahan yang kurang mampu, pemilihan jenis terkendala oleh faktor ekonomi tersebut.

Pada faktor ini, pendapatan petani per bulan dikategorikan menjadi 4 kelompok, yaitu: pendapatan rendah, pendapatan sedang, pendapatan tinggi dan pendapatan sangat tinggi. Pengelompokkan data dilakukan untuk memudahkan analisis data yang akan diolah. Bila angka pendapatan digunakan secara langsung, akan menimbulkan kesenjangan (gap) pada hasil yang diperoleh karena angka yang digunakan sangat besar.

Dari hasil pengolahan data diperoleh, petani dengan pendapatan per bulan sangat tinggi berpengaruh nyata terhadap pengambilan keputusan untuk menanam kemiri dengan nilai odd ratio 0,099, tetapi memiliki nilai koefisien yang negatif. Peluang seseorang yang memiliki pendapatan sangat tinggi untuk mengelola kemiri adalah 0,099 kalinya dibanding dari seseorang yang pendapatannya rendah, atau peluang seseorang yang berpendapatan rendah untuk mengelola kemiri adalah 10,10 (1/0,099) kalinya dibanding dari seseorang yang berpendapatan sangat tinggi, ceteris paribus. Hasil akhir ini menunjukkan bahwa petani dengan penghasilan yang rendah akan cenderung lebih memilih menanam kemiri, ini terjadi karena berhubungan dengan

(17)

modal usaha yang tidak besar dalam mengelolanya, khususnya dalam kegiatan penanaman dan pemeliharannya. Hal ini didukung oleh Andayani (2002) yang menyebutkan bahwa pemilihan jenis usaha pada sebidang lahan akan terkendala oleh faktor ekonomi. Hardjanto (2003) menyebutkan bahwa pemilik kayu rakyat (yang mengusahakan hutan rakyat) umumnya adalah petani miskin dengan modal yang sangat terbatas, karena biaya pengelolaan kayu rakyat hampir tidak ada dan tenaga kerja yang digunakan untuk pemeliharaan kayu rakyat dapat dikerjakan oleh anggota keluarga. Suharjito (2002) menyebutkan salah satu alasan mengapa masyarakat memilih menanam jenis tertentu pada kebun talun adalah mudah memelihara. Hal ini merujuk pada orientasi hemat input produksi (tenaga kerja, pupuk dan obat-obatan) dan pengelolaannya kurang intensif.

Hasil dari analisis yang diperoleh berbeda dengan hasil penelitian Hardono dan Saliem (2006) dan penelitian Fatmawati (2011). Hardono dan Saliem (2006) dalam penelitiannya tentang diversifikasi pendapatan rumah tangga menyebutkan bahwa peluang diversifikasi usaha lebih tinggi pada rumah tangga yang sumber pendapatannya terbatas, akibatnya diversifikasi usaha menjadi suatu kebutuhan atau suatu strategi mempertahankan kesejahteraan (livelihood strategy) hidupnya.

Fatmawati (2011) juga menyebutkan bahwa faktor pendapatan yang semakin tinggi akan memberi peluang yang lebih besar kepada masyarakat untuk memiliki (menanam) cendana. Hal ini disebabkan karena pendapatan dari cendana sangat besar dan berhubungan dengan biaya pemeliharaan yang intensif dan modal usaha untuk menanam cendana.

Kedua hasil penelitian di atas berbeda dengan hasil yang diperoleh dari pengolahan data, karena peluang menanam kemiri lebih besar pada seseorang yang berpenghasilan lebih rendah. Seseorang yang berpenghasilan rendah akan berjuang mendapatkan penghasilan yang lebih besar dengan menanam tanaman yang lebih mudah dikelola, lebih cepat mendatangkan penghasilan dan tidak memerlukan modal yang tinggi. Tetapi, dalam hal ini masyarakat dengan penghasilan lebih rendah lebih memilih menanam kemiri karena petani berpenghasilan rendah sudah merasakan manfaat dari tanaman kemiri

(18)

sehingga cenderung lebih memilih untuk tetap mempertahankannya daripada mengganti tanaman lain yang belum tentu mendapatkan keuntungan yang besar dan lebih berpeluang untuk mencari penghasilan sampingan dari sumber lain karena tanaman kemiri tidak memerlukan pengelolaan yang intensif. Sehingga alasan mengapa masyarakat yang berpendapatan rendah menanam kemiri adalah karena biaya usaha yang tidak besar.

d. Faktor asal usul tanah

Ichwandi (2001) menyebutkan hak kepemilikan lahan di Kabupaten Maros diperoleh melalui jalur warisan, pembelian dan membuka lahan sendiri. Hal ini juga berlangsung di Kecamatan Tanah Pinem. Asal usul kepemilikan lahan biasanya berhubungan dengan jenis tanaman apa yang sebelumnya dikelola pada lahan tersebut. Seseorang yang membeli lahan, akan mengambil keputusan untuk tetap mempertahankan tanaman yang ada diatasnya atau mengganti dengan jenis tanaman baru. Bila warisan, maka biasanya akan mempertahankan jenis tanaman yang ada. Suharjito (2002) menyebutkan bahwa salah satu alasan masyarakat Desa Buniwangi-Sukabumi memilih jenis tanaman yang diusahakan pada kebun talun adalah warisan dari orang tua. Hal yang sama juga terjadi pada pewarisan repong damar di Pesisir Krui-Lampung (Wijayanto 2002).

Sedangkan bila tanah tersebut berasal dari hasil garapan, apalagi lahan tersebut adalah kawasan hutan, maka jenis tanaman yang akan ditanam adalah jenis tanaman yang mendatangkan manfaat bagi petani yang bersangkutan dan jenis yang dipilih berdasarkan jenis tanaman yang ada disekitarnya. Jenis tanaman yang dipilih biasanya adalah jenis tanaman keras yang menghasilkan, memiliki daya tahan yang cukup tinggi, tidak dimakan hama seperti monyet ataupun babi hutan. Beberapa responden yang membuka hutan menyatakan bahwa mereka lebih memilih jenis tanaman kayu-kayuan karena bisa ditinggal dalam waktu lama.

Hasil analisis menunjukkan bahwa asal usul lahan mempunyai nilai koefisien positif dengan nilai odd rasio 24,843. Peluang seseorang yang memiliki lahan hasil garapan sendiri dari lahan hutan untuk mengelola kemiri adalah 24,843 kalinya dari seseorang yang memiliki lahan dari hasil

(19)

membeli, ceteris paribus. Kecenderungan orang yang membuka hutan untuk digarap sendiri akan memilih menanam dan mengelola kemiri dibanding dengan orang yang membeli lahan ataupun yang memperolehnya dari warisan.

Yusran (2005) menyebutkan bahwa status lahan kemiri yang dikelola masyarakat di Kawasan Pegunungan Bulusaruang terdiri dari tanah milik, tanah negara dan hutan negara, yang akan berpengaruh pada performansi hutan kemiri rakyat. Semakin kuat status lahan yang dikelola maka semakin intensif pengelolaannya dan menjamin kelestariannya. Sementara di Kecamatan Tanah Pinem, pengelolaan lahan kemiri belum secara intensif, khususnya pada lahan hutan karena berhubungan dengan status lahan yang berhubungan dengan tingkat resiko kerugian yang akan dihadapi bila sewaktu-waktu ada larangan memasuki kawasan hutan.

e. Faktor aksesibilitas ke ladang

Tingkat kesulitan ataupun kemudahan menjangkau suatu ladang, akan mempengaruhi jenis tanaman apa yang akan ditanam. Semakin dekat ladang dan semakin mudah menjangkaunya dengan sarana transportasi seperti sepeda motor, maka jenis tanaman yang akan ditanam adalah jenis tanaman yang cepat mendatangkan hasil, sedangkan semakin jauh ladangnya dan semakin sulit menjangkaunya dengan sarana transportasi maka akan lebih memilih menanam jenis tanaman tahunan. Keputusan menanam jenis tanaman pertanian atau tanaman tahunan sangat berhubungan dengan jarak tempuh dan tingkat kesulitan menjangkaunya. Hal ini berhubungan dengan intensitas seseorang pergi ke ladang dan tingkat kemudahan dalam pengangkutan sarana dan prasarana produksi serta hasil.

Hasil analisis menunjukkan bahwa aksesibilitas ke ladang mempunyai nilai koefisien negatif dengan nilai odd ratio 0,244. Peluang seseorang untuk mengelola kemiri pada lahan yang memiliki aksesibilitas ke ladang lebih mudah adalah sebesar 0,244 kalinya dibanding dari seseorang yang memiliki aksesibilitas ke ladang sulit, atau peluang seseorang untuk mengelola kemiri pada lahan yang memiliki aksesibilitas ke ladang sulit adalah 4,09 (1/0,244) kali daripada yang memiliki aksesibilitas ke ladang mudah, ceteris paribus.

(20)

Dari kelima faktor yang signifikan mempengaruhi petani mengelola kemiri, faktor yang paling besar memberi pengaruh adalah asal usul tanah khususnya tanah yang berasal dari lahan garapan karena memiliki nilai koefisien yang besar (3,213) yang menyebabkan nilai odd ratio juga besar (24,843). Semua masyarakat yang memiliki lahan hasil garapan dari hutan memilih jenis kemiri sebagai tanaman yang ditanam karena dapat memberikan pendapatan bagi petani. Hiola (2011) menyebutkan bahwa status penguasaan lahan akan mempengaruhi masyarakat untuk menanam jenis tanaman tertentu pada lahan miliknya. Jenis kemiri merupakan jenis tanaman yang banyak ditanam masyarakat pada kawasan hutan (tanah negara) karena menanam kemiri pada tanah negara tidak menjadi ancaman bagi petani. Pemilihan jenis tanaman yang ditanam pada lahan milik akan dipengaruhi oleh adanya rasa aman untuk menanam dan mendapatkan hasil dari tanaman tersebut tanpa ada rasa takut atau ancaman jika sewaktu-waktu ada peraturan dari pemerintah yang berhubungan dengan status lahan yang belum jelas (khususnya pada kawasan hutan).

Faktor yang berpengaruh kepada petani untuk mengelola kemiri pada urutan kedua adalah pendapatan petani perbulan khususnya petani yang memiliki pendapatan perbulan yang rendah (<1,5 juta per bulan). Hal ini terjadi karena petani dengan pendapatan yang rendah akan memiliki keterbatasan modal dalam mengembangkan usaha yang akan dilakukannya. Faktor ketiga yang berpengaruh adalah faktor aksesibilitas ke ladang yang sulit dijangkau, intensitas kunjungan dan ancaman bahaya serangan hama (monyet dan babi hutan) akan berkurang bila menanam jenis tanaman keras seperti jenis kayu-kayuan.

Faktor keempat yang berpengaruh adalah luas kepemilikan lahan yang masih cukup lebar. Umumnya masyarakat yang mengelola kemiri adalah masyarakat yang memiliki lahan yang berada pada lahan-lahan miring dengan luas lahan yang cukup lebar. Pilihan menanam kemiri menjadi pilihan yang utama karena cocok ditanam pada lahan miring, hasilnya dapat dijual secara berkelanjutan dan menjadi sumber pendapatan bagi petani. Bila beralih menanam tanaman lain (pertanian), akan memerlukan biaya usaha yang besar dan adanya resiko yang terjadi seperti erosi dan tanah longsor.

(21)

Faktor yang mempengaruhi petani mengelola kemiri dengan nilai yang lebih kecil adalah faktor umur petani. Walaupun faktor umur petani memiliki nilai odd ratio yang kecil tetapi faktor ini menjadi alasan beberapa petani yang sudah mulai kurang produktif untuk memilih menanam serta mempertahankan tanaman kemiri pada lahan miliknya karena kekuatan petani dalam mengelola lahan sudah mulai berkurang sehingga pengelolaannyapun nantinya akan menjadi tidak intensif dan disisi lain ada jaminan pendapatan yang masih dapat diperoleh dari tanaman tersebut secara berkelanjutan.

Faktor-faktor yang tidak berpengaruh dalam menjelaskan peluang masyarakat menanam kemiri adalah lama tinggal di desa, pekerjaan utama dan sampingan, status kepemilikan lahan, jumlah anak sekolah di desa dan di luar daerah, jumlah anggota keluarga produktif, jumlah tanggungan dalam keluarga, pengalaman bertani, jarak dari rumah ke ladang, status lahan yang dipakai dan tingkat pendidikan. Berikut ini adalah penjelasan mengapa faktor-faktor tersebut di atas tidak berpengaruh.

a. Lama tinggal di desa

Faktor lama tinggal di desa akan berpengaruh pada pengalaman seseorang dalam menganalisa berbagai jenis tanaman yang berkembang dalam lingkungan masyarakat sekitarnya. Pola perubahan penggunaan lahan dan besar kecilnya produktivitas yang diperoleh akan mempengaruhi seseorang untuk memilih menanam jenis tanaman tertentu. Pada masa kejayaan kemiri, kemiri merupakan sumber penghasilan utama masyarakat dan tanaman kemiri hampir ditanam semua masyarakat. Tetapi, pada saat hasil dan produksi menurun, maka ada keinginan beralih pada jenis tanaman lain yang bisa menjadi andalan dalam memenuhi kebutuhan hidup. Peralihan ini terjadi karena berbagai alasan, salah satunya adalah pengalaman masyarakat lain disekitarnya yang sudah menanam cokelat dan jagung. Sekitar tahun 2005, masyarakat pelahan-lahan mulai menebang kemiri dan beralih menanam tanaman cokelat dan jagung.

b. Pekerjaan utama dan pekerjaan sampingan

Faktor ini berhubungan dengan kesempatan melakukan kegiatan pada lahan miliknya. Seseorang yang memiliki pekerjaan utama bukan petani akan

(22)

berpeluang lebih besar menanam kemiri karena waktu yang dimilikinya akan lebih banyak dalam pekerjaan utamanya. Responden yang memiliki pekerjaan utama bukan petani, akan cenderung mempekerjaan orang lain untuk mengelola lahan miliknya. Sementara seseorang petani yang memiliki pekerjaan sampingan, kemungkinan memberi peluang menanam kemiri juga semakin besar, seperti pedagang, sopir dan buruh bangunan. Ternyata, hasil pengolahan data menunjukkan bahwa seseorang yang memiliki pekerjaan utama sebagai petani dan ada atau tidaknya pekerjaan sampingan tidak berpengaruh nyata dalam menentukan keputusan untuk menanam kemiri. c. Status kepemilikan lahan

Status lahan bersertifikat dan belum bersertifikat tidak berpengaruh dalam mendorong masyarakat untuk menanam kemiri. Hal ini menunjukkan bahwa kepemilikan sertifikat tidak akan mempengaruhi seseorang untuk menanam atau tidak menanam kemiri. Petani kemiri yang tidak memiliki sertifikat 85,71% dan petani non kemiri yang tidak bersertifikat 66,67%. Ini menunjukkan bahwa apapun status lahan, masyarakat bebas menentukan untuk menanam kemiri dan non kemiri. Faktor status lahan milik atau lahan sewa juga tidak berpengaruh dalam menjelaskan peluang menanam kemiri. Adanya masyarakat yang menyewakan lahan yang ditanami kemiri menunjukkan bahwa jenis tanaman apapun yang ada pada sebidang lahan tidak mempengaruhi seseorang untuk menyewa lahan sepanjang usaha tersebut memberikan pendapatan bagi penyewa. Masyarakat yang menyewa kemiri hanya bersifat memungut hasil, menjaga dan tidak untuk mengganti tanaman kemiri. Hal ini didukung dengan penelitian Sumaryanto (2006) bahwa sikap petani pemilik dan penyewa tidak berbeda dalam menentukan pola tanaman pada lahan miliknya. Hal ini menunjukkan bahwa faktor status kepemilikan lahan dan penguasaan lahan tidak mempengaruhi masyarakat untuk menanam kemiri.

d. Jumlah anggota keluarga

Hal ini berhubungan dengan jumlah anak sekolah, jumlah anggota keluarga produktif dan jumlah anak sekolah di luar daerah. Dalam melakukan usaha tani, idealnya semakin banyak anggota keluarga maka semakin banyak

(23)

tenaga kerja yang berperan dalam kegiatan usaha taninya. Ternyata pada hasil pengolahan data menunjukkan bahwa besar kecilnya jumlah anggota keluarga tidak berpengaruh dalam menentukan untuk menanam kemiri pada lahan milik masyarakat. Jumlah anggota keluarga yang besar belum tentu keseluruhannya berperan dalam melakukan kegiatan pertanian. Ini terjadi karena anggota keluarga terdiri dari anak-anak yang masih bersekolah, ada anggota keluarga yang bersekolah di luar daerah dan ada tanggungan yang sudah berusia lanjut (tidak produktif). Hal ini berbeda dengan Sumaryanto (2006) yang menyebutkan bahwa jumlah anggota keluarga akan berperan dalam melakukan diversifikasi usaha. Perbedaan ini bisa terjadi karena usaha tanaman pertanian memerlukan jumlah tenaga kerja yang lebih banyak karena pengelolaannya yang lebih intensif sedangkan dalam mengelola tanaman kemiri kurang intensif.

e. Pengalaman bertani

Pada hasil pengolahan data diketahui bahwa pengalaman bertani responden tidak berpengaruh dalam memilih untuk mengelola kemiri. Ichwandi (2001) menyebutkan bahwa pengalaman dalam usaha tani dapat menunjukkan tersedianya tenaga kerja yang telah mempunyai keterampilan awal yang cukup memadai. Hal ini bertolak belakang dengan hasil penelitian karena adanya berbagai latar belakang yang dialami oleh petani kemiri, seperti harga kemiri yang tidak mendukung, perolehan hasil yang semakin berkurang, masalah hama dan penyakit, pengangkutan yang sulit serta pengolahan hasil (pengupasan). Latar belakang inilah yang menjadi salah satu kendala dalam pengembangan tanaman kemiri pada lahan milik. Akibatnya, beberapa petani mulai melakukan konversi lahan menjadi lahan pertanian, baik pada lahan datar maupun pada lahan yang miring.

f. Jarak dari rumah ke ladang

Untuk menentukan jenis tanaman apa yang akan ditanam pada lahan masyarakat, dipengaruhi oleh jarak dari rumah ke ladang. Jenis tanaman kayu-kayuan akan lebih cenderung ditanam masyarakat pada lahan miliknya yang jaraknya sangat jauh dari rumah karena berhubungan dengan intensitas kunjungan yang lebih sedikit dan dapat ditinggalkan dalam waktu yang lama.

(24)

Tetapi pada penelitian ini, faktor jarak dari rumah ke ladang tidak berpengaruh pada peluang untuk menanam kemiri. Penyebabnya adalah karena hampir sebagian besar lahan masyarakat berada pada kondisi topografi yang curam dan terjal dan berada disekitar lingkungan masyarakat. Tanaman kemiri yang ditanam pada lahan yang jauh adalah lahan-lahan hasil garapan yang merupakan lahan hutan yang jaraknya cukup jauh dari rumah masyarakat.

Hasil berbeda dengan penelitian Fatmawati (2011) yang menyebutkan bahwa jarak akan mempengaruhi peluang masyarakat menanam cendana. Semakin dekat jarak dari rumah, peluang menanam cendana akan semakin besar, karena menanam cendana dekat rumah akan lebih aman dari pencurian, bahaya kebakaran, pengembalaan liar dan penebangan illegal. Untuk menanam jenis tanaman kayu komersil yang memiliki nilai jual tinggi memang lebih baik ditanam pada lahan yang dekat dengan rumah penduduk. g. Tingkat pendidikan sekolah

Pendidikan akan mempengaruhi pengambilan keputusan petani. Hasil pengolahan data menunjukkan bahwa tingkat pendidikan tidak mempengaruhi masyarakat menanam kemiri. Hal ini didukung oleh Sumaryanto (2006) yang menyebutkan bahwa faktor pendidikan tidak mempengaruhi petani melakukan diversifikasi usaha. Hardjanto (2003) menyebutkan bahwa tingkat pendidikan petani umumnya sangat terbatas (rendah), yang berdampak pada keterbatasan pengetahuan. Akibatnya untuk memulai suatu yang baru akan memakan waktu yang lama, seperti penggunaan teknologi pertanian.

Silamon (2011) menyatakan bahwa tingkat pendidikan memiliki kecenderungan hubungan berbanding terbalik dengan keputusan mengusahakan hutan rakyat, dimana semakin tinggi pendidikan maka semakin kecil peluang untuk mengusahakan hutan rakyat atau petani dengan pendidikan yang semakin rendah akan semakin besar peluangnya untuk mengusahakan hutan rakyat. Pada akhirnya, faktor pendidikan yang rendah menyebabkan petani memilih menanam jenis tanaman yang tidak intensif karena dilatarbelakangi oleh pengetahuan yang terbatas.

(25)

Hasil analisis faktor-faktor yang signifikan mempengaruhi masyarakat mengelola kemiri menunjukkan bahwa faktor-faktor tersebut dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan untuk mengembangkan kegiatan hutan rakyat dengan jenis tanaman kemiri yaitu pada lahan masyarakat yang diperoleh dari membuka hutan, pendapatan masyarakat khususnya pada masyarakat yang berpenghasilan rendah, lahan-lahan masyarakat yang sulit dijangkau, luas kepemilikan lahan khususnya pada masyarakat yang memiliki lahan yang berada pada lahan miring (curam dan terjal) dan kelompok masyarakat yang kurang produktif.

5.3 Analisis Keberlanjutan Pengelolaan Kemiri Rakyat

Untuk melakukan analisis keberlanjutan pengelolaan kemiri diketahui dari aspek ekologi, ekonomi dan sosial. Aspek yang digunakan dalam analisis ini merupakan kombinasi yang sudah dimodifikasi sesuai kebutuhan analisis keberlanjutan pengelolaan untuk jenis tanaman hasil hutan bukan kayu berdasarkan pendekatan indikator LEI (2001), Davis et al. (2001) dan Dephut et al. (1997). Selanjutnya adalah hasil penilaian terhadap masing-masing indikator.

5.3.1 Aspek Ekologi

Hasil penilaian setiap indikator dari aspek ekologi adalah yang bernilai Baik sebanyak 3 (30%); yang bernilai Cukup sebanyak 7 (70%); dan yang bernilai Jelek tidak ada. Adapun penjelasan setiap indikator adalah sebagai berikut:

Tabel 24 Hasil penilaian aspek ekologi pada pengelolaan tanaman kemiri

No Indikator Penilaian Keterangan

1 Erosi B

2 Produksi lahan C

3 Karakteristik air B

4 Kualitas air C

5 Cara mengambil manfaat B

6 Pengendalian hama dan penyakit C

7 Adanya gangguan (kebakaran, hama & penyakit, banjir, tanah longsor, dll)

C

8 Struktur tegakan C

9 Penutupan lahan C

10 Konservasi tanah C

(26)

1 Erosi tanah

Erosi adalah peristiwa terangkutnya partikel tanah oleh air ke tempat yang lebih rendah. Peristiwa erosi merupakan hal alami yang tidak dapat dihindarkan dan erosi alami tidak akan menimbulkan kerusakan. Erosi yang menimbulkan kerusakan adalah erosi yang mengangkut partikel tanah dalam jumlah yang sangat besar dan menyebabkan terkikisnya lapisan solum tanah, yang pada akhirnya menimbulkan lahan kritis. Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya erosi adalah iklim (curah hujan), topografi, pola penggunaan lahan, jenis tanah dan kegiatan/aktivitas manusia.

Hutan rakyat adalah salah satu pola yang dapat diadopsi untuk mengatasi erosi, seperti hutan rakyat pola agroforestry. Mahendra (2009) menyebutkan bahwa dengan sistem agroforestry memungkinkan terciptanya multi strata tajuk. Pohon yang dominan akan menempati tajuk paling atas dan tanaman pangan akan menempati strata paling bawah.Akar pohon akan berfungsi sebagai spon pengikat air, dapat mengurangi laju infiltrasi dan tajuk dapat mengurangi kerusakan akibat air hujan. Penerapan sistem agroforestry akan meningkatkan konservasi tanah dan air suatu lahan. Haryadi (2006) menyebutkan, hutan rakyat pola campuran berperan dalam mencegah terjadinya erosi karena (1) kerapatan lapisan tajuk, (2) perakaran tanaman yang kuat dan (3) adanya kegiatan pengelolaan lahan.

Peran hutan rakyat sengon dengan sistem agroforestry telah membuat masyarakat Desa Pecekelan sadar akan keberadaan hutan rakyat yang dapat memberikan keamanan lingkungan seperti dari aspek konservasi tanah, yaitu berkurangnya tanah longsor oleh run off (Rahayu dan Awang 2003). Tentu hal ini berkaitan dengan tingkat erosi yang dihasilkan hutan rakyat adalah kecil.

Lapisan tanah yang ditumbuhi oleh tanaman keras akan berperan dalam mencegah terjadinya erosi. Suripin (2004) menyatakan hutan yang terpelihara dengan baik yang dikombinasikan dengan tanaman penutup tanah (rumput, perdu, semak dan belukar) merupakan pelindung tanah yang ideal dalam mencegah terjadinya erosi. Pengaruh vegetasi dalam memperkecil laju erosi adalah (1) vegetasi mampu menangkap (intersepsi) butir air hujan sehingga energi kinetiknya terserap oleh tanaman dan tidak menghantam langsung pada tanah; (2) tanaman penutup mengurangi energi aliran, meningkatkan kekasaran sehingga

(27)

mengurangi kecepatan aliran permukaan; (3) perakaran tanaman meningkatkan stabilitas tanah dengan meningkatkan kekuatan tanah, granularitas dan porositas; (4) aktivitas biologi yang berkaitan dengan pertumbuhan tanaman memberikan dampak positif pada porositas tanah; dan (5) tanaman mendorong transpirasi air sehingga lapisan tanah atas menjadi kering dan memadatkan lapisan bawahnya.

Kecamatan Tanah Pinem adalah kecamatan yang berada di daerah yang cukup berbukit dengan kondisi topografi seperti pada Tabel 10, dengan curah hujan yang cukup tinggi serta kegiatan masyarakat yang umumnya bertani dengan pola penggunaan lahan seperti ladang/huma, kebun/tegalan dan perkebunan. Dengan kondisi di atas, maka segala bentuk aktifitas masyarakat dalam pengelolaan lahan akan berdampak terhadap terjadinya erosi.

Dari hasil perhitungan prediksi erosi tanah di Kecamatan Tanah Pinem dengan menggunakan pendekatan dari Universal Soil Loss Equation (USLE) yaitu memprediksi laju erosi rata-rata lahan pada suatu kemiringan lahan dengan pola hujan tertentu untuk setiap jenis tanah dan penerapan pengelolaan lahan, diperoleh data seperti Tabel 25. Tingkat bahaya erosi pada lokasi penelitian berada pada kategori ringan sampai sedang. Hal ini dapat dipengaruhi dari keberadaan hutan yang ada di daerah bertopografi bergelombang sampai terjal, sehingga ada pelindung tanah yang bersifat mencegah terjadinya erosi tanah. Data ini menunjukkan bahwa kondisi lahan masih cukup baik.

Tabel 25 Prediksi tingkat bahaya erosi potensial di Kecamatan Tanah Pinem No Tingkat bahaya erosi aktual

(ton/ha/tahun)

Luas (ha)

Persentase (%) 1 Bahaya erosi I (< 15 ton/ha/tahun) 10.050,65 22,87 2 Bahaya erosi II (16 – 60 ton/ha/tahun) 32.061,46 72,97 3 Bahaya erosi III (60 – 180 ton/ha/tahun) 57,38 0,13 4 Bahaya erosi IV (180-480 ton/ha/tahun) - -

5 Bahaya erosi V (>480 ton/ha/tahun) - -

6 Tidak ada data 1.770,51 4,03

Jumlah 43.940,00 100

Sumber : BPKH Wilayah 1 Medan (2001)

Keberadaan tanaman kemiri, pada lahan-lahan yang bertopografi bergelombang sampai terjal di Kecamatan Tanah Pinem akan berperan dalam menjaga tanah agar terhindar dari erosi dan tanah longsor. Pada lahan-lahan yang

(28)

ditanami tanaman kemiri, tampak bahwa lapisan permukaan tanah dalam kondisi ditumbuhi tumbuhan bawah yang berperan dalam mencegah terjadinya erosi. Pada lahan-lahan yang ditanami tanaman kemiri tidak ada dijumpai penipisan lapisan tanah karena tajuk yang lebat dan lebar serta tumbuhan bawah yang tumbuh rapat berperan melindungi tanah dari pengaruh tumbukan air hujan sehingga tidak menimbulkan erosi. Lain halnya pada lahan-lahan yang ditumbuhi oleh tanaman pertanian berdaur pendek seperti tanaman jagung, tampak adanya erosi alur yang membentuk parit-parit kecil tempat berlalunya air yang mengangkut partikel tanah. Hal ini terjadi karena tidak adanya perlindungan terhadap permukaan tanah pada saat hujan turun.

Gambar 11 Tumbuhan bawah pada tegakan kemiri berperan dalam mencegah terjadinya erosi.

2 Produktivitas lahan

Produktivitas lahan untuk jenis tanaman kemiri yang ada di Kecamatan Tanah Pinem selama 10 (sepuluh) tahun terakhir disajikan pada Gambar 12. Tampak pada gambar bahwa produktivitas kemiri naik turun seiring dengan naik turunnya luas tanaman kemiri. Produksi kemiri dipengaruhi oleh umur tanaman, yang rata-rata tanaman sudah termasuk pada kategori tidak produktif dan kondisi kesehatan tanaman.

(29)

Sumber : Kecamatan Tanah Pinem (2001-2010)

Gambar 12 Luas dan produktivitas kemiri selama 10 tahun terakhir.

Untuk perbandingan, pada Tabel 26 dapat dilihat produktivitas empat jenis komoditi utama di Kecamatan Tanah Pinem seperti jagung, padi ladang, cokelat dan kemiri sejak tahun 2005 sampai tahun 2009. Produktivitas untuk ke-4 komoditas setiap tahunnya adalah meningkat, walaupun pada tahun tertentu ada yang menurun. Informasi dari kecamatan, rata-rata produktivitas jagung masih sangat rendah yaitu berkisar 6-7 ton/ha. Bila dilakukan pengelolaan lahan yang intensif, maka dapat mencapai hasil yang cukup tinggi yaitu 8–10 ton/ha. Produktivitas kemiri masih cukup besar yaitu antara 0,50 sampai 0,77 ton/ha jika dibandingkan dengan produktivitas kemiri untuk tingkat Indonesia pada tahun 2007 adalah 0,797 ton/ha. Produktivitas tanaman kemiri dari sampel yang diambil rata-ratanya adalah 583,33 kg/ha/tahun, mendekati rata-rata produksi kemiri di Indonesia sebesar 0,5 ton/ha/tahun (Paimin 1994).

Tabel 26 Produktivitas 4 jenis komoditi utama tahun 2005 sampai tahun 2009

No Tahun Produktivitas (ton/ha)

Jagung Padi Ladang Cokelat Kemiri

1 2005 5,63 2,63 38,85 0,50

2 2006 6,33 1,87 0,70 0,65

3 2007 6,16 2,30 0,75 0,50

4 2008 6,23 2,30 0,93 0,75

5 2009 6,63 2,32 1,01 0,77

Sumber : Kecamatan Tanah Pinem Dalam Angka (2006-2010)

Luas (Ha)Produksi (Ton) 0 500 1000 1500 2000 2500 3000 3500 4000 4500

(30)

Salah satu alasan masyarakat memilih untuk menanam jenis tanaman tertentu pada lahannya adalah sesuai dengan kondisi tanahnya, yang mengarah pada produktivitas lahan dengan harapan hasilnya banyak (Suharjito 2002). Kondisi ini juga dialami oleh masyarakat pada lokasi penelitian, menanam kemiri merupakan tanaman yang menghasilkan bagi masyarakat (khususnya pemilik lahan pada lahan miring) dan produksinya masih ada walaupun produktivitas lahan cenderung menurun.

3 Karakteristik air

Kondisi sungai-sungai di lokasi penelitian umumnya mengalir sepanjang tahun. Sungai-sungai di Kecamatan Tanah Pinem umumnya sulit dimanfaatkan oleh masyarakat karena keberadaannya yang berada pada daerah jurang yang dalam dan diantara bebatuan yang curam dan terjal. Untuk kehidupan sehari-hari, masyarakat memanfaatkan sungai-sungai yang mengalir di dekat perkampungan yang bersumber dari kawasan hutan. Mata-mata air mengalir dari bebatuan yang dibagian hulunya terdapat pepohonan, termasuk tanaman kemiri. Hal ini sesuai dengan BPKH (2009) yang menyebutkan bahwa dengan keberadaan hutan rakyat berperan dalam menjamin ketersediaan air lokal. Wijayanto (2002) juga menyebutkan bahwa ada keterpaduan repong damar dengan agro-ekosistem dalam sistem tata air yang akan menjamin ketersediaan air sepanjang tahun. Masyarakat Desa Pecekelan menyatakan bahwa hutan rakyat berperan dalam menjaga keberadaan mata air dan menjamin tidak pernah kering pada musim kemarau (Rahayu dan Awang 2003).

(31)

4 Kualitas air

Air merupakan sumberdaya alam yang diperlukan oleh semua mahluk hidup. Salah satu hal yang menjadi perhatian utama dalam penggunaan air adalah kualitas air. Kualitas air adalah istilah yang menggambarkan kesesuaian atau kecocokan air untuk penggunaan tertentu, misalnya untuk air minum, perikanan, pengairan/irigasi, industri dan sebagainya. Mengetahui kualitas air berarti mengetahui kondisi air untuk menjamin keamanan dan kelestarian dalam penggunaannya. Kualitas air dapat dilihat dari parameter kemasaman (pH) air, Biological Oxygen demand (BOD), Chemichal Oxygen Demand (COD), residu terlarut dan temperatur air.

Kecamatan Tanah Pinem secara keseluruhan berada di daerah DAS Singkil. Berdasarkan data dari BPDAS Wampu Sei Ular (2009), pH air berkisar antara nilai 6 sampai di bawah 7,5, BOD berkisar kurang dari 0,7 mg/l, COD berkisar pada nilai 3,19 sampai 22,31 mg/l dan residu terlarut (sedimen) bernilai antara 20,75 sampai 444,5 mg/l. Dari hasil tersebut di atas dinyatakan bahwa sungai-sungai yang termasuk dalam DAS Singkil secara keseluruhan masih dalam kondisi yang baik sesuai kriteria PP No.82 tahun 2011 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air. Syarat kelas mutu air menurut PP No.82 tahun 2001 adalah pH berkisar 6-9, BOD berkisar 2-12 mg/l, COD berkisar 10-100 mg/l dan residu terlarut berkisar 1000-2000 mg/l.

Bila dilihat dari tingkat kejernihan air, maka air yang mengalir pada sungai-sungai pada musim kemarau umumnya bersih dan keruh pada musim penghujan. Untuk kehidupan sehari-hari, masyarakat menggunakan sumber mata air dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

5 Cara-cara mengambil manfaat (kayu dan buah)

Manfaat yang diambil masyarakat dari tanaman kemiri secara umum adalah buahnya. Cara-cara mengambil manfaat buah yang dilakukan oleh masyarakat masih sederhana, tidak merusak dan ramah lingkungan. Buah yang diambil adalah buah yang jatuh secara alami yang ada di bawah tegakan tanaman kemiri. Pada saat pengambilan manfaat dilakukan pembabatan tanaman bawah untuk pembersihan lahan. Pembabatan dilakukan sebanyak dua kali setahun yaitu sebanyak musim berbuah banyak. Selain dilakukan pembabatan, juga dilakukan

(32)

dengan cara kimia seperti penggunaan round-up. Bahan kimia ini merupakan sejenis racun tanaman yang dapat mematikan tanaman bawah seperti rumput dan alang-alang. Penggunaan round-up sudah sangat banyak digunakan oleh masyarakat karena lebih mudah, praktis dan tidak memerlukan biaya yang besar.

Pengambilan manfaat kayu belum banyak dilakukan masyarakat. Pada umumnya masyarakat belum memikirkan untuk menjual kayu kemiri yang sudah tidak produktif. Dari 63 responden petani kemiri yang di wawancarai, hanya 7 responden (11,11%) yang pernah menjual kayu kemiri yang dimilikinya. Tidak semua responden dapat menjual kayu kemiri yang dimilikinya karena tidak mengetahui informasi tentang penjualan kayu kemiri, kondisi tanaman kemiri yang tidak bagus (percabangannya banyak), jumlah kayu yang berdiameter besar dan bulat sangat jarang dan pengaruh jarak lokasi tanaman kemiri dari jalan angkutan. Semakin jauh jarak dari jalan, harga kayu kemiri akan sangat murah dan bahkan tidak laku.

Responden yang menjual kayu menyebutkan bahwa kayunya laku dijual karena dekat dengan jalan, sudah berdiameter besar dan kondisi batang lurus dan bulat cukup banyak. Penentuan harga kayu kemiri yang dimiliki oleh masyarakat adalah dengan sistem taksir. Hal ini dipengaruhi oleh jumlah pohon yang dapat diangkut sesuai kriteria yang diperlukan pembeli, jarak lokasi ke jalan dan semua biaya tebang sampai angkut ditanggung oleh pembeli, sehingga posisi tawar pemilik kayu adalah lemah. Umumnya masyarakat menerima setiap harga yang ditentukan dengan alasan daripada tidak laku. Dalam hal pemasaran kayu kemiri, posisi tawar masyarakat sangat lemah dalam penentuan harga (Sumodiningrat 1999; Hardjanto 2000; Awang et al 2007).

Hardjanto (2000) menyebutkan bahwa petani hutan rakyat memiliki posisi tawar yang lebih rendah dibanding tengkulak, industri kecil dan industri besar. Hal ini terjadi karena tengkulak, industri kecil dan besar sudah memiliki posisi tawar yang lebih kuat. Untuk kegiatan penebangan, penyaradan dan pengangkutan kayu dari lahan masyarakat dilakukan oleh pembeli kayu, akibatnya berdampak pada kekuatan pembeli untuk menentukan harga. Hal ini berdampak pada pendapatan petani yang kecil dan tidak dapat merangsang petani untuk mengembangkan usaha yang sama.

(33)

Masyarakat yang memiliki pohon kemiri yang tidak laku dijual, akan menebangnya dan hanya membiarkan kayunya begitu saja sampai membusuk dan menjadi pupuk bagi tanaman lain yang ditanaminya. Masyarakat kurang tertarik menggunakan kayu kemiri menjadi kayu bakar, karena kurang bagus dalam proses pembakaran, terutama kalau kayunya pernah basah.

6 Pengendalian hama dan penyakit

Permasalahan yang dihadapi masyarakat pada umumnya adalah adanya hama dan penyakit. Hama yang pernah terjadi adalah serangan ulat yang memakan daun sehingga meninggalkan kayu kemiri dengan kondisi tidak berdaun (hanya meninggalkan kayu dan ranting). Hal ini terjadi sekitar tahun 1987 sampai tahun 1990-an. Hama ulat ini menyerang semua tanaman kemiri masyarakat hampir di semua desa yang ada di Kecamatan Tanah Pinem. Semua responden yang diwawancarai menyebutkan bahwa mereka tidak dapat melakukan upaya pencegahan, mengingat ulat yang ada sangat banyak dan cukup sulit untuk mengatasinya.

Sementara untuk jenis penyakit yang dihadapi oleh masyarakat secara umum adalah gugur buah. Hampir semua responden menyatakan menghadapi permasalahan gugur buah. Buah kemiri akan gugur ketika buah hampir mencapai kondisi setengah tua (hampir masak pohon). Buah yang gugur ini tidak bisa dipanen karena belum membentuk buah kemiri yang bagus (belum menjadi kernel). Permasalahan ini belum bisa diatasi oleh masyarakat dan beberapa hasil penelitian belum mampu menjelaskan penyebab terjadinya gugur buah ini. Permasalahan lain yang dihadapi adalah adanya benalu yang tumbuh pada pohon kemiri yang lama kelamaan makin banyak yang akhirnya mengganggu pertumbuhan tanaman kemiri.

Berbagai hama dan penyakit di atas adalah masalah-masalah yang umumnya banyak ditemui pada tanaman kemiri (Sunanto 1994, Paimin 1994 dan Deptan 2006a). Untuk upaya pencegahan dan pengobatan, akan menemui kesulitan karena ukuran tanaman yang tinggi dan membutuhkan biaya untuk membeli obat-obatan. Informasi yang diperoleh dari masyarakat dan penyuluh menyebutkan bahwa beberapa upaya pencegahan terhadap hama dan penyakit yang umum terjadi pada tanaman kemiri adalah dengan melakukan pengasapan

(34)

dari bawah tegakan dengan membakar kayu ataupun belerang dan menebas batang bagian bawah pohon tetapi tidak sampai merusak kayu (hanya sebatas kulit luar saja). Sementara itu, ada juga masyarakat yang mengambil keputusan membiarkan saja atau menebang tanamannya dan beralih ke tanaman lain.

7 Adanya gangguan (kebakaran, hama dan penyakit, banjir, tanah longsor, dan lain-lain)

Gangguan terhadap tanaman kemiri dan dampaknya bagi lingkungan sekitar pernah terjadi tetapi tidak sampai menimbulkan kerusakan dan korban jiwa dan korban materi. Gangguan seperti kebakaran hutan dan lahan tidak pernah terjadi. Tetapi gangguan hama dan penyakit pernah terjadi seperti pada poin 6 di atas. Gangguan seperti banjir bandang pernah terjadi di Pamah sekitar tahun 2006. Banjir bandang terjadi di daerah alur perlaluan air yang diangkut dari daerah yang tinggi (dataran tinggi) yang melewati Pamah (daerah yang ada di dataran rendah). Sementara tanah longsor terjadi pada lahan-lahan yang bertopografi curam, khususnya di daerah pinggir jalan, pinggir sungai dan pinggir lahan-lahan terjal yang sudah gundul. Tanah longsor yang terjadi masih cukup ringan dan tidak menimbulkan bahaya. Tetapi, menurut pengamatan di lapangan, dengan kondisi topografi yang bergelombang, curah hujan yang tinggi, pola peralihan penggunaan lahan dari tanaman keras menjadi tanaman semusim, bila tidak diantisipasi dengan baik, bisa menimbulkan banjir bandang dan tanah longsor yang lebih besar di tahun-tahun yang akan datang.

Deptan (2006b) menyebutkan bahwa pengembangan kemiri dapat memperbaiki kondisi hidro-orologis setempat seperti mengurangi erosi dan banjir, kebakaran, ketersediaan oksigen dan penyerapan CO2. Gangguan banjir bandang

yang terjadi di Pamah dan longsor di beberapa tempat dapat disebabkan karena struktur tegakan kemiri yang sudah mulai rusak oleh peralihatan dari tanaman kemiri menjadi tanaman berumur pendek pada lahan-lahan yang bertopografi curam dan terjal.

8 Struktur tegakan hutan

Struktur tegakan kemiri pada lokasi tanaman kemiri yang diamati menunjukkan kondisi yang sangat rapat, masih baik dan utuh serta bermanfaat dalam melindungi lapisan tanah dari erosi dan tanah longsor. Tetapi, dari

(35)

pengamatan dan pemantauan di lapangan secara keseluruhan dapat dilihat bahwa struktur tegakan hutan umumnya sudah mulai terganggu dengan adanya peralihan lahan-lahan yang ditanami tanaman keras menjadi tanaman semusim, baik di lahan datar maupun lahan miring yang menyebabkan keterbukaan sebagian permukaan lahan. Tetapi, beberapa kawasan hutan keberadaannya tetap terjaga. Seperti di daerah Pasir Tengah, ada kawasan hutan yang tidak boleh diganggu (tidak boleh dirusak dan ditebang) karena dipercayai sebagai kawasan hutan keramat. Kawasan ini dikeramatkan karena masyarakat percaya ada roh-roh yang menjaga hutan tersebut, jika ada yang merusak hutan maka akan diganggu oleh roh penjaga. Kawasan hutan yang dikeramatkan akan berperan dalam menjaga kawasan hutan sehingga tidak ada kegiatan perusakan oleh masyarakat. Hal yang sama juga terjadi pada masyarakat Kasepuhan di Banten. Suharjito dan Saputro (2008) menyebutkan bahwa Leuweung titipan pada lingkungan masyarakat Kasepuhan adalah hutan yang tidak boleh dipungut hasilnya atau kawasannya tidak dapat dimanfaatkan karena dianggap keramat. Leuweung titipan bagi warga Kasepuhan merupakan titipan dari Karuhun yang harus dijaga kelestarian dan keasliannya.

9 Jaminan penutupan lahan

Penanaman tanaman kemiri yang dilakukan oleh masyarakat secara umum menjamin penutupan lahan. Penutupan lahan ini terlihat dari besarnya tajuk tanaman kemiri yang menutupi lahan sehingga berperan dalam melindungi permukaan tanah. Penanaman kemiri dengan jarak tanam tertentu akan menjamin luas lahan yang akan ditutupi oleh tajuk pohon. Penanaman yang dilakukan oleh masyarakat bertujuan untuk mendapatkan buah, maka jarak tanam kemiri yang digunakan masyarakat adalah berkisar antara 8m x 8m, 8m x 10m, 10m x 10m, 10m x 12m. Tetapi ada juga beberapa penduduk yang menanam dengan jarak tanaman yang lebih sempit yaitu dengan jarak tanam 5m x 5m sampai 6m x 6m. Tujuan penanaman dengan jarak tanaman yang lebar adalah agar tajuk tanaman kemiri lebar dan besar sehingga buah yang akan dihasilkan lebih banyak. Penanaman kemiri untuk tujuan menghasilkan buah dapat menjamin penutupan lahan sehingga berperan menjaga tanah tidak rusak, menjaga kesuburan tanah dan mencegah erosi. Berapapun jarak tanam yang dibuat, secara umum struktur

(36)

tegakan kemiri pada suatu bentang lahan akan menjamin penutupan lahan, yang kemudian akan berperan dalam mencegah terjadinya erosi dan tanah longsor (Haryadi 2006; Mahendra 2009).

Gambar 14 Tajuk tanaman kemiri yang lebar berperan menutupi permukaan tanah

10 Adanya upaya konservasi tanah

Hasil pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa di beberapa lokasi yang diamati, tidak ada upaya konservasi tanah yang sengaja dilakukan. Tetapi, untuk beberapa tempat, seperti daerah terjal, pinggir-pinggir sungai, lembah curam dan alur-alur sungai, masyarakat masih mempertahankan keberadaan tanaman kemiri. Apalagi untuk beberapa responden menyebutkan bahwa mereka masih mau menanami tanaman kemiri pada lahan milik mereka khususnya pada lahan miring karena tidak bisa dikelola menjadi tanaman pertanian. Jika masyarakat beralih menanam tanaman lain pada lahan miliknya yang miring, maka akan membutuhkan biaya yang besar. Suripin (2004) menyebutkan untuk kondisi lapangan yang curam dan terjal dan untuk menjamin produktivitas lahan sebaiknya menerapkan kaidah konservasi tanah dengan cara pengolahan tanah menurut kontur, guludan, teras dan lain-lain sesuai dengan kondisi lapangan. Dengan menerapkan kaidah konservasi pada lahan miring, maka masyarakat dapat memperoleh penghasilan dan bermanfaat bagi lingkungan.

Hasil penilaian keberlanjutan pengelolaan tanaman kemiri rakyat di Kecamatan Tanah Pinem dari aspek ekologi masuk pada kategori berkelanjutan dengan catatan yaitu harus ada pembenahan dan perbaikan dalam pengelolaan agar pengelolaannya sampai pada tahap berkelanjutan. Hal ini dapat dilihat dari

Gambar

Gambar 4 Buah kemiri yang disimpan yang akan dijual pada saat dibutuhkan.
Gambar  7  Perbedaan  antara  buah  yang  jatuh  alami  dan  buah  yang  jatuh  karena  penyakit gugur buah
Gambar 8 Pohon kemiri sedang berbunga dan berbuah.
Tabel 24  Hasil penilaian aspek ekologi pada pengelolaan tanaman kemiri
+7

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil pegujian hipotesis dan mengacu pada perumusan serta tujuan dari penelitian ini, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa ukuran KAP mempengaruhi

Bisnis keluarga sangat terkenal bisa meningkatkan peran ekonomi khususnya di Indonesia, namun apakah dengan demikian bisnis keluarga juga memiliki tanggung jawab sosial

Selain dari beberapa karya di atas, Fazlur Rahman pernah menulis artikel yang berjudul “Iqbal in Modern Muslim Thoght” Rahman mencoba melakukan survei terhadap

Matriks ini diperoleh dengan rumus normalisasi nilai = Nilai baris- kolom lama/jumlah, kemudian masing-masing dengan menghitung eigen vector dari penjumlahan setiap baris

Tingkat kesukaan atau daya terima pada bioplastik dari 15 orang panelis adalah suka terhadap bioplastik hasil penelitian yang berbahan dasar singkong karet

Untuk membatasi penelitian agar tidak keluar dari tujuan penulisan yang ingin dicapai, maka peneliti memberi batasan penelitian yaitu: hanya menjelaskan investasi Jepang

MIDEC – New Initiative Approach Indicative Potential Export Products to Japan (Demand Pull) Permasalahan NTMs di Jepang Demand Driven Indicative Potential Export Products to

pada anak sekolah dasar di Kecamatan Babirik, Kabupaten Hulu Sungai Utara, Propinsi Kalimantan Selatan meliputi kebiasaan minum air mentah, makanan tumbuhan rawa mentah,