• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peraturan Perundangan Lain dan NSPK

Dalam dokumen TIM PENYUSUN LAPORAN (Halaman 31-34)

BAB 3 Pengumpulan, Penyusunan dan Penetapan Bahan, Data, dan Informasi Dalam

3.1. Penyusunan, Penetapan, dan Pemantauan Implementasi Peraturan

3.1.3. Peraturan Perundangan Lain dan NSPK

a. Penyusunan Rancangan Peraturan Presiden tentang Percepatan Penetapan Lahan Sawah Berkelanjutan dan Penundaan Alih Fungsi Lahan Sawah

Rapat ini diselenggarakan untuk membahas penyusunan Rancangan Perpres Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B).

Beberapa hal yang disampaikan dalam rapat antara lain:

 Penyediaan data dan informasi geospasial: 1) Perlu dilakukan pembagian tugas antara Badan Informasi Geospasial (BIG) dan Kementan (wali data One Map Policy

(OMP)) dalam penyediaan data dan informasi geospasial pertanian; 2)

Berdasarkan UU 4/2011 tentang Informasi Geospasial menyatakan bahwa BIG hanya berkewenangan untuk memverifikasi dan memvalidasi berdasarkan Rupa Bumi Indonesia (RBI), sedangkan peta tematik menjadi tanggung jawab K/L terkait; 3) Perlu Peraturan Bersama antara Kepala BIG dan Mentan dalam memperjelas pembagian tugas; 4) Bekerja sama dengan LAPAN dalam penyediaan citra satelit; 5) Perlu penetapan terkait skala peta yang akan dihasilkan, diusulkan untuk minimal 1:10.000 agar bisa menggambarkan informasi per persil; 6) BIG

 Penetapan sawah dalam rencana tata ruang: 1) Diusulkan untuk ditetapkan di rencana rinci tata ruang kabupaten/kota; 2) Pengintegrasian di dalam RTRW Kabupaten dilakukan dengan peta skala 1: 50.000 dan RTRW Kota dilakukan dengan peta 1:25.000; 3) Pengintegrasian peta lahan sawah berkelanjutan di kawasan perdesaan dan perkotaan yang merupakan bagian dari wilayah kabupaten pada skala minimal 1:10.000 (aturan tersebut diamanatkan dalam PP No. 8 Tahun 2013 tentang Ketelitian Peta);

 Target: 1) Perlu ditetapkan kerangka waktu, periodisasi dan rencana aksi sebagai upaya percepatan penetapan sawah; 2) Penetapan target memudahkan dalam proses monev pencapaian percepatan perpres;

 Definisi: Obyek hukum dalam Rperpres ini yaitu sawah padahal jika merujuk pada UU 41/2009 tentang LP2B tidak hanya membatasi untuk sawah, selain itu penetapan definisi juga menjadi acuan bagi pemerintah daerah dalam menetapkan;

 Kriteria penetapan: Perlu ditambahkan analisis kebutuhan pangan daerah;

 Moratorium: Ada pengecualian yang menyebutkan bahwa moratorium tidak berlaku jika untuk kepentingan umum;

 Insentif: Pasal 18 RPerpres seharusnya bukan menyusun PP tapi Permentan yang mengatur prosedur dan proses pemberian insentif bagi pemilik lahan LP2B.

Berdasarkan hasil rapat, penyusunan Rancangan Perpres Percepatan Penetapan Lahan Sawah Berkelanjutan dan Penundaan Alih Fungsi Lahan masih perlu perbaikan terkait: 1) Definisi obyek hukum yang diatur;

2) Pembagian kewenangan dalam penyediaan data dan informasi geospasial pertanian;

3) Penetapan lahan sawah dalam rencana tata ruang seharusnya dimasukkan ke dalam rencana rinci tata ruang kabupaten/kota dan penggunaan peta lahan sawah untuk RTRW Kabupaten/Kota perlu diselaraskan dengan ketentuan pada PP No. 8 Tahun 2013 tentang Ketelitian Peta Tata Ruang;

4) Penetapan kerangka waktu, target, dan rencana aksi sebagai alat kontrol pencapaian percepatan penetapan lahan sawah;

5) Perpres ini tidak dapat mengamanatkan penyusunan PP mengingat kedudukannya di bawah PP; dan

6) Perlu diamanatkan untuk disusun Permentan sebagai acuan prosedur pemberian insentif kepada pemilik lahan LP2B.

sebagai acuan dalam penyelesaian konflik tata ruang. Dalam pembahasan terdapat beberapa poin penting, seperti:

1) Belum adanya penyepakatan substansi i) Penggambaran informasi Rencana Tata Ruang dan Standar Pemakaian Nomenklatur dan ii) Tingkat kedetailan informasi rencana tata ruang. Perbaikan/penyempurnaan panduan penyusunan dokumen RTRW Provinsi/Kabupaten/ Kota perlu dilakukan;

2) Kualitas Peta dalam RTRW maupun RDTR banyak yang belum sesuai dengan standar BIG. BIG juga memiliki keterbatasan jumlah SDM dalam memberikan asistensi ke daerah. Meskipun demikian BIG telah berupaya mencari solusi dengan membuka jalur asistensi melalui web dan pemberdayaan BKPRD serta Pusat Pengembangan Infrastruktur Data Spasial (PPIDS) di daerah untuk membantu proses asistensi peta tata ruang namun;

3) Integrasi data spasial/peta tata ruang tidak dapat dilakukan, BIG hanya melakukan integrasi pada level hulu (peta dasar) belum sampai pada peta tematik sehingga tumpang tindih informasi spasial pun belum dapat diketahui.

4) “Fatwa BKPRN” seringkali digunakan untuk menyelesaikan konflik penataan ruang, meskipun belum ada landasan hukum sejauh mana fatwa BKPRN dapat menyelesaikan permasalahan konflik tata ruang;

5) Penerbitan Permendagri No. 13/2016 tentang Mekanisme Evaluasi Rancangan Peraturan Daerah Rencana Tata Ruang Daerah sebagai pengganti Permendagri No. 28/2008, yaitu:

- Terdapat klausul yang menyebutkan bahwa PK dan Revisi RTRW dapat dilakukan sebelum 5 tahun jika terdapat kebijakan nasional. Hal ini dikarenakan banyak sekali program dan kegiatan dalam RPJMN 2015-2019 yang belum terakomodir di RTR, sehingga tidak dapat diberikan izin (izin prinsip maupun lokasi) oleh Pemda maupun disusun AMDAL-nya;

- Perda yang proses evaluasinya menjadi tanggung jawab pemerintah pusat sebelum ditetapkan oleh Gubernur hanya untuk Perda Provinsi yang bersifat preventif (RPJPD, RPJMD, APBD, Pajak Daerah, Retribusi Daerah dan Tata Ruang Daerah);

- Perbaikan database Peraturan Daerah di Kementerian Dalam Negeri dilakukan dengan memberikan nomor Perda sehingga dokumentasi menjadi lebih baik.

Pada rapat tersebut, Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan, Bappenas memberikan beberapa masukan, yaitu:

1) Proses PK dan Revisi RTRW sebelum 5 tahun didukung selama hanya memuat hal-hal yang menjadi kebijakan nasional (RPMN 2015-2019);

2) Perlu dibedakan antara mekanisme revisi dan mekanisme amandemen (perubahan <20%), sehingga bisa menjadi terobosan percepatan pembangunan;

4) Koridor penyelesaian konflik harus diperjelas (penyelesaian di tingkat BKPRD atau di tingkat BKPRN), seringkali konflik yang merupakan ranah kewenangan Pemda dibawa ke level nasional;

5) Penyepakatan penggunaan azas dominasi (skala peta), karena seringkali multitafsir; dan

6) Penjelasan kewenangan pengaturan dari fatwa BKPRN.

Sebagai kesimpulan, NSPK Konflik Penataan Ruang diperlukan untuk memperjelas mekanisme dalam penyelesaian konflik tata ruang. Namun demikian, pembahasan yang dilakukan dalam rapat masih sebatas pada perbaikan pengaturan dalam NSPK Penyusunan RTRW Provinsi/Kabupaten/Kota yang sifatnya justru preventif (bukan untuk Perda RTRW yang telah disahkan).

Selain itu, terdapat beberapa hal yang seharusnya masuk ke dalam NSPK Penyelesaian Konflik Tata Ruang seperti mekanisme revisi dan amandemen perda RTRW, kriteria kebijakan nasional yang perlu diakomodir, koridor kewenangan penyelesaian konflik (pembagian antara BKPRD dan BKPRN) dan penyepakatan penggunaan azas dominasi. Selanjutnya, akan dilakukan koordinasi dengan Kementerian ATR/BPN terutama dalam perbaikan NSPK Penyusunan RTRW Provinsi/Kabupaten/Kota.

3.1.4. Penyiapan Informasi Geospasial atau Perpetaan Bidang Tata Ruang

Dalam dokumen TIM PENYUSUN LAPORAN (Halaman 31-34)

Dokumen terkait