• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perbaikan proses berdasarkan perhitungan neraca massa Pada alternatif ini lebih ditekankan pada proses pengolahan tebu menjadi

gula di pabrik. Proses produksi gula terdiri dari proses ekstraksi, pemurnian, penguapan, kristalisasi, dan sentrifugasi. Pada alternatif ini akan dibahas mengenai tiap tahapan proses di pabrik gula untuk mengetahui losses yang terjadi dengan membandingkan dengan perhitungan neraca massa. Data yang digunakan dalam melakukan alternatif ini menggunakan data pada tahun 2014.

Proses Penggilingan Tebu (ekstraksi)

Proses ektraksi merupakan proses penggilingan sabut tebu yang diperah menggunakan mesin gilingan untuk menghasilkan nira mentah dan ampas tebu (bagasse) dengan menambahkan air imbibisi agar dapat mengekstrak gula secara optimal. Pada proses ekstraksi, nira mentah dan bagasse sangat ditentukan oleh kinerja mesin giling serta penambahan air imbibisi. Berikut ini adalah data realisasi pada tahun 2014 dan perhitungan neraca massa yang terjadi pada proses ekstraksi tebu yang ditunjukkan pada Tabel 13.

Tabel 13 Data realisasi pada tahun 2014 dan perhitungan neraca massa pada proses ekstraksi tebu

Data Satuan Realisasi 2014 Neraca massa

Input Output Input Output

Tebu giling ton 284 954.71 284 954.71 Air imbibisi ton 60 439.72 60 886.159

Nira mentah ton 253 678.07 254 526.447

Ampas tebu ton 91 716.35 91 314.422

Tabel 13 menunjukkan bahwa dengan jumlah tebu giling yang sama menghasilkan nira mentah dan ampas tebu yang berbeda. Air imbibisi yang ditambahkan berdasarkan realisasi adalah 21.21%, sedangkan berdasarkan aturan

33 standar penambahan air imbibisi adalah 25 - 30% dari tebu giling. Jumlah air imbibisi yang ditambahkan akan berpengaruh terhadap ekstraksi gilingan, makin besar jumlah air imbibisi, ekstraksi makin meningkat (Hugot 1960). Hal ini mempengaruhi nira mentah yang dihasilkan, dimana besar nira mentah yang tidak terekstrak jika dibandingkan dengan perhitungan neraca massa yaitu sebesar 848.38 ton atau loss 0.23%. Selain itu, pol ampas tebu berdasarkan realisasi sebesar 2.56%, sedangkan berdasarkan neraca massa pol ampas tebu sebesar 2%. Hal ini menunjukkan bahwa pada realisasi 2014, pol atau zat gula yang terkestrak lebih sedikit dan yang tidak terekstrak kemungkinan ikut terbawa dalam ampas tebu, semakin tinggi pol ampas menunjukkan semakin banyak zat gula yang terkandung dalam ampas, hal ini merupakan salah satu penyebab terjadinya losses

atau zat gula yang hilang pada proses ekstraksi.

Bagasse yang dihasilkan kemudian dilakukan pembakaran di boiler, dimana dalam proses pembakarannya selain menghasilkan emisi, juga menghasilkan limbah padat berupa abu ketel. Abu ketel yang dihasilkan cukup tinggi yaitu sekitar 17.11% dari tebu yang digiling, sedangkan menurut perhitungan neraca massa hanya 2% abu ketel yang dihasilkan dari tebu giling. Hal ini dapat disebabkan oleh proses pembakaran yang kurang optimal, dengan tingginya abu ketel yang dihasilkan dapat memberikan dampak eutrofikasi karena adanya kandungan fosfor dalam abu ketel yang dapat mencemari badan air.

Proses Pemurnian

Proses pemurnian merupakan proses dimana nira mentah menjadi nira jernih (encer) dengan penambahan kapur tohor (CaO), gas belerang (SO2), dan flokulan. Proses pemurnian yang digunakan oleh PG Subang adalah dengan metode sulfitasi alkalis yaitu dilakukan dengan pemberian larutan kapur hingga pH nira 10.5 kemudian ditambahkan gas SO2 hingga pH nira menjadi 7.0 – 7.3 (Halim 1973). Pada proses sulfitasi alkalis menggunakan gas sulfit (SO2) atau gas belerang dengan menghembuskan gas tersebut ke cairan nira dengan menggunakan pompa sirkulasi sehingga dalam tangki akan mengalami overflow.

Gas belerang yang ditambahkan dibuat dengan cara membakar belerang dalam suatu tabung dengan suhu mencapai 200 0C. Setelah dilakukan proses sulfitasi alkalis, nira mentah dilakukan pengendapan dan penyaringan untuk memisahkan nira dari kotorannya sehingga dihasilkan nira jernih dan blotong. Berikut ini adalah data realisasi dan perhitungan neraca massa yang terjadi pada proses pemurnian yang ditunjukkan pada Tabel 14.

Tabel 14 Data realisasi pada tahun 2014 dan perhitungan neraca massa pada proses pemurnian

Data Satuan Realisasi 2014 Neraca massa

Input Output Input Output

Nira mentah ton 253 678.07 254 526.447 Kapur tohor ton 508.9 511.477 Flokulan ton 2.558 1.140 Belerang ton 104.42 101.811 Asam fosfat ton 0.6 0.58

Nira jernih ton 243 822.28 253 930.640

34

Berdasarkan Tabel 14 menunjukkan bahwa nira jernih yang dihasilkan berdasarkan realisasi sebesar 96.11% dari jumlah nira mentah, sedangkan perhitungan neraca massa sebesar 99.77%. Komponen yang terpenting pada stasiun pemurnian adalah pH, suhu, dan waktu. Apabila komponen tersebut berjalan dengan stabil maka proses pemurnian akan lancar, hal ini pula yang akan mempengaruhi output yang akan dihasilkan seperti nira encer, blotong, dan loss

yang dihasilkan. Blotong yang dihasilkan dari realisasi mengandung pol sebesar 222.273 ton, sedangkan berdasarkan neraca massa sebesar 222 ton. Hal ini menunjukkan adanya zat gula yang masih terbawa pada blotong. Jumlah blotong ini dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti proses penyaringan yang dilakukan pada alat door clarifier dan pada RVF serta nira jernih yang dihasilkan dari proses pemurnian. Output dalam proses pemurnian sangat dipengaruhi oleh besarnya jumlah kadar sukrosa (pol) dan kecilnya kerusakan kadar sukrosa yang dihasilkan.

Losses yang dihasilkan dari proses pemurnian sebesar 10 108.36 ton atau 3.98%.

Proses Penguapan

Proses penguapan adalah proses dimana adalah nira jernih (encer) menghasilkan nira kental dengan menggunakan uap bekas. Proses penguapan menghasilkan air kondensat yang dipergunakan kembali sebagai air umpan boiler. Berikut ini adalah data realisasi pada tahun 2014 dan perhitungan neraca massa yang terjadi pada proses penguapan yang ditunjukkan pada Tabel 15.

Tabel 15 Data realisasi pada tahun 2014 dan perhitungan neraca massa pada proses penguapan

Data Satuan Realisasi 2014 Neraca massa

Input Output Input Output

Nira jernih ton 243 822.28 253 930.640

Nira kental ton 47 863.109 48 855.855

Air diuapkan ton 195 959.171 205 074.785

Tabel 15 menunjukkan bahwa nira kental yang dihasilkan berdasarkan realisasi lebih sedikit dibandingkan perhitungan neraca massa. Nira kental yang dihasilkan sangat tergantung dari % brix nira kental yang dihasilkan, brix nira kental yang dihasilkan adalah 56.03%, hal ini tidak memenuhi aturan standar yaitu 60 - 64% brix nira kental. Kendala yang sering terjadi di stasiun penguapan adalah nira kental yang dihasilkan tidak mencapai brix yang optimal sehingga nira yang terbentuk masih belum mengental. Upaya yang seharusnya dilakukan untuk mengatasi kendala ini adalah dengan menyediakan sarana untuk mendaur-ulang nira kental agar dapat diuapkan kembali, sehingga pengontrolan kondisi badan evaporator dan kinerja mesin evaporator dapat bekerja dengan baik. Selain itu dipengaruhi oleh kondisi evaporator yang seharusnya dalam kondisi vakum, kondisi badan evaporator yang kurang vakum biasanya disebabkan aliran air injeksi pada kondensor berjalan cepat sehingga terjadi penurunan tekanan pada aliran setelah diinjeksikan dan uap hasil penguapan secara langsung akan bergerak dari tekanan tinggi menuju tekanan rendah atau mengalami peristiwa difusi. Oleh karena itu, apabila kondisi vakum pada badan evaporator tidak berjalan secara optimal, maka air yang diinjeksikan perlu ditambah dengan aliran yang optimum. Kurangnya jumlah steam disebabkan oleh banyaknya pipa sebagai pelapis badan

35 evaporator terbuka sehingga aliran uap akan kontak dengan udara luar dan melakukan pindah panas secara konveksi. Selain itu, luas permukaan pipa kontak pada badan evaporator perlu diperluas untuk lebih meningkatkan kontak nira dengan pipa sehingga pindah panas akan berlangsung dengan baik. Mekanisme pindah panas badan mesin evaporator yang kurang efisien disebabkan kurangnya jumlah steam dan banyaknya kerak yang menempel pada pipa uap akibat dari penguraian gula pereduksi yang berubah menjadi asam organik. Kerak yang menempel pada pipa uap dapat dikurangi apabila proses pada stasiun pemurnian dapat dioptimalkan terutama pada pembentukan inti endapan.

Proses Kristalisasi dan Sentrifugasi

Pada proses kristalisasi terjadi proses dimana nira kental yang dikristalkan, kemudian didinginkan, dan disentrifugasi dapat menghasilkan gula SHS dan tetes (molases), serta stroop dan klare yang diolah kembali menjadi gula dan bibit untuk proses kristalisasi. Berikut ini adalah data realisasi pada tahun 2014 dan perhitungan neraca massa yang terjadi pada proses kristalisasi dan sentifugasi yang ditunjukkan pada Tabel 16.

Tabel 16 Data realisasi pada tahun 2014 dan perhitungan neraca massa pada proses kristalisasi dan sentrifugasi

Data Satuan Realisasi 2014 Neraca massa

Input Output Input Output

Nira kental ton 47 863.109 48 855.855

Gula SHS ton 15 930.5 18 666.671

Molases ton 14 000 9 146.865

Tabel 16 menunjukkan bahwa gula SHS yang dihasilkan berdasarkan perhitungan neraca massa lebih besar 2 736.171 ton dari pada gula SHS yang dihasilkan di PG Subang berdasarkan realisasi tahun 2014 atau terjadi loss sebesar 14.66%. Pada proses kristalisasi dan sentrifugasi, losses yang hilang bisa diketahui dari perbandingan nilai HK (Hasil bagi Kemurnian), % brix, dan % pol. Pengawasan dalam stasiun kristalisasi di antaranya: HK masakan D 59 – 60, HK

tetes ≤ 32, HK masakan C 71-72, dan HK klare SHS maksimal 90. Hasil bagi Kemurnian (HK) menyatakan perbandingan banyaknya pol (zat gula) dalam 100 bagian brix. HK masakan D di PG Subang adalah 59.18, HK tetes di PG Subang sebesar 30.43, hal ini sudah sesuai dengan aturan standar karena semakin rendah HK tetes maka semakin rendah zat gula yang ikut terbawa pada tetes. HK masakan C di PG Subang adalah 69.16, hal ini menunjukkan rendahnya zat gula yang terdapat dalam brix masakan C. HK klare SHS di PG Subang sebesar 92.81, hal ini menunjukkan semakin banyak zat gula dalam cairan nira yang belum terkristalkan dan melebihi aturan standar yang seharusnya yaitu maksimal 90.

Molasses yang dihasilkan pada realisasi 2014 juga lebih besar 4 853.14 ton atau 53.06% dari perhitungan neraca massa, hal ini menunjukkan masih belum optimalnya proses kristalisasi dan sentrifugasi di PG Subang karena tingginya molases sebagai produk samping dari pabrik gula, sedangkan gula SHS yang dihasilkan sedikit. Banyaknya gula SHS yang dihasilkan menentukan rendemen yang dihasilkan dimana berdasarkan realisasi rendemen yang dihasilkan sebesar

36

5.58%, sedangkan rendemen yang dihasilkan berdasarkan perhitungan neraca massa adalah 6.55%.

Berdasarkan hasil perbandingan antara data realisasi 2014 dengan perhitungan neraca massa yang dilakukan, selain menunjukkan persentase rendemen yang berbeda, juga menunjukkan jumlah limbah dan produk samping yang berbeda pula. Dengan menganalisis perhitungan neraca massa yang dihasilkan, dapat menghasilkan perubahan dampak lingkungan yang terjadi terhadap emisi GRK, asidifikasi, dan eutrofikasi. Perubahan dampak yang terjadi pada tahun 2014 terhadap emisi GRK (ton CO2-eq), asidifikasi (SO2-eq), dan eutrofikasi (PO43--eq) dari berdasarkan perhitungan neraca massa yang dilakukan dapat dilihat pada Tabel 17.

Tabel 17 Perubahan dampak terhadap GRK, asidifikasi, dan eutrofikasi tahun 2014 berdasarkan perhitungan neraca massa

Data Satuan GRK (CO2-eq) Asidifikasi (SO2-eq) Eutrofikasi (PO43--eq) Realisasi ton 14 195.932 626.575 295.858 Pendugaan ton 13 793.037 626.439 244.965 Perubahan dampak ton 402.895 0.136 53.221

Persentase % 2.84 0.02 17.85

Dengan melakukan perbaikan proses dalam proses pengolahan tebu menjadi gula berdasarkan perhitungan neraca massa yang telah dilakukan, menunjukkan bahwa selain dapat meningkatkan rendemen, juga dapat mengurangi dampak lingkungan yang ditimbulkan. Berdasarkan perhitungan neraca massa yang telah dilakukan, menunjukkan bahwa dengan melakukan upaya perbaikan proses dapat menurunkan emisi GRK sebesar 402.895 ton CO2-eq/tahun, penurunan dampak asidifikasi sebesar 0.136 ton SO2-eq/tahun, serta penurunan dampak eutrofikasi sebesar 53.221 ton PO43--eq/tahun.

Alternatif 2: Perbaikan proses berdasarkan perhitungan neraca energi