• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perbandingan Daya Kematian 100% Kedua Cacing

Ascaris suum Ascaridia galli

dari kontrol positif yang menyebabkan kematian lebih cepat daripada ketiga konsentrasi ekstrak daun sirsak dan kontrol negatif. Untuk mengetahui hubungan antar setiap perlakuan dengan waktu kematian dapat dilihat dari hasil nilai koefisien korelasi yang disimbolkan dengan ‘R”. Dimana interpretasi dari nilai R menurut Husaini Usman and R. Purnomo Setiady Akbar (2006) menyebutkan bahwa semakin mendekati angka +1 atau -1 hubungan antar variabel sangat kuat dan nilai R yang mendekati angka 0 menyatakan lemahnya hubungan antar variabel. Pada gambar 9 diperoleh R2=0,988 yang merupakan koefisien determinasi yang artinya 98,8% tingkat konsentrasi mempengaruhi waktu kematian cacing sedangkan nilai koefisien korelasinya adalah R=0,994. Kemudian pada gambar 10 diperoleh R2=0,994 yang artinya 99,4% tingkat konsentrasi mempengaruhi waktu kematian cacing dan untuk nilai koefisien korelasinya R=0,997. Berdasarkan nilai R dari kedua jenis cacing, antara tingkat konsentrasi dengan waktu kematian cacing mempunyai hubungan yang kuat, bahwa semakin tinggi konsentrasi semakin cepat waktu yang dibutuhkan dalam membunuh cacing.

Data jumlah kematian cacing diolah menggunakan tabel dan grafik. Data yang diperoleh dianalisis dengan uji Shapiro-Wilk untuk mengetahui normalitas datanya kemudian dilanjutkan dengan Test of Homogeneity of Variances dapat dilihat selengkapnya pada lampiran 4 dan 5. Dari hasil analisis diketahui bahwa sebaran data normal (P>0,05). Kemudian dievaluasi lagi menggunakan ANOVA seperti pada lampiran 4 dan 5.

Hasil analisis menggunakan ANOVA pada pengujian ekstrak daun sirsak terhadap Ascaris suum dan Ascaridia galli menunjukkan hasil (P<0,05) sehingga terbukti adanya perbedaan efek kecepatan mortalitas cacing pada setiap konsentrasi tersebut. Dari hasil tabel uji ANOVA didapatkan nilai probabilitas 0,000 (<0,05). Hal tersebut mengandung makna bahwa variasi nilai konsentrasi mempengaruhi lama kematian cacing.

Waktu kematian cacing dalam percobaan tidak terjadi secara bersamaan sehingga daya anthelmintik ekstrak daun sirsak diukur dengan parameter rerata waktu kematian semua cacing. Rata-rata mortalitas cacing Ascaris suum dan Ascarida galli pada setiap perlakuan disajikan pada tabel 3.

Tabel 3. Rataan Waktu kematian cacing

Perlakuan

Menit Ascaris

suum

Std.

Deviation

Ascaridia galli

Std.

Deviation Kontrol Positif 189.00 22.749 120.00 18.371 Konsentrasi 40% 546.00 37.650 207.00 30.741 Konsentrasi 10% 939.00 20.125 366.00 22.749 Konsentrasi 2,5% 1398.00 16.432 450.00 15.000 Kontrol Negatif 1575.00 30.000 561.00 20.125

Kemudian dilakukan uji Duncan sebagai uji lanjutan terhadap rata rata waktu kematian cacing setiap perlakuan untuk mengetahui adanya perbedaan

antar nilai mean (rataan) waktu kematian antara kontrol positif, konsentrasi 40%, 10%, 2,5%, dan kontrol negatif.

Pada bagian uji Post Hoc Duncan. Perbedaan tiap kelompok baik pada Ascaris suum maupun Ascaridia galli dapat dilihat dari nilai harmonic mean yang dihasilkan tiap kelompok berada dalam kolom subset yang sama atau berbeda.

Pada hasil uji menunjukkan, pengujian Ascaris suum dan Ascaridia galli kelompok kontrol positif, konsentrasi 40%, konsentrasi 10%, konsentrasi 2,5%, dan kontrol negatif masuk pada subset yang berbeda beda. Ini mengindikasikan bahwa semua perlakuan pada pengujian pengaruh ekstrak daun sirsak pada Ascaris suum dan Ascaridia galli memiliki beda nyata (P<0,05). Pada uji Duncan, terjadi peningkatan waktu kematian cacing yang nyata (P<0,05) dari kontrol positif sampai dengan kontrol negatif. Hal ini dapat dilihat dari sig pada setiap perlakuan (P<0,05). Waktu kematian pada perlakuan kontrol positif baik Ascaris suum maupun Ascaridia galli lebih cepat dibandingkan dengan perakuan yang lain. Kontrol negatif merupakan perlakuan dengan waktu kematian paling lama.

Untuk ekstrak daun sirsak setiap konsentrasi berdasarkan uji Duncan memiliki beda nyata dengan sig P<0,05 dan berada pada kolom subset yang berbeda.

Konsentrasi 40% merupakan konsentrasi dengan waktu kematian paling cepat jika dibandingkan dengan konsentrasi 10% dan 2,5%.

Selanjutnya untuk mengetahui perbedaan efek anthelmintik ekstrak daun sirsak terhadap kedua cacing Ascaris suum dan Ascaridia galli dilakukan uji Mann-Whitney U Test seperti pada lampiran 6.

Berdasarkan uji Mann-Withney U Test menunjukkan mean rank atau rata rata peringkat tiap kelompok yaitu pada kelompok Ascaris suum rerata peringkatnya 33,72 lebih tinggi dari pada rerata Ascaridia galli, yaitu 17,28 yang berarti bahwa waktu kematian Ascaridia galli lebih cepat dibandingkan dengan Ascaris suum dengan nilai Sig atau P Value sebesar 0,000 < 0,05. Apabila nilai p value < batas kritis 0,05 maka terdapat perbedaan bermakna antara dua kelompok.

Dari hasil analisis data dapat diketahui bahwa variasi konsentrasi ekstrak daun sirsak memberikan pengaruh nyata terhadap waktu kematian Ascaris suum dan Ascaridia galli. Berdasarkan rataan waktu kematian kedua cacing seperti pada tabel 3, baik Ascaris suum maupun Ascaridia galli kontrol positif merupakan perlakuan yang paling berpengaruh, kemudian diikuti dengan konsentrasi 40%, 10%, 2,5% kemudian kontrol negatif. Hal ini berarti kandungan daun sirsak memberikan efek terhadap kedua cacing walaupun tidak lebih baik dari kontrol positif yang menggunakan Piperazin citrate.

Data yang diperoleh dari Mann-Whitney U Test menyebutkan bahwa terdapat perbedaan waktu kematian antara Ascaris suum dan Ascaridia galli.

Ascaridia galli berdasarkan pada uji Mann-Whitney U Test nilai rata rata peringkat waktu kematiannya lebih cepat dibandingkan dengan Ascaris suum.

Perbedaan antara waktu kematian kedua cacing bisa disebabkan karena morfologi kedua cacing yang berbeda. Seperti yang disebutkan pada penelitian Debra Tiwow et al., (2013) yang melakukan pengujian ekstrak pada cacing Ascaris lumbricoides dan Ascaridia galli menyebutkan bahwa perbedaan waktu lisis hingga paralisis cacing Ascaris lumbricoides dan Ascaridia galli disebabkan oleh morfologi dari kedua cacing yang berbeda.

Secara makroskopis ukuran tubuh cacing Ascaris suum lebih besar dibandingkan Ascaridia galli sehingga struktur lapisan tubuh Ascaris suum lebih

tebal yang menyebabkan proses penyerapan ektrak daun sirsak sebagai anthelmintik lebih lama.

Menurut Muizuddin and Zubaidah (2015) sirsak (Annona muricata L.) merupakan tanaman yang daunnya mengandung senyawa flavonoid, alkaloid, tanin, dan saponin. Sementara hasil pengujian daun sirsak yang telah dilakukan negatif mengandung flavanoid. Perbedaan kandungan yang dimiliki tersebut kemungkinan disebabkan karena pengambilan daun sirsak di tempat yang berbeda. Menurut Ervizal Am Zuhud (2011) dalam bukunya yang berjudul Bukti Kedasyatan Sirsak menyebutkan bahwa Kandungan disetiap daerah dirasa tidak sama, hal ini tergantung pada ketinggian wilayah yang menyebabkan perbedaan intensitas paparan sinar matahari. Di daerah rendah memiliki paparan sinar matahari yang lebih tinggi dibandingkan dengan dataran tinggi. Karena itu, pohon sirsak yang mendapatkan sinar matahari dalam jumlah cukup dapat melakukan proses fotosintesis sempurna dan lebih banyak zat aktif yang akan dibentuk.

Flavonoid merupakan salah satu metabolit sekunder dan keberadaannya pada daun tanaman dipengaruhi oleh proses fotosintesis. Selain itu menurut Rahmawati N (2012) kandungan zat aktif tanaman dalam satu spesies bisa berbeda beda tergantung iklim, cuaca, dan kandungan zat hara tanah tempat tumbuh tanaman tersebut.

Ascaris suum dan Ascaridia galli sama sama bereaksi dengan Piperazin citrate. Piperazin bekerja sebagai agonis GABA (γ-aminobutyric acid) pada otot cacing. Cara kerja piperazin pada otot cacing adalah dengan mengganggu permeabilitas membran sel terhadap ion-ion yang berperan dalam mempertahankan potensial istirahat, sehingga menyebabkan hiperpolarisasi dan supresi impuls spontan disertai paralisis (Syarif and Elysabeth, 2011) sedangkan pada ekstrak daun sirsak mengandung senyawa aktif saponin yang menghambat kerja asetilkolinesterase akan menyebabkan paralisis spastik otot yang akhirnya dapat menimbulkan kematian pada cacing Ascaris suum dan Ascaridia galli.

Enzim asetilkolinesterase merupakan enzim yang paling penting di dalam transmisi impuls saraf. Asetilkolinesterase mengkatalisis hidrolisis asetilkolin (suatu senyawa neurotransmitter) yang berfungsi di dalam bagian sinaps yang dihasilkan oleh ujung saraf yang telah menerima impuls. Penghambatan enzim kolinesterase menyebabkan penumpukan asetikolin pada reseptor nikotinik neuromuskular. Akibatnya, akan terjadi stimulasi terus menerus reseptor nikotinik yang menyebabkan peningkatan kontraksi otot. Kontraksi ini lama kelamaan akan menimbulkan kelemahan otot hingga berujung pada kematian cacing (Mills and Bone, 2000). Otot dan saraf merupakan organ kedua yang terlebih dahulu mengalami kerusakan, mengingat letaknya yang berada langsung dibawah kutikula. Kutikula pada Ascaris suum terdiri dari tiga zona yang mengandung serabut protein, sedikit karbohidrat dan lipid (Sherman, 1998), sedangkan menurut Kastawi et.al.(2003) lapisan kutikula terdiri dari 6 lapis protein albumin. Cacing ini memiliki kutikula ekstraseluler yang tebal untuk melindungi membran plasma hipodermal nematoda cacing dewasa. Selain itu, kandungan tannin dalam ekstrak daun sirsak akan merusak serabut-serabut protein pada kutikula cacing Ascaris suum maupun Ascaridia galli, kemudian akan masuk ke dalam tubuhnya, mengingat tannin merupakan zat penyamak yang sangat mudah berikatan dengan protein dan menggumpalkannya, atau dapat menyatukan protein protein kecil yang terpisah (Harbone, 1987).

Kandungan tanin, dalam ekstrak daun sirsak dipercaya memberikan efek anthelmintik karena tanin merupakan bagian dari senyawa fenol bermolekul besar yang dapat membentuk senyawa kompleks dengan protein. Tanin tidak dapat dicerna lambung dan mempunyai daya ikat dengan protein, karbohidrat, vitamin dan mineral. Tegumen cacing yang terdiri dari glikoprotein dan mukopolisakarida mampu dirusak oleh tanin dengan mempresipitasikan protein, sehingga menghalangi cacing untuk menyerap nutrisi. Tanin juga dapat mengganggu kerja enzim pada sel tubuh cacing. Senyawa fenolik bermolekul besar mampu menginaktifkan enzim esensial di dalam sel meskipun pada konsentrasi yang sangat rendah dan pada akhirnya cacing akan mati karena menurunnya persediaan glikogen dan berkurangnya pembentukan ATP. Selain tanin, ekstrak daun sirsak juga mengandung alkaloid (Henry, 1949).

Alkaloid pada ekstrak daun sirsak membuat cacing yang masih hidup mengalami penurunan intensitas pergerakan dan terlihat lebih lemas dari cacing pada kelompok kontrol negatif. Kandungan zat aktif Alkaloid ini menyebabkan paralisis (kelemahan) otot (Henry, 1949).

Kelemahan otot oleh zat anthelmitik dapat ditunjukkan dari penurunan tingkat pergerakan cacing. Kelemahan otot tidak hanya berpengaruh terhadap pergerakan cacing saja, akan tetapi dalam waktu yang lama kelemahan otot juga akan berpengaruh terhadap pencernaan cacing. Otot-otot pada sistem pencernaan cacing akan tidak berfungsi. Akibatnya, cacing tidak lagi dapat melakukan aktivitasnya dalam mencerna makanan, karena cacing Ascaris suum dan Ascaridia galli membutuhkan otot untuk menelan makanan inang.

Pada penelitian ini, terdapat kendala yang dihadapi oleh peneliti yaitu pada saat pengambilan sampel yang harus diambil secara bersamaan, karena dilakukan uji perbandingan antara kedua jenis cacing terhadap ekstrak daun sirsak sementara pengambilan sampel berada pada tempat yang berbeda. Kejadian tersebut menjadi pemicu peneliti untuk lebih memanfaatkan waktu sebaik mungkin.

BAB V

Dokumen terkait