• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ascaris suum DAN Ascaridia galli SECARA IN VITRO

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "Ascaris suum DAN Ascaridia galli SECARA IN VITRO"

Copied!
63
0
0

Teks penuh

(1)

(Annona muricata L.) TERHADAP

Ascaris suum DAN Ascaridia galli SECARA IN VITRO

SKRIPSI

SITI MARYAM O11113510

PROGRAM STUDI KEDOKTERAN HEWAN FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR

201 7

(2)

ii Saya yang bertanda tangan di bawah ini,

Nama : Siti Maryam

Nim : O111 13 510

Jurusan / Program Studi : Kedokteran Hewan

Dengan ini menyatakan keaslian dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi yang berjudul:

Uji Perbandingan Efektivitas Daya Anthelmintik Ekstrak Daun Sirsak (Annona muricata L.) terhadap Ascaris suum dan Ascaridia galli Secara

In Vitro

Adalah karya ilmiah saya sendiri dan sepanjang pengetahuan saya di dalam naskah skripsi ini tidak terdapat karya ilmiah yang pernah diajukan oleh orang lain untuk memperoleh gelar akademis di suatu perguruan tinggi, dan tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis dikutip dalam naskah ini dan disebutkan dalam sumber kutipan serta daftar pustaka. Apabila sebagian atau seluruhnya dari skripsi ini, terutama dalam bab hasil dan pembahasan, tidak asli atau plagiasi, maka saya bersedia dibatalkan dan dikenakan sanksi akademik yang berlaku.

Makassar, 02 Oktober 2017 Pembuat Pernyataan

Siti Maryam

(3)

iii Siti Maryam. O111 13 510. Uji Perbandingan Efektivitas Daya Anthelmintik Ekstrak Daun Sirsak (Annona muricata L.) terhadap Ascaris suum dan Ascaridia galli Secara In Vitro. Di bawah bimbingan ABDUL WAHID JAMALUDDIN sebagai Pembimbing Utama dan ADRYANI RIS sebagai Pembimbing Anggota

Daun sirsak (Annona muricata L.) mengandung tanin, saponin, alkaloid yang diketahui memiliki efek anthelmintik. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian ekstrak daun sirsak terhadap mortalitas Ascaris suum dan Ascaridia galli serta mengetahui perbedaan efek pemberian ekstrak daun sirsak terhadap Ascaris suum dan Ascaridia galli. Penelitian ini bersifat ekperimental laboratorik. Subjek penelitiannya adalah cacing Ascaris suum dan Ascaridia galli yang aktif bergerak. Subjek dibagi dalam 5 kelompok, setiap kelompok terdiri dari 5 cacing. Kelompok kontrol positif menggunakan Piperazin citrate 1%, kelompok kontrol negatif menggunakan Na CMC 1% sedangkan kelompok perlakuan terdiri dari ekstrak daun sirsak (Annona muricata L.) konsentrasi 40%, 10%, dan 2,5%. Cacing direndam dalam larutan uji dan pengamatan dilakukan setiap 15 menit dan dihitung jumlah cacing yang mati.

Data dianalisis dengan ANOVA dan Mann-Whitney U Test. Hasil pengamatan rarata waktu kematian Ascaris suum dan Ascaridia galli berbeda. Pada kelompok Ascaris suum rerata peringkatnya 33,72 lebih tinggi dari pada rerata Ascaridia galli, yaitu 17,28. Yang berarti waktu kematian Ascaris suum lebih lama jika dibandingkan dengan waktu kematian Ascaridia galli. Kesimpulannya adalah efektivitas daya anthelmintik ekstrak daun sirsak pada Ascaridia galli lebih cepat dibandingkan pada Ascaris suum yang disebabkan struktur lapisan Ascaris suum lebih tebal sehingga proses penyerapan ekstrak lebih lama.

Kata kunci : Anthelmintik, Ascaridia galli, Ascaris suum, daun sirsak.

(4)

iv Siti Maryam. O111 13 510. Comparative Effectiveness of Anthelmintic Power Extracts of Annona muricata L. on Ascaris suum and Ascaridia galli by In Vitro.

Conduct research ABDUL WAHID JAMALUDDIN and ADRYANI RIS assecond supervisor

Annona muricata L. contains tannins, saponins, alkaloids which are known to have anthelmintic effects. The aim of this study was to determine the effect of Annona muricata L. leaves extract on mortality of Ascaris suum and Ascaridia galli and to know the difference of soursop extract effect on Ascaris suum and Ascaridia galli. This research was experimental laboratory. Research subjects were Ascaris suum and Ascaridia galli worms that are actively moving.

Subjects were divided into 5 groups, each group consisting of 5 worms. Positive control group used Piperazine citrate 1%, negative control group using Na CMC 1% while treatment group consisted of soursop leaf extract (Annona muricata L.) concentration 40%, 10%, and 2.5%. The worms were immersed in the test solution and observations were performed every 15 minutes and counted the number of worms that died. Data were analyzed with ANOVA and Mann-Whitney U Test. The observed results of death time of Ascaris suum and Ascaridia galli were different. In the Ascaris suum group the rankings were 33.72 higher than the average Ascaridia galli, which was 17.28. Which means the time of death of Ascaris suum longer than the time of death of Ascaridia galli. The conclusion is the anthelmintic effectiveness of Annona muricata L. in Ascaridia galliwas faster than Ascaris suumwhich caused by the structure of Ascaris suumis thicker so that the extract absorption process was longer.

Keywords : Anthelmintic, Ascaridia galli, Ascaris suum, Annona muricata L.

(5)

v

(Annona muricata L.) TERHADAP

Ascaris suum DAN Ascaridia galli SECARA IN VITRO

SITI MARYAM O111 13 510

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana Kedokteran Hewan pada

Program Studi Kedokteran Hewan Fakultas Kedokteran

PROGRAM STUDI KEDOKTERAN HEWAN FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

(6)

vi

(7)
(8)

viii Assalamu Alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Puji syukur penulis haturkan kehadirat Allah Swt atas limpahan rahmat, taufik dan hidayah-Nya, sehingga penelitian dan penyusunan skripsi dengan judul

“Uji Perbandingan Efektivitas Daya Anthelmintik Ekstrak Daun Sirsak (Annona muricata L.) terhadap Ascaris suum dan Ascaridia galli Secara In Vitro” dapat diselesaikan dengan baik.

Penulis menyadari bahwa dalam menyelesaikan skripsi ini, banyak mendapat kesulitan dan hambatan. Tanpa bantuan dan arahan dari berbagai pihak, maka penyusunan skripsi ini tidak akan selesai dengan baik. Untuk itu, dengan penuh kerendahan hati penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar besarnya kepada Abdul Wahid Jamaluddin, S.Farm, M.Si, Apt dan Drh. Adryani Ris, M.Si selaku pembimbing yang dengan sabar telah mencurahkan tenaga, waktu dan pikiran dalam mengarahkan dan membatu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Semoga Allah Swt senantiasa memberikan limpahan berkah dan hidayah-Nya kepada beliau berdua. Melalui kesempatan ini pula, penulis ingin menyampaikan terima kasih dan penghargaan kepada :

1. Dekan Fakultas Kedokteran Prof. Dr. dr. Andi Asadul Islam, Sp.BS, Ketua Program Studi Kedokteran Hewan Prof. Dr. Drh. Lucia Muslimin M.Sc, dan seluruh staff pengajar beserta staff pegawai, yang telah menuangkan banyak ilmu dan banyak hal kepada penulis selama menuntut ilmu di Program Studi Kedoteran Hewan, dan juga banyak memberikan kontribusi dalam penyelesaian masalah dan urusan yang berkaitan dengan akademik.

2. Sukamto S. Mamada, S.Si, M.Sc, Apt dan Drh. Sartika Juwita, M.Kes sebagai dosen pembahas dan penguji dalam seminar proposal serta seminar hasil yang telah memberikan masukan-masukan dalam proses penelitian 3. Drh Magfira Satya Apada selaku Penasehat Akademik yang telah banyak

memberikan nasehat dan motivasi yang begitu berarti dari awal masuknya penulis dibangku kuliah hingga dalam penyelesaian tugas akhir ini.

4. Kepada seluruh teman-teman O-13REV angkatan 2013 yang namanya tidak sempat dituliskan satu-persatu. Kalian adalah teman-teman yang sangat mengesankan dan kalian hebat.

5. Keluarga besar Mandarku (Arifuddin, Asmuddin, Indrayani, Abd. Khalik, Yusnita Rifai, Ahmad Arief Sugianto, Ryas Arif Riadi, Muhammad Ibnu, Nasmah Djamaluddin, Nana) yang telah memberikan banyak bantuan selama proses penelitian.

6. Kepada Kak Ryan Payung, S.KH, Kak Muh. Iqbal Djamil, S.KH, Kak Hidayanti Adillah, S.KH, Kak Andi Husnul Khatimah, S.KH, Kak Rizki Amaliah Munir, S.Hut yang telah banyak memberikan support dan sangat membantu dalam penelitian ini sehingga penelitian ini dapat terselesaikan dengan baik.

7. Kepada seluruh teman teman yang telah membantu dalam pengambilan sampel hingga penelitian: Mildawati Marzuki, Ridha Nurfalah Abwah, Muhammad As’ad, Widya Purwana Witarsa, Cindy Trie Permatasari

(9)

ix 8. Kepada seluruh pihak yang telah membantu dan tidak sempat penulis tuliskan

satu persatu, terima kasih atas semuanya.

Terkhusus penulis haturkan rasa hormat dan terima kasih yang sebesar besarnya kepada Ayahanda terkasih Salahuddin, S.Sos dan Almarhumah Ibunda tercinta Napiah S.Pd,SD, kakakku tersayang Muhammad Sukran, S.Hut, serta Muh Arwin Sahabuddin atas doa, kasih sayang, pengorbanan dan motivasi yang kuat serta jerih payahnya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir ini. Semoga Allah Swt senantiasa memberikan limpahan berkah dan rahmat-Nya kepada kita.

Akhirnya penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini tidak luput dari kesalahan dan kekurangan. Untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk penyempurnaan skripsi ini, dan semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan.

Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Makassar, Oktober 2017

Siti Maryam

(10)

x Hal

HALAMAN SAMPUL i

PERNYATAAN KEASLIAN ii

ABSTRAK iii

ABSTRACK iv

HALAMAN JUDUL v

HALAMAN PENGESAHAN vi

KATA PENGANTAR vii

DAFTAR ISI ix

DAFTAR GAMBAR xi

DAFTAR TABEL xi

DAFTAR LAMPIRAN xi

BAB I. PENDAHULUAN 1

1.1.Latar Belakang 1

1.2.Rumusan Masalah 2

1.3.Tujuan Penelitian 3

1.4.Manfaat Penelitian 3

1.5.Hipotesis 3

1.6.Keaslian Penelitian 3

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 4

2.1.Ascaris suum 4

2.1.1. Etiologi 4

2.1.2. Morfologi 4

2.1.3. Siklus Hidup 5

2.1.4. Patogenesis 6

2.1.5. Gejala Klinis 6

2.2. Ascaridia galli 6

2.2.1. Etiologi 6

2.2.2. Morfologi 6

2.2.3. Siklus Hidup 7

2.2.5. Patogenesis 8

2.2.6. Gejala Klinis 8

2.3. Anthelmintika 9

2.4. Resistensi Anthelmintika 10

2.5. Daun Sirsak 10

2.5.1. Klasifikasi 10

2.5.2. Morfologi Daun Sirsak 11

2.5.3. Kandungan Daun Sirsak 11

2.6. Ekstraksi Tumbuhan 12

2.7. Uji Skrining Fitokimia 14

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN 15

3.1. Waktu dan Tempat 15

3.2. Jenis Penelitian 15

3.3. Materi Penelitian 15

3.3.1. Alat 15

(11)

xi

3.4.1. Pengambilan Daun Sirsak 16

3.4.2. Pembuatan Ekstrak Daun Sirsak 16

3.4.3. Analisis Fitokimia 17

3.4.4. Pembuatan Variasi Konsentrasi Kadar Ekstrak Daun Sirsak 17

3.4.5. Persiapan Sampel 18

3.4.6. Perlakuan 18

3.5. Analisis Data 19

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 20

BAB V. PENUTUP 28

5.1. Kesimpulan 28

5.2. Saran 28

DAFTAR PUSTAKA 29

LAMPIRAN 34

RIWAYAT HIDUP 51

(12)

xii Hal

1. Hasil Analisis Fitokimia 21

2. Mortalitas 100% Ascaris suum dan Ascaridia galli yang

direndam dalam setiap perlakuan 22

3. Rataan waktu kematian cacing 24

DAFTAR GAMBAR

Hal

1. Telur Ascaris suum 4

2. Cacing Ascaris suum 4

3. Daur Hidup Ascaris suum 5

4. Ascaridia galli 7

5. Siklus hidup cacing Ascaridia galli 7

6. Daun sirsak 11

7. Sampel cacing Ascaris suum 20

8. Sampel cacing Ascaridia galli 20

9. Grafik Daya Kematian Ascaris suum 100% 22

10. Grafik Daya Kematian Ascaridia galli 100% 23 11. Grafik Perbandingan daya Kematian 100% Kedua Cacing 23

DAFTAR LAMPIRAN

Hal

1. Identifiksi Ascaridia galli 34

2. Mortalitas Ascaris suum yang direndam dalam setiap perlakuan 34 3. Mortalitas Ascaridia galli yang direndam dalam setiap perlakuan 36

4. Analisis data Ascris suum 37

5. Analisis Data Ascaridia galli 41

6. Mann-Whitney U Test 45

7. Dokumentasi kegiatan 46

8. Lembar hasil analisis fitokimia 50

(13)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penyakit infeksi merupakan salah satu penyakit yang menjadi permasalahan utama di negara-negara berkembang seperti di Indonesia. Salah satu infeksi yang paling umum tersebar di dunia yaitu infeksi cacing. Indonesia merupakan negara dengan iklim tropis dan kelembapan tinggi yang menguntungkan perkembangan telur cacing, ketahanan hidup larva dan telur infektif di alam, sehingga salah satu penyakit yang menjadi permasalahan utama di Indonesia yaitu Ascariasis. Ascariasis yang disebabkan oleh parasit gastrointestinal dapat merugikan secara ekonomis dan kesehatan peternak ataupun masyarakat yang mengkonsumsi daging yang berasal dari hewan tersebut. Uji efek anthelmintik secara in vitro ini menggunakan cacing Ascaris suum dan Ascaridia galli. Ascaris suum merupakan parasit yang sering dijumpai pada ternak babi. Sedangkan Ascaridia galli merupakan parasit yang sering dijumpai pada ayam. Walau jarang menyerang manusia, namun kemungkinan terinfeksi telur cacing ini dapat terjadi saat manusia mengkonsumsi daging babi dan ayam sebagai salah satu kebutuhan protein hewani yang merupakan inang dari cacing ini (Tiwow debra et al., 2013).

Pemilihan Ascaris suum dan Ascaridia galli sebagai sampel penelitian dikarenakan kedua jenis cacing ini memiliki famili dan cara penularan yang sama serta predileksinya sama sama berada pada saluran pencernaan. Selain itu mudah didapatkan jika dibandingkan dengan Ascaris vitulorum pada sapi dan kerbau, Toxocara canis pada anjing, Toxocara cati pada kucing.

Ascaris suum adalah parasit yang menginfeksi saluran pencernaan babi dan mengakibatkan terhambatnya pertumbuhan, menurunkan produksi bahkan dapat mengakibatkan kematian apabila tidak segera ditanggulangi (Kaufman, 1996). Dampak infeksi cacing Ascaris suum, terutama pada saat migrasi cacing muda dapat mengakibatkan fibrosis pada hati dan di dalam paru-paru dapat menyebabkan pneumonia verminosa, disertai batuk asmatik, sulit bernapas, edema, dan emfisema. Cacing Ascaris suum dewasa mampu bertahan hidup dalam tubuh hospes dengan cara menghisap nutrisi dari makanan yang dimakan oleh hospes di dalam usus halus, sehingga dapat mengakibatkan kekurusan pada babi (Levine, 1982).

Ascaridia galli merupakan salah satu parasit gastrointestinal pada unggas yang dapat menyebabkan kerugian ekonomi yang sangat tinggi bagi peternak.

Infeksi parasit ini dapat menyebabkan penurunan berat badan, memperlambat pertumbuhan dan mempengaruhi produksi telur. Infeksi Ascaridia galli menyebabkan perlambatan pertumbuhan sebesar 12,31% dan luas permukaan villi usus halus 20% lebih kecil dibandingkan kelompok ayam starter tanpa infeksi (Zalizar, et al.,2006). Menurut Tiuria, et al., (2001) bahwa cacing Ascaridia galli yang dapat bertahan di dalam saluran cerna menjadi pengganggu pertumbuhan sehingga dapat menurunkan pertumbuhan 30% bobot badan dan penurunan produksi telur yang mencapai 63%. Prevalensi askaridiosis pada ayam tinggi di Indonesia karena iklim tropis dan kelembaban tinggi menguntungkan bagi

(14)

perkembangan telur cacing, ketahanan hidup larva dan telur infektif di alam.

Selain itu prevalensi askaridiosis akan meningkat apabila ayam tidak di kandangkan dan pada ayam kampung dengan usia di bawah 3 bulan (Zalizar, et al.,2006).

Pengaruh yang ditimbulkan akibat cacing Ascaris suum dan Ascaridia galli ini sangat merugikan bagi peternak, khususnya dengan kesehatan ternak itu sendiri maupun masyarakat yang mengkonsumsi daging dari kedua hospes cacing tersebut. Penanggulangan terhadap parasit yang merugikan ini sangat diperlukan untuk meningkatkan kualitas kesehatan babi dan ayam serta peningkatan ekonomi peternak. Penanggulangan permasalahan infeksi parasit yang menyerang saluran pencernaan hewan ternak babi maupun ayam dilakukan dengan cara memberi obat cacing seperti albendazole (Taylor et al., 2007).

Pengobatan secara rutin dengan anthelmintik yang sama dapat menimbulkan resiko terjadinya resistensi. Kondisi tersebut menyebabkan efikasi dan efektifitas obat sebagai anthelmintik semakin menurun (Putra, B.P.A, et al., 2014). Di samping itu, obat modern dapat menimbulkan pencemaran terhadap lingkungan dan berdampak negatif bagi kesehatan manusia terutama yang memakan daging ternak yang diberi obat modern tersebut. Karena itu, perlu dicari bahan obat cacing yang bersifat vermisidal dan ovisidal yang harganya relatif murah dan mudah didapat, sehingga terjangkau oleh peternak di pedesaan dan aman bagi lingkungan dan kesehatan manusia (Bagus I.K.A, et al., 2012).

Daun sirsak secara tradisional biasa dimanfaatkan untuk mengobati abses, arthritis, asthenia, asma, bronkitis, kolik, batuk, diabetes, diuretik, disentri, demam, gangguan empedu, influensa, jantung, hipertensi, gangguan pencernaan, infeksi, cacingan, lactogogue, gangguan hati, malaria, jantung berdebar, reumatik, kurap, kejang, obat penahan darah, tonik obat penenang, tumor dan borok (Mardiana L and Ratnasari J, 2012).

Untuk mengetahui senyawa aktif daun sirsak yang bersifat anthelmintik, maka perlu dilakukan pemeriksaan fitokimia. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa tanaman sirsak mengandung banyak khasiat obat (Mardiana L and Ratnasari J, 2012). Baik daging buah, daun maupun bijinya memiliki kandungan kimia yang bermanfaat untuk pengobatan (Hikma N, 2015). Tanaman sirsak (Annona muricata Linn.) merupakan tanaman yang kaya zat gizi karena daunnya mengandung senyawa steroid/terpenoid, flavonoid, kumarin, alkaloid, tanin, kalsium, karbohidrat, fosfor, vitamin A, vitamin B, vitamin C, fitosterol, kalsium oksalat, dan alkaloid murisine (Muizuddin dan Zubaidah, 2015) serta senyawa aktif acetogenins yang efektif melawan sel kanker (Setya Y.A.M et al., 2016).

Berdasarkan hal di atas maka peneliti ingin membandingkan efektivitas daya anthelmintik ekstrak daun sirsak (Annona muricata L.) terhadap Ascaris suum dan Ascaridia galli secara in vitro.

1.2 Rumusan masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan maka dapat diambil rumusan masalah sebagai berikut:

1.2.1 Apakah pemberian ekstrak daun sirsak berpengaruh terhadap mortalitas Ascaris suum dan Ascaridia galli?.

(15)

1.2.2 Apakah ada perbedaan efek pemberian ekstrak daun sirsak terhadap Ascaris suum dan Ascaridia galli?.

1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum

Untuk mengetahui efektivitas pengujian ekstrak daun sirsak (Annona muricata L.) terhadap mortalitas Ascaris suum dan Ascaridia galli.

1.3.2 Tujuan Khusus

Untuk mengetahui pada konsentrasi berapa ekstrak daun sirsak (Annona muricata L.) memberikan efek terhadap Ascaris suum dan Ascaridia galli.

1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat Pengembangan Ilmu Teori

Sebagai tambahan ilmu pengetahuan dan memberikan penjelasan ilmiah yang jelas tentang ekstrak daun sirsak (Annona muricata L.) dalam pengobatan Ascariasis pada babi dan ayam.

1.4.2 Manfaat untuk aplikasi a. Untuk Peneliti

Melatih kemampuan meneliti dan menjadi acuan bagi penelitian-penelitian selanjutnya.

b. Untuk Masyarakat

Menambah pengetahuan bagi masyarakat mengenai pemanfaatan daun sirsak (Annona muricata L.) sebagai anthelmintik dan sebagai rujukan untuk penelitian selanjutnya tentang manfaat dari daun sirsak.

1.5 Hipotesa

Adapun hipotesis dari penelitian eksperimental yang peneliti lakukan yaitu ekstrak daun sirsak (Annona muricata L.) memberikan efek terhadap Ascaris suum dan Ascaridia galli.

1.6 Keaslian penelitian

Penelitian mengenai Uji Perbandingan Efektivitas Daya Anthelmintik Ekstrak Daun Sirsak (Annona muricata L.) terhadap Ascaris suum dan Ascaridia galli secara In Vitro belum pernah dilakukan. Penelitian yang serupa sebelumnya pernah dilakukan mengenai Uji Efek Anthelmintik Ekstrak Etanol Biji Pinang (Areca catechu) terhadap Cacing Ascaris lumbricoides dan Ascaridia galli secara In Vitro oleh Debra Tiwow et al.,2013.

(16)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ascaris suum 2.2.1. Etiologi

Berikut ini taksonomi dari Ascaris suum (Roberts et al., 2005) Kingdom : Animalia

Filum : Nematoda

Kelas : Secernentea Order : Ascaridida Famili : Ascarididae Genus : Ascaris Spesies : Ascaris suum 2.2.2. Morfologi

Ascaris suum merupakan nematoda yang menyebabkan askariasis pada babi. Secara morfologi, tidak banyak perbedaan antara Ascaris suum dan Ascaris lumbricoides. Letak perbedaan keduanya adalah pada deretan gigi dan bentuk bibirnya (Gregers, 2006). Cacing jantan mempunyai panjang 15-31 cm dengan lebar 2-4 mm. Ujung posteriornya melengkung ke ventral. Cacing ini mempunyai spikula sebagai alat kelamin yang berukuran 2-3,5 mm. Cacing betina berukuran lebih besar. Panjangnya mencapai 20-49 cm dan lebar 3-6 mm. Alat kelaminnya terdapat pada sepertiga bagian anterior tubuh. Cacing betina dapat menghasilkan 200.000 telur per hari dan uterusnya dapat menampung 27 juta telur dalam satu waktu (Roberts et al., 2005).

Gambar 1. Telur Ascaris Suum (Sumber : Dewi, 2007)

Gambar 2. Cacing Ascaris suum Goeze (Sumber:

http://parasitipedia.net/images/stories/endo_para/Nematodes/AscSuum01.jpg)

(17)

2.2.3. Siklus hidup

Pada Ascaris suum siklus hidup dapat terjadi secara langsung ( dirrect) maupun tidak langsung (indirrect). Pada siklus dirrect, babi akan menelan telur infertil yang mengandung larva II. Larva tersebut akan bermigrasi ke hati dan menjadi larva III. Selanjutnya larva tersebut akan bermigrasi ke paru dan alveolus.

Ketika host batuk larva akan tertelan dan masuk ke saluran gastrointestinal. Proses ini sering disebut dengan hepato-tracheal migrration. Di dalam traktus gastrointestinal, larva akan berkembang menjadi bentuk dewasa. Cacing dewasa akan hidup dan berkembang biak dalam usus halus babi (Moejer and Roepstroff, 2006).

Pada siklus tidak langsung, perkembangan akan melalui host perantara atau host paratenik seperti cacing tanah. Host paratenik akan menelan telur infertil yang berisi larva II dan larva tersebut akan berada di jaringan sampai babi memangsa host paratenik tersebut. Selanjutnya, larva akan berkembang dalam tubuh babi menjadi larva III seperti proses yang berlangsung dalam siklus dirrect (Moejer and Roepstroff, 2006).

Cacing dewasa Ascaris suum memproduksi telur setelah 2-3 bulan. Telur ini kemudian tertelan sampai pada saluran cerna dan menetas menjadi larva. Larva cacing ini tidak melakukan penetrasi langsung setelah menempel pada dinding saluran cerna, tetapi hanya transit sebentar pada usus halus dan melakukan penetrasi pada mukosa caecum dan kolon bagian atas. Kemudian cacing ini terakumulasi di hati sampai 48 jam (Roberts et al., 2005). Dari sini larva masuk ke pembuluh porta, bermigrasi mengikuti aliran darah sampai ke bronkus paru.

Larva kemudian tertelan, menetap di usus halus, dan menjadi paten dalam waktu 6 sampai 8 minggu, dan selanjutnya dapat memulai siklus baru dengan penetasan telur oleh cacing dewasa yang dikeluarkan melalui feses (Loreille and Bouchet, 2003).

Hospes utama Ascaris suum adalah babi, meskipun dapat pula menjadi parasit pada tubuh manusia, sapi, kambing, domba, anjing, dan lain-lain, dengan distribusi yang luas di seluruh dunia. Untuk menghindari infeksi pada manusia, babi harus dalam kondisi higienis sebelum dikonsumsi (Miyazaki, 1991).

Gambar 3. Daur hidup Ascaris suum (Sumber : Loreille and Bouchet, 2003)

(18)

2.2.4. Patogenesis

Cacing Ascaris suum merupakan jenis cacing gilig penyebab ascariasis pada ternak babi, terutama babi muda di seluruh dunia. Kejadian ascariasis sangat tinggi pada babi-babi di daerah tropis dan sub tropis. Cacing ini berparasit pada usus halus (Soulsby, 1982). Infeksi dapat terjadi melalui pakan, air minum, puting susu yang tercemar, melalui kolostrum dan uterus (Levine, 1982).

Infeksi Ascaris suum dapat terjadi ketika babi menelan telur yang mengandung larva stadium III melalui makanan atau minumannya. Gejala klinis mulai terlihat pada waktu larva III bermigrasi dan menimbulkan kerusakan pada mukosa intestinal babi. Walaupun demikian, simptom yang timbul sulit dibedakan dengan penyakit infeksi lainnya (Roberts et al., 2005).

Larva dapat menyebabkan hemoragi ketika bermigrasi ke kapiler paru.

Infeksi yang berat dapat menyebabkan akumulasi perdarahan dan kematian epitel sehingga menyebabkan kongesti jalan nafas yang disebut dengan Ascaris pneumonitis. Keadaan ini dapat menyebabkan kematian pada babi (Roberts et al., 2005).

2.2.5. Gejala Klinis

Bila jumlah cacing yang menginfeksi mencapai 250 ekor dapat menghambat usus halus dan saluran empedu yang mana menyebabkan kehilangan selera makan, muntah, dan kematian. Dan pada infeksi bentuk larva bisa menyebabkan kerusakan hepar babi serta pneumonia bila mencapai paru-paru.

Infeksi Ascaris suum pada manusia dapat menyebabkan efek negatif secara mendadak pada kesehatan seperti anemia, diare malnutrisi (Levine, 1982).

2.2.Ascaridia galli 2.2.1. Etiologi

Berikut ini taksonomi dari Ascaridia galli (Soulsby, 1982) Kingdom : Animalia

Filum : Nematoda

Kelas : Secernentea Order : Ascaridida Famili : Ascarididae Genus : Ascaridia Spesies : Ascaridia galli 2.2.2. Morfologi

Cacing ini berwarna putih kekuningan dan merupakan cacing di saluran pencernaan yang paling besar ukurannya. Cacing jantan memiliki panjang 50-76 mm sedangkan cacing betina memiliki panjang 72-116 mm. Cacing jantan memiliki ekor yang dilengkapi alea dan 10 pasang papil yang pendek dan tebal, mempunyai batil hisap prekloakal dengan sisi kutikular yang tebal. Panjang

(19)

spikulanya yaitu 1 sampai 2,4 mm (Soulsby, 1986). Cacing betina memiliki vulva yang terletak di bagian tengah badan dengan ekor berbentuk kerucut. Cacing ini memiliki tiga buah bibir yaitu satu bibir dorsal dan dua bibir latero ventral. Pada kedua sisi terdapat sayap lateral yang sempit dan membentang sepanjang tubuh (Kusumamihardja, 1992).

Gambar 4. Ascaridia galli (Sumber :https://www.studyblue.com) 2.2.3. Siklus Hidup

Telur dikeluarkan melalui tinja dan berkembang di dalam udara terbuka dan mencapai dewasa dalam waktu 10 hari atau bahkan lebih. Telur kemudian mengandung larva kedua yang sudah berkembang penuh dan larva ini sangat resisten terhadap kondisi lingkungan yang jelek.

Gambar 5. Siklus hidup cacing Ascaridia galli (Kusumamihardja, 1992) Telur tersebut dapat tetap hidup selama 3 bulan di dalam tempat yang terlindung, tetapi dapat mati segera terhadap kekeringan, air panas, juga di dalam tanah yang kedalamannya sampai 15 cm yang kena sinar matahari. Infeksi terjadi bila unggas menelan telur tersebut bersama makanan atau minuman. Cacing tanah

(20)

dapat juga bertindak sebagai vektor mekanis dengan cara menelan telur tersebut dan kemudian cacing tanah tersebut dimakan oleh unggas. Telur yang mengandung larva dua kemudian menetas di proventrikulus atau duodenum unggas. Setelah menetas, larva 3 hidup bebas di dalam lumen duodenum bagian posterior selama 8 hari. Kemudian larva 3 mengalami ekdisis menjadi larva 4, masuk ke dalam mukosa dan menyebabkan hemoragik. Larva 4 akan mengalami ekdisis menjadi larva 5. Larva 5 atau disebut cacing muda tersebut memasuki lumen duodenum pada hari ke 17, menetap sampai menjadi dewasa pada waktu kurang lebih 28-30 hari setelah unggas menelan telur berembrio. Larva 4 dapat memasuki jaringan mukosa usus pada hari pertama dan menetap sampai hari ke 8- 17. Pada ayam yang berumur kurang dari 3 bulan setelah larva memasuki duodenum kemudian mengalami perubahan (moulting) menjadi larva 3 dan larva 4 serta berkembang menjadi dewasa lebih kurang 5-6 minggu setelah telur tertelan ayam, sedangkan pada ayam yang berumur lebih dari 3 bulan periode tersebut sedikit lebih lama (Akoso, 1998).

2.2.4. Patogenesa

Unggas muda lebih peka terhadap infeksi dibanding unggas dewasa atau unggas yang pernah menderita infeksi cacing Ascaridia galli sebelumnya.

Kerentanan ayam terhadap infeksi cacing Ascaridia galli dipengaruhi umur dan ras. Anak ayam lebih peka dari pada ayam dewasa, ayam White Leghorn lebih peka dari pada ayam ras lainnya. Ayam yang berumur lebih dari tiga bulan lebih tahan terhadap kecacingan. Hal ini ada kaitannya dengan meningkatnya sel-sel goblet dalam usus. Selain umur dan ras, pakan dan kondisi litter juga mempengaruhi kerentanan ayam terhadap infeksi Ascaridia galli. Kerentanan akan meningkat jika kandungan vitamin terutama A, B, dan B12 serta mineral dan protein sangat rendah dalam ransum (Kusumamihardja, 1992). Gabrashanska et al., (1999) membuktikan bahwa ayam yang diberi garam yang mengandung ZnCo-Mn kemudian diinfeksi dengan 1450 telur infektif Ascaridia galli mampu menekan pertumbuhan cacing tersebut.

Cacing Ascaridia galli biasanya menimbulkan kerusakan yang parah selama bermigrasi pada fase jaringan dari stadium perkembangan larva. Migrasi terjadi di dalam lapisan mukosa usus dan menyebabkan pendarahan (enteritis hemoragi). Jika lesi tersebut bersifat parah, maka kinerja ayam akan menurun.

Ayam yang terinfeksi akan mengalami gangguan proses digesti dan penyerapan nutrisi sehingga dapat menghambat pertumbuhan. Apabila cacing genus Ascaris yang ditemukan dalam usus halus terlalu banyak, ayam akan menjadi kurus. Hal ini terjadi karena cacing yang memenuhi usus akan menghambat jalannya makanan (Tiwow D, 2013).

2.2.5. Gejala Klinis

Gejala yang terutama dari infeksi cacing ini terlihat selama masa prepaten, ketika larva berada di dalam mukosa dan menyebabkan enteritis yang kataral, tetapi pada infeksi berat dapat terjadi hemoragi (Akoso, 1998). Unggas akan menjadi anemia, diare, lesu, kurus, kelemahan secara umum dan produksi telur

(21)

menurun. Selain itu infeksi berat juga dapat menyebabkan kematian karena terjadi penyumbatan usus (Akoso, 1998).

Perubahan patologi anatomi yang terlihat adalah kekurusan yang sangat mencolok pada daerah dada dan paha. Kepucatan pada daerah paruh dan jengger yang mengindikasikan anemia. Kerusakan pada mukosa duodenum terjadi pada saat cacing muda menancapkan diri pada mukosa (Soulsby, 1986).

2.3.Anthelmintika

Anthelmintik merupakan senyawa yang berfungsi membasmi cacing sehingga dikeluarkan dari saluran pencernaan, jaringan atau organ tempat cacing berada dalam tubuh hewan (Katzung, 1998). Secara umum, terdapat 2 golongan anthelmintik yaitu vermifuga dan vermisida. Vermifuga merupakan senyawa- senyawa yang dapat melumpuhkan cacing di dalam usus kemudian dikeluarkan dalam keadaan hidup. Vermisida adalah anthelmintik yang bekerja dengan membunuh cacing parasitik di dalam tubuh (Pohan, 2006).

Kriteria anthelmintik yang ideal untuk ternak diantaranya adalah efektif, indeks terapi luas, mudah dalam pemberian, ekonomis, dan memenuhi ketentuan FDA (Food Drug and Administration) mengenai residu (Rachmawati et al., 2001).

a. Piperazin

Piperazin bekerja sebagai agonis GABA (γ-aminobutyric acid) pada otot cacing. Cara kerja piperazin pada otot cacing adalah dengan mengganggu permeabilitas membran sel terhadap ion-ion yang berperan dalam mempertahankan potensial istirahat, sehingga menyebabkan hiperpolarisasi dan supresi impuls spontan disertai paralisis. (Syarif and Elysabeth, 2011).

b. Pirantel pamoat

Daya anthelmintik pirantel pamoat sudah banyak diketahui karena pirantel pamoat merupakan obat pilihan pada ascariasis. Mekanisme pirantel pamoat menghambat enzim kolinesterase yang meningkatkan kontraksi ototnya. Bekerja dengan cara menimbulkan depolarisasi pada otot cacing dan meningkatkan frekuensi impuls, sehingga cacing mati. Pirantel pamoat juga mampu menghambat enzim asetil kolinesterase (Ratnawati D et al., 2013). Mekanisme pirantel pamoat dalam membunuh cacing adalah melalui penghambatan proses depolarisasi neuromuskuler dalam tubuh cacing, sehingga timbul paralise neuromuskuler spastik dan kematian cacing. Selain itu, juga menghambat enzim kolinesterase sehingga meningkatkan kontraksi otot cacing (Katzung B, 1998)

c. Albendazol

Albendazol merupakan anthelmintik modern mempunyai sifat dapat membunuh cacing dewasa, membunuh cacing muda, dan dapat membunuh telur cacing, tetapi kendala dengan masalah harga yang tidak dapat dijangkau oleh pembudi daya hewan di desa (Ardana et al., 2012). Albendazol merupakan obat cacing yang aktivitasnya mampu memblokir pengambilan glukosa sehingga persediaan glikogen dan pembentukan ATP menurun yang mengakibatkan cacing mati. Albendazol bekerja dengan menghambat fumarat reduktase, asupan glukosa dan ikatan pada tubulin di mikrotubuli. Pemberian obat ini juga akan menyebabkan degenerasi pada saluran intestinal cacing sehingga penyerapan makanan untuk cacing menjadi terganggu dan lama kelamaan cacing akan lemas

(22)

dan kemudian mati (Sukarban and Santoso, 2003). Albendazol yang diberikan terus menerus bisa menyebabkan iritasi mukosa usus yang dapat menyebabkan nyeri ulu hati dan anemia sehingga hewan mengalami penurunan nafsu makan dan kesulitan absorpsi di usus. Albendazol memiliki sifat teratogenik sehingga tidak boleh diberikan pada hewan yang sedang bunting (Widiati S H, 2010)

2.4.Resistensi Anthelmintika

Pengobatan dengan menggunakan tanaman herbal menjadi salah satu alternatif untuk mencegah terjadinya resistensi. Kejadian resistensi anthelmintik telah dilaporkan di seluruh dunia (Prichard, 1990; Waller,1993; Waller et al., 1995 dan 1996). Di Asia Tenggara resistensi anthelmintik telah dilaporkan di Malaysia (Dorny et al., 1993; Sivaraj et al., 1994; Rahman, 1993), Thailand (Kochapakdee et al., 1995) dan Philipina (Marbella, 1991; Ancheta and Dumilon, 2000). Pada beberapa daerah anthelmintik telah digunakan secara meluas terutama di peternakan milik pemerintah. Laporan terakhir telah ditemukan adanya resistensi terhadap albendazole pada peternakan domba di Bogor (Ridwan et al., 2000). Hasil pengujian lainnya ditemukan adanya kejadian resisten di tiga lokasi survai yaitu Kendal (Jawa Tengah), Ciomas (Jawa Barat) dan Darmaga IPB (Jawa Barat), resistensi tersebut berkisar antara 70-90% terhadap benzimidazole (Haryuningtyas D et al., 2001).

Resistensi terhadap anthelmentika adalah hilangnya sensitivitas yang diturunkan secara genetik pada populasi cacing yang mula-mula sensitif terhadap obat yang sama. Pada proses ini akan terjadi kemoterapi secara selektif dalam membunuh individu cacing yang peka dari populasi yang heterogen secara genetik sehingga akan terjadi peningkatan individu pembawa gen resisten yang akan diwariskan pada keturunannya (Kohler, 2001). Setelah beberapa generasi, gen resisten akan terakumulasi sehingga cacing pembawa gen resisten tersebut dalam populasi akan lolos dari pengobatan. Penelitian tentang mekanisme resistensi terhadap anthelmentika yang sudah banyak dilaporkan adalah pada anthelmentika golongan benzimidazole, levamizole dan ivermectine (Kwa et al., 1994).

2.5.Daun Sirsak 2.5.1. Klasifikasi

Di berbagai negara, buah ini dikenal dengan nama thurian thet, thurian khaek (Thaliand), guayabano (Filipina), graviola (Brasil), guanabana/guanabano, huanaba (Spanyol cach), corossol, epineux iman epineux (Perancis), toge-banreisi (Taiwan), durian benggala (India), sauersack sausap (Papua Nugini), dan stachelannone (Jerman). Dalam bahasa Inggris, buah sirsak dikenal dengan istilah soursop karena rasanya yang manis keasaman (Mardiana L and Ratnasari J, 2012).

Sirsak, nangka sabrang, nangka londo (Jawa), nangka walanda (Sunda), nangka buris (Madura), durian betawi (Minangkabau), deureuja (Aceh), tarutung olanda (Batak), jambu landa (Lampung), srikaya belanda (Sulawesi Selatan), naka

(23)

(Flores), naka walanda (Ternate), wakano (Nusa laut), srikaya jawa (Bali) (Ismawan B, 2013).

Adapun susunan taksonomi sirsak adalah sebagai berikut (Sunarjono H, 2007)

Divisio : Spermatophyta (tanaman berbiji tertutup) Subdivisio : Angiospermae (tanaman berbunga) Kelas : Dicotyedoneae (berkeping dua)

Ordo : Ranales

Famili : Annonaceae

Genus : Annona

Spesies : Annona muricata L.

Gambar 6. Daun sirsak (Sumber :http://pohonrindang.com/jual-bibit-daun- sirsak/)

2.5.2. Morfologi Daun Sirsak

Daun sirsak berbentuk bulat panjang dengan ujung runcing. Warna daun bagian atas hijau tua, sedangkan bagian bawah hijau kekuningan. Daun sirsak tebal dan agak kaku dengan urat daun menyirip atau tegak pada urat daun utama.

Aroma yang ditimbulkan daun berupa langu yang tidak sedap (Sunarjono H, 2007).

Daun sirsak memiliki panjang 7,6-15,2 cm dan lebar 2,5-7,6 cm, tekstur kasar, berbentuk elips, mengkilap di bagian atas daun, ada stipula, warna hijau pada atapnya, serat-serat yang mengarah lateral dan kuat, baunya menyengat dan bertangkai pendek sekitar 3-10 mm (Rosmayanti, 2014).

2.5.3. Kandungan Daun Sirsak

Tanaman sirsak (Annona muricata Linn.) merupakan tanaman yang kaya zat gizi karena daunnya mengandung senyawa steroid/terpenoid, flavonoid, kumarin, alkaloid, tanin, kalsium, karbohidrat, fosfor, vitamin A, vitamin B, vitamin C, fitosterol, kalsium oksalat, alkaloidmurisine saponin serta asetogenin (Muizuddin and Zubaidah, 2015) serta senyawa aktif acetogenins yang efektif melawan sel kanker (Setya Y.A.M et al., 2016).

a. Saponin

Saponin adalah senyawa aktif permukaan yang kuat yang menimbulkan busa bila dikocok dalam air dan pada konsentrasi yang rendah sering menyebabkan hemolisis sel darah merah, serta bekerja sebagai zat anti mikroba.

(24)

Kelarutan saponin adalah larut dalam air, tetapi tidak larut dalam eter (Robinson, 1995).

Saponin merupakan suatu jenis glikosida yang mempunyai rasa pahit. Cara kerjanya adalah dengan menurunkan tegangan permukaan (surface tension) pada dinding membran. Walaupun bersifat toksik, zat ini tidak berbahaya bagi manusia.

Hal ini dikarenakan berat jenis molekulnya yang tinggi sehingga tidak diabsorbsi oleh tubuh (Nio KO, 1989). Saponin dapat berpotensi sebagai antihelmintik karena bekerja dengan cara menghambat enzim asetilkolinesterase, sehingga cacing akan mengalami paralisis otot dan berujung pada kematian (Kuntari, 2008).

b. Flavonoid

Flavonoid merupakan salah satu golongan fenol alam yang terbesar.

Flavonoid terdapat dalam semua tumbuhan hijau, aglikon flavonoid (yaitu aglikon flavonoid tanpa gula terikat) terdapat dalam berbagai bentuk stuktur. Semuanya mengandung 15 atom karbon dalam inti dasarnya, yang tersusun dalam konfigurasi C6-C3-C6, yaitu dua cincin aromatik yang dihubungkan oleh satuan tiga karbon yang dapat atau tak dapat membentuk cincin ke 3 (Markham, 1988).

Fenol dalam konsentrasi tinggi dapat menyebabkan kelumpuhan pada tubuh cacing dan kemudian diikuti dengan kematian pada cacing (Bairagi G.B et al,.2011).

c. Tanin

Tanin memiliki efek antihelmintik in vitro maupun in vivo di dalam tubuh kambing dan domba (Brunet and Hoste, 2006; Iqbal et al., 2007; Athanasiadou et al., 2001). Tanin juga memiliki aktifitas penghambatan terhadap migrasi larva cacing pada kambing (Alonso et al., 2008). Tanin ini termasuk golongan alkaloid.

Alkaloid tanin merupakan polyphenol tanaman yang dapat larut dalam air dan dapat menggumpalkan protein. Alkaloid tanin memiliki efek vermifuga dengan cara merusak protein tubuh cacing. Hal ini dimungkinkan karena tanin mempunyai ikatan karbonil yang menyebabkan molekul tanin mudah terprotonisasi (menjadi ion bermuatan positif). Ion-ion positif ini kemudian akan menarik ion-ion negatif struktur protein pada organisme lain pada saluran pencernaan manusia. Senyawa tanin memiliki kemampuan denaturasi protein menyebabkan protein pada permukaaan tubuh cacing terdenaturasi sehingga permukaan tubuh cacing menjadi tidak permeabel lagi terhadap zat di luar tubuh cacing (Kuntari, 2008).

2.6.Ektraksi Tumbuhan

Ekstraksi adalah teknik penarikan kandungan kimia yang dapat larut sehingga terpisah dari kandungan atau bahan yang tidak larut dalam pelarut cair.

Hasil yang didapatkan dari proses ekstraksi dinamakan ekstrak atau sediaan kental yang diperoleh dari mengekstraksi zat aktif yang dimiliki simplisia menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian dimaserasi dan diperlakukan sedemikian rupa sampai hasil yang diinginkan. Cairan penyari yang biasa digunakan untuk ekstraksi adalah air, etanol, dan etanol air atau eter (Ditjen POM, 2000).

Ekstrak ialah penarikan zat pokok yang diinginkan dari bahan mentah obat dengan menggunakan pelarut yang dipilih dimana zat yang diinginkan larut.

(25)

Prinsip ekstraksi adalah melarutkan komponen yang berada dalam campuran secara selektif dengan pelarut yang sesuai. Metode ekstraksi dipilihi berdasarkan beberapa faktor seperti sifat dari bahan mentah obat, daya penyesuaian terhadap tiap macam metode ekstraksi, dan kepentingan dalam memperoleh ekstrak yang sempurna atau mendekati sempurna dari obat. Sifat dari bahan mentah merupakan faktor utama yang harus dipertimbangkan dalam memilih metode ekstraksi.

Sediaan yang diperoleh dari hasil ekstraksi dinamakan ekstrak, pelarutnya disebut penyari, sedangkan sisa-sisa yang tidak ikut tersari disebut ampas (Ansel, 1989).

Pemilihan pelarut yang tepat dapat meningkatkan efisiensi ekstraksi. Hal- hal yang perlu diperhatikan dalam pemilihan pelarut diantaranya adalah selektivitas, toksisitas, kepolaran, kemudahan untuk diuapkan, dan harga pelarut.

(Akbar, 2010).

Pemilihan metode ekstraksi sangat penting dilakukan karena hasil ekstraksi akan mencerminkan tingkat keberhasilan metode tersebut (Abubecker, M.N. and T. Deepalakshami, 2013). Ekstraksi dengan menggunakan pelarut terbagi menjadi 2 cara, yaitu (Ditjen POM, 2000) :

1. Cara Dingin

Ekstraksi menggunakan pelarut dengan cara dingin terdiri dari:

a. Perkolasi

Perkolasi adalah ekstraksi yang dilakukan dengan mengalirkan pelarut melalui serbuk simplisia yang telah dibasahi. Prosesnya terdiri dari tahap pengembangan dan perkolasi sebenarnya (penetesan/penampungan ekstrak) secara terus menerus sampai diperoleh ekstrak (perkolat) yang jumlahnya 1-5 kali bahan.

b. Maserasi

Maserasi adalah proses ekstraksi yang paling sederhana, menggunakan pelarut yang cocok dengan beberapa kali pengadukan pada temperature ruangan (kamar) (Ditjen POM, 2000). Maserasi digunakan untuk menyari zat aktif yang mudah larut dalam cairan penyari, tidak mengandung stirak, benzoin dan lain-lain.

Secara teknologi termasuk ekstraksi dengan prinsip metode pencapaian konsentrasi pada keseimbangan. Maserasi kinetik berarti dilakukan pengadukan yang kontinyu (terus-menerus) Maserasi berarti dilakukan pengulangan penambahan pelarut setelah dilakukan penyaringan pertama yang merata dan seterusnya (Ragil G.A.P, 2012)

c. Sonikasi

Metode ekstraksi terus dikembangkan untuk mempersingkat waktu ekstraksi dan mendapatkan ekstrak yang lebih banyak serta volume pelarut yang lebih sedikit. Kemudian digunakanlah berbagai metode ekstraksi seperti metode ekstraksi dengan bantuan gelombang mikro (MAE), sonikasi, dan Supercritical Fluid Extraction (SFE) yang dapat mengatasi kelemahan metode konvensional (Dean,1998).

Metode sonikasi memanfaatkan gelombang ultrasonik dengan frekuensi 42 kHz yang dapat menghancurkan sel daun sehingga mempercepat proses perpindahan massa senyawa bioaktif dari dalam sel ke pelarut (Dean, 1998). Prinsip dasar ekstraksi adalah berdasarkan kelarutan. Untuk memisahkan zat terlarut yang diiginkan atau menghilangkan komponen zat terlarut yang tidak diinginkan dari fasa padat, maka fasa padat dikontakkan

(26)

dengan fasa cair. Pada kontak dua fasa tersebut, zat terlarut terdifusi dari fasa padat ke fasa cair sehingga terjadi pemisahan dari komponen padat (Surya TU et al., 2009).

2. Cara Panas

Ekstraksi menggunakan pelarut dengan cara panas terdiri dari:

a. Refluks

Refluks adalah ekstraksi menggunakan pelarut yang selalu baru yang umumnya dilakukan dengan alat khusus sehingga terjadi ekstraksi yang berkelanjutan dengan jumlah pelarut relatif konstan dengan adanya pendingin baik.

b. Digesti

Digesti adalah maserasi konetik (dengan pengadukan kontinu) pada temperatur yang lebih tinggi dari temperatur ruangan (kamar) yaitu secara umum dilakukan pada temperatur 400-500C

c. Infus

Infus adalah ekstraksi dengan pelarut air pada temperatur pemanasan air (bejana infus tercelup dalam air penangas air mendidih), temperature terukur (96-980C) selama waktu tertentu (15-20 menit).

d. Dekok

Dekok adalah infus pada waktu yang lebih lama dengan temperature titik didih air.

e. Destilasi Uap

Destilasi uap adalah ekstraksi senyawa menguap (minyak atsiri) dari bahan (segar atau simplisia) dengan uap air berdasarkan peristiwa tekanan parsial. Senyawa menguap akan terikut dengan fase uap air dari ketel secara kontinu dan diakhiri dengan kondensasi fase uap campuran (senyawa kandungan menguapn ikut terdestilasi) menjadi destilat air bersama senyawa kandungan yang memisah sempurna atau memisah sebagian (Ditjen POM, 2000).

2.7.Uji Skrining Fitokimia

Fitokimia merupakan ilmu pengetahuan yang menguraikan aspek kimia suatu tanaman. Kajian fitokimia meliputi uraian yang mencangkup aneka ragam senyawa organik yang dibentuk dan disimpan oleh organisme, yaitu struktur kimianya, biosintesisnya, perubahan serta metabolismenya, penyebarannya secara alamiah dan fungsi biologisnya, isolasi dan perbandingan komposisi senyawa kimia dari bermacam-macam jenis tanaman (Harborne, 1987; Sirait, 2007).

Analisis fitokimia dilakukan untuk menentukan ciri komponen bioaktif suatu ekstrak kasar yang mempunyai efek racun atau efek farmakologi lain yang bermanfaat bila diujikan dengan sistem biologi atau bioassay (Harborne, 1987).

(27)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Waktu dan Tempat

Penelitian ini berlangsung pada bulan Juni-Juli 2017. Sedangkan tempat penelitian dilakukan di Laboratorium Fitokimia Farmasi Universitas Hasanuddin untuk pengujian skrining fitokimia, dan Laboratorium Biofarmaka Pusat Kegiatan Penelitian Unhas untuk pembuatan ekstrak daun sirsak.

3.2 Jenis penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental laboratorium yang dilakukan untuk menguji perbandingan efektivitas daya anthelmintik ekstrak daun sirsak (Annona muricata L.) terhadap Ascaris suum dan Ascaridia galli secara in vitro

3.3.Materi Penelitian 3.3.1. Alat

Alat penelitian yang digunakan antara lain : Cawan petri, kain saring, batang pengaduk kaca, gelas baker, pinset anatomi, neraca analitik, mesin herbs dryer, rotary vacum evaporator “Butchi”, ultrasonic bath “Branson 2210” 50 kHz, gunting kecil, cawan porselen, blender, pot sampel, kamera, toples simplisia, handscoon, masker, thermometer, stopwatch.

3.3.2. Bahan

Bahan penelitian yang digunakan antara lain : NaCl 0,9%, aquadest, daun sirsak, Ascaris suum, Ascaridia galli, Piperazin citrate, etanol 70%, Na CMC 1%

3.3.3. Sampel

Penelitian ini menggunakan teknik quota sampling yaitu mengambil sampel berdasarkan jumlah minimal yang ditetapkan dengan menggunakan rumus Federer untuk mendapatkan data yang valid :

Keterangan :

n = Jumlah sampel

t = Jumlah kelompok/ perlakuan

(n-1) (t-1) ≥ 15

(28)

Penelitian ini terdiri dari dua percobaan yaitu pengujian ekstrak daun sirsak sebagai anthelmintik terhadap Ascaris suum (percobaan 1) dan pengujian ekstrak daun sirsak sebagai anthelmintik pada Ascaridia galli (percobaan 2).

Setiap percobaan ini terdapat 5 perlakuan, dimana 2 perlakuan pada kelompok kontrol yaitu kontrol positif dan negatif serta 3 perlakuan pada pemberian perlakuan berupa pemberian ekstrak daun sirsak dengan konsentrasi 2,5%, 10%, dan 40%. Maka nilai t yang digunakan adalah 5. Bila dimasukkan pada rumus di atas, jumlah sampel setiap perlakuan yaitu :

( n - 1) ( t– 1) ≥ 15 ( n - 1) ( 5– 1) ≥ 15 ( n– 1) (4) ≥ 15 4n– 4 ≥ 15 4n≥ 15 + 4 4n≥ 19 n≥ 19/4 n≥ 4,75 n≥ 5

Berdasarkan perhitungan diatas maka setiap perlakuan terdiri atas 5 sampel.

Dimana saat pengujian membutuhkan 25 cacing Ascaris suum (percobaan 1) dan 25 cacing Ascaridia galli (percobaan 2) yang dibagi dalam masing-masing lima kelompok perlakuan yaitu 1 kelompok kontrol negatif, 1 kelompok kontrol postif dan 3 kelompok perlakuan. Pembeda ketiga kelompok perlakuan ini adalah konsentrasi ekstrak daun sirsak sebesar 2,5%, 10% dan 40%.

3.4 Metode Penelitian 3.4.1. Pengambilan Daun Sirsak

Daun sirsak yang baik digunakan sebagai bahan herbal bentuknya mulus, tidak rusak secara fisik. Selain itu juga bebas serangan hama, seperti daun keriting atau bercak-bercak penyakit. Daun yang dipilih yaitu daun yang telah berwarna hijau pekat tapi bukan daun yang terlalu tua.

Apabila daun terlalu tua dikhawatirkan kandungan zat aktif yang diharapkan telah menurun, begitupun dengan daun yang terlalu muda. Para praktisi pengobatan dan industri herbal seperti Stefanus, herbalis dari Herbacure dan Darmawan Tri Wibowo, ahli budidaya tanaman sirsak dari Taman Wisata Mekarsari biasanya memilih daun sirsak pada lembar ke 4-6 dari pucuk. Daun yang ada pada posisi tersebut dianggap memiliki kandungan zat aktif yang paling baik. Daun dipetik dari pangkalnya, pemetikan tidak sampai melukai batang.

3.4.2. Pembuatan Ekstrak Daun Sirsak

Daun sirsak (Annona muricata L.) dibersihkan dari kotoran yang menempel (sortasi basah), dicuci dengan air mengalir sampai bersih, kemudian ditiriskan. Selanjutnya dikeringkan dalam herbs dryer dengan suhu 500C sampai

(29)

kering, setelah itu dipotong potong kecil dan diblender, kemudian daun sirsak kering dimasukkan ke dalam toples kaca dan ditambahkan etanol 70% dengan rasio biomassa sel : pelarut 1:2. Campuran biomassa dan pelarut tersebut kemudian diektraksi dengan metode sonikasi (frekuensi 50 kHz selama 30 menit).

Hasil ekstraksi kemudian disaring dengan menggunakan kain saring untuk menghilangkan ampasnya sehingga diperoleh ekstrak cair dengan pelarut kemudian dilakukan penguapan pelarut dengan menggunakan rotary vacum evaporator suhu 490C kecepatan 20 rpm, dan tekanan 176 mBar sampai tidak ada lagi pelarut yang menetes hingga diperoleh ekstrak berupa ekstrak kental.

3.4.3. Analisis Fitokimia

Analisis fitokimia merupakan analisis yang dilakukan untuk mengetahui komponen bioaktif yang terkandung dalam tiap pelarut dari ekstrak daun sirsak (Annona muricata L.). Analisis fitokimia yang dilakukan meliputi uji tanin, saponin, flavanoid, dan alakloid

a. Saponin

Memasukkan 0,5 g ekstrak yang diuji ke dalam tabung reaksi, kemudian ditambahkan 10 ml air panas, didinginkan dan kemudian kocok kuat-kuat selama 10 menit. Hasil Positif jika Terbentuk buih selama 10 menit, Dan pada penambahan 1 tetes asam klorida 2 N, buih tidak hilang

b. Tanin, flavanoid, dan alkaloid

Persiapan Lempeng KLT dan sampel

1. Mengaktifkan lempeng KLT pada oven suhu 105-1100C selama 1 jam 2. Menggunting lempeng dengan ukuran 1 x 7 cm

3. Menandai batas bawah lempeng dengan pensil pada jarak 1 cm dan 0,5cm pada batas atas.

4. Melarutkan sampel dengan pelarut etanol sampai diperoleh kepekatan yang sesuai

5. Masukkan fase gerak/eluen toluene:etil asetat (85:15) kedalam chamber sampai kira-kira ketinggian kurang dari 1 cm.

Identifikasi KLT

1. Totolkan ekstrak sampel pada batas bawah lempeng dengan menggunakan pipa kapiler.

2. Masukkan ke dalam chamber yang telah dijenuhkan dengan eluen

3. Biarkan lempeng terelusi sampai batas atas, kemudian angkat dan keringkan.

4. Mengamati noda yang muncul dengan menggunakan penampak noda lampu UV 254/366 nm dan pereaksi semprot.

5. Mencatat warna noda yang muncul.

3.4.4. Pembuatan Variasi Konsentrasi Kadar Ekstrak Daun Sirsak Konsentrasi I : 2,5% ekstrak daun sirsak (Annona muricata L.) Konsentrasi II : 10% ekstrak daun sirsak (Annona muricata L.) Konsentrasi III : 40% ekstrak daun sirsak (Annona muricata L.)

(30)

3.4.5. Persiapan sampel

Sampel yang dipakai adalah Ascaris suum, berasal dari usus halus babi yang diperoleh dari tempat pemotongan babi di Gowa. Untuk mengambil cacing, usus babi yang baru disembelih dipotong membujur. Kemudian isinya ditampung dalam ember. Mukosa usus dikerok untuk melepas cacing yang mungkin melekat pada mukosa. Isi usus kemudian disaring dan satu persatu cacing mulai diambil kemudian dimasukkan ke dalam pot sampel yang berisi NaCl 0,9%. Sedangkan sampel cacing Ascaridia galli diambil dari lumen usus ayam yang terinfeksi cacing Ascaridia galli. Sampel cacing Ascaridia galli yang diperoleh dengan kriteria aktif bergerak, ukuran sama, dan tidak nampak cacat secara anatomi kemudian dimasukkan ke dalam pot sampel (menggunakan pinset anatomis) yang telah di isi dengan NaCl 0,9% agar cacing tetap hidup dan aktif, selanjutnya pot sampel ditutup untuk menghindari kontaminasi ataupun tumpah.

3.4.6. Perlakuan

A. Pengujian terhadap Ascaris suum

Sebanyak 25 sampel Ascaris suum di kelompokkan menjadi 5 kelompok perlakuan sebagai berikut :

Perlakuan A : Kontrol negatif dengan Na CMC 1%

Perlakuan B : Kontrol positif dengan Piperazin citrate

Perlakuan C : Diberikan ekstrak daun sirsak (Annona muricata L.) 2,5%

Perlakuan D : Diberikan ekstrak daun sirsak (Annona muricata L.) 10%

Perlakuan E : Diberikan ekstrak daun sirsak (Annona muricata L.) 40%

Tahap Penelitian :

1) Cawan petri disiapkan, masing-masing berisi ekstrak daun sirsak (Annona muricata L.) sesuai konsentrasi masing-masing dan larutan Piperazin citrate serta larutan Na CMC 1% sebanyak 100 ml.

2) Cacing Ascaris suum yang masih aktif bergerak (normal) sebanyak 5 ekor dimasukkan ke dalam masing-masing cawan petri. Periksa dan catat hasil setiap 15 menit.

3) Untuk melihat apakah cacing mati, paralisis, atau masih normal, cacing diusik dengan batang pengaduk. Jika cacing tidak bergerak, dipastikan kematinnya menggunakan air panas dengan suhu 50° C selama 5 detik.

Cacing yang tetap tidak bergerak setelah perlakuan ini dikelompokkan sebagai cacing yang sudah mati, jika masih bergerak maka pengamatan dilanjutkan.

4) Hasil yang diperoleh dicatat kemudian dianalisis. B. Pengujian terhadap Ascaridia galli

Sebanyak 25 sampel Ascaridia galli di kelompokkan menjadi 5 kelompok perlakuan sebagai berikut :

Perlakuan A : Kontrol negatif dengan Na CMC 1%

(31)

Perlakuan B : Kontrol positif dengan Piperazin citrate

Perlakuan C : Diberikan ekstrak daun sirsak (Annona muricata L.) 2,5%

Perlakuan D : Diberikan ekstrak daun sirsak (Annona muricata L.) 10%

Perlakuan E : Diberikan ekstrak daun sirsak (Annona muricata L.) 40%

Tahap Penelitian :

1) Cawan petri disiapkan, masing-masing berisi ekstrak daun sirsak (Annona muricata L.) sesuai konsentrasi masing-masing dan larutan Piperazin citrate serta larutan Na CMC 1% sebanyak 25 ml.

2) Cacing Ascaridia galli yang masih aktif bergerak (normal) sebanyak 5 ekor dimasukkan ke dalam masing-masing cawan. Periksa dan catat hasil setiap 15 menit.

3) Untuk melihat apakah cacing mati, paralisis, atau masih normal, cacing diusik dengan batang pengaduk. Jika cacing tidak bergerak, dipastikan kematinnya menggunakan air panas dengan suhu 50° C selama 5 detik.

Cacing yang tetap tidak bergerak setelah perlakuan ini dikelompokkan sebagai cacing yang sudah mati, jika masih bergerak maka pengamatan dilanjutkan.

4) Hasil yang diperoleh dicatat kemudian dianalisis.

Penelitian ini menggunakan teknik in vitro dimana dilakukan tidak dalam hidup organisme tetapi dalam lingkungan terkontrol, misalnya dalam penelitian ini dilakukan di dalam cawan petri. Keunggulan dari teknik in vitro dalam penelitian ini yaitu efek dari perlakuan dapat terlihat jelas beserta tahapan perubahannya. Namun salah satu kelemahan in vitro adalah kegagalan meniru kondisi selular secara tepat dapat menghasilkan kesimpulan yang tidak sesuai dengan keadaan organisme hidup.

3.5. Analisis Data

Analisis data menggunakan sidik ragam (ANOVA), jika terdapat perbedaan yang nyata maka dilakukan uji lanjut Duncan (Steel dan Torrie, 1995) untuk mengetahui perbedaan antar perlakuan. Selanjutnya dilakukan uji Mann- Whitney U Test untuk mengetahui apakah kedua jenis cacing memiliki perbedaan efek anthelmintik terhadap ekstrak daun sirsak, kontrol positif maupun kontrol negatif memiliki perbedaan yang signifikan (bermakna) atau tidak. Pengolahan data hasil penelitian dilakukan dengan menggunakan program komputer SPSS 16.0 for windows.

(32)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan efektivitas daya anthelmintik ekstrak daun sirsak (Annona muricata L.) terhadap Ascaris suum dan Ascaridia galli secara in vitro. Ascaris suum dan Ascridia galli masing masing sebanyak 25 ekor cacing. Kedua jenis cacing ini dipilih karena mempunyai famili yang sama. Hospes dari Ascaris suum maupun Ascaridia galli sama sama dapat terinfeksi parasit dengan cara menelan telur infektif bersama makanan, serta kedua cacing ini sama sama dapat bereaksi dengan Piperazin citrate. Sampel Ascaris suum diperoleh dari usus halus babi di tempat pemotongan babi di Gowa sedangkan untuk Ascaridia galli diperoleh dari usus halus ayam yang terinfeksi Ascaridia galli.

Gambar 7. Sampel cacing Ascaris suum

Gambar 8. Sampel cacing Ascaridia galli

Sebelum melakukan pengamatan mengenai pengaruh ekstrak yang ditimbulkan terhadap kedua jenis cacing, terlebih dahulu sampel ekstrak daun sirsak dianalisis untuk mengetahui senyawa yang terkandung pada daun sirsak.

Daun sirsak diperoleh di dua tempat yaitu di Makassar dan Polewali Mandar.

Daun sirsak sebanyak ±1,5 kg yang merupakan sampel kering diekstraksi kemudian dilakukan pengujian fitokimia. Berikut ini hasil analisis fitokimia terhadap kandungan ekstrak daun sirsak.

(33)

Tabel 1. Hasil analisis fitokimia

No Jenis

Pengujian Hasil Gambar Keterangan

1 Flavonoid -(negatif) Tidak nampak adanya

noda atau bercak

2 Saponin + (Positif) Terbentuknya buih

3 Alkaloid + (Positif) Terjadi perubahan warna

menjadi jingga

4 Tanin + (Positif) Terjadi perubahan warna

menjadi biru

Saponin pada umumnya berada dalam bentuk glikosida sehingga umumnya bersifat polar dan merupakan senyawa aktif permukaan yang dapat menimbulkan busa jika dikocok dalam air. Busa pada uji terjadi karena saponin memiliki gugus polar dan non polar yang akan membentuk misel. Misel terbentuk menyebabkan gugus polar akan menghadap ke luar dan gugus nonpolar menghadap ke dalam dan keadaan inilah yang tampak seperti busa (Padmasari et al., 2013)

Senyawa alkaloid dideteksi menggunakan pereaksi semprot dragendorf terbentuk warna jingga karena nitrogen membentuk ikatan kovalen koordinat dengan ion K+logam.

Tanin termasuk dalam golongan fenolik yang mengandung kerangka cincin aromatik yang mengandung gugus hidroksil (-OH) (Mustikasari and Ariyani, 2008). Suatu senyawa fenolik apabila disemprot dengan FeCl3 akan memberikan warna hijau, merah ungu, biru, kelabu atau hitam (Harborne, 1987).

Perubahan warna terjadi ketika penambahan FeCl3 yang bereaksi dengan salah satu gugus hidroksil pada senyawa tanin, penambahan FeCl3 pada ekstrak uji menghasilkan warna biru yang menunjukkan mengandung senyawa tanin.

(34)

Berdasarkan kandungan senyawa yang dimiliki daun sirsak, dilakukan pengujian dengan merendam kedua jenis cacing ke dalam berbagai konsentrasi ekstrak untuk mengetahui pengaruh yang diberikan terhadap cacing tersebut.

Pengaruh pemberian ektrak daun sirsak diamati setiap 15 menit. Data pengamatan Ascaris suum dan Ascaridia galli tersebut disajikan pada tabel 2.

Tabel 2. Mortalitas 100% Ascaris suum dan Ascaridia galli yang direndam dalam setiap perlakuan

Jenis Cacing

Mortalitas 100% cacing yang direndam dalam setiap perlakuan (menit)

Kontrol Positif

Konsentrasi 40%

Konsentrasi 10%

Konsentrasi 2,5%

Kontrol Negatif

Ascaris suum 210 585 960 1425 1620

Ascaridia galli 150 255 390 465 585

Dari tabel di atas menjelaskan bahwa kematian 100% Ascaris suum pada kontrol positif terjadi selama 210 menit perendaman Piperazin citrate.

Kemudian perendaman selama 585 menit ekstrak daun sirsak konsentarsi 40%

mampu mematikan semua cacing Ascaris suum. Selanjutnya pada konsentrasi 10% kematian semua cacing terjadi selama 960 menit perendaman ekstrak. Pada konsentrasi 2,5%, semua cacing mati selama 1425 menit perendaman. Dan pada perakuan dengan kontrol negatif menggunakan Na CMC 1%, semua cacing mati selama 1620 menit perendaman. Secara lebih jelas mortalitas Ascaris suum dapat disajikan dalam bentuk grafik.

Gambar 9. Grafik Daya Kematian Ascaris suum 100%

Mortalitas kematian 100% Ascaridia galli seperti yang terdapat pada tabel 2 menjelaskan bahwa perendaman dengan menggunakan Pipirazin citrate sebagai kontrol positif terjadi selama 150 menit perendaman. Sedangkan untuk perendaman dengan menggunakan ektrak daun sirsak konsentrasi 40%, 10%, dan

210a

585b

960c

1425d 1620e R² = 0,9886

0 200 400 600 800 1000 1200 1400 1600 1800

Kontrol Positif Konsentrasi 40%

Konsentasi 10%

Konsentrasi 2,5%

Kontrol Negatif

Waktu Kematian (Menit)

(Perlakuan)

Daya Kematian Ascaris suum 100%

R = 0.994

(35)

2,5% berturut turut terjadi selama 255 menit, 390 menit, dan 465 menit.

Sementara itu, untuk kontrol negatif menggunkan Na CMC 1% daya kematian Ascaridia galli 100% terjadi selama 585 menit perendaman. Secara lebih jelas mortalitas Ascaridia galli dapat disajikan dalam bentuk grafik.

Gambar 10. Grafik Daya Kematian Ascaridia galli 100%

Kecepatan waktu kematian tiap cacing berbeda. Perbedaan waktu kematian kedua cacing disajikan dalam grafik berikut.

Gambar 11. Grafik perbandingan daya kematian 100% kedua cacing Hasil pengamatan menunjukkan bahwa pemberian ekstrak daun sirsak memberikan pengaruh yang berbeda terhadap waktu kematian kedua cacing.

Konsentrasi 40% untuk Ascaris suum dan Ascaridia galli menyebabkan kematian lebih cepat dibandingkan dengan konsentrasi 10% dan 2,5% tetapi tidak lebih baik

150a

255b

390c

465d

585e R² = 0,9946

0 100 200 300 400 500 600 700

Kontrol Positif Konsentrasi 40%

Konsentasi 10%

Konsentrasi 2,5%

Kontrol Negatif

Waktu Kematian (Menit)

(Perlakuan)

Daya Kematian Ascaridia galli 100%

R = 0.997

210

585

960

1425

1620

150 255 390 465 585

0 200 400 600 800 1000 1200 1400 1600 1800

Kontrol Positif

Konsentrasi 40%

Konsentrasi 10%

Konsentrasi 2,5%

Kontrol Negatif

Waktu Kematian (Menit)

(Perlakuan)

Perbandingan Daya Kematian 100% Kedua Cacing

Ascaris suum Ascaridia galli

Referensi

Dokumen terkait

Lingkungan merupakan bagian integral dari kehidupan manusia. Terjaganya lingkungan menjadikan kualitas hidup manusia lebih baik. Kenyataan yang dihadapi saat ini adalah

This study evaluated the relative geo-location accuracy of the TerraSAR-X ortho-rectified EEC product by the pixel matching methodology using the pairs of intensity

Penulisan Tugas Akhir ini bertujuan untuk mengetahui lebih dalam tentang sistem pengadaan barang yang dilaksanakan di PDAM Tirta Satria mulai dari permintaan dan

Stasiun penerimaan, stasiun pemurnian dan stasiun puteran termasuk komponen agak kritis (ECR3) yang berarti seluruh komponen pendukung atau fasilitas lain yang

1) Tidak untuk mencari laba atau keuntungan atau tidak merupakan bagian perusahaan yang mencari keuntungan semata. 2) Umendidik dan memajukan masyarakat dalam

Sahabat MQ/ Komisi Pemilihan Umum Daerah KPUD Sleman tetap tidak akan mengumumkan kepada publik/ terkait pengadaan jasa Kantor Akuntan Publik K-A-P// Meskipun/ berdasarkan

Untuk data-data curah hujan, salju, debit sungai, dan suhu termasuk sebagai data spasial yang merupakan data multivariat karena diamati pada beberapa lokasi, oleh

Sebagai kelanjutan proses pelelangan ini, kami mengundang saudara untuk menghadiri tahapan verifikasi dan pembuktian kualifikasi paket pekerjaan Pembangunan Pipa dan SR Kec..