• Tidak ada hasil yang ditemukan

D. Kontribusi pemikiran tokoh-tokoh intelektual yang mempengaruhi pemikiran V.I Lenin tentang konsep Negara dan Revolusi

4. Perbandingan dengan pemikiran V.I Lenin

Dari ketiga pemikiran tokoh dan golongan tersebut, pikiran Lenin tentang revolusi sosialis dan negara yang akan dibentuknya itu pun menjadi berkembang.

Ada yang sejalan dengan ketiga pemikiran diatas tetapi juga banyak yang berlawanan dengan ketiganya. Karena Lenin memiliki pemikiran sendiri mengenai konsep Revolusi Sosialis dan negara yang telah disesuaikan dengan situasi, kondisi atau bahkan ambisi pribadi Lenin sendiri. Adapun pokok-pokok pemikiran Lenin yang disebutkan oleh Arif dan Prasetyo (2004:50-59) adalah :

a. Kepercayaan atas Hukum Evolusi Sejarah Umat Manusia

Lenin sebagai pengikut Marxis, juga mempercayai akan Hukum Evolusi Sejarah yang dikemukakan Marx yaitu tahapan primitif, tahapan perbudakan, tahapan feodalisme, tahapan kapitalisme dan tahapan sosialis. Ia juga sejalan dengan pemikiran Plekhanov yaitu meyakini bahwa Rusia telah memasuki tahapan kapitalisme, namun ia juga tidak sependapat apabila kaum proletar harus mendukung dan menjadi sekutu kaum Borjuis-Kapitalis sebagaimana yang dikatakan oleh Plekhanov untuk menjatuhkan feodalisme di Rusia.

Selain itu juga Lenin memang sependapat dengan apa yang dikatakan oleh Plekhanov tentang mulai masuknya Rusia kedalam tahapan kapitalisme, namun juga menolak pandangan Plekhanov tentang dua fase revolusi guna menuju masyarakat sosialis.

Dituliskan oleh Arif dan Prasetyo (2004:50) bahwa:

“Dinyatakan oleh Plekhanov bahwa untuk menuju tercapainya masyarakat sosialis di Rusia, maka kaum proletar (yang saat itu jumlahnya amat kecil) harus membantu kaum borjuis-kapitalis mengadakan revolusi menyatukan kekuasaan feodal dan menggantinya dengan rezim kapitalisme.di bawah rezim ini, kapitalisme akan berkembang dan dengan demikian berkembang pula jumlah dan kekuatan kaum proletar. Dengan kekuatannya tersebut, maka kaum

proletar akan sanggup melakukan revolusi sosialis dalam menciptakan pembentukan masyarakat sosialis”.

Berdasarkan pemikiran tersebut, menurut Lenin, Kaum borjuis-kapitalis adalah kaum yang tak bisa dipercaya untuk membuka jalan bagi terbentuknya revolusi sosialis dan masyarakat sosialis. Alih-alih, kaum borjuis-kapitalis akan bersedia berkoalisi dengan Tsar Rusia guna mencegah terbentuknya revolusi sosialis dan juga masyarakat sosialis.

Maka, Kaum proletar tak boleh tergantung pada Revolusi Borjuis dan tak juga harus menunggu revolusi itu terlaksana akan tetapi kaum proletar harus menciptakan Revolusi Sosialisnya sendiri. Sebelum dampak kapitalisme itu berkembang semakin buruk Lenin berpikir lebih baik mencegah hal itu terjadi dengan adanya Revolusi Sosialis secepatnya, kaum proletar tak perlu menunggu kapitalisme itu hancur terlebih dahulu sebagaimana yang dikatakan oleh Marx.

Akan tetapi, permasalahan selanjutnya adalah saat itu, Rusia hanya memiliki jumlah kaum proletar yang sedikit sehingga hal itu dirasa terlalu kecil untuk bisa melakukan revolusi. Maka sebagaimana yang dikutip Arif dan Prasetyo dalam karya Lenin yang berjudul Devepment of Capitalism in Russia, menyatakan bahwa:

“…ternyata bukan kaum proletar saja yang menderita akibat kapitalisme, namun juga para petani kecil. Akibat perkembangan kapitalisme juga, komunitas-komunitas kaum petani hancur dan para petani terbelah menjadi petani kaya, petani menengah dan petani miskin atau petani kecil. Dan ternyata, yang terakhir inilah yang jumlahnya separuh dari populasi para petani di Rusia yang dalam pandangan Lenin, ini merupakan kenyataan yang harus disatukan, yakni dijadikan sekutu bagi kaum proletar Rusia yang saat itu jumlahnya sangat kecil. Dan peran petani inilah yang nantinya akan

menjadi kekuatan baru revolusioner yang disiapkan Lenin untuk revolusi sosialis”.

b. Kaum Proletar-Petani kecil sebagai pilar Revolusi Sosialis

Marx dalam Manifesto Komunisnya menyatakan bahwa kelas menengah kecil itu (termasuk para petani) tidaklah revolusioner namun konservatif. Akan tetapi jika suatu saat mereka revolusioner, mereka akan bersikap demikian hanya bila dalam pandangannya mereka terancam pindah menjadi kaum proletar. Artinya bahwa Marx menganggap para petani sebagai kekuatan konservatif. Hal ini tampak sejalan dengan Plekhanov yang menganggap kaum proletar sebagai satu-satunya kelas revolusioner dalam analisis kelas dan dalam pandangannya pertarungannya adalah antara kelas proletar dan kelas borjuis-kapitalis. Namun, dalam hal ini Lenin memiliki perbedaan baik dengan Marx, Plekhanov maupun dengan kaum Populis.

Mengenai hal ini, Arif dan Prasetyo (2004:52) mengutip pernyatan dari Plekhanov bahwa:

“Dalam pandangan Plekhanov, partai sosialis yang akan menjalankan revolusi sosialis tidak boleh berkompromi dengan kekuatan-kekuatan sosial dan politik yang lain, termasuk dengan petani yang lebih mewakili dengan masa lalu dan berbeda dengan kaum proletar, masih memiliki alat-alat produksi dan karenanya tak bisa menjadi sebuah kekuatan sosialis. Kalaupun partai sosialis hendak memenuhi tuntutan kaum tani, sikap yang mungkin adalah netralitas. Partai sosialis tak melakukan hal lain selain menawarkan realisme pada petani untuk menerima kenyataan hidup tentang nasib mereka dibawah kapitalisme dan harapan bagi masa depan yang lebih baik dibawah kepemimpinan kaum proletar”.

Bagaimanapun juga Lenin adalah orang yang selalu mempertimbangkan akan kondisi realitas di Rusia, ia menyadari bahwa untuk melakukan Revolusi Sosialis di Rusia tidaklah mungkin dan sulit terwujud karena kekuatan kaum proletar masih terlalu minim. Selain dari itu, dalam pandangan yang mengatakan bahwa kaum borjuis-kapitalis yang memiliki kekuatan untuk melakukan revolusi menjungkirkan feodalisme, tak bisa dipercaya sepenuhnya untuk memberi jalan bagi revolusi sosialis.

Belajar dari peristiwa Revolusi yang terjadi tahun 1905 yang merupakan sebuah revolusi petani yang radikal ternyata memiliki kekuatan yang selama ini dianggap sepele oleh Plekhanov dan kaum Menshevik yang lainnya. Kekuatan kaum petani dianggap sepele karena dianggap sebagai salah satu penghambat gerak revolusi sejarah Rusia menuju tahap kapitalisme dan tahap sosialisme, selain kekuasaan Tsar Rusia, oleh Lenin kaum petani justu dianggap sebagai kekuatan baru revolusioner menuju masyarakat sosialis dan merupakan mitra sejajar kaum buruh.

Oleh karena alasan itu, maka Lenin mengubah Kediktatoran Proletariatnya sebagaimana dikutip oleh Arif dan Prasetyo (2004:53) yaitu Kediktatoran Proletariat kini ‘diperbaharui’ oleh Lenin menjadi kediktatoran buruh dan tani. Pertarungan kini bukan lagi antara kelas proletar dan kelas borjuis-kapitalis, akan tetapi antara kelas buruh dan tani melawan kelas borjuis-kapitalis.

Oleh karena alasan itu, maka Theodor Shanin (1986) menuliskan pikiran Lenin sebagai berikut:

“Bahwa untuk mencapai tujuan alamiahnya, revolusi harus berlandaskan pada kehendak mayoritas dan ‘radikalisme petani’ pada saat mengecam keragu-raguan kaum borjuis (yang akan berkompromi dengan kekuasaan Tsar). Untuk mengakhiri ‘tahap borjuis’ dari sejarah Rusia dan untuk melaksanakannya secara radikal, yaitu secara ‘plebeian’ rezim baru itu haruslah merupakan suatu ‘kediktatoran demokratik kaum proletar dan kaum petani’”.

Dari pernyataan tersebut dapat kita ambil kesimpulan bahwa semenjak Lenin menyadari tentang besarnya kekuatan dari kaum petani, kaum petani juga menjadi kekuatan yang patut untuk diperhitungkan. Kaum petani yang awalnya disepelekan oleh Plekhanov dan golongan Menshevik lainnya, oleh Lenin diangkat ke permukaan dan dijadikan salah satu pilar terjadinya revolusi sosialis. Dan hal itu menjadi warisan yang permanen dari pemikiran Lenin, ahl itu dibuktikan dengan adanya surat wasiat Lenin yang salah satu intinya adalah menyatakan bahwa kekuasaan partai komunis berdasarkan pada dua kelas (kelas buruh dan kelas petani kecil) dan dengan dengan hubungan yang saling menguntungkan diantara mereka.

c. Tugas Partai dan Sifat Kepemimpinannya

Marx menyebutkan bahwa Partai Komunis hanya sebagai koordinator gerakan-gerakan kaum buruh di seluruh dunia. Lenin berpikir lain, baginya Partai Komunis itu memiliki tugas dan fungsi yang penting, sebagaimana yang dikutip oleh Arif dan Prasetyo (2004:54) yaitu:

“Tidak hanya sekedar mengkoordinasikan gerakan-gerakan buruh di seluruh dunia, tetapi juga menyuntikkan kesadaran sosialis pada diri kaum buruh, dan sekaligus menjadi mentor, pemimpin dan pemandu bagi kaum proletar dalam melaksanakan revolusi sosialisnya”.

Pemikiran tentang tugas dan fungsi partai ini sebenarnya tak lepas dari asumsi Lenin mengenai kesadaran sosialis kaum buruh. Berbeda dengan Marx yang menyatakan bahwa kesadaran sosialis kaum buruh merupakan sesuatu yang muncul secara spontan dan alamiah sebagai akibat dari perkembangan kapitalis itu sendiri. Sedangkan Lenin beranggapan bahwa perkembangan kapitalisme itu hanya akan melahirkan kesadaran berserikat saja bukan kesadaran sosialis.

Suseno (2005:12) mengulas kembali pernyataan Lenin yang tidak mepercayai kesadaran sosialis revolusioner kaum buruh dapat berkembang secara spontan, yaitu:

“Pertama, karena kepentingan yang langsung dirasakan oleh para buruh terarahkan pada kepentingan-kepentingan langsung mereka dan bukan pada revolusi sosialis. Maka menurut Lenin buruh yang masuk ke dalam partai dan menunjukkan kemampuan berpolitik sebaiknya segera dicopot dari proses produksi dan dididik menjadi orang revolusioner purna waktu. Kedua, semangat revolusi sosialis mengandaikan sebuah teori revolusioner. Teori itu adalah sosialisme ilmiah. Tapi tidak mungkin kaum buruh yang hanya berpendidikan rendah secara spontan dapat sampai ke sosialisme ilmiah itu. Kesadaran berserikat dan kesadaran sosialisme itu adalah dua hal yang berbeda jauh”.

Maka, oleh karena itu, menurut Lenin kesadaran politik revolusioner sosialis itu harus disadarkan dari luar yaitu hanya diluar pertarungan ekonomi, diluar dari atmosfer hubungan antara buruh dan majikan. Dan kesadaran tersebut harus disuntikkan dari luar oleh sebuah organisasi yang revolusioner juga.

Lenin juga membedakan antara organisasi buruh dengan organisasi revolusioner. Jika organisasi buruh itu lebih bersifat serikat pekerja saja, bercakupan luas dan jika kondisi politik memungkinkan, bersifat publik. Sementara itu organisasi revolusioner harus secara eksklusif, terdiri dari sejumlah kecil revolusioner professional dan bersifar rahasia. Bagi Lenin, seorang revolusioner professional tidak harus berasal dari kelas buruh, yang terpenting adalah kesanggupannya menjalankan tanggung dengan baik. Dan diibaratkan dengan polisi, Lenin menegaskan bahwa organisasi para revolusioner professional haruslah tersentralisasi dan mampu mengendalikan organisasi-organisasi buruh yang ada dan diakui secara hukum.

Untuk selanjutnya, Lenin juga mengungkapkan apa yang harus dilakukan untuk mengkoordinasikan organisasi revolusionernya sebagaimana yang telah diuraikan Arif dan Prasetyo (2004:56) yaitu:

“Sebagaimana kekuatan kecil seperti tentara dan polisi dapat mengendalikan sejumlah besar massa rakyat yang terorganisir, Lenin percaya bahwa organisasi yang relatif lebih kecil namun sangat berdisiplin dan terkoordinasi dengan rapi, akan dapat mengambil alih kekuasaan dari aparatur sistem yang ada. Pandangan Lenin mengenai sentralisasi dan kedisiplinan kekuatan partai pada sekelompok kecil revolusioner profesional inilah yang pada tahun 1903 mengakibatkan terbentuknya faksi Bolshevik dan Menshevik dalam tubuh Partai Buruh Sosial Demokrat Rusia”.

Dalam hal yang berkaitan dengan Partai revolusioner, jelas sekali bahwa Golongan Menshevik memiliki perbedaan yang mencolok dengan apa yang diyakini oleh Golongan Bolshevik. Hal tersebut juga disimpulkan oleh Arif dan Prasetyo (2004:57) berikut ini:

“Kelompok Menshevik lebih mengusulkan kepemimpinan yang lebih longgar daripada kepemimpinan sejumlah kecil revolusioner professional. Mungkin ada yang menyebutnya sebagai pertarungan antara sentralis versus demokrasi dalam partai, tetapi sebenarnya gagasan Lenin itu lebih berdasarkan pada pertimbangan realistis daripada pertimbangan ideal “asal sentralisme”. Selain pertimbangan efektivitas dari organisasi, pertimbangan lain yang lebih utama adalah adanya bahaya infiltrasi. Dengan kepemimpinan yang longgar, ada bahaya agen-agen polisi Tsar dapat melakukan penetrasi. Juga terdapat bahaya dari kaum borjuis dan liberal yang senantiasa berusaha untuk mengambilalih gerakan kaum buruh dan mengubahnya menjadi sekedar ‘serikat kerja’ daripada menjadi kekuatan politik revolusioner”.

Dalam hal ini secara komprehensif, pandangan Lenin didasarkan kepada pemahamannya bahwa partai komunis sedang berada di tengah-tengah perang yaitu perang antara kelas. Maka prinsip-prinsip partai pun haruslah menerapkan sifat organisasi yang terlibat perang termasuk kedalam bagaimana pengelolaan revolusi itu dilakukan, bentuk organisasi, orang-orang revolusioner, dan kesadaran revolusioner adalah hal-hal yang dilakukan oleh partai, dan partai itu harus memiliki dan menerapkan sifat-sifat organisasi seperti rahasia, kepemimpinan oleh minoritas, kewenangan yang tersentralisasi dan pengggunaan cara-cara ilegal. Hal itu tentu saja untuk mewujudkan kediktatoran proletariat dan itu adalah wewenang yang dapat dilakukan oleh Partai Komunis agar bahaya hidupnya kembali kapitalisme dapat dihindarkan dan juga menghindari sifat-sifat egois kaum buruh yang tak bersatu, jahat dan lemah yang ditimbulkan oleh kepemilikan pribadi.

d. Revolusi Permanen

Seperti pemikiran-pemikirannya yang lain, Lenin selalu melihat sesuatu dari perspektif global, hal ini juga ia terapkan ketika berbicara mengenai revolusi borjuis.

Arif dan Prasetyo (2004:58) menguraikan bahwa:

“Berbeda dengan Marx yang percaya bahwa revolusi sosialis akan terjadi terlebih dahulu di negeri-negeri yang tingkat perkembangan kapitalismenya telah matang, Lenin justru menyatakan bahwa revolusi sosialis akan terjadi lebih dulu di Asia, Afrika, Amerika Latin dan Eropa Timur yang tingkat perkembangan kapitalismenya masih lemah. Mengapa? Karena tingkat resistensi antikomunis di negeri-negeri tersebut masih rendah. Dan tugas kaum komunis adalah menyerang dan menghancurkan sistem politik dan sosial yang terlemah yaitu di daerah yang secara ekonomi terbelakang di Asia, Afrika, Amerika Latin dan Eropa Timur”.

Marx mengatakan seperti itu, dikarenakan konsistensinya terhadap apa yang diungkapkan oleh teorinya sendiri bahwa untuk mencapai fase sosialisme, terlebih dahulu fase kapitalisme yang sedang berlangsung harus mencapai kematangan terlebih dahulu, dan negara-negara Eropa Barat dan Amerika saat itu tidak sedang menunjukkan adanya tanda-tanda kehancuran kapitalisme, yang ada malahan justru kapitalisme dapat berkembang dengan pesat. Namun Lenin berpikir, apabila Rusia harus menunggu agar fase kapitalisme itu mengalami kematangan, hal tersebut akan membutuhkan waktu berpuluh-puluh tahun, karena Rusia baru saja memulai fase awal dari kapitalisme. Oleh karena itu, tanpa menunggu lebih lama, kenapa Rusia tidak berusaha untuk melewati fase kapitalisme tersebut?.

Keberhasilan revolusi sosialis di Rusia bukanlah tujuan akhir, tujuan akhir adalah sebagaimana yang telah diajarkan oleh Marx yaitu terciptanya tahapan sejarah masyarakat sosialis di dunia. Namun, hal itu bukan berarti bahwa kemenangan kaum komunis di Rusia tidak bernilai sama sekali. Justru hal tersebut adalah awal dari langkah-langkah Rusia berikutnya, kemenangan tersebut memberikan basis dan pusat bagi kegiatan-kegiatan revolusi komunis di negara-negara lain di seluruh dunia.

Maka, sebagai satu-satunya partai komunis di dunia yang berhasil merealisasikan revolusi sosialis, Lenin berpandangan bahwa seluruh partai komunis di segenap penjuru dunia harus mengikuti model partai komunis Rusia. Hal tersebutlah yang mengatakan bahwa Revolusi yang diinginkan oleh Lenin juga meliputi Revolusi Permanen yang memiliki pengaruh global.

Sebenarnya, revolusi permanen adalah sumbangan yang amat penting bagi pemikiran Marxis tersebut, berawal dari teori yang dikemukakan oleh Trotsky (panglima Tentara Merah Rusia). Trotsky mengembangkan teorinya tentang revolusi permanent dalam The Balance and the Prospect—The Moving Forces of the Revolutions yang ditulisnya pada tahun 1906 dalam penjara.

Berkaitan dengan Revolusi Permanen yang diungkapkan oleh Trotsky, Suseno (2005:72-73) mengungkapkan bahwa:

“Trotsky yakin bahwa begitu proletariat Rusia melakukan revolusi dan menggulingkan feodalisme dan kapitalisme, kawan-kawan di Eropa yang maju akan ketularan semangatnya dan akan bangkit juga. Sama dengan Karl Kautsky dan kaum sosialis di Eropa pada umumnya,

Trotsky berpendapat bahwa masyarakat Eropa sudah ‘matang’ bagi sosialisme. Revolusi sosialis Rusia hanyalah sebuah permulaan. revolusi timur akan menjangkiti proletariat barat dengan idealisme revolusioner dan menimbulkan didalamnya hasrat untuk melawannya. Begitu proletariat merebut kekuasaan di Rusia dan memperlihatkan kemampuannya untuk menghancurkan kapitalisme, proletariat di seluruh Eropa yang jauh lebih kuat akan kejangkitan dan bangkit dalam revolusi yang akan menyapu bersih kapitalisme dari seluruh Eropa. Dalam pandangan Trotsky revolusi sosialis Eropa merupakan satu gerakan yang mulai dari Rusia kemudian akan menjalar ke seluruh Eropa dan menciptakan Eropa yang sosialis”.

Trotsky juga pada intinya mengungkapkan mengenai pengenalan dan perkembangan dari penciptaan Teori Revolusi Permanen yang diungkapkan oleh Lenin. (2009:130):

“Revolusi permanen, menurut Marx berarti sebuah revolusi yang tidak membuat kompromi dengan bentuk kekuasaan kelas apapun, revolusi yang tidak berhenti pada tahapan demokratik namun terus bergerak pada pelaksanaan langkah-langkah sosialis dan berperang melawan reaksi dari luar yaitu: sebuah revolusi yang setiap tahapan suksesnya berakar pada tahapan sebelumnya dan hanya berakhir pada likuidasi masayarakat kelas secara total....Teori Revolusi Permanen menjelaskan bahwa, dalam era kita saat ini, tugas-tugas demokratik bangsa borjuis terbelakang akan mengantarkan kita langsung ke kediktatoran proletariat dan bahwa kediktatoran proletariat ini menempatkan tugas-tugas sosialis pada saat itu juga....”.

Revolusi permanen yang dimaksudkan Lenin dan Trotsky disini memiliki dua arti: pertama karena, di bawah pimpinan proletariat, revolusi borjuis-kapitalis akan diteruskan menjadi revolusi sosialis. Kedua, karena revolusi sosialis Rusia tidak akan berhenti pada batas-batas Rusia melainkan akan meluap ke Eropa dan akan meruntuhkan kapitalisme. Berdasarkan penguraian diatas, dapat kita ambil suatu kesimpulan bahwa pemikiran Marx dan Lenin tidak dapat dipisah-pisah begitu saja, keduanya merupakan satu kesatuan yang saling memadukan sehingga munculah ideologi

Marxisme-Leninisme yang memadukan dua pemikiran kedua orang tersebut. Berkaitan dengan pemikiran Lenin tersebut dapat disimpulkan bahwa pokok-pokok pemikiran Lenin sebenarnya meliputi hukum evolusi sejarah umat manusia, kaum proletar-petani kecil sebagai pilar Revolusi Sosialis, tugas partai dan sifat-sifat kepemimpinannya serta revolusi permanen.

Namun, meskipun teori dan konsep yang dikemukakan oleh Lenin begitu kompleks, akan tetapi dalam perkembangannya teori Marx mengalami perkembangan yang luas, banyak orang yang berusaha untuk merevisi apa yang dipikirkan oleh Marx sesuai dengan yang terjadi, Suseno kembali menegaskan (2005:47) tentang Marxisme Pasca-Marx bahwa:

”Penegasan Marx tentang kaitan antara teori tentang revolusi sosialis dan perjuangan praktis proletariat sudah lama diabaikan. Pengertian Marxisme sebagai ”teori yang sudah benar tentang hukum-hukum perkembangan kapitalisme” pada akhir abad ke-19 menimbulkan perbedaan serius di kalangan Marxis: bagaimana kenyataan yang semakin tidak terbantah ini harus dijelaskan, yaitu bahwa kapitalisme dunia bukannya semakin rapuh sebagaimana yang diramalkan oleh Marxisme melainkan malah semakin jaya? Berhadapan dengan masalah ini muncul empat posisi yaitu:

1. Eduard Bernstein berpendapat bahwa Marxisme, seperti setiap teori ilmiah, harus direvisi sesuai dengan tingkat pengetahuan baru yang lebih memadai. Ia menarik kesimpulan bahwa transisi dari kapitalisme ke sosialisme bisa saja terjadi, secara demokratis, tanpa revolusi, langkah kecil demi langkah kecil. ”Revisionisme” ini didikutuk oleh tiga posisi lainnya.

2. Karl Kautsky, si penjaga ”Marxisme Ortodoks”, mempertahankan bahwa revolusi sosialis adalah keharusan sejarah akibat niscaya kontradiksi-kontradiksi internal kapitalisme sebagaimana yang diutarakan oleh Marx sendiri, tetapi menolak segala usaha revolusioner sebelum kapitalisme sendiri sudah ”matang” artinya masuk ke dalam krisis akhir.

3. Rosa Luxemburg, sependapat dengan Kautsky, tetapi mencela keras penolakannya terhadap usaha revolusioner buruh. Kesadaran revolusioner adalah syarat mutlak keberhasilan revolusi sosialis, dan kesadaran itu harus dan akan berkembang dalam kelas buruh sendiri sebagai hasil-buah dari pengalaman perjuangan ekonomis maupun politis-revolusioner mereka.

4. Lenin, sependapat dengan Luxemburg bahwa tidak ada revolusi tanpa kesadaran revolusioner kelas buruh, tetapi menyangkal anggapan Luxemburg bahwa kesadaran revolusioner kaum buruh akan berkembang secara spontan sebagai naif, dengan sendirinya kelas buruh tidak melampaui ’kesadaran serikat buruh’. Hanya dibawah pimpinan sebuah partai kader revolusioner kelas buruh dapat membentuk kesadaran teoritis benar yang akan membuat mereka melaksanakan revolusi sosialis (anggapan mana segera ditolak Luxemburg sebagai ’Blanquisme’.”

Dari apa yang disampaikan diatas, ada dua posisi yang begitu dekat yang memiliki perbedaan yang mencolok yaitu antara Lenin dan Bernstein. Perbedaan dari kedua tokoh tersebut dirangkum oleh Suseno (2005:48-49):

”Lenin dan Bernstein, kedua-duanya berpendapat bahwa kaum buruh sendiri tidak revolusioner, yang berbeda hanyalah kesimpulan yang mereka tarik. Bernstein bertolak dari kenyataan bahwa kaum buruh tidak revolusioner dan karena itu melepaskan anggapan Marx bahwa sosialisme hanya dapat tercapai melalui revolusi. Lenin, justru sebaliknya, bertolak dari perlunya revolusi dan karena itu mengagaskan partai revolusioner, bertugas menggiring kaum buruh yang sebenarnya tidak revolusioner ke revolusi itu. Karena bagi Lenin revolusi bukan lagi hal yang tak terelakkan, revolusi tergantung dari adanya kehendak revolusioner. Karena itu, Marxisme Lenin bersifat voluntaristik. Lenin menghendaki revolusi; Bernstein tidak. Itulah perbedaan mereka. Keduanya menolak otomatisme revolusi Kautsky maupun Luxemburg. Konsepsi mereka berdua yang sangat jauh dari Karl Marx ini oleh sejarah kemudian dibuktikan realistik, karena yang akhirnya menjadi kenyataan adalah sosial demoktarisme reformis keturunan Bernstein yang menjadi salah satu soko guru ’demokrasi barat’ dan Komunisme yang dibidani Lenin”.

Lalu, apa yang dilakukan oleh Lenin ketika Revolusi Bolshevik berhasil dilakukan di Rusia?.

Suseno (2005:49) menuliskan bahwa:

”Atas nama kediktatoran proletariat ia menghapus hak-hak demokratis masyarakat dan secara sistematik memakai teror untuk menghancurkan segala perlawanan. Ia yakin bahwa hanya melalui kediktatoran kelas buruh

Dokumen terkait